Stylesphere – Haji merupakan rukun Islam kelima yang menjadi impian bagi setiap Muslim di seluruh dunia. Di Indonesia, pelaksanaan ibadah haji telah berjalan dengan baik, mulai dari proses pemberangkatan hingga seluruh rangkaian ibadah di Tanah Suci. Namun demikian, masih ada satu aspek penting dalam tradisi haji yang kerap diabaikan oleh sebagian masyarakat Indonesia, termasuk pada musim haji tahun 2025 ini.
Hal ini disampaikan oleh ulama terkemuka asal Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha. Dalam sebuah pengajian yang tayang di kanal YouTube @logikagusbaha dan dikutip pada Kamis (29/05/2025), Gus Baha mengungkapkan bahwa masih banyak umat Muslim yang belum memahami secara tepat pelaksanaan haji bagi orang yang sudah uzur secara fisik.
Menurut Gus Baha, apabila seseorang mengalami kondisi fisik yang parah dan bersifat permanen—seperti terkena stroke—namun masih hidup dan sadar, maka seyogianya orang tersebut segera dihajikan. Dalam Islam, praktik ini dikenal sebagai hajjul ma’dub atau haji badal, yakni pelaksanaan haji yang dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang yang sudah tidak mampu secara fisik untuk menunaikannya sendiri.
Sayangnya, tradisi penting ini masih belum menjadi perhatian serius di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak yang baru melakukan haji badal setelah seseorang wafat, padahal menurut Gus Baha, hal itu seharusnya dilakukan selagi orang tersebut masih hidup dan memiliki kesadaran.
Melalui penjelasan tersebut, Gus Baha mengingatkan umat Muslim untuk lebih memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh, termasuk dalam hal pelaksanaan haji bagi orang yang uzur. Dengan demikian, ibadah haji dapat benar-benar menjadi bentuk penyempurnaan rukun Islam yang kelima, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan tanggung jawab sosial.
Gus Baha: Haji untuk Orang Sakit Harus Dilakukan Selagi Masih Hidup

Sebagai murid kesayangan KH Maimoen Zubair, Gus Baha menyoroti kekeliruan yang masih lazim terjadi di masyarakat terkait pelaksanaan haji bagi orang yang uzur. Ia menyayangkan bahwa banyak keluarga baru berinisiatif menghajikan seseorang setelah orang tersebut meninggal dunia, padahal Islam telah memberikan solusi bagi mereka yang masih hidup namun tidak lagi mampu secara fisik.
“Kalau seseorang sudah stroke, tidak bisa berjalan, sudah sulit secara lahiriah tapi masih sadar, bahkan masih tahu harta bendanya, maka sudah seharusnya dihajikan,” ujar Gus Baha dalam pengajiannya.
Ia menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti itu, meskipun seseorang tidak dapat secara fisik menjalankan ibadah haji, selama kesadaran dan niatnya masih ada, maka ia tetap dapat memperoleh pahala yang setara dengan orang yang berhaji langsung. Hal ini dikarenakan niat dan kesadaran masih menjadi faktor penting dalam pelaksanaan haji, termasuk dalam penentuan penggunaan harta untuk biaya berhaji.
Karena itu, peran keluarga sangat krusial. Keluarga seharusnya tidak menunggu hingga anggota keluarga yang sakit itu wafat, melainkan segera mengambil langkah untuk menghajikannya selama ia masih hidup dan sadar. Ini menjadi wujud kepedulian terhadap hak orang tersebut dalam menunaikan rukun Islam kelima.
Lebih lanjut, Gus Baha menegaskan bahwa dalam ilmu fikih, tradisi menghajikan orang yang masih hidup namun uzur secara fisik merupakan bagian penting dari menjaga dan memenuhi kewajiban agama. Ini bukan sekadar bentuk ibadah pengganti, tetapi bagian dari tanggung jawab bersama agar tidak ada hak beragama yang terabaikan.
Gus Baha Soroti Tradisi Haji Niabah yang Sering Terlupakan di Indonesia

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang menjadi impian setiap Muslim. Di Indonesia, tradisi pelaksanaan haji telah berkembang dengan baik, mulai dari persiapan, keberangkatan, hingga prosesi di Tanah Suci. Namun demikian, masih ada satu aspek penting yang kerap terabaikan oleh masyarakat, yaitu pelaksanaan haji niabah—haji pengganti bagi orang yang uzur secara fisik namun masih hidup.
Hal ini disampaikan oleh ulama kharismatik asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, yang juga merupakan murid kinasih dari KH Maimoen Zubair. Dalam sebuah pengajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @logikagusbaha dan dikutip pada Kamis (29/05/2025), Gus Baha menegaskan pentingnya membiasakan tradisi menghajikan orang yang sakit parah namun masih memiliki kesadaran penuh.
“Kalau seseorang sudah stroke, tidak bisa berjalan, sudah sulit secara lahiriah tapi masih sadar, bahkan masih tahu harta bendanya, maka sudah seharusnya dihajikan,” ujar Gus Baha.
Menurutnya, Islam mengenal istilah hajjul ma’dub atau haji niabah, yaitu ibadah haji yang dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang yang sudah tidak mampu secara fisik, namun masih hidup. Hal ini berbeda dari haji pengganti bagi orang yang telah wafat. Meski keduanya sah menurut syariat, Gus Baha menekankan bahwa pelaksanaannya berbeda, terutama dalam hal niat dan keikutsertaan batin dari orang yang bersangkutan.
“Kalau nunggu meninggal dulu, orang yang sakit itu jadi tidak ikut serta dalam kesadarannya. Padahal pahala haji itu bisa lebih kuat kalau disertai niat dan restu langsung dari pemilik harta,” tambahnya.
Gus Baha juga menjelaskan bahwa dalam fikih Islam, tradisi menghajikan orang yang uzur namun masih hidup sangat ditekankan. Ini merupakan bagian dari menjaga hak individu dalam menunaikan rukun Islam. Selama orang tersebut masih sadar dan mampu memberikan izin penggunaan hartanya, ia tetap berhak meraih pahala haji sebagaimana orang yang menunaikannya langsung.
Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat Muslim Indonesia untuk lebih peduli terhadap anggota keluarga yang mengalami sakit permanen. Jangan menunggu hingga ajal menjemput untuk menghajikan mereka. Langkah ini bukan hanya wujud kepedulian, tapi juga bentuk tanggung jawab moral dan spiritual agar setiap Muslim tetap bisa menunaikan kewajibannya.
Gus Baha berharap edukasi mengenai haji niabah bagi orang sakit dapat tersebar luas. Ia menekankan pentingnya pemahaman agama yang utuh agar umat Islam tidak kehilangan hak-hak ibadahnya hanya karena kurangnya informasi atau kesadaran.
“Selama orang itu masih sadar dan tahu hartanya bisa digunakan, maka itu harus dihajikan. Itu keutamaan besar dan sangat dianjurkan dalam syariat,” pungkas Gus Baha.