Doa yang Dianjurkan Saat Mendengar Adzan, Menjaga Sunnah dan Mendekatkan Diri pada Allah

Stylesphere – Lima kali dalam sehari, suara adzan berkumandang dari menara masjid hingga perangkat digital di rumah-rumah kaum Muslimin. Panggilan suci ini bukan sekadar penanda waktu salat, tetapi sebuah ajakan penuh makna untuk meninggalkan kesibukan dunia dan menghadap Allah SWT.

Adzan bukan hanya seruan yang didengar, tapi juga panggilan yang seharusnya disambut dengan hati dan lisan. Rasulullah SAW mencontohkan agar umat Islam tidak melewatkan adzan begitu saja, melainkan menjawabnya dengan doa-doa yang dianjurkan, sebagai bentuk penghormatan dan penghayatan terhadap panggilan Ilahi.

Kebiasaan ini bukan hanya memperkuat kedekatan spiritual, tetapi juga merupakan cara untuk menjaga sunnah Nabi serta menanamkan nilai-nilai Islam dalam rutinitas sehari-hari.

Mengutip laman Anugerahslot Online Jabar, Sabtu (14 Juni 2025), berikut adalah kumpulan doa yang dianjurkan saat mendengar adzan, sebagaimana tercantum dalam kitab al-Du’a:

  1. Menjawab lafaz adzan sesuai yang dikumandangkan muadzin, kecuali pada kalimat Hayya ‘ala al-shalah dan Hayya ‘ala al-falah, di mana kita dianjurkan menjawab dengan: “Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.”
  2. Setelah adzan selesai, membaca: “Allāhumma rabbā hāzihid-da‘watit-tāmmati waṣ-ṣalātil-qā’imah, ātِi Muḥammadan al-wasīlata wal-faḍīlah, wab‘ath-hu maqāman maḥmūdan allażī wa‘adtah.”
    (Artinya: Ya Allah, Tuhan panggilan yang sempurna ini dan salat yang akan didirikan, berikanlah kepada Muhammad al-Wasilah dan al-Fadhilah, dan bangkitkanlah dia pada kedudukan terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya.)

Doa-doa ini menjadi bagian kecil namun bermakna besar dalam memperkuat hubungan kita dengan Allah SWT. Menjawab adzan dengan sepenuh hati dan lisan adalah bentuk kesiapan kita memenuhi seruan-Nya, dan bukti cinta kepada sunnah Rasulullah SAW.

Doa Menyambut Adzan Maghrib: Warisan Rasulullah untuk Memohon Ampunan

Adzan maghrib menandai pergantian dari siang menuju malam—sebuah momen spiritual yang sarat makna dalam kehidupan seorang Muslim. Di waktu inilah Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada umatnya sebuah doa yang penuh ketundukan dan harapan akan ampunan dari Allah SWT.

Ummu Salamah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ secara langsung mengajarkannya untuk membaca doa berikut ketika mendengar adzan maghrib:

اللَّهُمَّ هَذَا إِقْبَالُ لَيْلِكَ وَإِدْبَارُ نَهَارِكَ وَأَصْوَاتُ دُعَاتِكَ فَاغْفِرْ لِي
“Allahumma hadzâ iqbâlu lailika wa idbâru nahârika wa ashwâtu du’âtika faghfir lî.”
(Ya Allah, inilah malam-Mu yang datang, siang-Mu yang pergi, dan lantunan suara para pemanggil-Mu, maka ampunilah aku.)

Doa ini diriwayatkan oleh beberapa ulama besar seperti Imam al-Hakim, Imam Abu Dawud, dan Imam al-Baihaqi. Dalam Kitâb al-Du’â karya Imam Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabrâniy (2007, hlm. 162), doa tersebut tercantum sebagai bentuk ibadah yang dianjurkan untuk diamalkan saat malam mulai menyapa.

Selain menjadi refleksi pergantian waktu, doa ini juga menunjukkan kedalaman spiritual dalam menyambut malam—bukan hanya dengan istirahat, tetapi juga dengan introspeksi dan permohonan ampunan kepada Allah SWT. Ia merupakan bagian dari warisan sunnah yang mengajarkan kita untuk terus menjaga hubungan vertikal dengan Allah, bahkan dalam momen-momen yang mungkin kita anggap biasa.

Menjadikan doa ini sebagai kebiasaan dapat menjadi salah satu cara memperhalus jiwa dan memperkuat keimanan, terutama di saat-saat sakral seperti waktu maghrib. Mari kita hidupkan kembali amalan ini dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ kepada para sahabat dan keluarganya.

Doa yang Diampuni Dosanya Saat Mendengar Adzan

Adzan bukan sekadar panggilan shalat. Ia adalah panggilan langit yang menggema di bumi, mengajak hati-hati yang beriman untuk kembali kepada Sang Pencipta. Di balik lantunan adzan, ternyata terdapat doa yang apabila dibaca oleh seorang Muslim, akan menjadi sebab ampunan dari Allah SWT.

Diriwayatkan dalam Kitâb al-Du’â karya Imam Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabrâniy (Kairo: Dar al-Hadis, 2007, hlm. 160), Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ قَال حين يَسْمَع الأذان: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وحده لَا شَرِيْكَ لَه، رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، غفر له

“Barangsiapa yang berucap ketika mendengar adzan: ‘Asyhadu allâ ilâha illallâh wahdahu lâ syarîka lah, radlîtu billâhi rabba wa bil-islâmi dîna wa bi-muhammadin nabiyya’ (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai nabiku), maka akan diampuni dosanya.”

Hadis ini mengajarkan bahwa menjawab adzan tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga menjadi pintu ampunan. Lafal yang singkat namun sarat makna ini mencerminkan kesaksian tauhid, keridhaan kepada Allah dan Islam, serta kecintaan kepada Rasulullah ﷺ.

Membiasakan diri membaca doa ini setiap kali mendengar adzan adalah amalan ringan yang penuh keberkahan. Di tengah kesibukan dunia, mari kita latih hati dan lisan kita untuk selalu terhubung dengan Allah, meski hanya lewat kalimat-kalimat singkat yang mendalam seperti ini.

Doa Saat Adzan Maghrib yang Diajarkan Rasulullah kepada Ummu Salamah

Adzan Maghrib menandai pergantian waktu dari siang ke malam. Dalam momen sakral ini, Rasulullah ﷺ mengajarkan sebuah doa indah yang penuh makna kepada Ummu Salamah, salah satu istri beliau. Doa ini menjadi pengingat bahwa waktu senja adalah waktu untuk merenung, kembali kepada Allah, dan memohon ampunan-Nya.

Dalam riwayat yang tercatat dalam Kitâb al-Du’â karya Imam Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabrâniy (2007, hlm. 162), Ummu Salamah berkata:

عن أم سلمة قالت: علمني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أقول عند أذان المغرب:

اَللَّهُمَّ هَذَا إِقْبَالُ لَيْلِكَ وَإِدْبَارُ نَهَارِكَ وَأَصْوَاتُ دُعَاتِكَ فَاغْفِرْ لِي

“Ya Allah, inilah datangnya malam-Mu, telah berlalu siang-Mu, dan terdengarlah lantunan doa dari para penyeru-Mu, maka ampunilah aku.”

Doa ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Hakim, Imam Abu Dawud, dan Imam Baihaqi. Kandungan doa tersebut mencerminkan kerendahan hati dan kesadaran seorang hamba akan pergantian waktu sebagai tanda kekuasaan Allah, sekaligus momentum untuk mendekatkan diri dan memohon ampunan-Nya.

Menjadikan doa ini sebagai amalan rutin saat mendengar adzan Maghrib bukan hanya menjaga sunnah Nabi ﷺ, tetapi juga bentuk introspeksi diri di akhir hari—sebuah kebiasaan yang sarat nilai spiritual.

Jejak Kebaikan di Tanah Suci: Kisah Sebuah Amal yang Memabrurkan 600 Ribu Jemaah Haji

Stylesphere – Di antara jutaan langkah yang menapaki Tanah Suci setiap tahunnya, terselip kisah-kisah menakjubkan yang sarat keajaiban dan pelajaran hidup. Dari kerumunan para jemaah yang menjalankan rukun Islam kelima ini, muncul cerita-cerita sederhana namun memiliki dampak luar biasa—bukan hanya bagi satu orang, melainkan hingga ratusan ribu jiwa.

Sering kali, sebuah amalan kecil yang dilakukan dengan keikhlasan dan keyakinan mendalam menjadi sebab turunnya keberkahan yang melimpah. Seolah semesta turut menjadi saksi bahwa setiap amal baik yang dilakukan dengan tulus tidak pernah sia-sia. Bahkan, balasan dari Allah tak hanya menyentuh pelaku amal tersebut, tetapi juga menjalar sebagai kebaikan yang dirasakan oleh banyak orang di sekitarnya.

Salah satu kisah menyentuh ini berasal dari pengalaman seorang hamba Allah yang amalannya menjadi sebab diterimanya haji lebih dari 600 ribu orang. Kisah penuh hikmah ini dimuat oleh Anugerahslot Online pada Sabtu, 14 Juni 2025.

Kisah Diterimanya Haji Ibnu Muwafaq

Setelah ditelusuri lebih lanjut, kata Kiai Taufik, diketahui bahwa Ibnu Muwafaq sebenarnya tidak jadi menunaikan ibadah haji. Ia memilih jalan berbeda—yang ternyata justru jauh lebih mulia di mata Allah. Biaya yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun dari pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu, tidak jadi ia pakai untuk berangkat ke Tanah Suci. Sebaliknya, seluruhnya ia sedekahkan kepada penduduk sebuah kampung miskin yang sangat membutuhkan bantuan.

“Padahal, Ibnu Muwafaq mengumpulkan biaya hajinya dengan susah payah selama tiga dekade,” tutur Kiai Taufik. “Namun karena keikhlasan dan ketulusan amalnya, Allah membalasnya dengan pahala luar biasa—bukan hanya untuk dirinya sendiri. Kemabrurannya menjadi sebab diterimanya haji 600 ribu jamaah saat itu.”

Dalam riwayat lain yang juga disampaikan Kiai Taufik, disebutkan bahwa sebenarnya ada enam orang yang memperoleh derajat haji mabrur. Setiap satu orang dari mereka membawa berkah bagi seratus ribu jamaah lainnya. Dengan kata lain, kemabruran keenam orang ini menjadi sebab diterimanya haji seluruh rombongan.

“Artinya, ada bentuk ibadah yang nilainya bisa lebih agung daripada haji itu sendiri,” ujar Kiai Taufik. “Yaitu kedermawanan, empati, dan simpati yang tulus kepada sesama, terutama kepada mereka yang lemah.”

Keutamaan Ibadah yang Ikhlas

Setelah ditelusuri lebih lanjut, kata Kiai Taufik, diketahui bahwa Ibnu Muwafaq sebenarnya tidak jadi menunaikan ibadah haji. Ia memilih jalan berbeda—yang ternyata justru jauh lebih mulia di mata Allah. Biaya yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun dari pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu, tidak jadi ia pakai untuk berangkat ke Tanah Suci. Sebaliknya, seluruhnya ia sedekahkan kepada penduduk sebuah kampung miskin yang sangat membutuhkan bantuan.

“Padahal, Ibnu Muwafaq mengumpulkan biaya hajinya dengan susah payah selama tiga dekade,” tutur Kiai Taufik. “Namun karena keikhlasan dan ketulusan amalnya, Allah membalasnya dengan pahala luar biasa—bukan hanya untuk dirinya sendiri. Kemabrurannya menjadi sebab diterimanya haji 600 ribu jamaah saat itu.”

Dalam riwayat lain yang juga disampaikan Kiai Taufik, disebutkan bahwa sebenarnya ada enam orang yang memperoleh derajat haji mabrur. Setiap satu orang dari mereka membawa berkah bagi seratus ribu jamaah lainnya. Dengan kata lain, kemabruran keenam orang ini menjadi sebab diterimanya haji seluruh rombongan.

“Artinya, ada bentuk ibadah yang nilainya bisa lebih agung daripada haji itu sendiri,” ujar Kiai Taufik. “Yaitu kedermawanan, empati, dan simpati yang tulus kepada sesama, terutama kepada mereka yang lemah.”

Gus Azmi Resmi Menikah, Ini Sosok Istrinya yang Bikin Penasaran Publik

Gus Azmi Resmi Menikah, Ini Sosok Istrinya yang Bikin Penasaran Publik

Stylesphere – Pernikahan merupakan salah satu momen paling bersejarah dalam kehidupan seseorang. Hal ini juga dirasakan oleh Gus Azmi, vokalis grup hadrah terkenal, Syubbanul Muslimin, yang baru saja melangsungkan pernikahan.

Gus Azmi resmi menikah dengan Khansa Mariska Firdausi Azizy pada Rabu, 12 Juni 2025. Momen sakral ini langsung menjadi perbincangan hangat di dunia maya dan viral di berbagai platform media sosial. Banyak warganet yang memberikan ucapan selamat, sekaligus penasaran dengan sosok wanita yang berhasil merebut hati sang vokalis.

Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak hanya sekadar penyatuan dua insan, tetapi juga menjadi jalan untuk membangun keluarga yang penuh kedamaian (sakinah), cinta kasih (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Pernikahan menjadi ladang kebaikan yang membawa keberkahan bagi pasangan suami istri, baik di dunia maupun akhirat.

Sementara itu, sosok Khansa Mariska Firdausi Azizy langsung mencuri perhatian publik. Banyak yang ingin tahu lebih jauh tentang perempuan yang kini menjadi istri dari salah satu ikon muda dunia hadrah ini.

Berikut profil singkat Khansa Mariska Firdausi Azizy, perempuan yang berhasil memikat hati Gus Azmi — dirangkum oleh Anugerahslot, Sabtu (14/6/2025).

Mengenal Lebih Dekat Khansa Mariska Firdausi Azizy, Istri Gus Azmi yang Mencuri Perhatian

Khansa Mariska Firdausi Azizy, atau yang akrab disapa Aca, lahir di Surabaya pada 31 Juli 2006. Ia merupakan seorang influencer muda sekaligus konten kreator yang tengah naik daun di kalangan generasi muda.

Aktif di media sosial, Aca sering membagikan berbagai konten seputar Outfit of the Day (OOTD), aktivitas keseharian, hingga kolaborasi endorsement produk-produk kecantikan dan skincare. Gayanya yang simpel namun modis membuatnya mudah diterima dan diidolakan banyak pengikut.

Popularitasnya tidak main-main. Di Instagram, Aca telah mengumpulkan lebih dari 440 ribu pengikut, sementara akun TikTok-nya diikuti oleh lebih dari 291 ribu pengguna aktif. Keaktifannya dalam membuat konten yang relate dengan anak muda membuatnya semakin dikenal luas.

Namun, yang membuat Aca berbeda adalah kemampuannya memadukan gaya hidup modern dengan nilai-nilai religius. Terlahir dari keluarga yang dikenal religius, Aca tetap menampilkan karakter yang santun dan menjunjung nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Inilah yang menjadikan dirinya sosok yang menarik di mata publik—terutama bagi Gus Azmi.

Pernikahan mereka menjadi bukti bahwa cinta bisa tumbuh dari keselarasan nilai dan visi hidup. Tak heran jika pernikahan ini menuai banyak doa dan harapan baik dari para penggemar dan masyarakat luas.

Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga Khansa Mariska, Istri Gus Azmi

Selain dikenal sebagai sosok yang aktif di dunia digital, Khansa Mariska Firdausi Azizy juga memiliki latar pendidikan yang membanggakan. Ia menempuh pendidikan menengah di SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, sebuah sekolah yang dikenal dengan pendekatan pendidikan modern dan religius.

Kini, Aca melanjutkan pendidikannya di Universitas Ciputra Surabaya, mengambil jurusan International Business Management. Di lingkungan kampus, Aca dikenal sebagai mahasiswi yang cerdas, aktif, dan berprestasi, terlibat dalam berbagai kegiatan akademik maupun organisasi kemahasiswaan. Komitmennya terhadap pendidikan membuktikan bahwa ia tak hanya mengandalkan popularitas di media sosial, tetapi juga membangun masa depan dengan fondasi yang kuat.

Dari sisi silsilah keluarga, Aca berasal dari lingkungan yang religius dan terpandang. Ia adalah cucu dari K.H.M. Santoso, seorang ulama besar yang cukup disegani dan memiliki pengaruh luas di wilayah Ngawi, Jawa Timur. Sang kakek dikenal sebagai tokoh agama yang aktif membina umat dan terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah.

Keluarga besar Khansa juga dikenal konsisten dalam kegiatan keagamaan dan menjadi bagian penting dalam pengelolaan Majelis Taklim dan kegiatan keislaman di Masjid Agung Ngawi. Nilai-nilai religius yang ditanamkan sejak kecil inilah yang membentuk karakter Aca menjadi pribadi yang santun, berakhlak, dan tetap membumi meskipun berada di tengah gemerlap dunia digital.

Dengan latar belakang pendidikan yang baik dan lingkungan keluarga yang religius, tak heran jika sosok Aca mampu menarik perhatian Gus Azmi — vokalis hadrah yang juga dikenal karena komitmennya terhadap nilai-nilai Islam.

Amalan Utama Menyambut Datangnya Tahun Baru Dalam Kalender Hijriyah

Amalan Utama Menyambut Datangnya Tahun Baru Dalam Kalender Hijriyah

Stylesphere – Umat Islam akan segera menyambut datangnya tahun baru dalam kalender hijriyah, meninggalkan tahun 1446 H dan memasuki 1 Muharram 1447 H. Momen pergantian tahun ini bukan sekadar penanda berlalunya waktu, tetapi juga menjadi kesempatan berharga untuk melakukan introspeksi diri dan memperbaiki kualitas ibadah kepada Allah SWT.

Dalam budaya Jawa, 1 Muharram lebih dikenal dengan sebutan malam 1 Suro. Meskipun berbeda dalam istilah, keduanya merujuk pada hal yang sama: awal tahun baru Islam, yang dimulai saat matahari tenggelam dan bulan baru terlihat di langit.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah menetapkan bahwa 1 Muharram 1447 Hijriyah jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Hari tersebut juga ditetapkan sebagai hari libur nasional keagamaan. Berikut rangkuman lengkap dari Anugerahslot.

Pergantian tahun hijriyah ini merupakan waktu yang sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah. Dalam ajaran Islam, malam 1 Muharram atau malam 1 Suro dipandang sebagai waktu istimewa yang penuh keberkahan. Ada berbagai amalan yang bisa dilakukan untuk menyambutnya, baik dalam bentuk ibadah vertikal kepada Allah maupun interaksi sosial yang baik dengan sesama manusia.

Amalan-amalan tersebut bukan hanya memperkuat hubungan spiritual, tetapi juga menjadi sarana untuk memperdalam makna hijrah—yakni berpindah dari keburukan menuju kebaikan, dari kelalaian menuju kesadaran diri sebagai hamba-Nya.

Momen ini menjadi pengingat bahwa setiap pergantian waktu adalah peluang untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bersyukur, dan lebih dekat dengan Tuhan.

Perbanyak Doa Kepada Allah SWT

KH Yahya Zainul Ma’arif, atau yang akrab disapa Buya Yahya, seorang pendakwah yang bermukim di Cirebon, dalam berbagai pengajiannya menekankan bahwa malam 1 Muharram adalah saat yang sangat bernilai untuk memperbarui niat dan memperbanyak doa kepada Allah SWT.

Buya Yahya menganjurkan agar umat Islam memanfaatkan momen ini untuk bermuhasabah—mengevaluasi diri atas perbuatan selama setahun terakhir—serta memperbanyak ibadah. Salah satu amalan yang dianjurkan adalah membaca doa akhir tahun, yang dibaca sebelum waktu Maghrib pada tanggal 30 Dzulhijjah. Doa ini sebagai bentuk taubat dan permohonan ampun atas kesalahan yang telah dilakukan selama tahun yang akan berlalu.

Bacaan doa akhir tahun yang dikenal luas berbunyi:

اللّٰهُمَّ مَا عَمِلْتُ مِنْ عَمَلٍ فِي هٰذِهِ السَّنَةِ…
Allahumma ma ‘amiltu min ‘amalin fî hadzihi sanati…
Artinya: “Ya Allah, apa pun perbuatan yang kulakukan di tahun ini yang Engkau larang namun belum sempat kutobati…”

Setelah memasuki waktu Maghrib, yang menandai awal tahun baru hijriyah, umat Islam dianjurkan membaca doa awal tahun. Doa ini merupakan permohonan kepada Allah agar diberikan perlindungan dari godaan setan, hawa nafsu, dan dilimpahkan keberkahan di tahun yang baru.

Doa awal tahun berbunyi:

اَللّٰهُمَّ أَنْتَ الأَبَدِيُّ القَدِيمُ الأَوَّلُ…
Allâhumma antal abadiyyul qadîmul awwal…
Artinya: “Ya Allah, Engkau-lah yang Abadi, Qadim, dan yang Awal. Tahun baru ini telah datang. Aku berlindung kepada-Mu dari bujukan Iblis…”

Buya Yahya menegaskan bahwa memperbanyak doa dan memperbaiki niat di malam 1 Muharram adalah bentuk kesungguhan dalam memulai tahun baru dengan penuh kebaikan dan harapan akan ampunan serta keberkahan dari Allah SWT

Amalan Penting Lainnya

Dikutip dari kanal YouTube @Al-Bahjah, umat Islam dapat dengan mudah mengikuti panduan pembacaan doa akhir tahun dan awal tahun hijriyah lengkap dengan pelafalan dan artinya. Panduan ini sangat bermanfaat sebagai rujukan dalam menyambut malam 1 Muharram.

Selain membaca doa, ada beberapa amalan sunnah lain yang sangat dianjurkan untuk dilakukan saat malam pergantian tahun Islam:

1. Memotong Kuku dan Merapikan Diri

Buya Yahya menekankan pentingnya menjaga kebersihan lahir dan batin, termasuk memotong kuku dan merapikan diri. Rasulullah SAW menyebut perbuatan ini sebagai bagian dari fitrah, bentuk penyucian diri sebagai persiapan menyambut tahun baru dengan niat yang bersih.

2. Berpuasa

Puasa pada hari pertama bulan Muharram sangat dianjurkan. Bila mampu, disarankan juga untuk melanjutkannya hingga tanggal 10 Muharram atau Hari Asyura, yang dikenal memiliki keutamaan besar sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadits shahih.

3. Bersedekah

Malam 1 Muharram juga menjadi waktu yang tepat untuk bersedekah, baik dalam bentuk uang, makanan, pakaian, atau bantuan lainnya kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan. Ini adalah bentuk solidaritas sosial yang bernilai ibadah tinggi.

4. Memperbanyak Dzikir dan Doa

Amalan lainnya adalah memperbanyak dzikir dan doa. Di malam pergantian tahun ini, dianjurkan memanjatkan permohonan kebaikan, perlindungan, dan keberkahan untuk hari-hari di tahun yang akan datang.

5. Membaca Al-Qur’an

Malam yang penuh berkah ini juga bisa diisi dengan membaca Al-Qur’an. Surat-surat pendek seperti Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas menjadi pilihan yang baik untuk dibaca dan diamalkan.

6. Menjalin dan Menyambung Silaturahmi

Salah satu amalan yang sangat ditekankan adalah silaturahmi. Malam 1 Muharram bisa dijadikan momen untuk mengunjungi keluarga, memperbaiki hubungan, dan saling memaafkan. Dalam Hadits Qudsi, Allah menjanjikan akan menyambung rahmat-Nya kepada siapa pun yang menyambung tali persaudaraan.

Malam 1 Muharram adalah waktu penuh makna, bukan sekadar pergantian tahun, melainkan momen untuk memperbarui niat dan meningkatkan kualitas ibadah. Dengan semangat hijrah sebagai ruh tahun baru Islam, mari kita jadikan kesempatan ini untuk berpindah dari kesalahan menuju perbaikan, dari lalai menuju sadar, dan dari dosa menuju ampunan.

Semoga tahun baru 1447 Hijriyah membawa keberkahan, keselamatan, dan kebaikan bagi kita semua.

Pernikahan dalam Islam: Rukun, Hukum, dan Pandangan Tentang Hari Baik

Pernikahan dalam Islam: Rukun, Hukum, dan Pandangan Tentang Hari Baik

Stylesphere – Pernikahan merupakan ikatan suci antara dua insan yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis dan diridhai Allah SWT. Dalam ajaran Islam, perintah untuk menikah secara tegas tercantum dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS An-Nur: 32)

Agar sebuah pernikahan dianggap sah secara syariat, harus terpenuhi lima rukun nikah. Hal ini dijelaskan oleh Imam Zakaria al-Anshari kepada anugerahslot dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab:

“Rukun-rukun nikah ada lima: mempelai pria, mempelai wanita, wali, dua orang saksi, dan shighat (akad nikah).”

Kelima rukun ini menjadi landasan utama sahnya sebuah pernikahan dalam Islam.

Menikah di Hari Baik: Perlukah?

Dalam praktiknya, sebagian masyarakat Indonesia masih mempertimbangkan waktu pelaksanaan pernikahan berdasarkan hari atau bulan yang diyakini membawa keberuntungan. Tradisi memilih “hari baik” ini kerap dihubungkan dengan keyakinan akan keberkahan dan keharmonisan rumah tangga yang akan dibangun.

Menanggapi hal ini, Pengasuh LPD Al-Bahjah, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya), memberikan penjelasan penting. Menurut beliau, Islam tidak menentukan hari atau bulan tertentu sebagai waktu terbaik atau sebaliknya dalam melangsungkan pernikahan. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa menikah di bulan tertentu akan membawa sial atau sebaliknya membawa keberuntungan.

Buya Yahya menegaskan bahwa yang terpenting dalam pernikahan adalah niat yang tulus karena Allah, kesiapan lahir dan batin, serta pemenuhan syarat dan rukun nikah. Selama semua itu terpenuhi, maka pernikahan sah dan insyaAllah mendapat keberkahan.

Dengan demikian, umat Islam tidak perlu terikat pada anggapan tertentu tentang hari baik atau buruk dalam menikah. Yang lebih utama adalah mempersiapkan diri dan menjaga niat ibadah dalam membangun rumah tangga.

Buya Yahya: Semua Hari adalah Baik untuk Menikah, Jangan Terjebak Keyakinan yang Salah

Buya Yahya, Pengasuh LPD Al-Bahjah, menegaskan bahwa dalam Islam tidak ada larangan mengenai waktu tertentu untuk melangsungkan pernikahan. Menurut beliau, semua waktu adalah baik untuk melakukan kebaikan, termasuk pernikahan, selama tidak ada larangan khusus dari Allah SWT dan Rasulullah SAW.

“Seperti pernikahan, boleh dilakukan kapan saja. Bahkan pernah suatu ketika kita mengakadkan nikah pada pukul 12 malam. Saat itu kami baru datang dari tempat jauh, dan karena keluarga sudah sepakat serta senang, akhirnya langsung dinikahkan. Tidak ada masalah,” ujar Buya Yahya, dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV, Rabu (11/6/2025).

Beliau juga menjelaskan bahwa memilih hari tertentu untuk melangsungkan pernikahan tidak dilarang, selama alasannya bersifat praktis, bukan karena kepercayaan terhadap mitos atau takhayul.

“Kalau ada yang memilih untuk tidak menikah di hari Rebo Legi karena alasan itu hari pasaran dan orang sibuk, maka itu sah-sah saja. Tapi jangan sampai diyakini bahwa Rebo Legi adalah hari nahas untuk pernikahan. Itu yang salah dan perlu diluruskan,” tegas Buya Yahya.

Buya Yahya mengajak umat Islam untuk meyakini bahwa semua hari adalah baik. Tidak ada satu hari pun dalam Islam yang dianggap sial, termasuk dalam urusan menikah. Justru, beliau menganjurkan agar pernikahan dilakukan segera jika semua syarat sudah terpenuhi, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan secara syar’i.

“Jika sudah ada kesiapan dan keinginan kuat untuk menikah, menundanya tanpa alasan yang kuat justru bisa mendekati perbuatan yang dilarang, apalagi jika sudah muncul dorongan syahwat. Maka, semakin cepat menikah, semakin baik,” pungkasnya.

Dengan demikian, umat Islam diajak untuk meninggalkan kepercayaan terhadap hari sial atau bulan nahas dalam pernikahan, dan lebih fokus kepada kesiapan, niat yang lurus, serta kelengkapan syarat dan rukun nikah yang sesuai syariat.

Ubah Keyakinan Keliru dengan Bijak, Meneladani Dakwah Rasulullah dan Walisongo

Untuk meluruskan keyakinan yang keliru tentang hari atau bulan “sial” dalam pernikahan, diperlukan pendekatan yang bijak dan lembut, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam berdakwah. Metode dakwah yang penuh kelembutan ini kemudian dilanjutkan oleh para ulama dan wali Allah, termasuk para Walisongo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.

“Walisongo dalam merubah keyakinan masyarakat tidak pernah bersikap frontal atau membuat orang terkejut. Mereka menggunakan cara yang halus dan penuh hikmah,” tutur Buya Yahya.

Terkait pemilihan hari pernikahan, Buya Yahya menambahkan bahwa sah-sah saja jika seseorang memilih hari tertentu dengan pertimbangan praktis, misalnya agar lebih banyak keluarga atau kerabat yang dapat hadir.

“Jika mempelai tidak dalam kondisi mendesak, memilih hari yang memungkinkan lebih banyak keluarga dan tamu hadir tentu boleh. Tapi jangan sampai ada keyakinan bahwa hari tertentu membawa sial, itu yang perlu diluruskan,” pungkasnya.

Wallahu a’lam.

Doa Setelah Pulang Haji: Ucapan Syukur dan Harapan untuk Tetap Istiqamah

Doa Setelah Pulang Haji: Ucapan Syukur dan Harapan untuk Tetap Istiqamah

Stylesphere – Menunaikan ibadah haji merupakan impian mulia bagi setiap Muslim. Setelah melewati serangkaian ibadah yang sarat dengan pengorbanan, keikhlasan, dan kesabaran di Tanah Suci, momen kepulangan jemaah haji ke tanah air menjadi saat yang sangat dinanti dan penuh haru.

Di tengah kegembiraan keluarga dan kerabat yang menyambut dengan suka cita, momen ini sebaiknya juga disertai dengan doa-doa penuh makna. Doa kepulangan dari haji tidak hanya menjadi ungkapan rasa syukur atas keselamatan dan kelancaran perjalanan, tetapi juga merupakan ikhtiar spiritual untuk menjaga kemabruran haji yang telah diperjuangkan.

Dengan doa, seorang haji memohon kepada Allah agar diberikan keistiqamahan dalam beribadah, serta memohon keberkahan bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Doa ini menjadi langkah awal dalam mempertahankan semangat ibadah dan nilai-nilai yang didapat selama berada di Tanah Suci.

Dalam panduan ini, terdapat beberapa doa yang dianjurkan dibaca usai pulang dari ibadah haji, baik untuk diri sendiri maupun oleh para penyambut sebagai bentuk penghormatan dan harapan atas haji yang mabrur.

Berikut adalah rangkaian doa-doa yang dapat diamalkan, sebagaimana dikutip dari laman Anugerahslot Online Lampung, Senin (9/6/2025).

Rangkaian Doa Setelah Pulang Haji: Ucapan Syukur dan Permohonan Keberkahan

Menunaikan ibadah haji adalah puncak spiritualitas bagi seorang Muslim, yang sarat dengan pengorbanan, keikhlasan, dan penguatan iman. Setelah menjalani seluruh rangkaian ibadah di Tanah Suci, kepulangan para jemaah haji ke kampung halaman menjadi momen istimewa yang tak hanya disambut dengan suka cita keluarga, tetapi juga diiringi dengan doa-doa penuh makna.

Doa ketika pulang dari haji bukan sekadar ungkapan syukur atas perjalanan yang selamat, tetapi juga menjadi ikhtiar untuk menjaga kemabruran haji dan memohon agar semangat ibadah terus terjaga dalam kehidupan sehari-hari.

Berikut ini adalah beberapa doa yang dianjurkan dibaca saat pulang dari haji, baik oleh jemaah haji sendiri maupun oleh keluarga yang menyambut:

1. Doa Ketika Telah Sampai di Tanah Air

آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ، سَاجِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ
Âyibûna, tâ’ibûn, ‘âbidûn, sâjidûn li rabbinâ hâmidûn.

Artinya:
(Kami) pulang, bertobat, menyembah, bersujud, dan memuji Tuhan kami.

Doa ini dibaca sebagai bentuk syukur atas kembalinya jemaah ke tanah air dengan selamat serta sebagai pengakuan atas ibadah yang telah dijalani dengan penuh keikhlasan.

2. Doa Saat Memasuki Kampung Halaman

بسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إنِّي أسألُكَ خَيْرَها وَخَيْرَ أهلها وَخَيْرَ ما فِيها، وأعُوذُ بِكَ مِنْ شَرّها وَشَرّ أهلها وَشَرّ مَا فِيهَا
Bismillâh, allâhumma innî as-aluka khairahâ wa khaira ahlihâ wa khaira mâ fîhâ, wa a‘ûdzubika min syarrihâ wa syarri ahlihâ wa syarri mâ fîhâ.

Artinya:
Dengan nama Allah, ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penduduknya, dan kebaikan apa yang ada di dalamnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan kampung ini, keburukan penduduknya, dan keburukan apa yang ada di dalamnya.

Doa ini mencerminkan harapan agar kepulangan membawa kebaikan, serta perlindungan dari potensi keburukan di tempat yang dituju.

Dengan membaca doa-doa ini, diharapkan para jemaah haji tidak hanya kembali secara fisik, tetapi juga membawa pulang ruh spiritual haji ke dalam kehidupan mereka. Doa menjadi jembatan antara ibadah yang telah dijalani dan komitmen untuk terus memperbaiki diri serta memberi manfaat bagi lingkungan sekitar

Semoga haji yang telah dilaksanakan diterima Allah sebagai haji yang mabrur, dan menjadi titik awal kehidupan yang lebih berkah dan bermakna.

Doa-Doa Kepulangan dari Ibadah Haji: Menyambut dengan Syukur dan Harapan

Kepulangan jemaah haji dari Tanah Suci adalah momen penuh haru dan kebahagiaan, tidak hanya bagi para jemaah itu sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat yang menanti. Di tengah suka cita, alangkah baiknya momen ini disertai dengan doa-doa syukur dan harapan, sebagai bentuk penghormatan terhadap ibadah yang telah dijalani, serta untuk menjaga semangat dan kemabruran haji yang diraih.

Berikut adalah rangkaian doa-doa yang dianjurkan untuk dibaca oleh jemaah maupun orang-orang yang menyambut mereka:

1. Doa Syukur Saat Kembali ke Tanah Air

آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ، سَاجِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ
Âyibûna, tâ’ibûn, ‘âbidûn, sâjidûn li rabbinâ hâmidûn.

Artinya:
(Kami) pulang, bertobat, menyembah, bersujud, dan memuji Tuhan kami.

2. Doa Memasuki Kampung Halaman

بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ أَهْلِهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ أَهْلِهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا
Bismillâh, allâhumma innî as-aluka khairahâ wa khaira ahlihâ wa khaira mâ fîhâ, wa a‘ûdzubika min syarrihâ wa syarri ahlihâ wa syarri mâ fîhâ.

Artinya:
Dengan nama Allah, ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penduduknya, dan kebaikan apa yang ada di dalamnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan kampung ini, keburukan penduduknya, dan keburukan apa yang ada di dalamnya.

3. Doa Pertobatan yang Mendalam

تَوْبًا تَوْبًا، لِرَبِّنَا أَوْبًا، لَا يُغَادِرُ حُوْبًا
Tauban, tauban, li rabbinâ awban, lâ yughâdiru hûban.

Artinya:
Kami sungguh memohon pertobatan. Kepada Tuhan kami, kami kembali, tobat yang tidak menyisakan dosa.

4. Doa dari Keluarga dan Penyambut Jemaah

قَبَّلَ اللهُ حَجَّكَ، وَغَفَرَ ذَنْبَكَ، وَأَخْلَفَ نَفَقَتَكَ
Qabballallâhu hajjaka, wa ghafara dzanbaka, wa akhlafa nafaqataka.

Artinya:
Semoga Allah menerima ibadah hajimu, mengampuni dosamu, dan mengganti pengeluaranmu.

5. Doa dari Riwayat Imam Al-Baihaqi

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْحَاجِّ وَلِمَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُ الحَاجُّ
Allâhummaghfir lil hâjj, wa li man istaghfara lahul hâjj.

Artinya:
Ya Allah, ampunilah dosa jemaah haji ini dan dosa orang yang dimintakan ampun oleh jemaah haji ini.

Membaca dan mengamalkan doa-doa ini saat menyambut kepulangan dari haji merupakan bentuk penghormatan terhadap perjalanan spiritual yang luar biasa. Semoga doa-doa ini menjadi peneguh bagi jemaah agar senantiasa istiqamah dalam kebaikan, serta menjadi sumber keberkahan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya.

🕌 Apa itu Puasa Ayyamul Bidh?

🕌 Apa itu Puasa Ayyamul Bidh?

Stylesphere – Puasa Ayyamul Bidh adalah puasa sunnah yang dilakukan pada tiga hari pertengahan bulan Hijriah, yakni tanggal 13, 14, dan 15. Karena 13 Dzulhijjah adalah hari tasyrik, maka untuk bulan ini, puasa Ayyamul Bidh dimulai tanggal:

16 Dzulhijjah 1446 HKamis, 12 Juni 2025

14 Dzulhijjah 1446 HSelasa, 10 Juni 2025

15 Dzulhijjah 1446 HRabu, 11 Juni 2025

Keutamaan Puasa Ayyamul Bidh

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Berpuasa tiga hari setiap bulan seperti puasa sepanjang tahun.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Puasa ini dianjurkan karena:

  • Mendapat pahala seperti berpuasa sepanjang tahun
  • Menambah amalan sunnah pasca Iduladha
  • Menjadi sarana penghapus dosa

📝 Niat Puasa Ayyamul Bidh

Waktu niat: sebelum fajar (waktu Subuh). Namun, jika belum makan dan minum sejak subuh, boleh berniat di siang hari untuk puasa sunnah.

Lafal niat:

نَوَيْتُ صَوْمَ أَيَّامِ الْبِيضِ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitu shouma ayyamil bidh sunnatan lillāhi ta‘ālā
Artinya: “Saya niat puasa Ayyamul Bidh sunnah karena Allah Ta’ala.”

📋 Tata Cara Puasa Ayyamul Bidh

  1. Berniat sebelum fajar
  2. Menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar (Subuh) hingga matahari terbenam (Maghrib)
  3. Melaksanakan ibadah lain: seperti salat sunnah, tilawah Qur’an, dzikir, dan sedekah
  4. Berbuka puasa tepat waktu dan dianjurkan dengan kurma atau air

Semoga Allah menerima ibadah puasa Anugerahslot dan memberikan keberkahan di sisa bulan Dzulhijjah ini.

🕋 Tata Cara Puasa Ayyamul Bidh

1. Niat

  • Waktu niat: Mulai dari malam hari hingga sebelum zawal (matahari tergelincir ke barat atau masuk waktu Zuhur).
  • Syarat niat di siang hari: Belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar.
  • Dilakukan di dalam hati, dan disunnahkan diucapkan dengan lisan.

Lafal niat puasa Ayyamul Bidh:

نَوَيْتُ صَوْمَ أَيَّامِ الْبِيْضِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ayyâmil bîdl lilâhi ta‘âlâ.
Artinya: “Saya niat puasa Ayyamul Bidh karena Allah Ta‘âlâ.”

2. Makan Sahur

  • Waktu sahur: Dianjurkan di akhir malam, menjelang Subuh.
  • Keutamaannya: Mengandung keberkahan dan membedakan puasa umat Islam dari puasa umat lain.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bersahurlah kalian, karena dalam sahur itu terdapat keberkahan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

3. Menjalankan Puasa

  • Waktu puasa: Dari terbit fajar (Subuh) hingga terbenam matahari (Maghrib).
  • Menahan diri dari:
    • Makan dan minum
    • Hubungan suami istri
    • Perbuatan yang membatalkan puasa
  • Menjaga pahala puasa dengan menghindari:
    • Perkataan kotor
    • Ghibah (menggunjing)
    • Dosa dan maksiat

4. Berbuka Puasa

  • Disunnahkan berbuka tepat waktu saat adzan Maghrib berkumandang.
  • Dianjurkan berbuka dengan kurma, jika tidak ada maka cukup dengan air.

Nabi ﷺ bersabda:
“Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Benar, puasa Ayyamul Bidh memiliki keutamaan yang sangat besar di sisi Allah ﷻ. Salah satu keutamaannya adalah mendapatkan pahala seperti berpuasa sepanjang tahun, sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih berikut:

Keutamaan Puasa Ayyamul Bidh

“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.”
(HR. Bukhari, no. 1979)

Hadis ini diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, dan menunjukkan bahwa siapa saja yang rutin melaksanakan puasa tiga hari dalam sebulan — termasuk Ayyamul Bidh — akan mendapatkan pahala seolah-olah berpuasa sepanjang tahun.

📌 Kenapa pahalanya seperti puasa setahun?

Karena dalam Islam, setiap amal kebaikan dibalas sepuluh kali lipat. Maka:

  • 3 hari x 10 = 30 hari
    → Seperti berpuasa 30 hari, atau satu bulan penuh.

Jika dilakukan setiap bulan, maka:

  • 12 bulan x 1 bulan = 12 bulan
    → Seperti berpuasa setahun penuh.

📅 Rutinitas Sunnah yang Ringan

Puasa Ayyamul Bidh adalah amalan ringan yang bisa dilakukan siapa saja, namun pahalanya sangat besar. Ini adalah salah satu bentuk amal yang Rasulullah ﷺ rutin lakukan, dan beliau tidak pernah meninggalkannya, bahkan saat safar jika memungkinkan.

Bolehkah Daging Kurban Dijadikan Sajian Walimah? Ini Penjelasan Syariatnya

Bolehkah Daging Kurban Dijadikan Sajian Walimah? Ini Penjelasan Syariatnya

StylesphereWalimah merupakan bentuk syiar dan ungkapan rasa syukur dalam Islam yang dilakukan setelah akad pernikahan. Tujuan utamanya adalah untuk mengumumkan pernikahan secara terbuka, mempererat tali silaturahmi, serta berbagi kebahagiaan dengan orang-orang sekitar.

Rasulullah SAW menganjurkan pelaksanaan walimah, bahkan meskipun hanya dengan seekor kambing. Hal ini menegaskan bahwa walimah tak harus digelar dengan kemewahan, namun lebih pada makna dan keberkahan yang menyertainya.

Berbarengan dengan bulan Dzulhijjah, umat Islam juga menjalankan ibadah kurban, yakni menyembelih hewan tertentu untuk kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin dan masyarakat sekitar.

Namun, muncul pertanyaan: bolehkah menggunakan daging kurban sebagai sajian untuk acara walimah?

Pertanyaan ini cukup penting, mengingat niat utama dari ibadah kurban adalah ibadah murni yang diperuntukkan bagi Allah SWT dan disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak.

Menurut ulasan dari NU Online kepada Anugerahslot hari Sabtu (7/6/2025), terdapat penjelasan dalam literatur fikih yang menyebutkan bahwa daging kurban tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi pribadi atau dijadikan jamuan dalam acara pribadi seperti walimah, jika hewan tersebut merupakan kurban wajib atau nadzar.

Namun, jika hewan kurban tersebut berstatus sunah (bukan nadzar), maka boleh saja sebagian dagingnya dimanfaatkan untuk keperluan pribadi, termasuk disajikan dalam acara walimah, dengan syarat utama bahwa sebagian besar daging tetap dibagikan kepada mereka yang berhak menerima.

Kesimpulannya, penggunaan daging kurban untuk sajian walimah diperbolehkan selama kurbannya bukan nadzar dan pembagian daging kepada kaum dhuafa tetap diutamakan. Hal ini tetap sejalan dengan esensi kurban sebagai ibadah sosial dan bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Hukum Walimah dan Bolehkah Menggunakan Daging Kurban untuk Jamuan?

Dalam ajaran Islam, walimah merupakan bentuk syiar dan ungkapan syukur yang dilakukan setelah akad pernikahan. Selain menjadi tanda pengumuman kepada masyarakat luas, walimah juga menjadi momen untuk mempererat tali silaturahmi dan berbagi kebahagiaan bersama.

Nabi Muhammad SAW pun menganjurkan umatnya untuk mengadakan walimah, sebagaimana tergambar dalam hadis dari sahabat Anas RA, saat beliau menyampaikan perintah kepada Abdurrahman bin Auf:

“Dari sahabat Anas, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW melihat bekas warna kuning pada tubuh Abdurrahman bin Auf, lalu beliau bertanya: ‘Apa ini?’ Abdurrahman menjawab: ‘Saya baru menikah dengan seorang perempuan dengan mahar seberat biji emas.’ Nabi bersabda: ‘Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing.'” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini sering dijadikan dasar oleh sebagian ulama bahwa walimah hukumnya wajib. Namun, menurut pendapat yang lebih kuat (adzhar), hukum walimah adalah sunnah muakkadah—artinya sangat dianjurkan.

Hal ini dijelaskan dalam kitab Kifayatul Akhyar, karya Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hishni, sebagai berikut:

“Pendapat yang lebih kuat adalah yang ditegaskan oleh Imam Abu Ishaq As-Syirazi, bahwa walimah hukumnya sunnah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW: ‘Tidak ada hak dalam harta kecuali zakat.’ Selain itu, karena walimah merupakan bentuk hidangan yang tidak khusus untuk orang miskin, maka hukumnya menyerupai ibadah kurban (udhiyah) dan dapat dianalogikan dengan berbagai jenis jamuan lainnya. Maka, hadis tentang perintah Nabi dalam walimah Abdurrahman bin Auf dipahami sebagai bentuk penekanan terhadap kesunnahan tersebut.” (Kifayatul Akhyar, hal. 374)

Bolehkah Menggunakan Daging Kurban untuk Jamuan Walimah?

Terkait penggunaan daging kurban dalam walimah, perlu dilihat dari jenis kurban yang dilakukan:

  • Jika kurban tersebut adalah kurban wajib atau nadzar, maka dagingnya tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, termasuk untuk jamuan walimah.
  • Namun jika kurbannya bersifat sunah (udhiyah biasa), maka boleh menggunakan sebagian dagingnya untuk keperluan pribadi, termasuk sebagai sajian dalam acara walimah, selama tetap membagikan sebagian besar daging kepada yang berhak menerimanya.

Dengan demikian, menyajikan hidangan walimah dari daging kurban diperbolehkan dalam Islam, asalkan kurbannya bukan nadzar dan hak mustahik tetap terpenuhi.

Bolehkah Menggunakan Daging Kurban sebagai Sajian Walimah?

Dalam Islam, walimatul ‘ursy merupakan sunnah yang dianjurkan sebagai bentuk pengumuman pernikahan, rasa syukur, dan sarana berbagi kebahagiaan. Rasulullah SAW sendiri memerintahkan Abdurrahman bin Auf untuk mengadakan walimah meskipun hanya dengan seekor kambing, sebagaimana dalam hadis sahih yang telah disebutkan sebelumnya.

Hadis tersebut menunjukkan bahwa menyajikan makanan kepada para tamu walimah, meskipun sederhana, tetap memiliki nilai ibadah. Namun, muncul pertanyaan: bolehkah menyajikan daging kurban sebagai hidangan walimah, dengan alasan agar lebih efisien dan mendapatkan dua pahala sekaligus—kurban dan walimah?

Penjelasan Ulama: Daging Kurban Harus Dibagikan dalam Keadaan Mentah

Pertanyaan ini telah dijawab oleh para ulama, di antaranya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, seorang ulama mazhab Syafi’i yang otoritatif. Dalam penjelasannya, beliau menyatakan bahwa:

Daging hewan kurban wajib dibagikan kepada fakir miskin dalam kondisi mentah, bukan dalam bentuk makanan siap santap.

Artinya, meskipun kurban merupakan ibadah sedekah berupa daging, syarat sahnya adalah diserahkan dalam bentuk daging mentah kepada para mustahik. Fakir miskin sebagai penerima daging kurban berhak mengelola dan memanfaatkannya sendiri, termasuk jika mereka ingin memasak atau menjualnya. Namun, pihak yang berkurban tidak diperkenankan mengolahnya terlebih dahulu untuk disajikan kepada mereka.

Dengan demikian, menyajikan daging kurban yang telah dimasak sebagai hidangan walimah tidak diperbolehkan menurut ketentuan fiqih. Hal ini karena:

  1. Walimah berarti menyajikan makanan siap santap kepada tamu.
  2. Kurban (udhiyah) mewajibkan pembagian daging mentah kepada fakir miskin sebagai bentuk sedekah.

Kesimpulan

Menggabungkan dua ibadah — kurban dan walimah — dalam bentuk menyajikan daging kurban yang sudah dimasak untuk walimah tidak dibenarkan menurut syariat. Masing-masing memiliki prinsip dan aturan tersendiri:

  • Kurban: daging dibagikan dalam keadaan mentah, khususnya kepada fakir miskin.
  • b

Jika ingin tetap melaksanakan kedua ibadah ini, maka solusi terbaik adalah:

✅ Menyajikan makanan dari sumber lain (bukan daging kurban) untuk acara walimah.
✅ Sementara daging kurban tetap dibagikan dalam bentuk mentah sesuai tuntunan syariat.

Dengan demikian, kedua ibadah bisa dijalankan secara sah dan memperoleh keberkahan maksimal.

Mengapa Umat Islam Dilarang Puasa di Hari Tasyrik Dzulhijjah 2025?

Mengapa Umat Islam Dilarang Puasa di Hari Tasyrik Dzulhijjah 2025?

StylesphereDzulhijjah merupakan salah satu dari empat bulan mulia (asyhurul hurum) yang dimuliakan Allah SWT. Ketika memasuki bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk meningkatkan ibadah, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Salah satu amalan utama yang dianjurkan adalah puasa sunnah di awal bulan Dzulhijjah, khususnya dari tanggal 1 hingga 9. Tanggal 9 Dzulhijjah dikenal sebagai Hari Arafah, yang memiliki keutamaan besar bagi umat Islam yang tidak sedang menunaikan ibadah haji.

Namun, penting untuk diketahui bahwa tidak semua hari di bulan Dzulhijjah dianjurkan untuk berpuasa. Ada tiga hari penting dalam bulan ini yang justru dilarang untuk berpuasa, yaitu hari-hari tasyrik yang jatuh pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.

Apa Itu Hari Tasyrik?

Hari tasyrik adalah tiga hari setelah Idul Adha (10 Dzulhijjah) yang juga termasuk dalam waktu penyembelihan hewan kurban. Artinya, ibadah kurban tidak terbatas pada hari raya saja, tetapi dapat dilakukan hingga hari tasyrik terakhir (13 Dzulhijjah).

Mengapa Dilarang Berpuasa?

Larangan berpuasa pada hari tasyrik didasarkan pada sabda Rasulullah SAW:

“Hari-hari tasyrik adalah hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah.”
(HR. Muslim)

Hari-hari ini merupakan momen bersyukur atas nikmat Allah, terutama setelah pelaksanaan ibadah haji dan kurban. Karenanya, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak dzikir, makan, dan minum, bukan menahan diri seperti dalam ibadah puasa.

Kesimpulan

Meskipun awal Dzulhijjah sangat dianjurkan untuk berpuasa, umat Islam harus menghindari puasa pada hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah). Sebab, hari-hari ini adalah waktu untuk menikmati rezeki dari Allah, memperkuat ukhuwah, serta mengisi hari dengan dzikir dan rasa syukur.

Mengapa Dilarang Puasa di Hari Tasyrik Setelah Idul Adha?

Tiga hari setelah Idul Adha, atau dikenal sebagai hari-hari tasyrik, menjadi waktu yang istimewa bagi umat Islam. Di masa ini, daging kurban masih banyak dibagikan dan diolah menjadi berbagai hidangan lezat oleh masyarakat. Inilah salah satu alasan mengapa umat Islam dilarang berpuasa pada hari-hari tersebut.

Apa Itu Hari Tasyrik?

Hari tasyrik adalah tiga hari setelah Hari Raya Idul Adha, yakni tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Menurut para ulama bahasa dan fiqih, disebut tasyrik karena pada masa itu daging kurban dijemur di bawah sinar matahari untuk diawetkan, dalam bentuk dendeng atau semacamnya.

Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah disebutkan:

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ … سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لأَنَّ لُحُومَ الأَضَاحِيِّ تُشَرَّقُ فِيهَا، أَيْ تُقَدَّدُ فِي الشَّمْسِ
“Hari tasyrik menurut ahli bahasa dan fiqih adalah tiga hari setelah hari kurban. Dinamakan tasyrik karena daging kurban didendeng (dipanaskan di bawah terik matahari) pada hari-hari itu.”
(Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah 320, dikutip via NU Online Jatim)

Dalil Larangan Puasa di Hari Tasyrik

Larangan untuk berpuasa pada hari tasyrik juga disebutkan dalam hadits shahih:

عَنْ عَائِشَةَ وَعَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ … لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدْ الْهَدْيَ
“Diriwayatkan dari Aisyah dan dari Salim dari Ibn Umar, keduanya berkata, tidak diberi keringanan untuk berpuasa di hari tasyrik kecuali bagi mereka yang tidak memiliki hewan kurban (hadyu).”
(HR. Bukhari No. 1859)

Hikmah di Balik Larangan

Hari tasyrik adalah waktu untuk makan, minum, dan berdzikir kepada Allah, sebagai bentuk syukur atas nikmat-Nya. Oleh karena itu, bukan hanya ibadah kurban yang diperbolehkan hingga hari tasyrik terakhir, tapi umat Islam juga didorong untuk menikmati rezeki yang telah diberikan, bukan menahan diri dengan puasa.

Kesimpulan:
Puasa di hari tasyrik dilarang karena bertentangan dengan semangat hari-hari tersebut yang dipenuhi rasa syukur dan kebersamaan. Kecuali dalam kondisi khusus seperti bagi jamaah haji yang tidak mendapatkan hewan kurban, puasa tetap tidak dianjurkan.

Jika Anda ingin versi artikel ini dijadikan infografis, teks khutbah, atau konten edukatif digital, saya siap bantu buatkan.

Mengapa Umat Islam Dilarang Puasa di Hari Tasyrik?

Hari Tasyrik—yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah—merupakan bagian dari rangkaian perayaan Idul Adha yang dimuliakan dalam Islam. Selain sebagai waktu untuk menyembelih dan membagikan daging kurban, hari-hari ini juga secara tegas disebut sebagai hari makan dan minum, bukan hari untuk berpuasa.

Dalil Larangan Puasa di Hari Tasyrik

Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:

عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Dari Nubaishah, ia berkata, Rasulullah bersabda: Hari-hari tasyrik adalah hari makan dan minum.”
(HR. Muslim No. 1141)

Makna dari hadis ini menegaskan bahwa hari-hari tasyrik bukanlah waktu untuk menahan diri dari makan dan minum, sebagaimana yang dilakukan dalam puasa. Sebaliknya, umat Islam didorong untuk menikmati rezeki dari Allah sebagai bentuk syukur.

Pengumuman Langsung dari Rasulullah ﷺ

Diperkuat lagi dalam riwayat lain dari Musnad Ahmad:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُذَافَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يُنَادِيَ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Dari Abdullah bin Hudzafah, sesungguhnya Nabi Muhammad ﷺ memerintahkannya untuk menyerukan bahwa hari-hari tasyrik adalah hari makan dan minum.”
(HR. Ahmad)

Dalam Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi menegaskan bahwa hadis-hadis ini menjadi dalil kuat atas larangan puasa pada hari-hari tasyrik.

Hikmah Larangan Puasa

Alasan dilarangnya puasa di hari tasyrik tidak hanya karena adanya larangan langsung dari Nabi ﷺ, tetapi juga karena hari-hari tersebut merupakan perpanjangan dari Idul Adha. Pada masa ini:

  • Daging kurban masih dalam proses pembagian.
  • Banyak keluarga mengolah daging menjadi hidangan lezat.
  • Umat Islam dianjurkan untuk bersyukur dan berbagi kebahagiaan dengan makan bersama.

Dengan demikian, hari tasyrik adalah momen untuk memperkuat rasa syukur, kebersamaan, dan kegembiraan, bukan waktu untuk menahan diri dari makan dan minum.

Mandi Sunnah Idul Adha: Amalan Penting Sebelum Sholat Hari Raya

Mandi Sunnah Idul Adha: Amalan Penting Sebelum Sholat Hari Raya

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu momen penting dalam kalender ibadah umat Islam. Setiap 10 Dzulhijjah, umat Muslim di seluruh dunia merayakan hari besar ini dengan berbagai bentuk ibadah, mulai dari sholat Idul Adha hingga penyembelihan hewan kurban. Bagi sebagian umat, hari tersebut juga bertepatan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci.

Namun, di antara amalan-amalan utama tersebut, ada satu sunnah yang kerap dilupakan: mandi sunnah Idul Adha.

Makna dan Keutamaan Mandi Sunnah di Hari Raya

Mandi sunnah sebelum sholat Idul Adha bukan hanya soal kebersihan fisik, melainkan juga simbol penyucian diri secara spiritual. Tradisi ini telah lama dilakukan oleh para ulama dan merupakan bentuk penghormatan terhadap hari raya Islam yang penuh berkah dan ampunan.

Dalam literatur klasik Islam, mandi ini termasuk dalam daftar mandi yang disunnahkan (mandi mustahabb), sebagaimana juga dianjurkan pada Hari Raya Idul Fitri.

Niat Mandi Sunnah Idul Adha

Niat adalah elemen penting dalam setiap ibadah. Berikut lafaz niat mandi sunnah Idul Adha:

Niat dalam bahasa Arab:
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِعِيْدِ الأَضْحَى سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى

Artinya:
“Aku niat mandi sunnah Idul Adha karena Allah Ta’ala.”

Waktu yang Dianjurkan

Waktu terbaik untuk melaksanakan mandi sunnah Idul Adha adalah pagi hari sebelum berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat Idul Adha. Mandi sebaiknya dilakukan setelah fajar dan sebelum sholat agar sesuai dengan tuntunan sunnah.

Panduan Lengkap Mandi Sunnah Idul Adha, Berdasarkan Rujukan Ulama

Artikel ini disusun pada Kamis, 5 Juni 2025 oleh Anugerahslot sebagai referensi inspiratif bagi Anda yang ingin menyambut Hari Raya Idul Adha dengan lebih maksimal dan bermakna, sesuai sunnah Rasulullah SAW.

Rujukan Ulama: Mandi Sunnah Hari Raya

Dalam sebuah artikel yang dimuat NU Online pada Kamis (05/06/2025), dijelaskan bahwa mandi sunnah Idul Adha merupakan bagian dari ajaran yang dianjurkan oleh para ulama klasik. Salah satu referensi utamanya adalah kitab Hasyiyah al-Bajuri karya Syekh Ibrahim al-Bajuri.

Dalam kitab tersebut, disebutkan:

غسل العيدين الفطر والاضحى
Artinya: “Dan mandi pada dua hari raya, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.”
(Hasyiyah al-Bajuri, Jilid 1, Dar al-Minhaj, 2016)

Pernyataan ini menguatkan bahwa mandi pada hari raya bukan hanya soal kebersihan fisik, tetapi juga bagian dari ibadah dengan dasar fiqih yang kuat. Tentunya, niat khusus menjadi syarat penting agar mandi ini sah sebagai mandi sunnah Idul Adha.

Lafal Niat Mandi Sunnah Idul Adha

Untuk meraih pahala ibadah secara sempurna, berikut adalah lafal niat mandi sunnah Idul Adha:

Arab:
نَوَيْتُ سُنَّةَ الْغُسْلِ لِعِيْدِ الْأَضْحَى

Latin:
Nawaitu sunnatal ghusli li ‘Idil Adlha

Artinya:
“Saya niat sunnah mandi untuk Hari Raya Idul Adha.”

Waktu Pelaksanaan Mandi Idul Adha

Mandi sunnah Idul Adha bisa dilakukan sejak tengah malam menjelang 10 Dzulhijjah. Namun, waktu terbaiknya adalah setelah masuk waktu Subuh dan sebelum pelaksanaan shalat Id.

⚠️ Catatan penting:
Jika mandi dilakukan sebelum tengah malam, maka tidak dihitung sebagai mandi Idul Adha. Oleh karena itu, sangat penting memperhatikan waktu pelaksanaannya agar ibadah ini sah dan berpahala.

Keutamaan Mandi Sunnah Idul Adha bagi Seluruh Kalangan

Mandi sunnah Idul Adha adalah amalan yang disyariatkan bagi semua kalangan umat Islam—baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Bahkan, anak-anak pun dianjurkan untuk ikut serta melakukannya sebagai bentuk pengenalan sejak dini terhadap nilai-nilai ibadah dalam Islam.

Menariknya, sunnah ini tetap berlaku bagi mereka yang tidak dapat menunaikan shalat Id karena alasan syar’i, seperti sedang haid, nifas, atau uzur lainnya. Mandi tetap bisa dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap hari besar umat Islam.

Lebih dari Sekadar Bersih-Bersih

Mandi sunnah pada pagi hari raya bukan semata soal kebersihan jasmani, tetapi mencerminkan kesucian lahir dan batin dalam menyambut momen agung. Sebagaimana jamaah haji disunnahkan mandi sebelum wukuf di Arafah, umat Muslim di kampung halaman pun dianjurkan menyambut Idul Adha dengan mandi sunnah—sebagai simbol kesiapan diri dalam beribadah dan memuliakan hari raya.

Menyucikan Diri Sebelum Shalat Id

Meski terkesan ringan, amalan mandi sunnah ini membawa pesan spiritual yang mendalam. Ia menjadi pengantar kesucian diri sebelum berdiri bersama umat Muslim lainnya dalam shalat Idul Adha, yang penuh kekhusyukan dan kebersamaan. Mandi menjadi bagian dari persiapan batin yang menyeluruh, menyambut hari yang penuh rahmat dan ampunan dari Allah SWT.

Mengawali Hari Raya dengan Keberkahan

Tak ada salahnya meluangkan waktu di pagi Hari Raya untuk menunaikan mandi sunnah. Amalan sederhana ini bisa menjadi penyempurna ibadah, sekaligus pembuka pintu keutamaan dari Allah. Dengan menyambut Idul Adha dalam keadaan bersih, suci, dan semangat ibadah yang tinggi, kita berharap dapat meraih keberkahan berlimpah—termasuk dalam menjalani hari-hari tasyrik yang menyusul setelahnya.