Ini Syarat Seseorang Dikatakan Mampu Naik haji

Stylesphere – Setiap Muslim tentu memendam harapan besar untuk bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Menatap Ka’bah secara langsung, berdiri di Padang Arafah, serta berjalan mengelilingi Ka’bah dalam thawaf dan menempuh sa’i menjadi impian dan cita-cita jutaan umat Islam di seluruh dunia.

Namun, penting untuk dipahami bahwa ibadah haji tidak diwajibkan bagi semua orang. Hanya mereka yang memenuhi syarat “mampu” yang diwajibkan untuk melaksanakannya.

Sering kali, makna “mampu” ini disempitkan hanya pada aspek finansial. Banyak yang beranggapan bahwa selama seseorang memiliki uang yang cukup, maka ia dianggap telah memenuhi syarat wajib haji. Tetapi, benarkah sesederhana itu?

Dalam ajaran Islam, istilah “mampu” memiliki arti yang jauh lebih luas. Kemampuan untuk berhaji tidak hanya diukur dari seberapa besar tabungan atau berapa banyak aset yang dimiliki.

Ada berbagai aspek lain yang juga menjadi pertimbangan, seperti kondisi fisik, keamanan perjalanan, hingga tanggung jawab terhadap keluarga. Islam tidak akan pernah membebani umatnya dengan kewajiban yang berada di luar batas kemampuan mereka.

Penjelasan NU Online

Mengacu pada penjelasan dari NU Online, kemampuan (istitha’ah) menjadi salah satu syarat wajib dalam pelaksanaan ibadah haji. Artinya, bagi mereka yang tidak masuk dalam kategori mampu, maka kewajiban haji tidak berlaku baginya.

Hal ini ditegaskan secara langsung oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:

وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
(QS. Ali Imran: 97)

Para ulama kemudian mengelaborasi makna “mampu” dalam ayat tersebut dengan membaginya ke dalam dua bentuk kemampuan:

  1. Mampu berhaji secara langsung (dengan diri sendiri).
  2. Mampu berhaji dengan mewakilkan kepada orang lain (badal haji).

Untuk kategori pertama, yaitu seseorang yang mampu menunaikan ibadah haji dengan dirinya sendiri, ulama menyebutkan bahwa terdapat lima syarat utama yang harus dipenuhi agar seseorang dianggap benar-benar mampu. Penjelasan tentang kelima syarat tersebut akan memperjelas bahwa kemampuan berhaji tidak hanya dilihat dari segi materi, tetapi juga mencakup aspek fisik, keamanan, dan tanggung jawab lainnya.

Kesehatan Calon Jemaah

Menunaikan ibadah haji bukanlah perjalanan biasa. Ibadah ini menuntut kesiapan fisik dan mental karena rangkaian manasik yang padat dan menguras tenaga. Oleh karena itu, kesehatan jasmani menjadi syarat utama bagi mereka yang ingin berhaji secara langsung.

Seseorang yang mengalami kondisi seperti lumpuh, usia lanjut yang sangat renta, atau mengidap penyakit permanen yang membuatnya tidak sanggup menjalani aktivitas fisik yang berat maupun menempuh perjalanan jauh, tidak lagi masuk dalam kategori “mampu secara fisik”. Namun, jika ia memiliki kemampuan finansial, maka kewajiban berhaji tetap berlaku—dengan cara mengutus orang lain (badal haji) untuk menggantikan pelaksanaannya.

2. Memiliki Sarana Transportasi yang Memadai

Selain kesiapan fisik, kemampuan untuk mencapai Tanah Suci juga menjadi syarat penting. Dalam pandangan ulama, orang yang tinggal jauh dari Mekah—yakni lebih dari dua marhalah (sekitar 81 kilometer)—baru diwajibkan haji jika memiliki akses transportasi yang layak untuk mencapai lokasi ibadah, baik melalui kendaraan milik sendiri maupun dengan menyewa.

Hal ini juga berlaku untuk mereka yang tinggal relatif dekat, tetapi secara fisik tidak mampu menempuh jarak tersebut dengan berjalan kaki. Dalam konteks Indonesia, syarat ini bisa diterjemahkan sebagai kemampuan membiayai perjalanan dengan pesawat serta transportasi pendukung lainnya selama menjalankan seluruh prosesi ibadah haji.

3. Keamanan dalam Perjalanan

Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan ibadah haji adalah jaminan keamanan. Seorang Muslim hanya diwajibkan berhaji jika keselamatan jiwa, harta, dan kehormatannya terjamin sepanjang perjalanan dan selama berada di Tanah Suci. Apabila terdapat kondisi yang membahayakan seperti konflik bersenjata, maraknya aksi perampokan, atau cuaca ekstrem yang menghalangi perjalanan, maka kewajiban haji tidak berlaku sampai kondisi kembali aman dan memungkinkan.

4. Perempuan Harus Didampingi Suami, Mahram, atau Rombongan Terpercaya

Syariat Islam memberikan perhatian khusus terhadap keselamatan dan kenyamanan perempuan yang akan menunaikan haji. Oleh karena itu, seorang perempuan tidak diperbolehkan melakukan perjalanan jauh sendirian, termasuk untuk ibadah haji. Ia harus didampingi oleh suami, mahram (kerabat laki-laki yang haram dinikahi), atau rombongan perempuan yang dapat dipercaya. Jika tidak ada satu pun dari ketiganya yang bisa menemani, maka ia tidak termasuk dalam kategori wajib haji—karena syarat keamanan dan pendampingan belum terpenuhi.

5. Adanya Waktu yang Cukup untuk Menempuh Perjalanan Haji

Berbeda dengan umrah yang bisa dilakukan kapan saja, ibadah haji hanya bisa dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu dalam tahun hijriyah. Karena itu, syarat wajib haji juga mencakup adanya rentang waktu yang memungkinkan seseorang untuk melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya ke Mekah. Jika seseorang tidak memiliki cukup waktu untuk memulai dan menyelesaikan perjalanan serta rangkaian ibadah sesuai jadwal yang ditentukan, maka kewajiban haji belum berlaku baginya.

Bolehkah Berdoa untuk Wafat di Tanah Suci? Ini Penjelasannya

Stylesphere – Makkah dan Madinah merupakan dua kota suci yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Makkah adalah tempat kelahiran Rasulullah SAW dan lokasi Ka’bah, kiblat seluruh umat Islam. Sementara itu, Madinah menjadi saksi perjuangan besar Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat dalam menyebarkan risalah Islam.

Tak mengherankan jika banyak umat Muslim merindukan kedua kota ini, bukan hanya untuk dikunjungi dalam ibadah haji atau umrah, tetapi juga untuk bisa menetap hingga akhir hayat. Harapan untuk menghembuskan napas terakhir di Tanah Suci menjadi cita-cita mulia bagi sebagian orang, karena diyakini mendatangkan kemuliaan akhir hayat serta rahmat Allah SWT yang melimpah.

Keinginan ini sering kali diwujudkan dalam bentuk doa yang khusyuk, dipanjatkan di sela-sela ibadah, atau dalam sujud panjang penuh harap. Bahkan, sebagian orang meyakini bahwa wafat di Tanah Suci dapat mengantarkan pada keutamaan mati syahid, sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat.

Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang berdoa agar wafat di Tanah Suci? Apakah permohonan seperti ini sesuai dengan ajaran tawakal?

Dalam Islam, tidak ada larangan untuk memohon kepada Allah agar diwafatkan di tempat yang mulia. Rasulullah SAW sendiri pernah mendoakan Umar bin Khattab agar syahid di jalan Allah dan wafat di Madinah. Hal ini menunjukkan bahwa memohon tempat kematian yang penuh keberkahan bukanlah bentuk kurang tawakal, tetapi bagian dari harapan seorang hamba akan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik).

Tawakal tidak berarti pasrah tanpa harapan, tetapi berusaha dan berdoa, sambil menyerahkan hasil sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Maka, memanjatkan doa agar diwafatkan di Makkah atau Madinah adalah bentuk keinginan akan kebaikan akhir hidup, yang tentu dibolehkan selama disertai niat tulus dan keyakinan bahwa segala takdir berada di tangan-Nya.

Hukum Berdoa Agar Wafat di Tanah Suci: Antara Sunnah dan Tawakal

Keinginan untuk wafat di Tanah Suci, seperti Makkah atau Madinah, adalah harapan mulia yang dimiliki banyak umat Islam. Harapan ini lahir dari keyakinan bahwa wafat di tempat yang suci merupakan tanda husnul khatimah dan mengandung keutamaan besar. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap doa semacam ini?

Mengutip dari laman muslim.or.id, para ulama menyebutkan bahwa hukum berdoa agar diwafatkan di tempat yang mulia adalah sunnah. Tanah Suci Makkah dan Madinah termasuk dalam kategori tempat yang mulia, sehingga tidak mengapa bahkan dianjurkan untuk memohon kepada Allah agar diwafatkan di sana.

Salah satu dalil utama yang mendasari anjuran ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah di sana. Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang mati di sana.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan keutamaan besar bagi mereka yang wafat di kota Madinah. Namun, para ulama menekankan bahwa maksud dari hadis ini bukanlah mengusahakan kematian secara tidak wajar atau dengan tindakan yang membahayakan diri.

Sebagaimana dijelaskan oleh At-Tibiy dalam Tuhfatul Ahwadzi (10/286):

“Perintah agar meninggal di Madinah bukanlah dengan usaha sendiri, tetapi kembali kepada kehendak Allah. Hendaknya seseorang tetap bertahan tinggal di Madinah dan berusaha tidak meninggalkannya.”

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (9/151). Beliau menyebut bahwa hadis tersebut menjadi dalil kuat tentang keutamaan tinggal di kota Madinah dan bersabar atas segala ujian serta kesulitan yang mungkin dihadapi di sana. Keutamaan tersebut berlaku hingga hari kiamat.

Bahkan, dalam Al-Majmu’ (5/106), Imam An-Nawawi menegaskan:

“Disunnahkan meminta kematian di tanah yang mulia.”

Dengan demikian, berdoa agar wafat di Tanah Suci adalah amalan yang dianjurkan dalam Islam. Selama dilakukan dengan niat yang tulus, tanpa melanggar syariat, dan tetap menyerahkan hasil akhirnya kepada ketetapan Allah, maka hal ini bukanlah bentuk kurang tawakal, melainkan ekspresi cinta kepada tempat-tempat suci dan harapan akan akhir yang baik.

Antara Harapan Syahid dan Jaminan Pahala Abadi

Wafat di Tanah Suci, baik di Makkah maupun Madinah, adalah dambaan banyak umat Islam. Selain karena kemuliaan tempat tersebut, salah satu hikmah besar dari meninggal di sana adalah banyaknya orang shalih yang akan mendoakan, serta berkah dari para penghuni Tanah Suci — baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.

Namun, muncul pertanyaan penting: Apakah orang yang wafat di Tanah Suci akan mendapatkan keutamaan mati syahid?

Tidak Ada Dalil Langsung tentang Mati Syahid

Secara tegas, tidak ada dalil atau nash yang menyatakan bahwa wafat di Tanah Suci secara otomatis termasuk dalam kategori mati syahid. Yang ada adalah keutamaan luar biasa bagi mereka yang wafat saat menjalankan ibadah haji atau umrah.

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut:

“Barangsiapa keluar untuk berhaji lalu meninggal dunia, maka dituliskan untuknya pahala haji hingga hari kiamat. Barangsiapa keluar untuk umrah lalu meninggal dunia, maka ditulis untuknya pahala umrah hingga hari kiamat. Dan barangsiapa keluar untuk berjihad lalu mati maka ditulis untuknya pahala jihad hingga hari kiamat.”
(HR. Abu Ya’la, lihat Shahih At-Targhib no. 1114)

Hadis ini menunjukkan bahwa wafat dalam perjalanan ibadah seperti haji dan umrah mendatangkan ganjaran pahala yang terus mengalir hingga hari kiamat. Ini adalah bentuk kemuliaan tersendiri, meskipun tidak secara spesifik dikategorikan sebagai mati syahid.

Wafat di Madinah dan Syafaat Rasulullah SAW

Bagi mereka yang wafat di Madinah, terdapat keistimewaan tambahan berupa syafaat langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya:

“Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah), kemudian dia mati, kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya, atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat, jika dia seorang Muslim.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan keutamaan bagi orang yang hidup dan wafat di Madinah dengan penuh kesabaran. Mereka dijanjikan syafaat atau kesaksian dari Rasulullah SAW pada hari kiamat — suatu bentuk kemuliaan yang tidak dimiliki oleh tempat lain di dunia.


Kesimpulan

Berdoa agar wafat di Tanah Suci adalah amalan yang disunnahkan. Meskipun tidak secara otomatis menjadikan seseorang syahid, namun mereka yang wafat dalam keadaan menunaikan ibadah haji atau umrah tetap mendapatkan pahala luar biasa. Terlebih lagi, mereka yang wafat di Madinah mendapatkan janji syafaat dari Rasulullah SAW.

Semoga Allah mengizinkan kita menutup usia di tempat yang paling mulia, dengan cara yang diridhai-Nya.