Gus Azmi Resmi Menikah, Ini Sosok Istrinya yang Bikin Penasaran Publik

Gus Azmi Resmi Menikah, Ini Sosok Istrinya yang Bikin Penasaran Publik

Stylesphere – Pernikahan merupakan salah satu momen paling bersejarah dalam kehidupan seseorang. Hal ini juga dirasakan oleh Gus Azmi, vokalis grup hadrah terkenal, Syubbanul Muslimin, yang baru saja melangsungkan pernikahan.

Gus Azmi resmi menikah dengan Khansa Mariska Firdausi Azizy pada Rabu, 12 Juni 2025. Momen sakral ini langsung menjadi perbincangan hangat di dunia maya dan viral di berbagai platform media sosial. Banyak warganet yang memberikan ucapan selamat, sekaligus penasaran dengan sosok wanita yang berhasil merebut hati sang vokalis.

Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak hanya sekadar penyatuan dua insan, tetapi juga menjadi jalan untuk membangun keluarga yang penuh kedamaian (sakinah), cinta kasih (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Pernikahan menjadi ladang kebaikan yang membawa keberkahan bagi pasangan suami istri, baik di dunia maupun akhirat.

Sementara itu, sosok Khansa Mariska Firdausi Azizy langsung mencuri perhatian publik. Banyak yang ingin tahu lebih jauh tentang perempuan yang kini menjadi istri dari salah satu ikon muda dunia hadrah ini.

Berikut profil singkat Khansa Mariska Firdausi Azizy, perempuan yang berhasil memikat hati Gus Azmi — dirangkum oleh Anugerahslot, Sabtu (14/6/2025).

Mengenal Lebih Dekat Khansa Mariska Firdausi Azizy, Istri Gus Azmi yang Mencuri Perhatian

Khansa Mariska Firdausi Azizy, atau yang akrab disapa Aca, lahir di Surabaya pada 31 Juli 2006. Ia merupakan seorang influencer muda sekaligus konten kreator yang tengah naik daun di kalangan generasi muda.

Aktif di media sosial, Aca sering membagikan berbagai konten seputar Outfit of the Day (OOTD), aktivitas keseharian, hingga kolaborasi endorsement produk-produk kecantikan dan skincare. Gayanya yang simpel namun modis membuatnya mudah diterima dan diidolakan banyak pengikut.

Popularitasnya tidak main-main. Di Instagram, Aca telah mengumpulkan lebih dari 440 ribu pengikut, sementara akun TikTok-nya diikuti oleh lebih dari 291 ribu pengguna aktif. Keaktifannya dalam membuat konten yang relate dengan anak muda membuatnya semakin dikenal luas.

Namun, yang membuat Aca berbeda adalah kemampuannya memadukan gaya hidup modern dengan nilai-nilai religius. Terlahir dari keluarga yang dikenal religius, Aca tetap menampilkan karakter yang santun dan menjunjung nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Inilah yang menjadikan dirinya sosok yang menarik di mata publik—terutama bagi Gus Azmi.

Pernikahan mereka menjadi bukti bahwa cinta bisa tumbuh dari keselarasan nilai dan visi hidup. Tak heran jika pernikahan ini menuai banyak doa dan harapan baik dari para penggemar dan masyarakat luas.

Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga Khansa Mariska, Istri Gus Azmi

Selain dikenal sebagai sosok yang aktif di dunia digital, Khansa Mariska Firdausi Azizy juga memiliki latar pendidikan yang membanggakan. Ia menempuh pendidikan menengah di SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, sebuah sekolah yang dikenal dengan pendekatan pendidikan modern dan religius.

Kini, Aca melanjutkan pendidikannya di Universitas Ciputra Surabaya, mengambil jurusan International Business Management. Di lingkungan kampus, Aca dikenal sebagai mahasiswi yang cerdas, aktif, dan berprestasi, terlibat dalam berbagai kegiatan akademik maupun organisasi kemahasiswaan. Komitmennya terhadap pendidikan membuktikan bahwa ia tak hanya mengandalkan popularitas di media sosial, tetapi juga membangun masa depan dengan fondasi yang kuat.

Dari sisi silsilah keluarga, Aca berasal dari lingkungan yang religius dan terpandang. Ia adalah cucu dari K.H.M. Santoso, seorang ulama besar yang cukup disegani dan memiliki pengaruh luas di wilayah Ngawi, Jawa Timur. Sang kakek dikenal sebagai tokoh agama yang aktif membina umat dan terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah.

Keluarga besar Khansa juga dikenal konsisten dalam kegiatan keagamaan dan menjadi bagian penting dalam pengelolaan Majelis Taklim dan kegiatan keislaman di Masjid Agung Ngawi. Nilai-nilai religius yang ditanamkan sejak kecil inilah yang membentuk karakter Aca menjadi pribadi yang santun, berakhlak, dan tetap membumi meskipun berada di tengah gemerlap dunia digital.

Dengan latar belakang pendidikan yang baik dan lingkungan keluarga yang religius, tak heran jika sosok Aca mampu menarik perhatian Gus Azmi — vokalis hadrah yang juga dikenal karena komitmennya terhadap nilai-nilai Islam.

Amalan Utama Menyambut Datangnya Tahun Baru Dalam Kalender Hijriyah

Amalan Utama Menyambut Datangnya Tahun Baru Dalam Kalender Hijriyah

Stylesphere – Umat Islam akan segera menyambut datangnya tahun baru dalam kalender hijriyah, meninggalkan tahun 1446 H dan memasuki 1 Muharram 1447 H. Momen pergantian tahun ini bukan sekadar penanda berlalunya waktu, tetapi juga menjadi kesempatan berharga untuk melakukan introspeksi diri dan memperbaiki kualitas ibadah kepada Allah SWT.

Dalam budaya Jawa, 1 Muharram lebih dikenal dengan sebutan malam 1 Suro. Meskipun berbeda dalam istilah, keduanya merujuk pada hal yang sama: awal tahun baru Islam, yang dimulai saat matahari tenggelam dan bulan baru terlihat di langit.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah menetapkan bahwa 1 Muharram 1447 Hijriyah jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Hari tersebut juga ditetapkan sebagai hari libur nasional keagamaan. Berikut rangkuman lengkap dari Anugerahslot.

Pergantian tahun hijriyah ini merupakan waktu yang sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah. Dalam ajaran Islam, malam 1 Muharram atau malam 1 Suro dipandang sebagai waktu istimewa yang penuh keberkahan. Ada berbagai amalan yang bisa dilakukan untuk menyambutnya, baik dalam bentuk ibadah vertikal kepada Allah maupun interaksi sosial yang baik dengan sesama manusia.

Amalan-amalan tersebut bukan hanya memperkuat hubungan spiritual, tetapi juga menjadi sarana untuk memperdalam makna hijrah—yakni berpindah dari keburukan menuju kebaikan, dari kelalaian menuju kesadaran diri sebagai hamba-Nya.

Momen ini menjadi pengingat bahwa setiap pergantian waktu adalah peluang untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bersyukur, dan lebih dekat dengan Tuhan.

Perbanyak Doa Kepada Allah SWT

KH Yahya Zainul Ma’arif, atau yang akrab disapa Buya Yahya, seorang pendakwah yang bermukim di Cirebon, dalam berbagai pengajiannya menekankan bahwa malam 1 Muharram adalah saat yang sangat bernilai untuk memperbarui niat dan memperbanyak doa kepada Allah SWT.

Buya Yahya menganjurkan agar umat Islam memanfaatkan momen ini untuk bermuhasabah—mengevaluasi diri atas perbuatan selama setahun terakhir—serta memperbanyak ibadah. Salah satu amalan yang dianjurkan adalah membaca doa akhir tahun, yang dibaca sebelum waktu Maghrib pada tanggal 30 Dzulhijjah. Doa ini sebagai bentuk taubat dan permohonan ampun atas kesalahan yang telah dilakukan selama tahun yang akan berlalu.

Bacaan doa akhir tahun yang dikenal luas berbunyi:

اللّٰهُمَّ مَا عَمِلْتُ مِنْ عَمَلٍ فِي هٰذِهِ السَّنَةِ…
Allahumma ma ‘amiltu min ‘amalin fî hadzihi sanati…
Artinya: “Ya Allah, apa pun perbuatan yang kulakukan di tahun ini yang Engkau larang namun belum sempat kutobati…”

Setelah memasuki waktu Maghrib, yang menandai awal tahun baru hijriyah, umat Islam dianjurkan membaca doa awal tahun. Doa ini merupakan permohonan kepada Allah agar diberikan perlindungan dari godaan setan, hawa nafsu, dan dilimpahkan keberkahan di tahun yang baru.

Doa awal tahun berbunyi:

اَللّٰهُمَّ أَنْتَ الأَبَدِيُّ القَدِيمُ الأَوَّلُ…
Allâhumma antal abadiyyul qadîmul awwal…
Artinya: “Ya Allah, Engkau-lah yang Abadi, Qadim, dan yang Awal. Tahun baru ini telah datang. Aku berlindung kepada-Mu dari bujukan Iblis…”

Buya Yahya menegaskan bahwa memperbanyak doa dan memperbaiki niat di malam 1 Muharram adalah bentuk kesungguhan dalam memulai tahun baru dengan penuh kebaikan dan harapan akan ampunan serta keberkahan dari Allah SWT

Amalan Penting Lainnya

Dikutip dari kanal YouTube @Al-Bahjah, umat Islam dapat dengan mudah mengikuti panduan pembacaan doa akhir tahun dan awal tahun hijriyah lengkap dengan pelafalan dan artinya. Panduan ini sangat bermanfaat sebagai rujukan dalam menyambut malam 1 Muharram.

Selain membaca doa, ada beberapa amalan sunnah lain yang sangat dianjurkan untuk dilakukan saat malam pergantian tahun Islam:

1. Memotong Kuku dan Merapikan Diri

Buya Yahya menekankan pentingnya menjaga kebersihan lahir dan batin, termasuk memotong kuku dan merapikan diri. Rasulullah SAW menyebut perbuatan ini sebagai bagian dari fitrah, bentuk penyucian diri sebagai persiapan menyambut tahun baru dengan niat yang bersih.

2. Berpuasa

Puasa pada hari pertama bulan Muharram sangat dianjurkan. Bila mampu, disarankan juga untuk melanjutkannya hingga tanggal 10 Muharram atau Hari Asyura, yang dikenal memiliki keutamaan besar sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadits shahih.

3. Bersedekah

Malam 1 Muharram juga menjadi waktu yang tepat untuk bersedekah, baik dalam bentuk uang, makanan, pakaian, atau bantuan lainnya kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan. Ini adalah bentuk solidaritas sosial yang bernilai ibadah tinggi.

4. Memperbanyak Dzikir dan Doa

Amalan lainnya adalah memperbanyak dzikir dan doa. Di malam pergantian tahun ini, dianjurkan memanjatkan permohonan kebaikan, perlindungan, dan keberkahan untuk hari-hari di tahun yang akan datang.

5. Membaca Al-Qur’an

Malam yang penuh berkah ini juga bisa diisi dengan membaca Al-Qur’an. Surat-surat pendek seperti Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas menjadi pilihan yang baik untuk dibaca dan diamalkan.

6. Menjalin dan Menyambung Silaturahmi

Salah satu amalan yang sangat ditekankan adalah silaturahmi. Malam 1 Muharram bisa dijadikan momen untuk mengunjungi keluarga, memperbaiki hubungan, dan saling memaafkan. Dalam Hadits Qudsi, Allah menjanjikan akan menyambung rahmat-Nya kepada siapa pun yang menyambung tali persaudaraan.

Malam 1 Muharram adalah waktu penuh makna, bukan sekadar pergantian tahun, melainkan momen untuk memperbarui niat dan meningkatkan kualitas ibadah. Dengan semangat hijrah sebagai ruh tahun baru Islam, mari kita jadikan kesempatan ini untuk berpindah dari kesalahan menuju perbaikan, dari lalai menuju sadar, dan dari dosa menuju ampunan.

Semoga tahun baru 1447 Hijriyah membawa keberkahan, keselamatan, dan kebaikan bagi kita semua.

Pernikahan dalam Islam: Rukun, Hukum, dan Pandangan Tentang Hari Baik

Pernikahan dalam Islam: Rukun, Hukum, dan Pandangan Tentang Hari Baik

Stylesphere – Pernikahan merupakan ikatan suci antara dua insan yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis dan diridhai Allah SWT. Dalam ajaran Islam, perintah untuk menikah secara tegas tercantum dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS An-Nur: 32)

Agar sebuah pernikahan dianggap sah secara syariat, harus terpenuhi lima rukun nikah. Hal ini dijelaskan oleh Imam Zakaria al-Anshari kepada anugerahslot dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab:

“Rukun-rukun nikah ada lima: mempelai pria, mempelai wanita, wali, dua orang saksi, dan shighat (akad nikah).”

Kelima rukun ini menjadi landasan utama sahnya sebuah pernikahan dalam Islam.

Menikah di Hari Baik: Perlukah?

Dalam praktiknya, sebagian masyarakat Indonesia masih mempertimbangkan waktu pelaksanaan pernikahan berdasarkan hari atau bulan yang diyakini membawa keberuntungan. Tradisi memilih “hari baik” ini kerap dihubungkan dengan keyakinan akan keberkahan dan keharmonisan rumah tangga yang akan dibangun.

Menanggapi hal ini, Pengasuh LPD Al-Bahjah, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya), memberikan penjelasan penting. Menurut beliau, Islam tidak menentukan hari atau bulan tertentu sebagai waktu terbaik atau sebaliknya dalam melangsungkan pernikahan. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa menikah di bulan tertentu akan membawa sial atau sebaliknya membawa keberuntungan.

Buya Yahya menegaskan bahwa yang terpenting dalam pernikahan adalah niat yang tulus karena Allah, kesiapan lahir dan batin, serta pemenuhan syarat dan rukun nikah. Selama semua itu terpenuhi, maka pernikahan sah dan insyaAllah mendapat keberkahan.

Dengan demikian, umat Islam tidak perlu terikat pada anggapan tertentu tentang hari baik atau buruk dalam menikah. Yang lebih utama adalah mempersiapkan diri dan menjaga niat ibadah dalam membangun rumah tangga.

Buya Yahya: Semua Hari adalah Baik untuk Menikah, Jangan Terjebak Keyakinan yang Salah

Buya Yahya, Pengasuh LPD Al-Bahjah, menegaskan bahwa dalam Islam tidak ada larangan mengenai waktu tertentu untuk melangsungkan pernikahan. Menurut beliau, semua waktu adalah baik untuk melakukan kebaikan, termasuk pernikahan, selama tidak ada larangan khusus dari Allah SWT dan Rasulullah SAW.

“Seperti pernikahan, boleh dilakukan kapan saja. Bahkan pernah suatu ketika kita mengakadkan nikah pada pukul 12 malam. Saat itu kami baru datang dari tempat jauh, dan karena keluarga sudah sepakat serta senang, akhirnya langsung dinikahkan. Tidak ada masalah,” ujar Buya Yahya, dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV, Rabu (11/6/2025).

Beliau juga menjelaskan bahwa memilih hari tertentu untuk melangsungkan pernikahan tidak dilarang, selama alasannya bersifat praktis, bukan karena kepercayaan terhadap mitos atau takhayul.

“Kalau ada yang memilih untuk tidak menikah di hari Rebo Legi karena alasan itu hari pasaran dan orang sibuk, maka itu sah-sah saja. Tapi jangan sampai diyakini bahwa Rebo Legi adalah hari nahas untuk pernikahan. Itu yang salah dan perlu diluruskan,” tegas Buya Yahya.

Buya Yahya mengajak umat Islam untuk meyakini bahwa semua hari adalah baik. Tidak ada satu hari pun dalam Islam yang dianggap sial, termasuk dalam urusan menikah. Justru, beliau menganjurkan agar pernikahan dilakukan segera jika semua syarat sudah terpenuhi, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan secara syar’i.

“Jika sudah ada kesiapan dan keinginan kuat untuk menikah, menundanya tanpa alasan yang kuat justru bisa mendekati perbuatan yang dilarang, apalagi jika sudah muncul dorongan syahwat. Maka, semakin cepat menikah, semakin baik,” pungkasnya.

Dengan demikian, umat Islam diajak untuk meninggalkan kepercayaan terhadap hari sial atau bulan nahas dalam pernikahan, dan lebih fokus kepada kesiapan, niat yang lurus, serta kelengkapan syarat dan rukun nikah yang sesuai syariat.

Ubah Keyakinan Keliru dengan Bijak, Meneladani Dakwah Rasulullah dan Walisongo

Untuk meluruskan keyakinan yang keliru tentang hari atau bulan “sial” dalam pernikahan, diperlukan pendekatan yang bijak dan lembut, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam berdakwah. Metode dakwah yang penuh kelembutan ini kemudian dilanjutkan oleh para ulama dan wali Allah, termasuk para Walisongo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.

“Walisongo dalam merubah keyakinan masyarakat tidak pernah bersikap frontal atau membuat orang terkejut. Mereka menggunakan cara yang halus dan penuh hikmah,” tutur Buya Yahya.

Terkait pemilihan hari pernikahan, Buya Yahya menambahkan bahwa sah-sah saja jika seseorang memilih hari tertentu dengan pertimbangan praktis, misalnya agar lebih banyak keluarga atau kerabat yang dapat hadir.

“Jika mempelai tidak dalam kondisi mendesak, memilih hari yang memungkinkan lebih banyak keluarga dan tamu hadir tentu boleh. Tapi jangan sampai ada keyakinan bahwa hari tertentu membawa sial, itu yang perlu diluruskan,” pungkasnya.

Wallahu a’lam.

Doa Setelah Pulang Haji: Ucapan Syukur dan Harapan untuk Tetap Istiqamah

Doa Setelah Pulang Haji: Ucapan Syukur dan Harapan untuk Tetap Istiqamah

Stylesphere – Menunaikan ibadah haji merupakan impian mulia bagi setiap Muslim. Setelah melewati serangkaian ibadah yang sarat dengan pengorbanan, keikhlasan, dan kesabaran di Tanah Suci, momen kepulangan jemaah haji ke tanah air menjadi saat yang sangat dinanti dan penuh haru.

Di tengah kegembiraan keluarga dan kerabat yang menyambut dengan suka cita, momen ini sebaiknya juga disertai dengan doa-doa penuh makna. Doa kepulangan dari haji tidak hanya menjadi ungkapan rasa syukur atas keselamatan dan kelancaran perjalanan, tetapi juga merupakan ikhtiar spiritual untuk menjaga kemabruran haji yang telah diperjuangkan.

Dengan doa, seorang haji memohon kepada Allah agar diberikan keistiqamahan dalam beribadah, serta memohon keberkahan bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Doa ini menjadi langkah awal dalam mempertahankan semangat ibadah dan nilai-nilai yang didapat selama berada di Tanah Suci.

Dalam panduan ini, terdapat beberapa doa yang dianjurkan dibaca usai pulang dari ibadah haji, baik untuk diri sendiri maupun oleh para penyambut sebagai bentuk penghormatan dan harapan atas haji yang mabrur.

Berikut adalah rangkaian doa-doa yang dapat diamalkan, sebagaimana dikutip dari laman Anugerahslot Online Lampung, Senin (9/6/2025).

Rangkaian Doa Setelah Pulang Haji: Ucapan Syukur dan Permohonan Keberkahan

Menunaikan ibadah haji adalah puncak spiritualitas bagi seorang Muslim, yang sarat dengan pengorbanan, keikhlasan, dan penguatan iman. Setelah menjalani seluruh rangkaian ibadah di Tanah Suci, kepulangan para jemaah haji ke kampung halaman menjadi momen istimewa yang tak hanya disambut dengan suka cita keluarga, tetapi juga diiringi dengan doa-doa penuh makna.

Doa ketika pulang dari haji bukan sekadar ungkapan syukur atas perjalanan yang selamat, tetapi juga menjadi ikhtiar untuk menjaga kemabruran haji dan memohon agar semangat ibadah terus terjaga dalam kehidupan sehari-hari.

Berikut ini adalah beberapa doa yang dianjurkan dibaca saat pulang dari haji, baik oleh jemaah haji sendiri maupun oleh keluarga yang menyambut:

1. Doa Ketika Telah Sampai di Tanah Air

آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ، سَاجِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ
Âyibûna, tâ’ibûn, ‘âbidûn, sâjidûn li rabbinâ hâmidûn.

Artinya:
(Kami) pulang, bertobat, menyembah, bersujud, dan memuji Tuhan kami.

Doa ini dibaca sebagai bentuk syukur atas kembalinya jemaah ke tanah air dengan selamat serta sebagai pengakuan atas ibadah yang telah dijalani dengan penuh keikhlasan.

2. Doa Saat Memasuki Kampung Halaman

بسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إنِّي أسألُكَ خَيْرَها وَخَيْرَ أهلها وَخَيْرَ ما فِيها، وأعُوذُ بِكَ مِنْ شَرّها وَشَرّ أهلها وَشَرّ مَا فِيهَا
Bismillâh, allâhumma innî as-aluka khairahâ wa khaira ahlihâ wa khaira mâ fîhâ, wa a‘ûdzubika min syarrihâ wa syarri ahlihâ wa syarri mâ fîhâ.

Artinya:
Dengan nama Allah, ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penduduknya, dan kebaikan apa yang ada di dalamnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan kampung ini, keburukan penduduknya, dan keburukan apa yang ada di dalamnya.

Doa ini mencerminkan harapan agar kepulangan membawa kebaikan, serta perlindungan dari potensi keburukan di tempat yang dituju.

Dengan membaca doa-doa ini, diharapkan para jemaah haji tidak hanya kembali secara fisik, tetapi juga membawa pulang ruh spiritual haji ke dalam kehidupan mereka. Doa menjadi jembatan antara ibadah yang telah dijalani dan komitmen untuk terus memperbaiki diri serta memberi manfaat bagi lingkungan sekitar

Semoga haji yang telah dilaksanakan diterima Allah sebagai haji yang mabrur, dan menjadi titik awal kehidupan yang lebih berkah dan bermakna.

Doa-Doa Kepulangan dari Ibadah Haji: Menyambut dengan Syukur dan Harapan

Kepulangan jemaah haji dari Tanah Suci adalah momen penuh haru dan kebahagiaan, tidak hanya bagi para jemaah itu sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat yang menanti. Di tengah suka cita, alangkah baiknya momen ini disertai dengan doa-doa syukur dan harapan, sebagai bentuk penghormatan terhadap ibadah yang telah dijalani, serta untuk menjaga semangat dan kemabruran haji yang diraih.

Berikut adalah rangkaian doa-doa yang dianjurkan untuk dibaca oleh jemaah maupun orang-orang yang menyambut mereka:

1. Doa Syukur Saat Kembali ke Tanah Air

آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ، سَاجِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ
Âyibûna, tâ’ibûn, ‘âbidûn, sâjidûn li rabbinâ hâmidûn.

Artinya:
(Kami) pulang, bertobat, menyembah, bersujud, dan memuji Tuhan kami.

2. Doa Memasuki Kampung Halaman

بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ أَهْلِهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ أَهْلِهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا
Bismillâh, allâhumma innî as-aluka khairahâ wa khaira ahlihâ wa khaira mâ fîhâ, wa a‘ûdzubika min syarrihâ wa syarri ahlihâ wa syarri mâ fîhâ.

Artinya:
Dengan nama Allah, ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penduduknya, dan kebaikan apa yang ada di dalamnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan kampung ini, keburukan penduduknya, dan keburukan apa yang ada di dalamnya.

3. Doa Pertobatan yang Mendalam

تَوْبًا تَوْبًا، لِرَبِّنَا أَوْبًا، لَا يُغَادِرُ حُوْبًا
Tauban, tauban, li rabbinâ awban, lâ yughâdiru hûban.

Artinya:
Kami sungguh memohon pertobatan. Kepada Tuhan kami, kami kembali, tobat yang tidak menyisakan dosa.

4. Doa dari Keluarga dan Penyambut Jemaah

قَبَّلَ اللهُ حَجَّكَ، وَغَفَرَ ذَنْبَكَ، وَأَخْلَفَ نَفَقَتَكَ
Qabballallâhu hajjaka, wa ghafara dzanbaka, wa akhlafa nafaqataka.

Artinya:
Semoga Allah menerima ibadah hajimu, mengampuni dosamu, dan mengganti pengeluaranmu.

5. Doa dari Riwayat Imam Al-Baihaqi

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْحَاجِّ وَلِمَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُ الحَاجُّ
Allâhummaghfir lil hâjj, wa li man istaghfara lahul hâjj.

Artinya:
Ya Allah, ampunilah dosa jemaah haji ini dan dosa orang yang dimintakan ampun oleh jemaah haji ini.

Membaca dan mengamalkan doa-doa ini saat menyambut kepulangan dari haji merupakan bentuk penghormatan terhadap perjalanan spiritual yang luar biasa. Semoga doa-doa ini menjadi peneguh bagi jemaah agar senantiasa istiqamah dalam kebaikan, serta menjadi sumber keberkahan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya.

🕌 Apa itu Puasa Ayyamul Bidh?

🕌 Apa itu Puasa Ayyamul Bidh?

Stylesphere – Puasa Ayyamul Bidh adalah puasa sunnah yang dilakukan pada tiga hari pertengahan bulan Hijriah, yakni tanggal 13, 14, dan 15. Karena 13 Dzulhijjah adalah hari tasyrik, maka untuk bulan ini, puasa Ayyamul Bidh dimulai tanggal:

16 Dzulhijjah 1446 HKamis, 12 Juni 2025

14 Dzulhijjah 1446 HSelasa, 10 Juni 2025

15 Dzulhijjah 1446 HRabu, 11 Juni 2025

Keutamaan Puasa Ayyamul Bidh

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Berpuasa tiga hari setiap bulan seperti puasa sepanjang tahun.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Puasa ini dianjurkan karena:

  • Mendapat pahala seperti berpuasa sepanjang tahun
  • Menambah amalan sunnah pasca Iduladha
  • Menjadi sarana penghapus dosa

📝 Niat Puasa Ayyamul Bidh

Waktu niat: sebelum fajar (waktu Subuh). Namun, jika belum makan dan minum sejak subuh, boleh berniat di siang hari untuk puasa sunnah.

Lafal niat:

نَوَيْتُ صَوْمَ أَيَّامِ الْبِيضِ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitu shouma ayyamil bidh sunnatan lillāhi ta‘ālā
Artinya: “Saya niat puasa Ayyamul Bidh sunnah karena Allah Ta’ala.”

📋 Tata Cara Puasa Ayyamul Bidh

  1. Berniat sebelum fajar
  2. Menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar (Subuh) hingga matahari terbenam (Maghrib)
  3. Melaksanakan ibadah lain: seperti salat sunnah, tilawah Qur’an, dzikir, dan sedekah
  4. Berbuka puasa tepat waktu dan dianjurkan dengan kurma atau air

Semoga Allah menerima ibadah puasa Anugerahslot dan memberikan keberkahan di sisa bulan Dzulhijjah ini.

🕋 Tata Cara Puasa Ayyamul Bidh

1. Niat

  • Waktu niat: Mulai dari malam hari hingga sebelum zawal (matahari tergelincir ke barat atau masuk waktu Zuhur).
  • Syarat niat di siang hari: Belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar.
  • Dilakukan di dalam hati, dan disunnahkan diucapkan dengan lisan.

Lafal niat puasa Ayyamul Bidh:

نَوَيْتُ صَوْمَ أَيَّامِ الْبِيْضِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ayyâmil bîdl lilâhi ta‘âlâ.
Artinya: “Saya niat puasa Ayyamul Bidh karena Allah Ta‘âlâ.”

2. Makan Sahur

  • Waktu sahur: Dianjurkan di akhir malam, menjelang Subuh.
  • Keutamaannya: Mengandung keberkahan dan membedakan puasa umat Islam dari puasa umat lain.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bersahurlah kalian, karena dalam sahur itu terdapat keberkahan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

3. Menjalankan Puasa

  • Waktu puasa: Dari terbit fajar (Subuh) hingga terbenam matahari (Maghrib).
  • Menahan diri dari:
    • Makan dan minum
    • Hubungan suami istri
    • Perbuatan yang membatalkan puasa
  • Menjaga pahala puasa dengan menghindari:
    • Perkataan kotor
    • Ghibah (menggunjing)
    • Dosa dan maksiat

4. Berbuka Puasa

  • Disunnahkan berbuka tepat waktu saat adzan Maghrib berkumandang.
  • Dianjurkan berbuka dengan kurma, jika tidak ada maka cukup dengan air.

Nabi ﷺ bersabda:
“Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Benar, puasa Ayyamul Bidh memiliki keutamaan yang sangat besar di sisi Allah ﷻ. Salah satu keutamaannya adalah mendapatkan pahala seperti berpuasa sepanjang tahun, sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih berikut:

Keutamaan Puasa Ayyamul Bidh

“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.”
(HR. Bukhari, no. 1979)

Hadis ini diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, dan menunjukkan bahwa siapa saja yang rutin melaksanakan puasa tiga hari dalam sebulan — termasuk Ayyamul Bidh — akan mendapatkan pahala seolah-olah berpuasa sepanjang tahun.

📌 Kenapa pahalanya seperti puasa setahun?

Karena dalam Islam, setiap amal kebaikan dibalas sepuluh kali lipat. Maka:

  • 3 hari x 10 = 30 hari
    → Seperti berpuasa 30 hari, atau satu bulan penuh.

Jika dilakukan setiap bulan, maka:

  • 12 bulan x 1 bulan = 12 bulan
    → Seperti berpuasa setahun penuh.

📅 Rutinitas Sunnah yang Ringan

Puasa Ayyamul Bidh adalah amalan ringan yang bisa dilakukan siapa saja, namun pahalanya sangat besar. Ini adalah salah satu bentuk amal yang Rasulullah ﷺ rutin lakukan, dan beliau tidak pernah meninggalkannya, bahkan saat safar jika memungkinkan.

Tata Cara Pembagian Daging Kurban untuk Fakir Miskin: Tuntunan Syariat dan Hikmah Sosialnya

Tata Cara Pembagian Daging Kurban untuk Fakir Miskin: Tuntunan Syariat dan Hikmah Sosialnya

Stylesphere – Pembagian daging kurban kepada fakir miskin merupakan bagian penting dalam pelaksanaan ibadah kurban yang tidak boleh diabaikan. Setiap Muslim yang berkurban wajib memahami dengan benar ketentuan syariat terkait distribusi daging agar ibadahnya sah dan berpahala.

Dalam Islam, memberikan daging kurban kepada kaum dhuafa bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan amanah ibadah yang mengandung nilai sosial tinggi. Tujuan utamanya adalah menebar keadilan sosial, mempererat ukhuwah islamiyah, serta menjadi sarana berbagi rezeki kepada mereka yang kurang mampu.

Ketentuan syariat menegaskan bahwa daging kurban hendaknya dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk diri sendiri dan keluarga, sepertiga untuk kerabat dan tetangga, serta sepertiga terakhir wajib diberikan kepada fakir miskin. Ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam pelaksanaan kurban di zamannya.

Pemahaman yang tepat tentang tata cara pembagian ini sangat penting agar ibadah kurban tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga membawa keberkahan sosial yang nyata. Sebab, melalui pembagian daging ini, semangat kepedulian dan solidaritas antarumat Islam semakin tumbuh kuat.

Beragam dalil dari Al-Qur’an dan hadits memperkuat pentingnya pembagian daging kepada yang membutuhkan. Salah satunya adalah firman Allah dalam Surah Al-Hajj ayat 28:

“Makanlah sebagian dari (daging kurban) itu dan berikanlah kepada orang yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta-minta.”

Dengan memahami dan mengamalkan ketentuan ini, ibadah kurban tidak hanya menjadi bentuk ketaatan kepada Allah, tetapi juga menjadi wasilah untuk memperkuat ikatan sosial di tengah masyarakat.

Berikut ini telah Anugerahslot rankum, penjelasan tentang ketentuan pembagian daging kurban untuk fakir miskin, termasuk dalil-dalil Al-Quran dan hadits yang mendasarinya, pada Senin (9/6).

Panduan Pembagian Daging Kurban Sunnah: Seimbangkan Hak Pribadi dan Kewajiban Sosial

Kurban sunnah adalah ibadah yang dilakukan secara sukarela oleh seorang Muslim, tanpa adanya nazar atau janji sebelumnya. Meski hukumnya tidak wajib, pelaksanaan kurban sunnah tetap memiliki aturan yang jelas dalam syariat, termasuk dalam hal pembagian daging kurban.

Dalam Islam, pembagian daging kurban sunnah dibagi menjadi tiga bagian yang proporsional dan adil:

  1. Sepertiga untuk dikonsumsi sendiri oleh orang yang berkurban dan keluarganya.
  2. Sepertiga wajib diberikan kepada fakir miskin.
  3. Sepertiga sisanya dapat disimpan atau disedekahkan kepada yang membutuhkan.

Pembagian ini mengandung hikmah sosial yang besar. Selain memberikan kesempatan kepada orang yang berkurban untuk merasakan nikmat dari ibadahnya, ketentuan ini juga memastikan bahwa manfaat kurban dirasakan secara luas oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang kurang mampu.

Tradisi pembagian daging dalam tiga bagian ini bukan sekadar budaya turun-temurun, melainkan ajaran yang dianjurkan oleh para ulama berdasarkan pemahaman mendalam terhadap dalil-dalil syar’i.

Dasar hukum dari pembagian ini salah satunya tercantum dalam Al-Qur’an, surah Al-Hajj ayat 28:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ
Artinya: “(Mereka berdatangan) agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah makan kepada orang yang sengsara lagi fakir.”

Ayat ini mengandung dua anjuran sekaligus: menikmati sebagian hasil kurban dan berbagi kepada yang membutuhkan. Inilah yang menjadikan pembagian daging kurban sebagai bentuk nyata kepedulian sosial yang diajarkan Islam.

Dengan mengikuti panduan ini, kurban sunnah tidak hanya menjadi ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga menjadi sarana mempererat solidaritas sosial dan menebar manfaat di tengah masyarakat.

Panduan Pembagian Daging Kurban Wajib: Seluruhnya untuk Fakir Miskin

Kurban wajib adalah ibadah yang harus dilaksanakan karena seseorang telah bernazar atau mengucapkan sumpah untuk melaksanakannya. Tidak seperti kurban sunnah, kurban wajib memiliki ketentuan pembagian yang lebih ketat dan mengikat.

Dalam kurban wajib, seluruh daging kurban harus diberikan kepada fakir miskin. Orang yang berkurban tidak diperbolehkan mengambil bagian sedikit pun, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun diberikan kepada keluarga atau kerabat. Semua hasil kurban, termasuk daging, kulit, dan bagian lainnya, disalurkan sepenuhnya kepada mereka yang berhak menerima.

Perbedaan ini menunjukkan tingkat komitmen yang lebih tinggi dalam pelaksanaan kurban wajib. Nazar dalam Islam merupakan janji yang diikrarkan kepada Allah SWT, dan karena itu harus dipenuhi secara sempurna, tanpa ada pengurangan dalam bentuk apa pun.

Hukum dan Dalil Nazar

Dalam Islam, nazar adalah janji atau ikrar yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui suatu amal ibadah. Jika nazar itu menyangkut kurban, maka pelaksanaannya menjadi wajib.

Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang bernazar untuk menaati Allah, maka hendaklah ia menaati-Nya, dan barang siapa yang bernazar untuk maksiat, maka janganlah ia melakukannya.”
(HR. Bukhari, no. 6696)

Hadis ini menegaskan bahwa nazar untuk melakukan kebaikan seperti berkurban wajib dipenuhi. Karena itu, pelaksanaan dan distribusi daging kurban wajib tidak boleh dikurangi atau dimanfaatkan oleh pihak yang berkurban.

Kesimpulan

Kurban wajib bukan sekadar ritual, melainkan bentuk ketaatan total terhadap janji kepada Allah. Dengan menyerahkan seluruh daging kepada fakir miskin, pelaksana kurban menunjukkan keikhlasan dalam menunaikan nazar dan meneguhkan nilai-nilai kepedulian sosial dalam Islam.

Mengapa Daging Kurban Harus Dibagikan dalam Bentuk Segar, Bukan Masakan?

Dalam pelaksanaan ibadah kurban, terdapat aturan syariat yang harus diperhatikan, salah satunya adalah ketentuan pembagian daging kurban dalam bentuk mentah atau segar, bukan dalam bentuk masakan. Ini merupakan perbedaan mendasar antara kurban dan akikah, di mana pada akikah justru dianjurkan untuk dibagikan dalam bentuk masakan.

Pembagian daging kurban dalam bentuk segar bertujuan memberikan keleluasaan kepada fakir miskin sebagai penerima untuk mengolah daging sesuai kebutuhan, selera, dan situasi keluarga masing-masing. Mereka bisa langsung memasaknya, menyimpannya, atau mengelolanya sesuai kondisi mereka.

Hikmah di Balik Ketentuan Ini

Islam sangat memperhatikan aspek kebebasan dan kenyamanan penerima dalam mengelola pemberian. Daging kurban yang dibagikan dalam bentuk mentah:

  • Dapat disimpan untuk waktu yang lebih lama,
  • Lebih fleksibel dalam pengolahan,
  • Menunjukkan rasa empati terhadap kondisi ekonomi mereka.

Penjelasan Ulama

Para ulama telah menegaskan larangan membagikan daging kurban dalam bentuk makanan matang. Hal ini dijelaskan dalam kitab Fathul Mujîbil Qarîb:

ويطعم وجوبا من أضحية التطوع الفقراء والمساكين على سبيل التصدق بلحمها نيئا، فلا يكفي جعله طعاما مطبوخا ودعاء الفقراء إليه ليأكلوه، والأفضل التصدق بجميعها إلا لقمة أو لقمتين أو لقما.

“Orang yang berkurban wajib memberikan sebagian hewan kurban sunnah kepada fakir miskin dalam bentuk daging mentah sebagai sedekah. Tidak cukup (tidak sah) jika daging itu dimasak dan orang miskin diundang untuk memakannya. Yang paling utama adalah menyedekahkan seluruh daging, kecuali satu atau dua suap untuk diri sendiri.”

Kesimpulan

Ketentuan pembagian daging kurban dalam bentuk segar bukan sekadar aturan teknis, tetapi mencerminkan prinsip kemuliaan dan keadilan dalam syariat Islam. Daging kurban adalah amanah untuk disalurkan kepada mereka yang berhak, dan cara penyalurannya pun harus sesuai tuntunan agar ibadah kurban menjadi sah dan berpahala.

Etika Pembagian Daging Kurban: Memuliakan Penerima, Menjaga Amanah

Dalam Islam, pembagian daging kurban bukan sekadar kegiatan distribusi, melainkan bagian dari ibadah yang sarat nilai adab, etika, dan kepedulian sosial. Setiap Muslim yang berkurban wajib memahami bahwa proses ini harus dilakukan dengan cara yang menjaga kehormatan penerima, bukan dengan sikap merendahkan atau merasa lebih tinggi.

1. Menjaga Martabat Penerima

Pembagian daging kurban harus dilakukan dengan sikap rendah hati dan niat tulus. Jangan sampai penerima merasa dipermalukan, apalagi dianggap sebagai objek belas kasihan. Islam mengajarkan bahwa berkurban adalah bentuk penghambaan kepada Allah, bukan untuk pamer atau riya.

2. Prioritas Penerima

Mereka yang berhak menerima daging kurban diutamakan adalah:

  • Fakir miskin
  • Janda
  • Anak yatim
  • Keluarga yang sedang kesulitan ekonomi

Namun, tetangga dan kerabat juga boleh diberi bagian sebagai bentuk silaturahmi, meskipun tidak tergolong fakir miskin.

3. Waktu dan Cara Pembagian

Agar daging sampai dalam kondisi layak konsumsi:

  • Segera distribusikan setelah penyembelihan dan pemotongan.
  • Jika harus disimpan, pastikan menggunakan metode pengawetan yang benar (misalnya pendinginan).
  • Jangan menunda hingga daging tidak lagi segar atau menimbulkan risiko kesehatan.

4. Kurban: Amanah, Bukan Sekadar Tradisi

Pembagian daging kurban merupakan bagian integral dari pelaksanaan ibadah kurban itu sendiri. Ketentuannya jelas:

  • Kurban sunnah: daging dibagi tiga bagian (untuk diri, fakir miskin, dan sedekah).
  • Kurban wajib (karena nazar): seluruh daging wajib disedekahkan, dan pelaku kurban tidak boleh mengambil bagian apa pun.

Penutup

Dengan memahami dan menerapkan tata cara serta etika pembagian daging kurban, seorang Muslim telah menunjukkan kepatuhan terhadap syariat sekaligus empati terhadap sesama. Ibadah kurban pun menjadi lebih bermakna, bukan hanya di mata Allah, tetapi juga bagi kehidupan sosial masyarakat.

Bolehkah Daging Kurban Dijadikan Sajian Walimah? Ini Penjelasan Syariatnya

Bolehkah Daging Kurban Dijadikan Sajian Walimah? Ini Penjelasan Syariatnya

StylesphereWalimah merupakan bentuk syiar dan ungkapan rasa syukur dalam Islam yang dilakukan setelah akad pernikahan. Tujuan utamanya adalah untuk mengumumkan pernikahan secara terbuka, mempererat tali silaturahmi, serta berbagi kebahagiaan dengan orang-orang sekitar.

Rasulullah SAW menganjurkan pelaksanaan walimah, bahkan meskipun hanya dengan seekor kambing. Hal ini menegaskan bahwa walimah tak harus digelar dengan kemewahan, namun lebih pada makna dan keberkahan yang menyertainya.

Berbarengan dengan bulan Dzulhijjah, umat Islam juga menjalankan ibadah kurban, yakni menyembelih hewan tertentu untuk kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin dan masyarakat sekitar.

Namun, muncul pertanyaan: bolehkah menggunakan daging kurban sebagai sajian untuk acara walimah?

Pertanyaan ini cukup penting, mengingat niat utama dari ibadah kurban adalah ibadah murni yang diperuntukkan bagi Allah SWT dan disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak.

Menurut ulasan dari NU Online kepada Anugerahslot hari Sabtu (7/6/2025), terdapat penjelasan dalam literatur fikih yang menyebutkan bahwa daging kurban tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi pribadi atau dijadikan jamuan dalam acara pribadi seperti walimah, jika hewan tersebut merupakan kurban wajib atau nadzar.

Namun, jika hewan kurban tersebut berstatus sunah (bukan nadzar), maka boleh saja sebagian dagingnya dimanfaatkan untuk keperluan pribadi, termasuk disajikan dalam acara walimah, dengan syarat utama bahwa sebagian besar daging tetap dibagikan kepada mereka yang berhak menerima.

Kesimpulannya, penggunaan daging kurban untuk sajian walimah diperbolehkan selama kurbannya bukan nadzar dan pembagian daging kepada kaum dhuafa tetap diutamakan. Hal ini tetap sejalan dengan esensi kurban sebagai ibadah sosial dan bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Hukum Walimah dan Bolehkah Menggunakan Daging Kurban untuk Jamuan?

Dalam ajaran Islam, walimah merupakan bentuk syiar dan ungkapan syukur yang dilakukan setelah akad pernikahan. Selain menjadi tanda pengumuman kepada masyarakat luas, walimah juga menjadi momen untuk mempererat tali silaturahmi dan berbagi kebahagiaan bersama.

Nabi Muhammad SAW pun menganjurkan umatnya untuk mengadakan walimah, sebagaimana tergambar dalam hadis dari sahabat Anas RA, saat beliau menyampaikan perintah kepada Abdurrahman bin Auf:

“Dari sahabat Anas, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW melihat bekas warna kuning pada tubuh Abdurrahman bin Auf, lalu beliau bertanya: ‘Apa ini?’ Abdurrahman menjawab: ‘Saya baru menikah dengan seorang perempuan dengan mahar seberat biji emas.’ Nabi bersabda: ‘Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing.'” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini sering dijadikan dasar oleh sebagian ulama bahwa walimah hukumnya wajib. Namun, menurut pendapat yang lebih kuat (adzhar), hukum walimah adalah sunnah muakkadah—artinya sangat dianjurkan.

Hal ini dijelaskan dalam kitab Kifayatul Akhyar, karya Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hishni, sebagai berikut:

“Pendapat yang lebih kuat adalah yang ditegaskan oleh Imam Abu Ishaq As-Syirazi, bahwa walimah hukumnya sunnah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW: ‘Tidak ada hak dalam harta kecuali zakat.’ Selain itu, karena walimah merupakan bentuk hidangan yang tidak khusus untuk orang miskin, maka hukumnya menyerupai ibadah kurban (udhiyah) dan dapat dianalogikan dengan berbagai jenis jamuan lainnya. Maka, hadis tentang perintah Nabi dalam walimah Abdurrahman bin Auf dipahami sebagai bentuk penekanan terhadap kesunnahan tersebut.” (Kifayatul Akhyar, hal. 374)

Bolehkah Menggunakan Daging Kurban untuk Jamuan Walimah?

Terkait penggunaan daging kurban dalam walimah, perlu dilihat dari jenis kurban yang dilakukan:

  • Jika kurban tersebut adalah kurban wajib atau nadzar, maka dagingnya tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, termasuk untuk jamuan walimah.
  • Namun jika kurbannya bersifat sunah (udhiyah biasa), maka boleh menggunakan sebagian dagingnya untuk keperluan pribadi, termasuk sebagai sajian dalam acara walimah, selama tetap membagikan sebagian besar daging kepada yang berhak menerimanya.

Dengan demikian, menyajikan hidangan walimah dari daging kurban diperbolehkan dalam Islam, asalkan kurbannya bukan nadzar dan hak mustahik tetap terpenuhi.

Bolehkah Menggunakan Daging Kurban sebagai Sajian Walimah?

Dalam Islam, walimatul ‘ursy merupakan sunnah yang dianjurkan sebagai bentuk pengumuman pernikahan, rasa syukur, dan sarana berbagi kebahagiaan. Rasulullah SAW sendiri memerintahkan Abdurrahman bin Auf untuk mengadakan walimah meskipun hanya dengan seekor kambing, sebagaimana dalam hadis sahih yang telah disebutkan sebelumnya.

Hadis tersebut menunjukkan bahwa menyajikan makanan kepada para tamu walimah, meskipun sederhana, tetap memiliki nilai ibadah. Namun, muncul pertanyaan: bolehkah menyajikan daging kurban sebagai hidangan walimah, dengan alasan agar lebih efisien dan mendapatkan dua pahala sekaligus—kurban dan walimah?

Penjelasan Ulama: Daging Kurban Harus Dibagikan dalam Keadaan Mentah

Pertanyaan ini telah dijawab oleh para ulama, di antaranya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, seorang ulama mazhab Syafi’i yang otoritatif. Dalam penjelasannya, beliau menyatakan bahwa:

Daging hewan kurban wajib dibagikan kepada fakir miskin dalam kondisi mentah, bukan dalam bentuk makanan siap santap.

Artinya, meskipun kurban merupakan ibadah sedekah berupa daging, syarat sahnya adalah diserahkan dalam bentuk daging mentah kepada para mustahik. Fakir miskin sebagai penerima daging kurban berhak mengelola dan memanfaatkannya sendiri, termasuk jika mereka ingin memasak atau menjualnya. Namun, pihak yang berkurban tidak diperkenankan mengolahnya terlebih dahulu untuk disajikan kepada mereka.

Dengan demikian, menyajikan daging kurban yang telah dimasak sebagai hidangan walimah tidak diperbolehkan menurut ketentuan fiqih. Hal ini karena:

  1. Walimah berarti menyajikan makanan siap santap kepada tamu.
  2. Kurban (udhiyah) mewajibkan pembagian daging mentah kepada fakir miskin sebagai bentuk sedekah.

Kesimpulan

Menggabungkan dua ibadah — kurban dan walimah — dalam bentuk menyajikan daging kurban yang sudah dimasak untuk walimah tidak dibenarkan menurut syariat. Masing-masing memiliki prinsip dan aturan tersendiri:

  • Kurban: daging dibagikan dalam keadaan mentah, khususnya kepada fakir miskin.
  • b

Jika ingin tetap melaksanakan kedua ibadah ini, maka solusi terbaik adalah:

✅ Menyajikan makanan dari sumber lain (bukan daging kurban) untuk acara walimah.
✅ Sementara daging kurban tetap dibagikan dalam bentuk mentah sesuai tuntunan syariat.

Dengan demikian, kedua ibadah bisa dijalankan secara sah dan memperoleh keberkahan maksimal.

Mengapa Umat Islam Dilarang Puasa di Hari Tasyrik Dzulhijjah 2025?

Mengapa Umat Islam Dilarang Puasa di Hari Tasyrik Dzulhijjah 2025?

StylesphereDzulhijjah merupakan salah satu dari empat bulan mulia (asyhurul hurum) yang dimuliakan Allah SWT. Ketika memasuki bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan ibadah, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Salah satu amalan utama yang dianjurkan adalah puasa sunnah di awal bulan Dzulhijjah, khususnya dari tanggal 1 hingga 9. Tanggal 9 Dzulhijjah dikenal sebagai Hari Arafah, yang memiliki keutamaan besar bagi umat Islam yang tidak sedang menunaikan ibadah haji.

Namun, penting untuk diketahui bahwa tidak semua hari di bulan Dzulhijjah dianjurkan untuk berpuasa. Ada tiga hari penting dalam bulan ini yang justru dilarang untuk berpuasa, yaitu hari-hari tasyrik yang jatuh pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.

Apa Itu Hari Tasyrik?

Hari tasyrik adalah tiga hari setelah Idul Adha (10 Dzulhijjah) yang juga termasuk dalam waktu penyembelihan hewan kurban. Artinya, ibadah kurban tidak terbatas pada hari raya saja, tetapi dapat dilakukan hingga hari tasyrik terakhir (13 Dzulhijjah).

Mengapa Dilarang Berpuasa?

Larangan berpuasa pada hari tasyrik didasarkan pada sabda Rasulullah SAW:

“Hari-hari tasyrik adalah hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah.”
(HR. Muslim)

Hari-hari ini merupakan momen bersyukur atas nikmat Allah, terutama setelah pelaksanaan ibadah haji dan kurban. Karenanya, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak dzikir, makan, dan minum, bukan menahan diri seperti dalam ibadah puasa.

Kesimpulan

Meskipun awal Dzulhijjah sangat dianjurkan untuk berpuasa, umat Islam harus menghindari puasa pada hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah). Sebab, hari-hari ini adalah waktu untuk menikmati rezeki dari Allah, memperkuat ukhuwah, serta mengisi hari dengan dzikir dan rasa syukur.

Mengapa Dilarang Puasa di Hari Tasyrik Setelah Idul Adha?

Tiga hari setelah Idul Adha, atau dikenal sebagai hari-hari tasyrik, menjadi waktu yang istimewa bagi umat Islam. Di masa ini, daging kurban masih banyak dibagikan dan diolah menjadi berbagai hidangan lezat oleh masyarakat. Inilah salah satu alasan mengapa umat Islam dilarang berpuasa pada hari-hari tersebut.

Apa Itu Hari Tasyrik?

Hari tasyrik adalah tiga hari setelah Hari Raya Idul Adha, yakni tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Menurut para ulama bahasa dan fiqih, disebut tasyrik karena pada masa itu daging kurban dijemur di bawah sinar matahari untuk diawetkan, dalam bentuk dendeng atau semacamnya.

Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah disebutkan:

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ … سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لأَنَّ لُحُومَ الأَضَاحِيِّ تُشَرَّقُ فِيهَا، أَيْ تُقَدَّدُ فِي الشَّمْسِ
“Hari tasyrik menurut ahli bahasa dan fiqih adalah tiga hari setelah hari kurban. Dinamakan tasyrik karena daging kurban didendeng (dipanaskan di bawah terik matahari) pada hari-hari itu.”
(Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah 320, dikutip via NU Online Jatim)

Dalil Larangan Puasa di Hari Tasyrik

Larangan untuk berpuasa pada hari tasyrik juga disebutkan dalam hadits shahih:

عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ … لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدْ الْهَدْيَ
“Diriwayatkan dari Aisyah dan dari Salim dari Ibn Umar, keduanya berkata, tidak diberi keringanan untuk berpuasa di hari tasyrik kecuali bagi mereka yang tidak memiliki hewan kurban (hadyu).”
(HR. Bukhari No. 1859)

Hikmah di Balik Larangan

Hari tasyrik adalah waktu untuk makan, minum, dan berdzikir kepada Allah, sebagai bentuk syukur atas nikmat-Nya. Oleh karena itu, bukan hanya ibadah kurban yang diperbolehkan hingga hari tasyrik terakhir, tapi umat Islam juga didorong untuk menikmati rezeki yang telah diberikan, bukan menahan diri dengan puasa.

Kesimpulan:
Puasa di hari tasyrik dilarang karena bertentangan dengan semangat hari-hari tersebut yang dipenuhi rasa syukur dan kebersamaan. Kecuali dalam kondisi khusus seperti bagi jamaah haji yang tidak mendapatkan hewan kurban, puasa tetap tidak dianjurkan.

Jika Anda ingin versi artikel ini dijadikan infografis, teks khutbah, atau konten edukatif digital, saya siap bantu buatkan.

Mengapa Umat Islam Dilarang Puasa di Hari Tasyrik?

Hari Tasyrik—yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah—merupakan bagian dari rangkaian perayaan Idul Adha yang dimuliakan dalam Islam. Selain sebagai waktu untuk menyembelih dan membagikan daging kurban, hari-hari ini juga secara tegas disebut sebagai hari makan dan minum, bukan hari untuk berpuasa.

Dalil Larangan Puasa di Hari Tasyrik

Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:

عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Dari Nubaishah, ia berkata, Rasulullah bersabda: Hari-hari tasyrik adalah hari makan dan minum.”
(HR. Muslim No. 1141)

Makna dari hadis ini menegaskan bahwa hari-hari tasyrik bukanlah waktu untuk menahan diri dari makan dan minum, sebagaimana yang dilakukan dalam puasa. Sebaliknya, umat Islam didorong untuk menikmati rezeki dari Allah sebagai bentuk syukur.

Pengumuman Langsung dari Rasulullah ﷺ

Diperkuat lagi dalam riwayat lain dari Musnad Ahmad:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُذَافَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يُنَادِيَ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Dari Abdullah bin Hudzafah, sesungguhnya Nabi Muhammad ﷺ memerintahkannya untuk menyerukan bahwa hari-hari tasyrik adalah hari makan dan minum.”
(HR. Ahmad)

Dalam Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi menegaskan bahwa hadis-hadis ini menjadi dalil kuat atas larangan puasa pada hari-hari tasyrik.

Hikmah Larangan Puasa

Alasan dilarangnya puasa di hari tasyrik tidak hanya karena adanya larangan langsung dari Nabi ﷺ, tetapi juga karena hari-hari tersebut merupakan perpanjangan dari Idul Adha. Pada masa ini:

  • Daging kurban masih dalam proses pembagian.
  • Banyak keluarga mengolah daging menjadi hidangan lezat.
  • Umat Islam dianjurkan untuk bersyukur dan berbagi kebahagiaan dengan makan bersama.

Dengan demikian, hari tasyrik adalah momen untuk memperkuat rasa syukur, kebersamaan, dan kegembiraan, bukan waktu untuk menahan diri dari makan dan minum.

Mandi Sunnah Idul Adha: Amalan Penting Sebelum Sholat Hari Raya

Mandi Sunnah Idul Adha: Amalan Penting Sebelum Sholat Hari Raya

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu momen penting dalam kalender ibadah umat Islam. Setiap 10 Dzulhijjah, umat Muslim di seluruh dunia merayakan hari besar ini dengan berbagai bentuk ibadah, mulai dari sholat Idul Adha hingga penyembelihan hewan kurban. Bagi sebagian umat, hari tersebut juga bertepatan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci.

Namun, di antara amalan-amalan utama tersebut, ada satu sunnah yang kerap dilupakan: mandi sunnah Idul Adha.

Makna dan Keutamaan Mandi Sunnah di Hari Raya

Mandi sunnah sebelum sholat Idul Adha bukan hanya soal kebersihan fisik, melainkan juga simbol penyucian diri secara spiritual. Tradisi ini telah lama dilakukan oleh para ulama dan merupakan bentuk penghormatan terhadap hari raya Islam yang penuh berkah dan ampunan.

Dalam literatur klasik Islam, mandi ini termasuk dalam daftar mandi yang disunnahkan (mandi mustahabb), sebagaimana juga dianjurkan pada Hari Raya Idul Fitri.

Niat Mandi Sunnah Idul Adha

Niat adalah elemen penting dalam setiap ibadah. Berikut lafaz niat mandi sunnah Idul Adha:

Niat dalam bahasa Arab:
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِعِيْدِ الأَضْحَى سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى

Artinya:
“Aku niat mandi sunnah Idul Adha karena Allah Ta’ala.”

Waktu yang Dianjurkan

Waktu terbaik untuk melaksanakan mandi sunnah Idul Adha adalah pagi hari sebelum berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Idul Adha. Mandi sebaiknya dilakukan setelah fajar dan sebelum sholat agar sesuai dengan tuntunan sunnah.

Panduan Lengkap Mandi Sunnah Idul Adha, Berdasarkan Rujukan Ulama

Artikel ini disusun pada Kamis, 5 Juni 2025 oleh Anugerahslot sebagai referensi inspiratif bagi Anda yang ingin menyambut Hari Raya Idul Adha dengan lebih maksimal dan bermakna, sesuai sunnah Rasulullah SAW.

Rujukan Ulama: Mandi Sunnah Hari Raya

Dalam sebuah artikel yang dimuat NU Online pada Kamis (05/06/2025), dijelaskan bahwa mandi sunnah Idul Adha merupakan bagian dari ajaran yang dianjurkan oleh para ulama klasik. Salah satu referensi utamanya adalah kitab Hasyiyah al-Bajuri karya Syekh Ibrahim al-Bajuri.

Dalam kitab tersebut, disebutkan:

غسل العيدين الفطر والاضحى
Artinya: “Dan mandi pada dua hari raya, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.”
(Hasyiyah al-Bajuri, Jilid 1, Dar al-Minhaj, 2016)

Pernyataan ini menguatkan bahwa mandi pada hari raya bukan hanya soal kebersihan fisik, tetapi juga bagian dari ibadah dengan dasar fiqih yang kuat. Tentunya, niat khusus menjadi syarat penting agar mandi ini sah sebagai mandi sunnah Idul Adha.

Lafal Niat Mandi Sunnah Idul Adha

Untuk meraih pahala ibadah secara sempurna, berikut adalah lafal niat mandi sunnah Idul Adha:

Arab:
نَوَيْتُ سُنَّةَ الْغُسْلِ لِعِيْدِ الْأَضْحَى

Latin:
Nawaitu sunnatal ghusli li ‘Idil Adlha

Artinya:
“Saya niat sunnah mandi untuk Hari Raya Idul Adha.”

Waktu Pelaksanaan Mandi Idul Adha

Mandi sunnah Idul Adha bisa dilakukan sejak tengah malam menjelang 10 Dzulhijjah. Namun, waktu terbaiknya adalah setelah masuk waktu Subuh dan sebelum pelaksanaan shalat Id.

⚠️ Catatan penting:
Jika mandi dilakukan sebelum tengah malam, maka tidak dihitung sebagai mandi Idul Adha. Oleh karena itu, sangat penting memperhatikan waktu pelaksanaannya agar ibadah ini sah dan berpahala.

Keutamaan Mandi Sunnah Idul Adha bagi Seluruh Kalangan

Mandi sunnah Idul Adha adalah amalan yang disyariatkan bagi semua kalangan umat Islam—baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Bahkan, anak-anak pun dianjurkan untuk ikut serta melakukannya sebagai bentuk pengenalan sejak dini terhadap nilai-nilai ibadah dalam Islam.

Menariknya, sunnah ini tetap berlaku bagi mereka yang tidak dapat menunaikan shalat Id karena alasan syar’i, seperti sedang haid, nifas, atau uzur lainnya. Mandi tetap bisa dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap hari besar umat Islam.

Lebih dari Sekadar Bersih-Bersih

Mandi sunnah pada pagi hari raya bukan semata soal kebersihan jasmani, tetapi mencerminkan kesucian lahir dan batin dalam menyambut momen agung. Sebagaimana jamaah haji disunnahkan mandi sebelum wukuf di Arafah, umat Muslim di kampung halaman pun dianjurkan menyambut Idul Adha dengan mandi sunnah—sebagai simbol kesiapan diri dalam beribadah dan memuliakan hari raya.

Menyucikan Diri Sebelum Shalat Id

Meski terkesan ringan, amalan mandi sunnah ini membawa pesan spiritual yang mendalam. Ia menjadi pengantar kesucian diri sebelum berdiri bersama umat Muslim lainnya dalam shalat Idul Adha, yang penuh kekhusyukan dan kebersamaan. Mandi menjadi bagian dari persiapan batin yang menyeluruh, menyambut hari yang penuh rahmat dan ampunan dari Allah SWT.

Mengawali Hari Raya dengan Keberkahan

Tak ada salahnya meluangkan waktu di pagi Hari Raya untuk menunaikan mandi sunnah. Amalan sederhana ini bisa menjadi penyempurna ibadah, sekaligus pembuka pintu keutamaan dari Allah. Dengan menyambut Idul Adha dalam keadaan bersih, suci, dan semangat ibadah yang tinggi, kita berharap dapat meraih keberkahan berlimpah—termasuk dalam menjalani hari-hari tasyrik yang menyusul setelahnya.

Makna dan Penulisan yang Benar dari Ucapan “Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin”

Makna dan Penulisan yang Benar dari Ucapan “Minal Aidin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin”

Stylesphere – Setiap kali Idul Fitri tiba, umat Islam di Indonesia selalu saling mengucapkan “Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin”. Ucapan ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi perayaan Hari Raya, setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Namun, meskipun sudah sangat akrab di telinga, tak sedikit Muslim yang belum memahami arti dan penulisan yang benar dari ucapan ini, terutama dalam konteks bahasa Arab yang tepat. Memahami maknanya secara mendalam akan menambah kekhusyukan dalam menyampaikan doa dan harapan kepada sesama.

Mari kita pelajari bersama agar pemahaman kita tentang minal aidin wal faizin mohon maaf lahir dan batin arti dan bahasa arab menjadi lebih komprehensif dan benar. Berikut ini telah Anugerahslot rangkum secara lengkap mengenai minal aidin wal faizin mohon maaf lahir dan batin arti dan bahasa arab, mulai dari penulisan yang benar, hingga sejarah di balik ucapan yang populer ini, pada Kamis (5/6).tulis ulang artikel:

Penulisan dan Arti “Minal Aidin Wal Faizin”

Dalam bahasa Arab, ucapan ini ditulis sebagai:

مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ

Artinya secara harfiah adalah:
“Termasuk orang-orang yang kembali (kepada kesucian/fitrah) dan memperoleh kemenangan.”

Ucapan ini merupakan bentuk doa, bukan kalimat sapaan biasa. Biasanya, kalimat ini diucapkan sebagai bentuk harapan agar seseorang tergolong ke dalam orang-orang yang kembali suci setelah Ramadan (‘aidin) dan termasuk orang-orang yang menang atas hawa nafsu dan dosa-dosa (faizin).

Mohon Maaf Lahir dan Batin

Ucapan ini merupakan tambahan dari tradisi masyarakat Indonesia, yang bertujuan untuk saling memaafkan kesalahan, baik yang tampak (lahir) maupun yang tersembunyi dalam hati (batin). Kalimat ini tidak berasal dari bahasa Arab, tetapi menjadi pelengkap yang memperkuat nilai silaturahmi dan saling memaafkan di Hari Raya.

Sejarah Singkat Penggunaan Ucapan Ini

Ucapan “Minal aidin wal faizin” tidak ditemukan secara langsung dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi sebagai bentuk salam Idul Fitri. Namun, ucapan ini sudah lama digunakan dalam budaya Islam, terutama di kawasan Timur Tengah, dan menyebar luas ke berbagai negara Muslim, termasuk Indonesia.

Meskipun tidak bersumber dari teks syariat, ucapan ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, karena maknanya tetap positif dan sesuai dengan semangat Idul Fitri: kembali ke fitrah dan meraih kemenangan.

Dengan memahami arti, asal-usul, dan penulisan yang benar, kita dapat menyampaikan ucapan Idul Fitri dengan lebih bermakna. Jadi, saat Anda mengucapkan “Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin”, ketahuilah bahwa Anda sedang mendoakan kebaikan dan kemenangan spiritual bagi sesama.

Selamat Idul Fitri! 🌙
Semoga kita semua kembali suci dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Penulisan yang Benar “Minal Aidin Wal Faizin” dan Artinya

Ucapan “Minal ‘aidin wal faizin” sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi umat Islam di Indonesia saat merayakan Idul Fitri. Meski telah sering diucapkan, ternyata masih banyak yang keliru dalam penulisan dan pengucapannya.

✅ Penulisan yang Benar

Tulisan Arab:
مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ

Tulisan Latin (sesuai kaidah transliterasi):
Minal ‘āidīn wal fāizīn

Artinya:
“(Semoga kita semua) tergolong orang-orang yang kembali (ke fitrah) dan meraih kemenangan (dengan keberhasilan ibadah dan ampunan Allah).”

Ucapan ini bukan hanya basa-basi Idul Fitri, melainkan sebuah doa yang mendalam.

⚠️ Kesalahan Umum

Banyak orang masih menuliskan dan melafalkan kalimat ini secara keliru, seperti:

  • Aidzin atau aidhin
    Seharusnya: ‘Aidin
  • Faidzin atau faidhin
    Seharusnya: Faizin

Kesalahan ini terjadi karena ketidaktahuan bahwa kata ‘aidin berasal dari kata Arab yang memakai huruf ‘ain (ع), bukan alif (أ). Oleh karena itu, tanda apostrof (‘) dalam transliterasi menunjukkan kehadiran huruf ‘ain, yang memiliki makna dan pelafalan tersendiri dalam bahasa Arab.

🕋 Versi Lengkap Ucapan

Tulisan Arab Lengkap:
جَعَلَنَا اللَّهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِينَ وَالْفَائِزِينَ

Tulisan Latin:
Ja‘alanallāhu wa iyyākum minal ‘āidīn wal fāizīn

Artinya:
“Semoga Allah menjadikan kami dan kalian termasuk orang-orang yang kembali (kepada fitrah) dan memperoleh kemenangan.”

Ucapan ini bersifat doa dan biasanya diiringi dengan kalimat tambahan “Mohon maaf lahir dan batin” sebagai bentuk saling memaafkan antar sesama Muslim.

Makna Mendalam Ucapan “Minal ‘Aidin wal Faizin” Saat Idul Fitri

Setiap kali Idul Fitri tiba, umat Islam di Indonesia kerap mengucapkan, “Minal ‘Aidin wal Faizin.” Ucapan ini tidak sekadar tradisi, tetapi mengandung makna spiritual yang dalam. Agar tidak hanya menjadi rutinitas, penting bagi kita untuk memahami arti sebenarnya dari kalimat tersebut.

Arti Kata “Minal ‘Aidin”

Kata ‘Aidin berasal dari bahasa Arab ‘aada (عاد) yang berarti kembali. Dalam konteks Idul Fitri, makna “kembali” merujuk pada kembalinya seorang Muslim kepada fitrah, yaitu kesucian jiwa sebagaimana saat diciptakan. Setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh, umat Islam diharapkan kembali menjadi pribadi yang bersih, penuh kejujuran, kasih sayang, dan kebaikan.

Arti Kata “Wal Faizin”

Sementara itu, Faizin berasal dari kata fawz (فَوْز) yang berarti kemenangan, keberuntungan, atau keberhasilan. Dalam konteks Ramadan dan Idul Fitri, kemenangan ini mengandung arti spiritual: seseorang yang berhasil melalui ujian puasa, menahan hawa nafsu, memperbanyak ibadah, dan meraih ampunan serta keridaan Allah SWT.

Pandangan Ulama: Kembali ke Fitrah

Dalam bukunya Lentera Hati, Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa makna “kembali” dalam Idul Fitri bukan sekadar kembali secara fisik, melainkan kembali kepada jati diri manusia yang sejati—yakni fitrah yang bersih dari dosa dan penuh dengan nilai-nilai luhur seperti kebaikan, kejujuran, kemuliaan, dan persaudaraan.

Makna Kemenangan Setelah Ramadan

Kemenangan yang diraih dalam Ramadan bukanlah kemenangan duniawi, melainkan keberhasilan rohani yang meliputi:

  • Mampu mengendalikan hawa nafsu
  • Menahan diri dari lapar dan haus sebagai bentuk ketundukan pada perintah Allah
  • Meningkatkan ketakwaan dan kedekatan kepada Sang Pencipta
  • Menjadi pribadi yang lebih baik, layak berharap pada kenikmatan surga di akhirat

Asal Usul dan Makna Mendalam “Minal ‘Aidin wal Faizin”

Ucapan “Minal ‘Aidin wal Faizin” telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Idul Fitri di Indonesia. Namun, tahukah Anda bahwa ungkapan ini memiliki sejarah panjang dan makna yang dalam, baik dari sisi budaya maupun spiritual? Berikut penjelasan lengkap mengenai asal usul, makna, serta penggunaannya di Indonesia.

1. Berasal dari Syair Andalusia

Menurut kitab Dawārin asy-Syi’ri al-‘Arabī ‘alā Marril-‘Uṣūr, ungkapan ini pertama kali muncul dalam lantunan syair Arab di masa kejayaan Andalusia (Spanyol Muslim). Seorang penyair bernama Shafiyuddin al-Huli menulis bait:

Ja‘alnā minal ‘āidin wal fāizin
Artinya: “Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang kembali (ke fitrah) dan meraih kemenangan.”

Syair ini menggambarkan kegembiraan kaum wanita pada hari raya dan menjadi salah satu ekspresi kegembiraan dan doa.

2. Kaitan dengan Perang Badar

Ucapan ini juga memiliki akar sejarah dalam peristiwa besar umat Islam, yakni Perang Badar, yang terjadi pada 17 Ramadan tahun 2 Hijriah. Setelah kemenangan besar dalam perang tersebut, kaum Muslimin merayakan Idul Fitri pertama mereka pada tahun 624 Masehi. Dalam suasana penuh syukur dan haru, ungkapan “Minal ‘Aidin wal Faizin” digunakan sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur atas kemenangan tersebut.

3. Populer Lewat Lagu di Indonesia

Di Indonesia, ucapan ini mulai populer pada dekade 1990-an, terutama melalui sebuah lagu lebaran yang liriknya berbunyi:

Minal aidin wal faizin, maafkan lahir dan batin.
Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin.

Lagu ini dengan cepat diterima masyarakat dan menjadi bagian dari tradisi ucapan Lebaran hingga hari ini.

4. Beda dengan “Mohon Maaf Lahir dan Batin”

Banyak orang menyamakan ucapan “Minal ‘Aidin wal Faizin” dengan “Mohon maaf lahir dan batin”, padahal keduanya memiliki makna berbeda:

  • Minal ‘Aidin wal Faizin: doa spiritual agar menjadi orang yang kembali ke kesucian dan meraih kemenangan di sisi Allah.
  • Mohon Maaf Lahir dan Batin: permintaan maaf atas kesalahan yang disengaja maupun tidak, baik secara fisik (lahir) maupun batiniah.

Meskipun berbeda, kedua ucapan ini sering digabungkan dalam tradisi Lebaran di Indonesia, membentuk sapaan khas Idul Fitri yang penuh makna dan kehangatan.

Ucapan Tradisional Sahabat Nabi Saat Idul Fitri

Dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri, umat Islam di Indonesia umumnya menggunakan ungkapan seperti “Minal ‘Aidin wal Faizin” dan “Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Namun, jika kita menengok ke masa sahabat Nabi Muhammad SAW, terdapat ucapan tradisional yang lebih otentik dan sarat makna, yaitu:

🌿 Ucapan Sahabat Nabi:

Tulisan Arab:
‏تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تَقَبَّلْ يَا كَرِيْمُ، وَجَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ وَالْمَقْبُوْلِيْنَ كُلُّ عَامٍّ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ

Tulisan Latin:
Taqabbalallāhu minnā wa minkum taqabbal yā Karīm, wa ja‘alanallāhu wa iyyākum minal ‘āidin wal fāizin wal maqbūlīn. Kullu ‘ām wa antum bi khair.

Artinya:
“Semoga Allah menerima (amal ibadah Ramadan) kami dan kamu. Wahai Allah Yang Maha Mulia, terimalah! Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali (fitrah), menang (meraih keberhasilan), dan diterima (amal ibadahnya). Semoga setiap tahun engkau dalam kebaikan.”

🕌 Dasar Riwayat

Ucapan ini tercatat dalam kitab Fathul Bārī karya Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, seorang ulama besar dalam bidang hadis. Beliau menyebut bahwa kalimat “Taqabbalallahu minna wa minkum” adalah bentuk salam hari raya yang paling umum diucapkan para sahabat Nabi saat berjumpa pada Idul Fitri.

Pendapat Para Ulama

Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan khusus mengenai bentuk ucapan selamat Idul Fitri, asalkan mengandung makna yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat. Baik itu “Taqabbalallahu minna wa minkum” maupun “Minal ‘Aidin wal Faizin”, keduanya sah untuk digunakan karena berisi doa dan harapan positif bagi sesama Muslim.

📌 Kesimpulan

Ucapan Idul Fitri dari para sahabat seperti “Taqabbalallahu minna wa minkum” merupakan doa tulus yang mengakar dalam tradisi Islam awal. Meskipun kini banyak bentuk ucapan yang lebih populer di masyarakat, memahami dan menghidupkan kembali tradisi para sahabat dapat memperkaya spiritualitas dan makna Lebaran kita.