Gus Baha Soroti Standar Ganda dalam Menilai Praktik Tawasul
Stylesphere – Ulama asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha, kembali menyampaikan pandangannya secara tajam terkait polemik seputar praktik tawasul. Ia menyoroti adanya standar ganda dalam cara sebagian orang memandang tawasul dibandingkan dengan ketergantungan terhadap dokter atau obat.
Dalam sebuah pengajian yang dikutip dari kanal YouTube @takmiralmukmin pada Jumat (25/04/2025), Gus Baha mempertanyakan logika yang menyebut bertawasul kepada Nabi atau wali sebagai tindakan syirik, sementara bergantung pada dokter atau obat tidak pernah dianggap bermasalah.
“Kalau tawasul ke Nabi dianggap syirik, tawasul ke kuburan dianggap syirik, padahal orang yang bertawasul itu hanya merasa tidak layak langsung kepada Allah, sehingga menggunakan wasilah atau perantara,” ujar Gus Baha dalam ceramahnya.
Ia menegaskan bahwa dalam konsep tawasul, tidak ada keyakinan bahwa sosok yang dijadikan perantara tersebut mampu mengabulkan doa atau memberikan kesembuhan. Semua tetap dikembalikan kepada kehendak Allah SWT.
“Bertawasul itu bukan berarti meminta langsung kepada wali, tetapi menjadikan wali sebagai pintu permohonan karena merasa tidak pantas langsung memohon kepada Allah,” tegasnya.
Dalam ceramah yang menjadi viral tersebut, Gus Baha juga mengkritik keras sikap sebagian kalangan yang mudah melabeli pelaku tawasul sebagai musyrik atau kafir, sembari membiarkan ketergantungan penuh masyarakat pada dokter dan obat tanpa persoalan serupa.
Gus Baha Tegaskan Pentingnya Konsistensi Berpikir dalam Memahami Tawasul

Dalam ceramah terbarunya, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menyindir keras ketidakkonsistenan sebagian pihak dalam memahami praktik tawasul.
“Kok bisa ya, orang sholeh dijadikan wasilah dibilang kafir, tapi ketika sembuh lalu bilang, dokter menyembuhkan saya, obat menyembuhkan saya, itu nggak dibilang kafir?” sindir Gus Baha di hadapan jamaah.
Menurutnya, sikap seperti itu menunjukkan ketidakjujuran dalam memahami tauhid. Gus Baha menekankan bahwa segala sesuatu di dunia ini hanyalah sebab (perantara), bukan pelaku utama atas kejadian-kejadian yang terjadi.
“Kalau pelantara dianggap syirik, kenapa obat dan dokter tidak dihukumi sama? Padahal logikanya sama. Mereka itu juga perantara,” lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa yang memberikan kesembuhan tetaplah Allah SWT, baik itu melalui orang sholeh, obat, maupun dokter. Karena itu, tidak adil jika hanya bentuk perantara tertentu yang dianggap menyimpang, sementara yang lain diterima tanpa masalah.
“Ini bukan soal teologi tinggi, ini soal kejujuran berpikir,” tegas Gus Baha, yang disambut anggukan setuju dari para jamaah.
Dalam banyak kajiannya, Gus Baha memang dikenal konsisten membela praktik-praktik tradisi ulama Ahlussunnah wal Jamaah, seperti tawasul dan ziarah kubur. Ia juga mengingatkan bahwa banyak doa yang diajarkan ulama terdahulu menyertakan nama Nabi Muhammad SAW sebagai wasilah — bukan untuk disembah, melainkan untuk dimuliakan dan dijadikan perantara dalam memohon kepada Allah.
Gus Baha: Tauhid Butuh Pemahaman yang Jernih dan Adil
Dalam ceramahnya, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menegaskan bahwa tidak ada unsur syirik dalam praktik tawasul.
“Di mana letak syiriknya? Semua doa tetap bermuara ke Allah. Nabi dan wali itu cuma pengantar,” ujarnya.
Gus Baha juga menyayangkan sikap sebagian kelompok yang terlalu mudah menyesatkan amalan-amalan yang telah ratusan tahun dipraktikkan umat Islam, bahkan diajarkan oleh para ulama besar dunia.
Ia mengingatkan, justru lebih berbahaya jika seseorang menyandarkan kesembuhan hanya kepada dokter atau obat tanpa mengingat peran Allah SWT, dibandingkan dengan orang yang bertawasul namun tetap menyandarkan segalanya kepada Allah.
“Kalian bilang, ‘Alhamdulillah cocok sama dokter kemarin.’ Ya itu logika sama kayak tawasul. Tapi kenapa kalian nggak nuduh itu syirik?” sindir Gus Baha.
Di penghujung ceramah, Gus Baha mengajak umat Islam untuk lebih bijak dan adil dalam memahami konsep tauhid dan peran wasilah. Ia berharap tuduhan syirik tidak lagi mudah dilontarkan hanya karena perbedaan cara dalam mendekatkan diri kepada Allah.
“Tauhid itu bukan sekadar slogan, tapi cara berpikir yang jernih dan adil,” pungkasnya.