Makna Kurban: Doa, Penghambaan, dan Kesadaran Spiritual di Balik Penyembelihan

Makna Kurban: Doa, Penghambaan, dan Kesadaran Spiritual di Balik Penyembelihan

Stylesphere – Momentum Idul Adha tidak hanya tentang menyembelih hewan kurban, tetapi juga menjadi kesempatan emas untuk memperbanyak doa dan penghambaan kepada Allah SWT. Dalam prosesi kurban, tersimpan nilai-nilai spiritual yang dalam—jauh melampaui aspek teknis penyembelihan itu sendiri.

Sayangnya, banyak masyarakat yang hanya berfokus pada sisi pelaksanaan, seperti waktu, lokasi, dan jumlah hewan yang disembelih, tanpa menyadari bahwa momen penyembelihan adalah salah satu waktu paling mustajab untuk berdoa.

Pendakwah Muhammadiyah, Ustadz Adi Hidayat (UAH), dalam sebuah kajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @seroja_art pada Sabtu (31/05/2025), mengingatkan bahwa keluarga yang berkurban sebaiknya tidak hanya menyaksikan, tetapi mengisi waktu penyembelihan dengan doa dan niat yang tulus. Berikut rangkuman lengkap Anugerahslot kepada anda.

“Saat kurban kita disembelih, bukan hanya hewannya yang kita persembahkan. Hati kita pun seharusnya tunduk dan khusyuk dalam doa,” jelas UAH.

UAH menyarankan agar mereka yang mengetahui waktu penyembelihan hewan kurbannya bersiap secara ruhani. Ketika waktu itu tiba, sangat dianjurkan untuk menghadap kiblat dan membaca bagian dari doa iftitah, yaitu:

“Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samaawaati wal ardha haniifan musliman wa maa anaa minal musyrikiin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil ‘aalamiin.”

Doa ini sejalan dengan semangat tawakal dan totalitas penghambaan kepada Allah yang menjadi inti dari ibadah kurban. Bacaan tersebut mengandung makna penyerahan diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta, bahwa hidup, mati, salat, dan sembelihan kita adalah semata untuk Allah Rabbul ‘Alamin.

“Jadikan momen itu bukan sekadar ritual tahunan, tapi momentum perjumpaan spiritual dengan Allah. Kurban adalah bahasa cinta kepada Tuhan,” tutur UAH.

Dengan demikian, kurban bukan hanya menyampaikan daging kepada yang membutuhkan, tetapi juga menyampaikan hati kepada Allah dengan penuh ketulusan. Dan pada saat penyembelihan berlangsung, itulah saat di mana langit sangat dekat dengan bumi, dan doa-doa dilangitkan dalam kesungguhan yang paling murni.

Doa Saat Penyembelihan: Saat Langit Terbuka dan Hati Tertambat kepada Allah

Bacaan yang disarankan oleh Ustadz Adi Hidayat, yakni bagian dari doa iftitah yang dimulai dengan “Innii wajjahtu wajhiya…”, dapat digunakan sebagai pengganti versi lain yang biasa dibaca saat salat. Bagi yang terbiasa membaca “wajjahtu wajhiya”, cukup menambahkan kata “inni” di awal bacaan agar sesuai dengan redaksi sunnah yang lengkap.

Setelah membacanya, seseorang dianjurkan langsung berdoa dengan khusyuk, menghadirkan hati sepenuhnya kepada Allah.

“Doanya tidak perlu panjang,” ujar UAH, “tapi isinya harus menyentuh hal-hal penting dalam hidup kita—ampunan atas dosa, kelapangan rezeki, dan akhir hidup yang baik.”

Ustadz Adi mengingatkan bahwa kesempatan seperti ini hanya datang sekali dalam setahun, saat hewan kurban yang kita niatkan disembelih atas nama Allah. Maka, jangan disia-siakan. Waktu itu bisa menjadi saat terkabulnya doa, momen di mana langit sangat dekat dengan harapan manusia.

Berdoa saat penyembelihan bukan hanya menambah keberkahan kurban, tetapi juga memperkuat ikatan spiritual antara pengurban dan Penciptanya. Ada nilai pengorbanan yang jauh lebih dalam daripada sekadar menyerahkan kambing atau sapi.

UAH juga menekankan bahwa doa ini adalah wujud keikhlasan dan kesungguhan dalam meneladani Nabi Ibrahim AS, yang siap mengorbankan apa yang paling dicintainya demi menjalankan perintah Allah.

“Itulah hakikat kurban,” tuturnya. “Mengalahkan ego, merelakan yang berharga, dan menggantungkan seluruh harap hanya kepada Allah.”

Menjadikan Kurban Sebagai Titik Temu Hati dan Pengabdian

Seorang Muslim sebaiknya tidak sekadar menyerahkan urusan kurban kepada panitia masjid lalu merasa cukup. Tanpa keterlibatan batin, kurban bisa kehilangan makna terdalamnya. Ustadz Adi Hidayat mengajak umat Islam untuk ikut terhubung secara spiritual, meski secara teknis tidak menyembelih langsung. Menghadap kiblat, membaca doa, dan menyaksikan penyembelihan dengan kesadaran penuh akan menjadikan ibadah ini lebih bermakna.

Lebih dari itu, momen penyembelihan kurban adalah waktu yang sangat mustajab untuk berdoa. Tak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk keluarga, kerabat, dan bahkan seluruh umat Islam. Sebab, doa adalah senjata orang beriman, dan Hari Raya Iduladha adalah waktu di mana langit seperti terbuka bagi permohonan tulus dari hamba-hamba-Nya.

Iduladha bukan sekadar seremonial tahunan. Ia adalah panggilan untuk menyucikan jiwa dan memurnikan niat. Penyembelihan hewan kurban menjadi simbol nyata ketaatan dan keikhlasan, sementara doa yang menyertainya adalah penguat hubungan antara hamba dan Tuhannya.

Dengan kesadaran ini, umat Islam diharapkan tidak lagi memaknai kurban hanya sebagai aktivitas fisik, tetapi juga sebagai jalan spiritual untuk mendekat kepada Allah. Sebuah sarana tazkiyatun nafs—penyucian jiwa—yang mampu meninggikan derajat keimanan.

“Minta sungguh-sungguh kepada Allah di saat itu. Jangan dianggap ringan. Setahun sekali itu, maka mohonlah sebanyak-banyaknya,” tegas Ustadz Adi Hidayat.

Pesan ini menggugah kita semua untuk tidak menyia-nyiakan waktu mustajab yang sangat langka. Dengan niat yang ikhlas, doa yang sungguh-sungguh, dan hati yang hadir, semoga kurban yang kita tunaikan menjadi jalan terbuka menuju ridha dan kedekatan dengan Allah SWT.

Masalah Adalah Ujian Kehidupan, Ini Solusi Menurut Ustadz Adi Hidayat

Masalah Adalah Ujian Kehidupan, Ini Solusi Menurut Ustadz Adi Hidayat

Stylesphere – Dalam kehidupan, masalah adalah hal yang tidak bisa dihindari. Ia datang silih berganti—ketika satu selesai, yang lain muncul. Mungkin hari ini kita menghadapi persoalan pekerjaan, besok soal keluarga, dan seterusnya, hingga akhir hayat.

Namun, sebagai umat Muslim, kita diajarkan untuk melihat masalah bukan sebagai beban semata, melainkan sebagai ujian dari Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:

“Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS Al-Baqarah: 155)

Ayat ini menegaskan bahwa ujian adalah bagian dari sunnatullah—aturan hidup yang pasti terjadi. Setiap manusia akan diuji dengan berbagai bentuk kesulitan.

Menurut pendakwah kondang Ustadz Adi Hidayat (UAH), langkah pertama saat menghadapi masalah adalah menerima dengan sabar dan lapang dada. Sabar bukan berarti pasrah tanpa usaha, tapi bentuk kesiapan mental untuk menghadapi ujian dengan tenang dan yakin bahwa semua ada solusinya.

Dalam ceramahnya yang dibagikan oleh Stylesphere, UAH menyampaikan bahwa:

“Setiap masalah datang bersama solusinya. Allah tidak menurunkan ujian tanpa disertai jalan keluar.”

Ustadz Adi Hidayat menekankan bahwa kunci utama adalah kembali kepada Allah, memperbanyak doa, istighfar, dan memperbaiki hubungan dengan-Nya. Selain itu, ikhtiar atau usaha nyata untuk mencari jalan keluar juga wajib dilakukan.

Dengan memadukan kesabaran, doa, dan usaha, seorang muslim akan menemukan bahwa masalah bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari pertumbuhan dan kedewasaan spiritual.

Maka, saat masalah datang, jangan panik. Tenangkan hati, kuatkan iman, dan percayalah bahwa Allah sudah siapkan solusinya.

Rahmat Adalah Langkah Pertama Solusi dari Allah, Ini Penjelasan Ustadz Adi Hidayat

Dalam ceramahnya yang disampaikan melalui kanal YouTube Adi Hidayat Official, Kamis (22/5/2025), Ustadz Adi Hidayat (UAH) menekankan pentingnya kesabaran dan doa saat menghadapi masalah hidup. Ia menjelaskan bahwa ketika seorang hamba memohon kepada Allah untuk menghilangkan kesulitannya, maka rahmat Allah adalah hal pertama yang diberikan.

“Kalau kita terima dengan sabar dan kita minta kepada Allah, ‘Ya Allah, hilangkan masalah saya ini’, maka yang pertama Allah berikan adalah rahmat-Nya,” ujar UAH, merujuk pada QS Al-Baqarah ayat 157.

“اُولٰۤئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ”
Artinya: “Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah: 157)

UAH menjelaskan bahwa rahmat Allah merupakan bentuk terkabulnya doa, yang membawa solusi dari masalah yang tengah dihadapi. Ia menyebut bahwa rahmat bukan sekadar belas kasihan, melainkan bentuk pertolongan nyata dari Allah yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kemudahan, kekuatan hati, hingga jalan keluar yang tak disangka-sangka.

“Jadi kalau Bapak Ibu minta solusi kepada Allah, itu yang diberikan rahmat dulu. Rahmat itu adalah terkabulnya doa pada apa yang diinginkan,” lanjut UAH.

Dengan demikian, menghadapi masalah hidup bukan hanya soal mencari penyelesaian logis semata, tetapi juga menguatkan iman, bersabar, dan terus memohon rahmat serta petunjuk dari Allah SWT. Sebab, rahmat adalah awal dari segala solusi yang datang dari-Nya.

Ustadz Adi Hidayat: Masjid Adalah Tempat Meminta Solusi, Ini Doa yang Dianjurkan

Dalam salah satu ceramahnya, Ustadz Adi Hidayat (UAH) menyampaikan bahwa salah satu langkah utama untuk mendapatkan solusi dari setiap permasalahan hidup adalah dengan memperbanyak ibadah di masjid. Masjid, menurutnya, bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga tempat terbaik untuk mencurahkan isi hati kepada Allah dan memohon rahmat-Nya.

UAH menjelaskan bahwa ketika seorang Muslim memasuki masjid, ia dianjurkan membaca doa khusus yang mengandung permohonan akan rahmat Allah. Doa tersebut berbunyi:

اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
Allahummaftha lii abwaaba rahmatik
Artinya: “Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.” (HR. Muslim)

Mengapa disebut “pintu-pintu” rahmat (abwaab), bukan hanya satu pintu? UAH memberikan penjelasan yang menyentuh. “Karena ketika seseorang masuk ke masjid, kecenderungannya adalah ingin mencurahkan isi hatinya kepada Allah, ingin memohon sesuatu. Maka ia berkata, ‘Ya Allah, bukakan untukku banyak jalan menuju rahmat-Mu’,” jelasnya.

UAH juga menyinggung bagaimana para sahabat Nabi sangat dekat dengan masjid. Mereka biasa singgah ke masjid sebelum berangkat bekerja dan kembali mampir ke masjid sepulang dari aktivitasnya—sebelum pulang ke rumah.

“Makanya, jarang ada yang marah-marah setelah pulang kerja, karena aura yang dibawa itu adalah aura masjid,” tambah UAH.

Melalui kebiasaan ini, UAH mengajak umat Islam untuk kembali menjadikan masjid sebagai pusat spiritual dan tempat pelarian utama saat menghadapi berbagai persoalan hidup. Masjid bukan hanya tempat sholat, tetapi juga tempat mendapatkan ketenangan, rahmat, dan solusi dari Allah SWT.

Benarkah Hewan Qurban Akan Menjadi Kendaraan di Akhirat?

Benarkah Hewan Qurban Akan Menjadi Kendaraan di Akhirat?

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha identik dengan penyembelihan hewan qurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, setiap tahunnya, muncul pertanyaan menarik yang ramai dibicarakan di tengah umat: apakah benar hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya di akhirat?

Pertanyaan ini mencuat kembali menjelang Idul Adha 2025. Dalam sebuah majelis ilmu, seorang jamaah menyampaikan rasa penasarannya secara langsung kepada Ustadz Adi Hidayat (UAH), seorang pendakwah muda yang dikenal luas berkat penjelasannya yang sistematis dan berbasis dalil.

“Saya pernah mendengar bahwa hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi orang yang berqurban di akhirat. Benarkah itu, Ustadz?” tanya jamaah tersebut dengan penuh keingintahuan.

Pertanyaan itu dijawab langsung oleh UAH dalam sebuah forum terbuka, sebagaimana dilansir Stylesphere, Selasa (6/5/2025), dari tayangan video di kanal YouTube @sejuksunnahislam.

UAH menjelaskan bahwa memang terdapat riwayat yang sering dikaitkan dengan anjuran untuk memilih hewan qurban terbaik. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa hewan tersebut akan kembali kepada pemiliknya di akhirat kelak. Oleh karena itu, semakin baik kualitas hewan qurban, maka semakin besar pula keutamaan yang akan diperoleh.

Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai “kendaraan” dalam banyak riwayat shahih, konsep bahwa amalan qurban akan memberikan manfaat di akhirat memiliki landasan kuat dalam ajaran Islam. Salah satunya adalah motivasi untuk memperindah qurban sebagai bentuk ibadah terbaik kepada Allah SWT.

Dengan demikian, meskipun istilah “kendaraan” lebih bersifat simbolik, semangat yang mendasarinya tetap sahih: bahwa ibadah qurban bukan hanya berdampak di dunia, tetapi juga menjadi bekal di akhirat.

Penjelasan Ustadz Adi Hidayat

Dalam sebuah majelis ilmu, Ustadz Adi Hidayat (UAH) membahas salah satu pertanyaan yang kerap muncul menjelang Hari Raya Idul Adha: benarkah hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya di akhirat?

UAH menjawab bahwa ia pun pernah mendengar dan membaca referensi yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya adalah sebuah riwayat yang menyandarkan sabda Nabi Muhammad SAW: “Gemukkanlah dan baguskanlah hewan-hewan sembelihan kalian.”

Menurut UAH, dalam riwayat itu dijelaskan bahwa perintah untuk memperindah hewan qurban bukanlah tanpa alasan. Salah satu makna pentingnya adalah karena hewan tersebut akan hadir kembali pada hari kiamat dan berperan sebagai kendaraan sang pemilik saat melewati Shirath—jembatan akhirat yang sangat tipis dan tajam, yang harus dilalui setiap manusia.

“Jembatan Shirath hanya bisa dilewati oleh orang-orang dengan amal baik. Maka, jika qurban kita bagus dan bernilai tinggi, pahala dari amalan itu akan membantu kita di sana,” jelas UAH dalam tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @sejuksunnahislam, seperti dikutip dari Stylesphere, Selasa (6/5/2025).

Lebih lanjut, UAH menegaskan bahwa memperindah hewan qurban bukan sekadar soal fisik atau penampilan. Hal tersebut mencerminkan niat dan kesungguhan dalam beribadah. Semakin baik kualitas hewan yang dikurbankan, semakin besar pula pahala yang akan didapat.

“Jadi, kalau kita mampu mencari hewan qurban yang terbaik, maka sangat dimungkinkan bahwa pahalanya juga semakin besar. Dan pahala itulah yang bisa membantu kita nanti di akhirat, terutama saat melewati Shirath,” pungkasnya.

UAH: Hewan Qurban Bukan Kendaraan Fisik, Tapi Simbol Kemudahan di Akhirat

Menjelang Idul Adha, muncul kembali perbincangan mengenai keyakinan bahwa hewan qurban akan menjadi kendaraan pemiliknya di akhirat. Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan penjelasan bahwa pemahaman ini tidak bersifat harfiah, melainkan simbolis.

“Ini bukan berarti seseorang secara fisik akan menaiki hewan qurbannya seperti menunggang kuda. Maknanya adalah bahwa amalan qurban itu akan memberikan kemudahan di akhirat,” jelas UAH dalam kajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @sejuksunnahislam, dikutip Selasa (6/5/2025).

Menurut UAH, pahala dari berqurban—terutama jika dilakukan dengan niat ikhlas dan sesuai syariat—dapat menjadi sebab kemudahan seseorang dalam menghadapi berbagai fase di akhirat, termasuk saat melewati jembatan Shirath.

Lebih jauh, UAH menekankan pentingnya memperhatikan kualitas hewan qurban. Mulai dari kondisi kesehatan, usia yang sesuai ketentuan syariat, hingga tidak cacat, semua itu mencerminkan kesungguhan dalam menjalankan ibadah.

“Ibadah qurban bukan sekadar menyembelih. Tapi juga wujud ketulusan, kepatuhan, dan kepedulian sosial,” ujarnya. Daging qurban yang dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan juga menjadi ladang pahala sosial yang besar.

UAH pun mengimbau agar umat Islam tidak sembarangan dalam memilih hewan qurban. Jika memiliki kemampuan lebih, sebaiknya memilih hewan yang sehat, besar, dan memenuhi standar ibadah qurban yang diridhai Allah SWT.

Ia menutup penjelasannya dengan mengingatkan bahwa keikhlasan dan kesungguhan dalam berqurban akan selalu dibalas Allah, baik dalam bentuk kemudahan di akhirat maupun keberkahan di dunia.

“Jadikan Idul Adha bukan hanya perayaan menyembelih, tapi juga momen memperkuat niat dan meningkatkan kualitas ibadah kita,” pesan UAH.

Makna Haji Mabrur: Lebih dari Sekadar Sah secara Syariat

Makna Haji Mabrur: Lebih dari Sekadar Sah secara Syariat

Stylesphere – Ibadah haji sering disebut sebagai puncak perjalanan spiritual seorang Muslim. Salah satu istilah yang menjadi dambaan jamaah, termasuk pada musim haji 2025 ini, adalah “Haji Mabrur”.

Secara umum, Haji Mabrur dipahami sebagai haji yang diterima oleh Allah. Namun, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar sah secara syariat. Menurut dai muda Ustadz Adi Hidayat (UAH), Haji Mabrur adalah perubahan diri yang nyata setelah menunaikan semua rukun dan kewajiban haji.

Definisi resmi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut Haji Mabrur sebagai ibadah haji yang sah dan sempurna, dengan seluruh syarat dan rukun yang terpenuhi dengan baik.

Dalam tayangan video di kanal YouTube @nafassubuhtv yang dikutip Jumat (26/04/2025), Ustadz Adi Hidayat menjelaskan lebih dalam: Haji disebut mabrur ketika di Arafah, jamaah beristighfar, menyadari keburukan dirinya, dan bertekad kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Proses ini menjadi titik awal transformasi akhlak yang sejati.

Melawan Sifat Buruk dalam Diri

Di Muzdalifah, jamaah haji mengumpulkan batu sebagai persiapan untuk melontar jumrah, sebuah ritual penting dalam rangkaian ibadah haji. Sebelum berangkat, dianjurkan bagi jamaah untuk terlebih dahulu mencatat dan mengenali sifat buruk yang ada dalam diri sendiri melalui introspeksi, tanpa perlu bertanya kepada orang lain.

Melontar jumrah sejatinya bukan sekadar melempar batu ke sebuah tugu, melainkan simbol perlawanan terhadap sifat-sifat buruk dalam diri. Setiap lemparan mencerminkan usaha melawan hawa nafsu yang menghalangi kebaikan.

Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa pada saat yang sama, di tempat lain, umat Islam juga melakukan penyembelihan hewan kurban. Kalimat yang diucapkan saat melontar jumrah maupun menyembelih hewan adalah serupa, yakni “Bismillah Allahu Akbar.”

Batu yang dilempar dalam jumrah merepresentasikan sifat-sifat hewani dalam diri manusia, sedangkan hewan yang disembelih melambangkan upaya menundukkan hawa nafsu. Sifat hewani ini berasal dari kata “basyar,” yang merujuk pada dorongan naluriah dalam manusia yang harus dikendalikan demi mencapai kemuliaan akhlak.

Makna Mendalam di Balik Haji Mabrur

Saat seseorang berhasil melontar seluruh sifat buruknya dalam ibadah haji, ia kembali dalam keadaan bersih, membawa hanya kebaikan. Inilah yang disebut dengan Haji Mabrur—sebuah predikat bagi mereka yang mampu menepiskan keburukan dan menumbuhkan karakter mulia secara berkelanjutan.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa setelah menunaikan haji, seorang Muslim tidak boleh lagi mengotori dirinya dengan perbuatan maksiat. Semua pengorbanan—fisik, harta, tenaga, dan waktu—yang telah dicurahkan harus dijaga dengan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai keimanan.

Allah menjanjikan surga bagi haji yang mabrur. Karena itu, penting untuk terus menjaga buah kebaikan dari haji dengan amal nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Ustadz Adi Hidayat menegaskan bahwa perubahan ini harus tercermin dalam sikap, tutur kata, serta perbuatan. Haji bukan sekadar gelar sosial atau kebanggaan, melainkan komitmen seumur hidup untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah.

Dengan demikian, hakikat Haji Mabrur bukan hanya terletak pada kesempurnaan ritual, melainkan pada kesungguhan untuk terus istiqamah dalam kebaikan.

Apakah Itu Darkil Asfal Minan Naar Neraka

Apakah Itu Darkil Asfal Minan Naar Neraka

Stylesphere – Setiap manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Ada yang mengikuti petunjuk Allah, namun ada pula yang justru menjauh dari-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah memberikan banyak peringatan keras bagi mereka yang mengingkari kebenaran, termasuk tentang tempat kembalinya di akhirat.

Neraka bukan hanya tempat siksaan, tetapi juga peringatan atas kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Sebagaimana orang tua melarang anaknya dari sesuatu yang membahayakan, Allah pun memperingatkan manusia agar tidak terjerumus dalam kebinasaan.

Ustadz Adi Hidayat (UAH) menjelaskan bahwa peringatan tentang neraka dalam Al-Qur’an bukanlah bentuk kebencian, melainkan kasih sayang Allah kepada manusia. Allah memberikan kesempatan bagi hamba-Nya untuk bertobat sebelum ajal menjemput.

“Peringatan dari Allah itu bukan karena kebencian, tetapi karena kasih sayang. Allah tidak ingin ada hamba-Nya yang masuk ke dalam kebinasaan,” ujar Ustadz Adi Hidayat dalam tayangan di kanal YouTube @Adi Hidayat Official.

Dalam video tersebut, ia juga membahas bahaya kemunafikan dan bagaimana orang-orang seperti ini dapat menyesatkan orang lain.

“Ada orang yang saat berbicara, kata-katanya menarik, retorikanya indah, logikanya seolah benar, tetapi justru menjauhkan dari Allah,” jelasnya.

Menurutnya, keselamatan di akhirat tidak hanya bergantung pada amal ibadah, tetapi juga pada keimanan yang benar.

Hindari jenis Manusia Ini

“Orang bisa saja sholat, puasa, dan zakat, tetapi tanpa iman, tetap celaka di akhirat,” ujar Ustadz Adi Hidayat (UAH) dalam ceramahnya.

Ia menyinggung kisah ketika Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Nabi Muhammad SAW mengenai seseorang yang dikenal baik di dunia.

“Ada orang non-Muslim yang dermawan, suka membantu, dan berdonasi. Bagaimana nasibnya di akhirat?” tuturnya.

Nabi menjawab berdasarkan Surah Al-Furqan ayat 23, yang menjelaskan bahwa perbuatan baik tanpa iman hanya akan dibalas di dunia.

“Jika amalnya untuk dunia, maka balasannya diberikan di dunia. Namun di akhirat, semua itu menjadi debu yang berterbangan,” jelasnya.

Karena itu, UAH mengingatkan agar tidak mudah terpengaruh oleh pemikiran menyimpang.

“Jangan coba-coba mengikuti orang yang nyeleneh. Jangan penasaran dengan ajaran yang menyesatkan,” pesannya.

Ia juga menyoroti tipe orang yang sering membawa ayat Al-Qur’an, tetapi dengan pemahaman yang keliru. Mereka memotong ayat dan menggunakannya untuk membenarkan pendapat pribadi.

“Dalam Surah Al-Baqarah ayat 204, disebutkan ada orang yang perkataannya menarik, bahkan membawa ayat Al-Qur’an, tetapi justru berbahaya,” ujarnya.