Misteri Keberadaan Malaikat Raqib dan Atid, Pencatat Amal Manusia

Stylesphere – Keberadaan malaikat Raqib dan Atid, yang bertugas mencatat amal baik dan buruk manusia, masih menjadi topik menarik di kalangan umat Islam. Meski dikenal luas melalui ajaran agama, letak pasti dari kedua malaikat ini tidak pernah dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an maupun hadis.

Banyak yang bertanya-tanya: Apakah malaikat Raqib dan Atid berada di tempat yang tetap atau berpindah-pindah? Apakah keduanya berada di satu sisi tubuh manusia, atau masing-masing memiliki posisi tertentu?

Perbedaan pandangan pun muncul di kalangan para ulama. Ada yang berpendapat bahwa Raqib dan Atid berada di sisi kanan dan kiri manusia—Raqib di kanan untuk mencatat amal baik, dan Atid di kiri untuk mencatat amal buruk. Namun, pendapat ini pun tidak bersifat mutlak, karena posisi mereka bukanlah sesuatu yang dijelaskan secara rinci dalam ajaran Islam.

Pembahasan ini dikutip dari Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah – KTB pada Minggu (11/5/2025), yang menegaskan bahwa keberadaan malaikat ini termasuk dalam perkara ghaib yang hanya diketahui hakikatnya oleh Allah SWT.

Sebagai penguat, disebutkan dalam Al-Qur’an surat Qaf ayat 18:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Raqib dan Atid.”

Ayat ini menunjukkan bahwa kedua malaikat tersebut selalu berada “di dekatnya,” yakni dekat dengan manusia, dan tidak ada satu pun ucapan atau perbuatan yang luput dari pengawasan mereka.

Oleh karena itu, meskipun keberadaan pastinya tidak bisa dipastikan secara fisik, umat Islam meyakini bahwa Raqib dan Atid selalu menyertai manusia setiap saat. Keyakinan ini menjadi pengingat agar selalu menjaga perilaku dan perkataan, karena semua akan dicatat dan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Beragam Pandangan tentang Lokasi Malaikat Raqib dan Atid

Keberadaan malaikat Raqib dan Atid, dua makhluk Allah yang bertugas mencatat amal baik dan buruk manusia, menjadi pembahasan menarik dalam literatur keislaman. Para ulama dari berbagai generasi telah mengemukakan pendapat berbeda mengenai posisi kedua malaikat ini, meski semua sepakat bahwa mereka selalu dekat dengan manusia.

Imam Ad-Dhohak dan Al-Hasan menjelaskan bahwa malaikat Raqib dan Atid berada di bawah gigi geraham, tepatnya di atas tenggorokan. Letak ini menunjukkan kedekatan mereka dengan mulut, tempat ucapan manusia keluar dan menjadi bagian penting dari amal yang dicatat.

Riwayat lain, yang lebih populer di kalangan umat Islam, menyebutkan bahwa malaikat pencatat amal baik berada di sebelah kanan manusia, sementara pencatat amal buruk berada di sebelah kiri. Pandangan ini menekankan simbolisme antara kebaikan dan keburukan yang menyertai setiap langkah hidup manusia.

Dalam kitab Nuruzh Zholam halaman 19, disebutkan bahwa kedua malaikat itu masing-masing bernama Raqib dan Atid. Beberapa ulama, seperti Syekh al-Bajuri dan Jalal al-Mahalli, menjelaskan bahwa meskipun namanya terdengar sebagai satu kesatuan, sebenarnya mereka adalah dua malaikat berbeda dengan tugas yang spesifik.

Pendapat lain yang tak kalah menarik menyebut bahwa posisi mereka berada di pojok gigi geraham kanan dan kiri. Ini menegaskan kedekatan mereka dengan ucapan, sebagai aspek penting dari amal manusia.

Ada juga pandangan yang menyatakan bahwa Raqib dan Atid berada di kedua pundak manusia. Simbol ini menggambarkan keseimbangan catatan amal yang selalu mengikuti manusia ke mana pun mereka pergi.

Beberapa riwayat lain menyebut posisi mereka berada di janggut atau bahkan di bibir manusia. Meski tampak simbolis, makna di balik pandangan ini tetap sama: bahwa segala yang diucapkan dan dilakukan manusia selalu dalam pantauan dua malaikat tersebut.

Dengan beragam pandangan tersebut, umat Islam diajak untuk menyadari bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, tak pernah luput dari catatan. Ini menjadi pengingat agar senantiasa menjaga lisan, niat, dan perbuatan demi menggapai ridha Allah SWT.

Posisi Malaikat Roqib dan Atid: Fleksibel Sesuai Keadaan Manusia

Menurut Mujahid, posisi malaikat Roqib dan Atid bisa berubah-ubah tergantung kondisi seseorang. Saat seseorang duduk, salah satu malaikat berada di depan dan yang lainnya di belakang. Sementara saat tidur, satu berada di sisi kepala, dan satunya lagi di dekat kaki.

Pandangan ini menunjukkan bahwa malaikat pencatat amal tersebut tidak menempati posisi tetap, melainkan menyesuaikan diri dengan keadaan manusia. Ini mengisyaratkan kesiapsiagaan mereka dalam mencatat setiap perbuatan manusia, kapan pun dan di mana pun.

Syekh al-Bajuri menanggapi hal ini dengan sikap hati-hati. Ia menyebutkan bahwa masalah lokasi malaikat adalah bagian dari perkara gaib yang tidak bisa dipastikan secara mutlak. Oleh karena itu, beliau menyarankan agar bersikap tawaqquf—tidak mengambil kesimpulan tegas—karena hanya Allah SWT yang mengetahui hakikat sebenarnya.

Meski posisi malaikat tidak diketahui secara pasti, yang paling penting adalah keyakinan bahwa Roqib dan Atid senantiasa mencatat setiap amal, baik yang tampak maupun tersembunyi. Kesadaran ini seharusnya mendorong setiap Muslim untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan berkata.

Dengan demikian, meski posisi malaikat Roqib dan Atid tetap menjadi misteri Ilahi, yang utama adalah menjaga amal perbuatan. Sebab, semua akan dimintai pertanggungjawaban kelak.

Wallahu a’lam – hanya Allah yang Maha Mengetahui.

Haji: Ibadah Penuh Pengorbanan dan Hikmah Mendalam

Stylesphere – Menunaikan ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu, baik secara finansial, fisik, maupun mental. Pada tahun 1446 H/2025 M, pemerintah bersama DPR telah menetapkan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp89.410.258,79 dengan asumsi nilai tukar dolar AS sebesar Rp16.000. Jumlah tersebut tentu bukan angka yang kecil dan menjadi pengorbanan besar bagi banyak calon jemaah.

Meski mahal, semangat umat Islam untuk menunaikan Rukun Islam kelima tetap tinggi. Tak sedikit masyarakat dengan pekerjaan sederhana seperti buruh, yang dengan penuh tekad menabung sedikit demi sedikit demi bisa berangkat ke Tanah Suci. Ini membuktikan bahwa haji bukan sekadar soal materi, tapi juga soal niat dan kesungguhan hati.

Perlu diketahui bahwa haji hanya diwajibkan bagi mereka yang memenuhi syarat kemampuan. Kemampuan ini tidak hanya dalam hal keuangan, tapi juga kesehatan jasmani dan kesiapan mental. Bagi yang belum mampu, kewajiban tersebut belum berlaku dan tidak mendatangkan dosa.

Di balik ibadah haji, tersimpan banyak kisah penuh pelajaran. Salah satunya berasal dari kitab Irsyadul ‘Ibad, yang menggambarkan nilai-nilai luhur dari ibadah ini. Kisah ini menjadi pengingat bagi siapa pun yang akan atau sudah menunaikan haji, baik untuk pertama kali maupun yang sudah berulang.

Haji bukan hanya perjalanan fisik menuju Mekah, tetapi juga perjalanan spiritual untuk membersihkan diri dan memperbarui tekad dalam menjalani kehidupan. Kisah-kisah semacam ini menjadi cermin bahwa haji sejati tidak hanya tercermin dalam perjalanan, tetapi juga dalam perubahan akhlak dan keikhlasan hati setelahnya.

Pelajaran dari Dua Haji yang Gugur Karena Riya’

Dalam sebuah kisah yang diriwayatkan dari ulama besar Sufyan ats-Tsauri, terdapat pelajaran berharga tentang keikhlasan dalam beribadah, khususnya dalam menunaikan haji.

Suatu ketika, Sufyan ats-Tsauri bersama beberapa kawannya dijamu oleh seorang laki-laki. Lelaki tersebut kemudian memanggil istrinya dan berkata, “Berikanlah hidangan yang kamu bawa dari haji yang kedua, bukan yang pertama.” Permintaan itu terdengar biasa saja, namun memiliki makna tersirat yang dalam: ia ingin menunjukkan kepada tamunya bahwa dirinya telah menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali.

Ucapan itu langsung ditanggapi oleh Sufyan ats-Tsauri dengan penuh keprihatinan. “Sungguh kasihan orang ini. Dengan perkataannya itu, ia telah menghapus pahala dua hajinya. Semoga Allah menyelamatkan kita dari riya’,” ujar beliau.

Pernyataan tersebut mengandung pelajaran besar bagi umat Islam: ibadah yang dilakukan dengan niat tidak tulus, terutama karena ingin dipuji atau dilihat orang lain (riya’), dapat menggugurkan seluruh pahala yang telah susah payah diraih. Bahkan, amalan sebesar ibadah haji pun tak bernilai jika tidak didasari oleh keikhlasan.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap ibadah, sekecil apa pun, harus dilandasi dengan niat yang bersih dan ikhlas karena Allah semata. Sebab, hanya amalan yang murni dari hati yang akan diterima dan diberi ganjaran oleh-Nya.

Ibadah Haji dan Bahaya Riya’

Haji merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang menjadi salah satu pilar utama dalam Islam. Namun, ibadah agung ini akan menjadi sia-sia apabila tidak dilandasi dengan niat yang tulus semata-mata karena Allah. Rasulullah SAW telah memberi peringatan agar umatnya berhati-hati terhadap penyakit hati bernama riya’, yaitu melakukan ibadah bukan untuk Allah, melainkan untuk dilihat, dipuji, atau diakui manusia.

Dalam sebuah hadits riwayat Adz-Dzahabi, diceritakan bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “Apa itu keselamatan pada hari esok (hari kiamat)?” Nabi menjawab, “Ketika kamu tidak menipu Allah.” Lelaki itu bertanya lagi, “Bagaimana kita menipu Allah?” Rasulullah menjelaskan, “Yaitu ketika kamu menunaikan perintah Allah dan rasul-Nya namun kamu bertujuan untuk selain ridha Allah. Berhati-hatilah dari riya’ karena sesungguhnya ia termasuk kategori syirik kepada Allah.”

Riya’ adalah salah satu bentuk syirik kecil yang bisa menghapus pahala amal kebaikan. Nabi SAW bahkan menyebutkan bahwa pada hari kiamat, orang-orang yang berbuat riya’ akan dipanggil dengan empat panggilan yang menghinakan: kafir, durhaka (fâjir), cedera (ghâdir), dan merugi (khâsir). Mereka akan diperintahkan untuk meminta pahala kepada orang-orang yang menjadi tujuan mereka dalam beribadah: “Ambillah pahala dari orang-orang yang menjadi tujuan amalmu, wahai penipu diri sendiri.”

Dalam kitab Irsyâdul ‘Ibâd, juga diceritakan bahwa ketika seorang imam ditanya, “Siapakah orang yang ikhlas?” Ia menjawab, “Orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukannya.” Artinya, orang yang benar-benar ikhlas tidak memperlihatkan amalnya kepada siapa pun, sebagaimana ia juga tidak ingin orang lain mengetahui dosa-dosanya.

Semoga kita semua dijauhkan dari penyakit riya’, khususnya saat melaksanakan ibadah sebesar haji. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT dengan penuh keikhlasan. Wallahu a’lam.

Paus dan Khalifah: Dua Wajah Kepemimpinan Agama dalam Sejarah Umat Manusia

Stylesphere – Dunia baru saja menyaksikan momen bersejarah dalam Gereja Katolik dengan terpilihnya Paus Leo XIV, seorang kardinal asal Amerika Serikat, sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik pada Kamis malam (9/5/2025), waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus baru ini menandai simbol kuat kepemimpinan agama yang serupa dengan peran kekhalifahan dalam Islam pada masanya.

Meskipun Paus dan Khalifah memiliki bentuk serta sejarah yang berbeda, keduanya memiliki kedudukan sebagai simbol tertinggi kepemimpinan umat, dengan peran yang melampaui sekadar urusan keagamaan. Kepemimpinan ini bukan hanya berbicara tentang ajaran agama, tetapi juga tentang identitas, kekuasaan, warisan peradaban, dan arahan masa depan umat manusia.

Untuk memahami lebih jauh, mari kita telaah dua wajah kepemimpinan agama terbesar dalam sejarah umat manusia, dengan tinjauan dari perspektif sejarah, teologi, sosiologi, dan struktur kekuasaan yang melingkupinya.

Dua Pilar Kepemimpinan Agama Dalam Sejarah

Kepemimpinan spiritual dalam dua agama besar dunia, Katolik dan Islam, memiliki akar sejarah dan peran yang kuat membentuk peradaban. Kepausan dan kekhalifahan masing-masing menjadi simbol utama otoritas agama, meski berkembang dalam konteks yang berbeda.

Asal-usul Kepemimpinan

Dalam tradisi Katolik, kepausan berakar dari keyakinan bahwa Rasul Petrus, murid utama Yesus Kristus, ditunjuk sebagai pemimpin Gereja pertama. Konsep Penerus Petrus menjadi dasar keberadaan Paus sebagai otoritas tertinggi dalam Gereja Katolik Roma.

Di sisi lain, kekhalifahan muncul pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW pada 632 Masehi. Karena Nabi tidak meninggalkan wasiat eksplisit tentang pengganti, para sahabat sepakat memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama. Inilah awal dari masa Khulafaur Rasyidin, dan fondasi sistem kepemimpinan umat Islam untuk meneruskan fungsi politik dan administratif Nabi.

Peran Sosial dan Politik

Paus, di luar peran rohani, juga pernah menjadi tokoh politik berpengaruh. Dalam sejarah Eropa abad pertengahan, Paus kerap menjadi penentu dalam urusan kerajaan, perang salib, hingga konflik antarnegara.

Khalifah, sebaliknya, memegang kekuasaan menyeluruh: politik, agama, hingga militer. Pada masa Abbasiyah atau Utsmaniyah, khalifah bukan sekadar pemimpin spiritual, melainkan kepala negara yang memimpin peradaban besar dengan kontribusi luas dalam ilmu pengetahuan, budaya, dan hukum Islam.

Struktur dan Organisasi

Gereja Katolik memiliki struktur hierarkis yang sangat terpusat. Paus memegang kendali tertinggi, diikuti para Uskup, Imam, dan Diakon yang tersebar di seluruh dunia dengan sistem yang seragam.

Berbeda dengan itu, kekhalifahan bersifat lebih dinamis dan adaptif terhadap zamannya. Awalnya bersifat musyawarah, kemudian berubah menjadi sistem dinasti seperti Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Masing-masing menerapkan model pemerintahan dengan tingkat sentralisasi dan birokrasi yang berbeda-beda, bergantung pada wilayah dan kebutuhan geopolitik saat itu.

Dengan dua tradisi besar ini, jelas bahwa baik kepausan maupun kekhalifahan memainkan peran penting dalam membentuk wajah dunia—bukan hanya secara spiritual, tetapi juga secara sosial, budaya, dan politik. Apakah kamu tertarik dengan perbandingan aspek lainnya, seperti peran pendidikan atau hubungan antaragama?

Akhir Kekhalifahan dan Keberlangsungan Kepausan

Kekhalifahan Islam secara resmi dibubarkan pada tahun 1924 oleh Kemal Atatürk, sebagai bagian dari agenda sekularisasi dan modernisasi di Turki. Dengan penghapusan lembaga ini, berakhir pula satu-satunya institusi yang secara historis mengklaim kepemimpinan atas seluruh umat Islam.

Meskipun demikian, kerinduan terhadap kekhalifahan masih kerap muncul dalam diskusi-diskusi keislaman kontemporer. Wacana ini menunjukkan adanya kebutuhan sebagian umat untuk melihat representasi politik dari identitas keagamaan mereka, meski tidak lagi dalam bentuk struktural seperti masa lalu.

Sebaliknya, kepausan sebagai lembaga kepemimpinan spiritual umat Katolik tetap bertahan hingga hari ini. Vatikan, sebagai negara merdeka terkecil di dunia, menjadi pusat otoritas keagamaan bagi lebih dari satu miliar umat Katolik di seluruh dunia.

Kesimpulan

Baik Paus maupun Khalifah mencerminkan dua model kepemimpinan religius yang menunjukkan bagaimana agama pernah—dan masih—terintegrasi ke dalam struktur sosial dan politik. Meskipun berbeda dari segi konsep, peran, dan sejarah, keduanya memperlihatkan bahwa kepemimpinan agama memiliki daya pengaruh besar dalam membentuk arah dan wajah peradaban.

Memahami dua institusi ini tidak hanya memperkaya pengetahuan sejarah, tetapi juga memberi wawasan lebih luas tentang interaksi antara agama, kekuasaan, dan budaya dalam konteks global.

Benarkah Hewan Qurban Akan Menjadi Kendaraan di Akhirat?

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha identik dengan penyembelihan hewan qurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, setiap tahunnya, muncul pertanyaan menarik yang ramai dibicarakan di tengah umat: apakah benar hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya di akhirat?

Pertanyaan ini mencuat kembali menjelang Idul Adha 2025. Dalam sebuah majelis ilmu, seorang jamaah menyampaikan rasa penasarannya secara langsung kepada Ustadz Adi Hidayat (UAH), seorang pendakwah muda yang dikenal luas berkat penjelasannya yang sistematis dan berbasis dalil.

“Saya pernah mendengar bahwa hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi orang yang berqurban di akhirat. Benarkah itu, Ustadz?” tanya jamaah tersebut dengan penuh keingintahuan.

Pertanyaan itu dijawab langsung oleh UAH dalam sebuah forum terbuka, sebagaimana dilansir Stylesphere, Selasa (6/5/2025), dari tayangan video di kanal YouTube @sejuksunnahislam.

UAH menjelaskan bahwa memang terdapat riwayat yang sering dikaitkan dengan anjuran untuk memilih hewan qurban terbaik. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa hewan tersebut akan kembali kepada pemiliknya di akhirat kelak. Oleh karena itu, semakin baik kualitas hewan qurban, maka semakin besar pula keutamaan yang akan diperoleh.

Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai “kendaraan” dalam banyak riwayat shahih, konsep bahwa amalan qurban akan memberikan manfaat di akhirat memiliki landasan kuat dalam ajaran Islam. Salah satunya adalah motivasi untuk memperindah qurban sebagai bentuk ibadah terbaik kepada Allah SWT.

Dengan demikian, meskipun istilah “kendaraan” lebih bersifat simbolik, semangat yang mendasarinya tetap sahih: bahwa ibadah qurban bukan hanya berdampak di dunia, tetapi juga menjadi bekal di akhirat.

Penjelasan Ustadz Adi Hidayat

Dalam sebuah majelis ilmu, Ustadz Adi Hidayat (UAH) membahas salah satu pertanyaan yang kerap muncul menjelang Hari Raya Idul Adha: benarkah hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya di akhirat?

UAH menjawab bahwa ia pun pernah mendengar dan membaca referensi yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya adalah sebuah riwayat yang menyandarkan sabda Nabi Muhammad SAW: “Gemukkanlah dan baguskanlah hewan-hewan sembelihan kalian.”

Menurut UAH, dalam riwayat itu dijelaskan bahwa perintah untuk memperindah hewan qurban bukanlah tanpa alasan. Salah satu makna pentingnya adalah karena hewan tersebut akan hadir kembali pada hari kiamat dan berperan sebagai kendaraan sang pemilik saat melewati Shirath—jembatan akhirat yang sangat tipis dan tajam, yang harus dilalui setiap manusia.

“Jembatan Shirath hanya bisa dilewati oleh orang-orang dengan amal baik. Maka, jika qurban kita bagus dan bernilai tinggi, pahala dari amalan itu akan membantu kita di sana,” jelas UAH dalam tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @sejuksunnahislam, seperti dikutip dari Stylesphere, Selasa (6/5/2025).

Lebih lanjut, UAH menegaskan bahwa memperindah hewan qurban bukan sekadar soal fisik atau penampilan. Hal tersebut mencerminkan niat dan kesungguhan dalam beribadah. Semakin baik kualitas hewan yang dikurbankan, semakin besar pula pahala yang akan didapat.

“Jadi, kalau kita mampu mencari hewan qurban yang terbaik, maka sangat dimungkinkan bahwa pahalanya juga semakin besar. Dan pahala itulah yang bisa membantu kita nanti di akhirat, terutama saat melewati Shirath,” pungkasnya.

UAH: Hewan Qurban Bukan Kendaraan Fisik, Tapi Simbol Kemudahan di Akhirat

Menjelang Idul Adha, muncul kembali perbincangan mengenai keyakinan bahwa hewan qurban akan menjadi kendaraan pemiliknya di akhirat. Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan penjelasan bahwa pemahaman ini tidak bersifat harfiah, melainkan simbolis.

“Ini bukan berarti seseorang secara fisik akan menaiki hewan qurbannya seperti menunggang kuda. Maknanya adalah bahwa amalan qurban itu akan memberikan kemudahan di akhirat,” jelas UAH dalam kajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @sejuksunnahislam, dikutip Selasa (6/5/2025).

Menurut UAH, pahala dari berqurban—terutama jika dilakukan dengan niat ikhlas dan sesuai syariat—dapat menjadi sebab kemudahan seseorang dalam menghadapi berbagai fase di akhirat, termasuk saat melewati jembatan Shirath.

Lebih jauh, UAH menekankan pentingnya memperhatikan kualitas hewan qurban. Mulai dari kondisi kesehatan, usia yang sesuai ketentuan syariat, hingga tidak cacat, semua itu mencerminkan kesungguhan dalam menjalankan ibadah.

“Ibadah qurban bukan sekadar menyembelih. Tapi juga wujud ketulusan, kepatuhan, dan kepedulian sosial,” ujarnya. Daging qurban yang dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan juga menjadi ladang pahala sosial yang besar.

UAH pun mengimbau agar umat Islam tidak sembarangan dalam memilih hewan qurban. Jika memiliki kemampuan lebih, sebaiknya memilih hewan yang sehat, besar, dan memenuhi standar ibadah qurban yang diridhai Allah SWT.

Ia menutup penjelasannya dengan mengingatkan bahwa keikhlasan dan kesungguhan dalam berqurban akan selalu dibalas Allah, baik dalam bentuk kemudahan di akhirat maupun keberkahan di dunia.

“Jadikan Idul Adha bukan hanya perayaan menyembelih, tapi juga momen memperkuat niat dan meningkatkan kualitas ibadah kita,” pesan UAH.

Khutbah Idul Adha 2025: Momentum Memaknai Pengorbanan dan Ketulusan

Stylesphere – Idul Adha merupakan salah satu hari raya besar dalam Islam yang sarat makna. Tak hanya memperingati keteladanan Nabi Ibrahim AS dalam menaati perintah Allah, momen ini juga mengajarkan nilai-nilai luhur seperti keikhlasan, pengorbanan, dan kepedulian terhadap sesama.

Khutbah Idul Adha menjadi medium penting untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual tersebut. Melalui khutbah, jemaah diajak merenungi makna kurban tidak hanya sebagai ibadah ritual, tetapi juga sebagai simbol ketundukan dan kasih sayang sosial di tengah kehidupan modern.

Artikel ini menyuguhkan contoh khutbah Idul Adha 1446 H / 2025 M yang bisa dijadikan referensi atau inspirasi oleh para khatib. Isi khutbah menekankan hikmah kurban dan pentingnya pengorbanan dalam ajaran Islam, serta bagaimana nilai-nilai tersebut bisa diterapkan di tengah tantangan zaman sekarang.

Khutbah Idul Adha yang ideal adalah yang mampu menggugah hati, mudah dipahami oleh semua kalangan, serta relevan dengan kehidupan sehari-hari. Tak sekadar menjadi rutinitas tahunan, khutbah seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat iman, meningkatkan kepedulian sosial, dan memperdalam makna ketakwaan kepada Allah SWT.

Berikut ini contoh teks khutbah Idul Adha yang telah dirangkum oleh Stylesphere dari berbagai sumber, Selasa (6/5/2025).

KHUTBAH PERTAMA

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا. من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله.

أما بعد، فيا أيها الناس، أوصيكم ونفسي المقصرة بتقوى الله، فقد فاز المتقون.

Kaum Muslimin rahimakumullah,
Hari ini kita berkumpul dalam suasana penuh keberkahan, menyambut hari besar Idul Adha—hari di mana ketaatan dan pengorbanan Nabi Ibrahim AS menjadi pelajaran agung bagi kita semua.

Kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail AS, bukan hanya tentang penyembelihan, tetapi lebih dalam dari itu: tentang ketaatan tanpa syarat kepada Allah, dan pengorbanan terbesar yang sanggup diberikan seorang hamba kepada Tuhannya.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لا إِلَهَ إِلا الله، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Kurban yang kita lakukan hari ini bukan semata menyembelih hewan, tetapi simbol dari menyembelih ego, nafsu, dan cinta dunia yang berlebihan. Allah tidak butuh darah dan daging dari hewan kurban kita, yang Dia kehendaki adalah ketakwaan di hati kita. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj ayat 37:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…”

Maka, marilah kita jadikan Idul Adha ini momentum untuk menumbuhkan ketulusan, meningkatkan solidaritas sosial, dan memperbaiki hubungan dengan sesama.

KHUTBAH KEDUA

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
الحمد لله، الحمد لله الذي شرع لنا الأعياد، وجعلها مظاهر فرح وعبادة، والصلاة والسلام على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين.

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah,
Dalam kesempatan ini, marilah kita mendoakan saudara-saudara kita di berbagai belahan dunia yang tengah dilanda musibah, peperangan, kelaparan, dan berbagai ujian lainnya. Semoga Allah memberikan pertolongan, kekuatan, dan keteguhan iman kepada mereka.

Jangan lupa untuk menunaikan kurban bagi yang mampu, dan bagikanlah dagingnya kepada yang membutuhkan dengan penuh kasih sayang. Inilah bentuk kepedulian yang nyata dan ajaran Islam yang agung.

Mari kita akhiri khutbah ini dengan doa:

اللهم اجعلنا من المتقين، اللهم تقبل منا ومن جميع المسلمين قرباننا، وصيامنا، وصلاتنا، واغفر لنا ولآبائنا وأمهاتنا، ووفقنا لما تحب وترضى، آمين يا رب العالمين.

عباد الله، إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى، وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي، يعظكم لعلكم تذكرون.

أَقِمِ الصَّلَاةَ، يَرْحَمْكُمُ اللَّهُ

Manfaat Kurban Dalam Islam

Ibadah kurban mengandung banyak hikmah dan manfaat yang mendalam bagi kehidupan seorang Muslim. Di antaranya adalah sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, membersihkan hati dari sifat-sifat tercela atau sifat kebinatangan (bahimiyyah), serta menumbuhkan rasa kasih sayang dan empati terhadap sesama. Kurban juga melatih kita untuk menjadi pribadi yang dermawan dan peduli terhadap kebutuhan orang lain.

Nilai-nilai luhur seperti pengorbanan, keikhlasan, dan kepedulian sosial yang terkandung dalam ibadah kurban seharusnya tidak berhenti di momentum Idul Adha saja, tetapi terus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa meneladani semangat pengorbanan dalam lingkup keluarga, masyarakat, hingga dalam kontribusi terhadap bangsa. Begitu pula semangat berbagi rezeki hendaknya menjadi kebiasaan, terutama untuk membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan.

Semoga dengan memahami dan meresapi makna di balik ibadah kurban, kita mampu melaksanakannya dengan tulus dan penuh keikhlasan, serta meraih ridho dan keberkahan dari Allah SWT.

Semoga khutbah ini membawa manfaat dan menjadi pengingat yang baik bagi kita semua. Aamiin.

Bolehkah Berdoa untuk Wafat di Tanah Suci? Ini Penjelasannya

Stylesphere – Makkah dan Madinah merupakan dua kota suci yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Makkah adalah tempat kelahiran Rasulullah SAW dan lokasi Ka’bah, kiblat seluruh umat Islam. Sementara itu, Madinah menjadi saksi perjuangan besar Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat dalam menyebarkan risalah Islam.

Tak mengherankan jika banyak umat Muslim merindukan kedua kota ini, bukan hanya untuk dikunjungi dalam ibadah haji atau umrah, tetapi juga untuk bisa menetap hingga akhir hayat. Harapan untuk menghembuskan napas terakhir di Tanah Suci menjadi cita-cita mulia bagi sebagian orang, karena diyakini mendatangkan kemuliaan akhir hayat serta rahmat Allah SWT yang melimpah.

Keinginan ini sering kali diwujudkan dalam bentuk doa yang khusyuk, dipanjatkan di sela-sela ibadah, atau dalam sujud panjang penuh harap. Bahkan, sebagian orang meyakini bahwa wafat di Tanah Suci dapat mengantarkan pada keutamaan mati syahid, sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat.

Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang berdoa agar wafat di Tanah Suci? Apakah permohonan seperti ini sesuai dengan ajaran tawakal?

Dalam Islam, tidak ada larangan untuk memohon kepada Allah agar diwafatkan di tempat yang mulia. Rasulullah SAW sendiri pernah mendoakan Umar bin Khattab agar syahid di jalan Allah dan wafat di Madinah. Hal ini menunjukkan bahwa memohon tempat kematian yang penuh keberkahan bukanlah bentuk kurang tawakal, tetapi bagian dari harapan seorang hamba akan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik).

Tawakal tidak berarti pasrah tanpa harapan, tetapi berusaha dan berdoa, sambil menyerahkan hasil sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Maka, memanjatkan doa agar diwafatkan di Makkah atau Madinah adalah bentuk keinginan akan kebaikan akhir hidup, yang tentu dibolehkan selama disertai niat tulus dan keyakinan bahwa segala takdir berada di tangan-Nya.

Hukum Berdoa Agar Wafat di Tanah Suci: Antara Sunnah dan Tawakal

Keinginan untuk wafat di Tanah Suci, seperti Makkah atau Madinah, adalah harapan mulia yang dimiliki banyak umat Islam. Harapan ini lahir dari keyakinan bahwa wafat di tempat yang suci merupakan tanda husnul khatimah dan mengandung keutamaan besar. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap doa semacam ini?

Mengutip dari laman muslim.or.id, para ulama menyebutkan bahwa hukum berdoa agar diwafatkan di tempat yang mulia adalah sunnah. Tanah Suci Makkah dan Madinah termasuk dalam kategori tempat yang mulia, sehingga tidak mengapa bahkan dianjurkan untuk memohon kepada Allah agar diwafatkan di sana.

Salah satu dalil utama yang mendasari anjuran ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah di sana. Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang mati di sana.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan keutamaan besar bagi mereka yang wafat di kota Madinah. Namun, para ulama menekankan bahwa maksud dari hadis ini bukanlah mengusahakan kematian secara tidak wajar atau dengan tindakan yang membahayakan diri.

Sebagaimana dijelaskan oleh At-Tibiy dalam Tuhfatul Ahwadzi (10/286):

“Perintah agar meninggal di Madinah bukanlah dengan usaha sendiri, tetapi kembali kepada kehendak Allah. Hendaknya seseorang tetap bertahan tinggal di Madinah dan berusaha tidak meninggalkannya.”

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (9/151). Beliau menyebut bahwa hadis tersebut menjadi dalil kuat tentang keutamaan tinggal di kota Madinah dan bersabar atas segala ujian serta kesulitan yang mungkin dihadapi di sana. Keutamaan tersebut berlaku hingga hari kiamat.

Bahkan, dalam Al-Majmu’ (5/106), Imam An-Nawawi menegaskan:

“Disunnahkan meminta kematian di tanah yang mulia.”

Dengan demikian, berdoa agar wafat di Tanah Suci adalah amalan yang dianjurkan dalam Islam. Selama dilakukan dengan niat yang tulus, tanpa melanggar syariat, dan tetap menyerahkan hasil akhirnya kepada ketetapan Allah, maka hal ini bukanlah bentuk kurang tawakal, melainkan ekspresi cinta kepada tempat-tempat suci dan harapan akan akhir yang baik.

Antara Harapan Syahid dan Jaminan Pahala Abadi

Wafat di Tanah Suci, baik di Makkah maupun Madinah, adalah dambaan banyak umat Islam. Selain karena kemuliaan tempat tersebut, salah satu hikmah besar dari meninggal di sana adalah banyaknya orang shalih yang akan mendoakan, serta berkah dari para penghuni Tanah Suci — baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.

Namun, muncul pertanyaan penting: Apakah orang yang wafat di Tanah Suci akan mendapatkan keutamaan mati syahid?

Tidak Ada Dalil Langsung tentang Mati Syahid

Secara tegas, tidak ada dalil atau nash yang menyatakan bahwa wafat di Tanah Suci secara otomatis termasuk dalam kategori mati syahid. Yang ada adalah keutamaan luar biasa bagi mereka yang wafat saat menjalankan ibadah haji atau umrah.

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut:

“Barangsiapa keluar untuk berhaji lalu meninggal dunia, maka dituliskan untuknya pahala haji hingga hari kiamat. Barangsiapa keluar untuk umrah lalu meninggal dunia, maka ditulis untuknya pahala umrah hingga hari kiamat. Dan barangsiapa keluar untuk berjihad lalu mati maka ditulis untuknya pahala jihad hingga hari kiamat.”
(HR. Abu Ya’la, lihat Shahih At-Targhib no. 1114)

Hadis ini menunjukkan bahwa wafat dalam perjalanan ibadah seperti haji dan umrah mendatangkan ganjaran pahala yang terus mengalir hingga hari kiamat. Ini adalah bentuk kemuliaan tersendiri, meskipun tidak secara spesifik dikategorikan sebagai mati syahid.

Wafat di Madinah dan Syafaat Rasulullah SAW

Bagi mereka yang wafat di Madinah, terdapat keistimewaan tambahan berupa syafaat langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya:

“Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah), kemudian dia mati, kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya, atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat, jika dia seorang Muslim.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan keutamaan bagi orang yang hidup dan wafat di Madinah dengan penuh kesabaran. Mereka dijanjikan syafaat atau kesaksian dari Rasulullah SAW pada hari kiamat — suatu bentuk kemuliaan yang tidak dimiliki oleh tempat lain di dunia.


Kesimpulan

Berdoa agar wafat di Tanah Suci adalah amalan yang disunnahkan. Meskipun tidak secara otomatis menjadikan seseorang syahid, namun mereka yang wafat dalam keadaan menunaikan ibadah haji atau umrah tetap mendapatkan pahala luar biasa. Terlebih lagi, mereka yang wafat di Madinah mendapatkan janji syafaat dari Rasulullah SAW.

Semoga Allah mengizinkan kita menutup usia di tempat yang paling mulia, dengan cara yang diridhai-Nya.

Jejak Kesabaran dan Syukur: Makam Nabi Nuh AS di Yordania

Stylesphere – Di sebuah sudut sunyi di Yordania, terdapat sebuah kawasan yang menyimpan jejak salah satu manusia paling penuh syukur dan sabar dalam sejarah umat manusia. Sosok itu adalah Nabi Nuh AS — bukan hanya seorang nabi, tetapi juga lambang keteguhan hati, kesabaran, dan keikhlasan dalam menjalankan amanah dari Allah SWT.

Nabi Nuh dikenal karena ketekunannya dalam berdakwah kepada kaumnya. Ia diutus jauh sebelum datangnya bencana besar berupa banjir dahsyat yang melanda bumi. Menurut berbagai riwayat, masa dakwah beliau berlangsung hampir seratus tahun. Namun, dari perjalanan panjang tersebut, hanya sekitar 80 orang yang menjadi pengikutnya. Fakta ini menjadi cerminan ujian luar biasa yang dihadapi oleh Nabi Nuh serta kesabarannya yang tak tergoyahkan.

Al-Qur’an menyebut Nabi Nuh sebagai seorang “hamba yang bersyukur”. Nama “Nuh” sendiri diyakini berasal dari kebiasaannya yang sering menangis — sebagai wujud penyesalan dan doa atas dosa-dosa kaumnya, seraya memohon ampunan kepada Allah SWT.

Dilansir dari tayangan video di kanal YouTube @harypurnama849 pada Jumat (2 Mei 2025), makam Nabi Nuh berada di kota Karak, tepatnya di wilayah Krak, sebuah kawasan pinggiran kota Karak di bagian selatan Yordania.

Makam tersebut terletak di dalam sebuah kompleks pemakaman sederhana dengan luas bangunan sekitar 57 meter persegi. Bangunannya terbuat dari batu dan tanah liat berwarna hijau yang khas, menambah kesan damai dan sakral pada tempat peristirahatan terakhir sang nabi.

Lokasi Makam Nabi Nuh AS di Karak, Yordania

Kementerian Pariwisata dan Antik Yordania telah menetapkan sejumlah lokasi bersejarah, termasuk makam Nabi Nuh AS di Karak, sebagai situs ziarah religi yang terbuka bagi wisatawan Muslim dari seluruh penjuru dunia.

Lokasi makam ini cukup strategis dan mudah dijangkau, baik dari ibu kota Amman maupun dari Petra—salah satu destinasi wisata paling terkenal di Yordania. Aksesibilitas yang baik ini menjadikan makam Nabi Nuh sebagai salah satu tujuan ziarah spiritual yang semakin populer.

Para peziarah yang datang ke tempat ini kerap merasakan ketenangan batin yang mendalam. Lingkungan sekitar yang hening, hembusan angin padang pasir yang menyejukkan, serta bangunan kuno yang terawat memberikan nuansa spiritual yang khas dan menyentuh.

Sebagian warga setempat meyakini bahwa kawasan di sekitar makam membawa aura yang berbeda—seakan menyimpan pelajaran luhur tentang keimanan, ketekunan, dan kesabaran yang diajarkan oleh Nabi Nuh.

Makam ini tak hanya menjadi tempat untuk berziarah, tetapi juga berfungsi sebagai sarana edukatif. Ia mengingatkan kembali kepada pengunjung tentang nilai-nilai keteladanan dari Nabi Nuh AS yang relevan sepanjang zaman.

Dalam Islam, ziarah ke makam para nabi bukanlah bentuk pemujaan, melainkan sebagai wujud penghormatan dan refleksi terhadap perjuangan mereka dalam menegakkan kebenaran dan membimbing umat. Kunjungan semacam ini menjadi momen untuk memperkuat keimanan dan meneladani sifat-sifat mulia yang mereka miliki.

Kisah hidup Nabi Nuh memberikan pesan yang abadi—bahwa dalam menghadapi cobaan dan rintangan hidup, kesabaran dan rasa syukur adalah kunci utama untuk meraih ridha Allah SWT. Melalui ziarah ke makam beliau, umat Islam diingatkan untuk terus menanamkan dua nilai agung tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Simbol Kesakralan dan Sejarah di Tengah Padang Yordania

Di bagian tengah kompleks pemakaman Nabi Nuh AS, berdiri sebuah kubah sederhana yang menjadi penanda utama makam beliau. Meskipun bentuknya tidak megah, kubah tersebut memancarkan aura sakral dan nuansa historis yang kuat, menjadikannya titik sentral yang khusyuk bagi para peziarah.

Baik warga lokal maupun pengunjung dari berbagai negara menganggap tempat ini sebagai lokasi yang penuh keberkahan. Banyak di antara mereka yang datang untuk berdoa, merenung, dan mengenang kembali perjalanan hidup seorang nabi yang dikenal karena ketulusan dan ketabahannya.

Menurut catatan sejarah lokal, Nabi Nuh wafat dalam usia sekitar 150 tahun. Usia yang luar biasa panjang ini dipercaya sebagai bentuk rahmat dan karunia dari Allah SWT, sebagai balasan atas dedikasi beliau dalam menyampaikan wahyu-Nya dengan penuh keikhlasan.

Keberadaan makam Nabi Nuh AS turut memperkaya khazanah situs bersejarah Islam di Yordania. Negara ini memang dikenal sebagai tanah yang dilalui oleh para nabi dan sahabat Rasulullah SAW, sehingga memiliki nilai penting dalam peta sejarah Islam.

Setidaknya terdapat 27 situs bersejarah Islam di wilayah Yordania. Selain makam Nabi Nuh, terdapat pula makam para nabi lainnya seperti Nabi Sulaiman, Nabi Harun, Nabi Syuaib, Nabi Daud, dan Nabi Luth—semuanya menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang kenabian dan penyebaran risalah ilahi.

Gunung Thur: Saksi Bisu Dialog Langsung antara Nabi Musa dan Allah

Stylesphere – Saat itu, suasana begitu sunyi. Keheningan menyelimuti sekitar, seolah seluruh alam tunduk dalam kekhusyukan. Di tengah keheningan suci itulah, Nabi Musa Alaihissalam memusatkan seluruh jiwa dan raganya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dunia ia tinggalkan sejenak, demi menyambut langsung wahyu dari Sang Pencipta.

Selama 40 hari penuh munajat di atas Gunung Thur, Nabi Musa mengalami momen spiritual yang sangat agung. Ketika masa itu usai dan beliau turun dari gunung, wajahnya memancarkan cahaya terang—aura keagungan yang bersumber dari kedekatannya dengan Allah. Meskipun beliau tidak melihat Allah dalam bentuk fisik, pancaran kebesaran-Nya begitu nyata terpahat di wajah sang nabi.

Cahaya itu bukan sembarang cahaya. Dalam beberapa tafsir disebutkan bahwa sinar tersebut begitu kuat hingga membuat kaum Bani Israil tak sanggup menatap wajah Nabi Musa secara langsung. Itu adalah bukti nyata betapa dalam dan mulianya pengalaman spiritual yang beliau alami.

Gunung Thur pun diabadikan sebagai tempat yang diberkahi. Allah secara khusus memilihnya sebagai lokasi turunnya wahyu, menjadikannya salah satu titik sakral dalam sejarah kenabian. Kesucian gunung ini tidak hanya berakhir pada masa Nabi Musa, tapi juga berlanjut hingga masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Dalam kisah perjalanan Isra Mikraj, Rasulullah SAW dikisahkan sempat singgah di Gunung Sinai. Beliau menunaikan salat dua rakaat di sana, sebagai bentuk penghormatan terhadap kemuliaan tempat tersebut.

Kisah ini menjadi penegas bahwa tempat-tempat yang pernah disinggahi oleh para nabi bukanlah lokasi biasa. Mereka adalah titik-titik spiritual yang Allah pilih sebagai saksi dalam perjalanan besar pewahyuan-Nya kepada umat manusia.

Lembah Suci Tempat Nabi Musa Berdialog dengan Allah

Dalam lintasan sejarah kenabian, terdapat sebuah tempat yang begitu agung dan sarat makna spiritual. Di sanalah Nabi Musa Alaihissalam pernah berbicara langsung dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala—sebuah peristiwa luar biasa yang menjadi salah satu kisah paling monumental dalam sejarah umat manusia.

Tempat tersebut dikenal sebagai Wadwa, atau yang lebih populer disebut Lembah Suci. Lokasinya berada di sisi kanan Gunung Thur (Jabal At-Tur), yang terletak di wilayah gurun Sinai, Mesir. Kawasan ini diyakini sebagai tempat turunnya wahyu dan berlangsungnya komunikasi langsung antara Nabi Musa dengan Sang Pencipta.

Kisah ini tidak hanya termuat dalam kitab-kitab sejarah Islam, namun juga tercantum dalam Al-Qur’an. Gunung Sinai disebutkan sebanyak sembilan kali, menunjukkan betapa penting dan sucinya tempat ini dalam konteks kenabian dan wahyu Ilahi.

Dalam sebuah tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @islamitumenakjubkan pada Kamis (01/05/2025), dijelaskan bahwa tempat tersebut masih diyakini memancarkan kekuatan spiritual hingga hari ini. Setiap tahunnya, banyak peziarah dari berbagai penjuru dunia datang untuk merasakan keagungan dan ketenangan yang dipancarkan dari kawasan ini.

Diceritakan pula bahwa Nabi Musa AS menghabiskan waktu selama 40 hari dan 40 malam di atas Gunung Thur. Selama masa tersebut, beliau berpuasa, bermunajat, dan berdialog secara langsung dengan Allah SWT—sebuah pengalaman spiritual yang luar biasa dan menjadi inspirasi sepanjang zaman.

Gunung Thur: Jejak Wahyu di Tanah Sinai

Gunung Sinai, yang dikenal juga sebagai Gunung Thur, terletak sekitar 450 kilometer dari pusat Kota Kairo, Mesir. Untuk mencapainya, para peziarah harus menempuh perjalanan darat melewati jalur gurun yang berat dan menantang. Meski terpencil dan dikelilingi medan yang tandus, gunung ini tak pernah sepi dari langkah-langkah mereka yang ingin menapak tilas jejak para nabi.

Bagi umat Islam, Gunung Thur adalah lebih dari sekadar situs sejarah. Ia adalah tempat yang menyimpan gema wahyu Ilahi, di mana Nabi Musa Alaihissalam berdialog langsung dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para peziarah yang mendakinya sering kali melaporkan perasaan damai yang luar biasa, seolah mereka sedang berdiri di tanah yang dekat dengan langit.

Gunung ini bukan hanya dihormati oleh umat Islam. Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, Gunung Sinai juga dipandang suci sebagai tempat di mana wahyu Tuhan diturunkan. Namun, dalam Islam, keistimewaannya bertambah karena tempat ini turut disinggahi oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam peristiwa agung Isra Mikraj. Di sana, beliau menunaikan salat sebagai bentuk penghormatan terhadap kesucian tempat tersebut.

Penyebutan Gunung Thur dalam Al-Qur’an tidak hanya sebagai referensi geografis, melainkan sebagai simbol spiritual. Ia menjadi pengingat bahwa di tempat inilah, seorang manusia pernah berdiri sangat dekat dengan Rabb-nya, mendengar langsung firman-Nya, dan membawa pulang wahyu yang menjadi petunjuk bagi umat.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa tempat-tempat yang diberkahi tidak hanya menyimpan sejarah, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual yang hidup hingga hari ini. Semoga Allah SWT memberikan kita kesempatan untuk mengunjungi tempat mulia ini, meresapi kekhusyukan yang pernah dialami para nabi, dan memperkuat iman serta kecintaan kita kepada mereka.

Dengan memahami perjalanan agung ini, kita tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga merenungkan bagaimana wahyu itu terus hidup dalam kehidupan kita hari ini.

Meneladani Pola Tidur Rasulullah SAW dan Dampaknya bagi Kesehatan dan Rezeki

Stylesphere – Rasulullah SAW telah memberikan contoh pola tidur yang sehat dan penuh hikmah. Beliau terbiasa tidur lebih awal di malam hari dan bangun pada sepertiga malam terakhir untuk beribadah, sebuah kebiasaan yang tidak hanya bernilai spiritual tinggi tetapi juga sangat baik untuk kesehatan tubuh.

Tubuh manusia sejatinya memiliki ritme alami yang disebut dengan ritme sirkadian—jam biologis yang mengatur kapan tubuh sebaiknya tidur dan bangun. Saat kita mengabaikan ritme ini, misalnya dengan begadang hingga larut malam atau tidur di waktu yang tidak tepat, tubuh bisa kehilangan keseimbangan. Akibatnya, tidak hanya kesehatan yang terganggu, tetapi juga mood, produktivitas, bahkan potensi kesuksesan dalam hidup bisa ikut terpengaruh.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah menyinggung pentingnya menjaga waktu tidur yang tepat. Dalam QS. Al-Furqan ayat 47 disebutkan:
“Dan Dialah yang menjadikan malam untukmu (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha.”

Ayat ini menegaskan bahwa malam diciptakan sebagai waktu istirahat, sedangkan siang adalah waktu untuk bekerja dan mencari rezeki. Jika kita mengatur pola tidur sesuai dengan fitrah ini, maka tubuh akan berfungsi secara optimal—pikiran lebih jernih, energi lebih stabil, dan semangat dalam bekerja pun meningkat.

Dikutip dari NU Online Lampung, terdapat tiga waktu tidur yang sebaiknya dihindari demi menjaga kesehatan dan semangat dalam mencari rezeki. Dengan tidur yang cukup di waktu yang tepat, tubuh kita akan terasa lebih segar, sehat, dan lebih siap menjemput keberkahan dari Allah SWT.

Hindari Tidur Setelah Subuh, Waktu Penuh Berkah Rezeki dan Umur

Tidur pada waktu-waktu tertentu diyakini dapat menghalangi datangnya keberkahan, baik dalam hal rezeki maupun usia. Salah satu waktu yang sangat dianjurkan untuk tidak digunakan tidur adalah setelah sholat Subuh. Waktu ini dipandang sebagai momen turunnya berkah dari Allah SWT, terutama dalam bentuk rezeki dan panjang umur.

Habib Zain bin Smith menjelaskan dalam kitab Fawaid al-Mukhtarah bahwa tidur setelah Subuh bisa menghilangkan keberkahan tersebut. Beliau menulis:

النوم بعد الصبح يذهب بركة الرزق والعمر لأن بركة هذه الأمة فى البكور وهو بعد صلاة الفجر إلى طلوع الشمس

Artinya:
“Tidur setelah Subuh menghilangkan berkah rezeki dan umur, karena keberkahan umat ini terdapat pada waktu pagi, yakni setelah sholat Subuh hingga terbitnya matahari.”

Penjelasan ini mengingatkan kita untuk memanfaatkan waktu pagi sebaik mungkin, khususnya setelah menunaikan sholat Subuh. Di waktu inilah Allah SWT membuka pintu-pintu keberkahan bagi hamba-Nya. Maka, daripada tidur kembali, sebaiknya waktu ini diisi dengan aktivitas yang bermanfaat—baik ibadah, belajar, bekerja, atau memulai aktivitas harian dengan penuh semangat.

Menjaga waktu pagi tetap produktif bukan hanya membawa manfaat dunia, tapi juga bisa membuka jalan menuju keberkahan hidup secara menyeluruh.

Bahaya Tidur Setelah Ashar: Risiko Gangguan pada Daya Pikir

Tidur pada waktu-waktu tertentu bisa berdampak kurang baik, tidak hanya secara spiritual, tetapi juga pada kesehatan dan daya pikir. Salah satu waktu yang disarankan untuk dihindari adalah tidur setelah sholat Ashar.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengingatkan:

مَنْ نَامَ بَعْدَ الْعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ
Artinya: “Barang siapa tidur setelah waktu Ashar lalu hilang akalnya, maka janganlah ia menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri.” (HR. Ad-Dailami)

Meskipun hadits ini dinilai dhaif (lemah) oleh sebagian ulama, tetap saja ia memiliki nilai penting dalam konteks fadha’il al-a’mal atau anjuran untuk mengerjakan amal-amal yang utama.

Para ulama dan ahli kesehatan juga sepakat bahwa tidur sore menjelang malam bisa menyebabkan tubuh terasa lesu, pikiran tidak segar, dan mengganggu pola tidur malam hari. Secara spiritual, waktu Ashar hingga Maghrib adalah waktu yang dianjurkan untuk memperbanyak zikir dan doa, bukan untuk tidur.

Karena itu, menjaga waktu Ashar tetap aktif dan terisi dengan kegiatan produktif bisa menjadi upaya untuk menjaga kesehatan pikiran, sekaligus meraih keberkahan dari waktu-waktu istimewa yang dianjurkan dalam ajaran Islam.

Alasan Rasulullah Tidak Suka Bergadang

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Rasulullah SAW memberikan teladan mengenai adab tidur di malam hari:

كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ العِشَاءِ وَالحَدِيثَ بَعْدَهَا
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah tidak menyukai tidur sebelum sholat Isya dan berbincang-bincang setelahnya.” (HR. al-Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa tidur sebelum melaksanakan sholat Isya adalah sesuatu yang makruh, karena dikhawatirkan seseorang akan tertidur lelap hingga melewatkan waktu sholat Isya. Ini merupakan hal yang cukup sering terjadi di kalangan masyarakat, terutama saat tubuh merasa lelah di penghujung hari.

Penjelasan lebih lanjut mengenai alasan di balik kemakruhan ini dapat ditemukan dalam kitab ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhari, karya Badruddin al-‘Aini:

“Makruhnya tidur sebelum Isya disebabkan karena hal itu dapat menyebabkan seseorang melewatkan waktu sholat akibat tertidur terlalu dalam. Selain itu, agar umat Islam tidak meremehkan pentingnya menunaikan sholat Isya secara berjamaah. Adapun makruhnya berbincang-bincang setelah Isya karena bisa membuat seseorang begadang dan akibatnya tertidur hingga melewatkan qiyamul lail, dzikir malam, bahkan sholat Subuh.” (juz 5, hal. 66)

Dari penjelasan ini, kita dapat memahami bahwa Islam sangat memperhatikan manajemen waktu malam, terutama terkait dengan ibadah. Tidur terlalu awal atau terlalu larut tanpa memperhatikan kewajiban dan potensi spiritualitas malam hari, dapat berdampak pada kualitas ibadah dan rutinitas keesokan harinya.

Karena itu, menjaga waktu Isya dan tidak begadang tanpa kebutuhan yang mendesak adalah bagian dari disiplin spiritual yang diajarkan Rasulullah SAW.

Emas dalam Sejarah, Al-Qur’an, dan Investasi Modern

Stylesphere – Tahun 2025 menjadi saksi lonjakan harga emas yang mencolok, bahkan melampaui prediksi para analis. Meski sempat mengalami fluktuasi, tren kenaikan harga emas terus bertahan. Hal ini mendorong emas kembali jadi perbincangan hangat, bukan hanya sebagai aset investasi, tapi juga sebagai simbol nilai yang telah melekat sejak ribuan tahun lalu.

Sejak zaman kuno, emas telah menjadi harta yang diburu. Ia bukan sekadar perhiasan, tapi juga digunakan sebagai alat tukar, perlengkapan adat, dan lambang status sosial. Dalam tradisi Islam, emas dikenal sebagai alat tukar sekaligus bentuk tabungan yang memiliki nilai tetap karena statusnya sebagai logam mulia.

Emas pun disebut dalam Al-Qur’an, seperti dalam Surah Al-Kahfi ayat 31. Ayat ini menggambarkan penghuni surga yang diberi gelang emas sebagai bentuk kemuliaan:

“…Mereka diberi hiasan gelang emas dan memakai pakaian hijau dari sutra halus dan tebal, duduk bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang indah.” (QS Al-Kahfi: 31)

Dalam Surah Az-Zukhruf ayat 53, emas kembali disebut sebagai lambang kekayaan duniawi. Ini menunjukkan bahwa sejak dahulu, emas telah dimaknai sebagai simbol kemewahan dan penghargaan.

Kini, seiring tren kenaikan harga, emas makin populer sebagai instrumen investasi, baik jangka pendek maupun panjang. Namun, bagi umat Islam, penting untuk tidak hanya mengejar keuntungan, tapi juga memastikan bahwa investasi emas dilakukan dengan cara yang halal dan tidak melanggar syariat.

Seperti yang dijelaskan oleh Heni Verawati, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Intan Lampung, dalam wawancara di laman NU Lampung, investasi emas yang sesuai syariat harus memenuhi prinsip keadilan, kejelasan akad, dan menghindari unsur riba.

Investasi Emas dalam Perspektif Syariah

Emas telah lama dianggap sebagai aset yang stabil dan bernilai, dan dalam ekonomi Islam, ia memenuhi kriteria sebagai aset syariah. Namun, praktik investasi emas tetap harus memperhatikan ketentuan hukum Islam agar terhindar dari unsur riba dan ketidakadilan.

1. Larangan Riba dalam Transaksi Emas

Dalam Islam, emas termasuk dalam kategori barang ribawi. Transaksi terhadapnya harus dilakukan secara tunai dan nilainya setara. Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Said Al-Khudri, di mana Rasulullah SAW bersabda:

“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama nilainya, dan jangan melebihkan sebagian atas sebagian lainnya. Jangan menjual yang hadir dengan yang ghaib.” (HR Muslim)

Artinya, jual beli emas secara kredit atau dengan perbedaan timbangan/nilai tidak dibenarkan. Emas harus diperdagangkan secara langsung, tunai, dan adil.

2. Keamanan dan Keberlanjutan sebagai Aset Syariah

Salah satu alasan mengapa emas dianggap sebagai investasi syariah adalah stabilitas dan risikonya yang relatif rendah. Emas juga tahan terhadap inflasi dan gejolak ekonomi. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang menganjurkan keamanan harta dan menolak spekulasi berlebihan (gharar).

3. Kewajiban Zakat atas Emas

Islam mewajibkan zakat atas emas jika telah mencapai nisab dan disimpan selama satu tahun. Nisab emas adalah 85 gram, dan zakat yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5%.

Hal ini ditegaskan dalam Surah At-Taubah ayat 34:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukan kepada mereka siksa yang pedih.” (QS At-Taubah: 34)

Ini menunjukkan bahwa emas bukan hanya aset untuk keuntungan pribadi, tapi juga harus dimanfaatkan untuk kepentingan sosial.

Catatan Tambahan:

  • Perhiasan emas yang dipakai wanita tidak wajib dizakati selama tidak berlebihan.
  • Emas atau perak yang dipakai laki-laki (kecuali cincin perak) atau dijadikan wadah wajib dizakati jika mencapai nisab.
  • Zakat juga berlaku pada emas batangan, logam, bejana, ukiran, atau bentuk emas lainnya yang dimiliki sebagai simpanan.

4. Praktik Investasi Emas Syariah

Investasi emas dalam Islam dapat dilakukan melalui beberapa cara yang sesuai syariah:

  • Emas fisik: berupa koin, perhiasan, atau batangan.
  • Tabungan emas: disimpan dalam lembaga keuangan syariah yang menjamin transaksi fisik dan kepemilikan jelas.
  • Emas digital: diperbolehkan selama akad, kepemilikan, dan pembayarannya dilakukan sesuai prinsip syariah (tanpa riba dan gharar).

Kesimpulan:
Investasi emas dalam Islam bukan sekadar mencari keuntungan, tapi juga menjaga nilai, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Dengan memahami syarat-syarat syariah dalam jual beli dan zakat emas, umat Islam bisa berinvestasi secara aman dan sesuai ajaran agama.

Panduan Praktik Investasi Emas Sesuai Syariah

Investasi emas telah menjadi pilihan banyak orang karena sifatnya yang stabil dan tahan terhadap inflasi. Dalam perspektif Islam, emas juga termasuk aset yang diakui syariah, asalkan praktik investasinya mengikuti prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Berikut beberapa bentuk investasi emas yang sesuai dengan ketentuan syariah:

1. Pembelian Emas Fisik

Investasi emas secara tradisional dilakukan dengan membeli emas fisik, seperti koin atau perhiasan. Dalam Islam, transaksi emas harus dilakukan secara tunai dan langsung untuk menghindari riba. Emas fisik bisa disimpan sebagai aset jangka panjang dan menjadi cadangan kekayaan saat kondisi ekonomi tidak stabil.

2. Tabungan Emas Syariah

Saat ini, banyak lembaga keuangan syariah yang menawarkan produk tabungan emas. Nasabah menabung dalam bentuk uang yang kemudian dikonversikan menjadi gram emas. Prinsip utamanya tetap sama: transaksi harus nyata dan bebas riba. Tabungan emas syariah menjadi solusi bagi masyarakat yang ingin memiliki emas secara bertahap dengan cara yang lebih terjangkau.

3. Emas Digital

Emas digital adalah bentuk investasi emas yang ditransaksikan secara elektronik. Dalam ekonomi Islam, emas digital diperbolehkan asalkan emas yang ditransaksikan benar-benar ada secara fisik, tersimpan dengan aman, dan setiap transaksi dilakukan tunai serta sesuai nilai tukar yang berlaku. Transparansi dan kejelasan kepemilikan menjadi kunci sahnya transaksi ini dalam pandangan syariah.

Emas: Aset Bernilai, Amanah Bermakna

Dalam Islam, emas tidak hanya dilihat sebagai simbol kekayaan, tetapi juga memiliki nilai spiritual dan sosial. Sebagai aset syariah, emas dianggap aman dan stabil, sekaligus menjadi sarana untuk menjaga kekayaan, menghindari riba, dan menunaikan kewajiban zakat.

Islam mengajarkan bahwa setiap harta, termasuk emas, adalah amanah yang harus dimanfaatkan secara bijak. Dengan memahami prinsip-prinsip syariah, umat Islam dapat menjadikan emas sebagai investasi yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga mendatangkan keberkahan.