Amnesti untuk Hasto dan Abolisi untuk Tom Lembong, Publik Menyoroti Langkah Presiden Prabowo
Stylesphere – Pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menjadi sorotan publik. Dengan disetujuinya amnesti oleh DPR RI, Hasto resmi dinyatakan bebas dari hukuman.
Meski Hasto bukan satu-satunya penerima amnesti—tercatat lebih dari 1.000 terpidana lainnya juga mendapatkan pengampunan—namun namanya menjadi yang paling menonjol di tengah pemberitaan. Langkah ini pun menuai berbagai reaksi dari masyarakat.
Tak kalah menarik perhatian adalah keputusan Presiden Prabowo memberi abolisi kepada ekonom dan mantan pejabat publik, Tom Lembong. Dengan abolisi ini, proses hukum terhadap Tom dihentikan, dan ia dinyatakan lepas dari segala tuntutan pidana.
Menariknya, praktik pemberian pengampunan seperti ini sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah. Dalam tradisi Islam, Rasulullah Muhammad SAW pernah melakukan pemberian maaf secara besar-besaran dalam peristiwa bersejarah Fathu Makkah (Penaklukan Makkah) yang terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah (630 M).
Dalam peristiwa tersebut, Rasulullah memimpin pasukan berjumlah 10.000 orang dari Madinah menuju Makkah. Penaklukan berlangsung hampir tanpa perlawanan karena penduduk Makkah, di bawah pimpinan Abu Sufyan, memilih menyerah.
Rasulullah kemudian memberikan amnesti umum kepada para penduduk Makkah, termasuk para tokoh yang sebelumnya menjadi musuh Islam. Mereka yang mendapatkan pengampunan ini dikenal dengan sebutan al-thulaqa, atau “orang-orang yang dimaafkan”. Banyak dari mereka, termasuk dari kalangan Bani Umayyah, kemudian memeluk Islam dan menjadi bagian dari masyarakat Madinah.
Dikutip dari Anugerahslot Islamic, Senin (1/8/2025), “Pada saat penaklukan Kota Makkah, orang-orang yang diberi amnesti umum disebut al-thulaqa, yakni orang-orang yang terbebaskan karena adanya amnesti.”
Langkah Presiden Prabowo dalam memberikan amnesti dan abolisi ini pun menimbulkan perbincangan hangat. Sejarah menunjukkan bahwa pengampunan bisa menjadi jalan menuju rekonsiliasi, meski tidak lepas dari kontroversi.
Kisah Pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah dan Strategi Rasulullah Menuju Fathu Makkah

Pada masa itu, sebuah perjanjian penting telah disepakati antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy, yakni Perjanjian Hudaibiyah. Kesepakatan ini berisi komitmen kedua belah pihak untuk menghentikan segala bentuk peperangan selama 10 tahun.
Namun, perjanjian tersebut akhirnya dilanggar. Pelanggaran dimulai dari salah satu sekutu Quraisy, yakni Kabilah Bani Bakr, yang menyerang dan membunuh anggota Kabilah Khuza’ah—sebuah kabilah yang menjadi sekutu Rasulullah SAW. Insiden ini menjadi pemicu ketegangan antara kedua kubu.
Meski pelanggaran ini tergolong berat, Rasulullah SAW tidak langsung mengambil langkah agresif dengan menyerang Makkah. Padahal, kekuatan pasukan Islam saat itu telah cukup besar, apalagi jika dikombinasikan dengan dukungan dari kabilah-kabilah sekutu.
Setelah kabar pelanggaran tersebut sampai ke Madinah, Quraisy mengirimkan Abu Sufyan sebagai utusan untuk memperbarui kembali perjanjian Hudaibiyah. Abu Sufyan berharap bisa meredakan konflik dan memperpanjang masa damai. Namun, upayanya di Madinah tidak membuahkan hasil. Rasulullah dan para sahabat tidak memberikan jawaban yang ia harapkan. Abu Sufyan pun kembali ke Makkah tanpa membawa kesepakatan baru.
Dalam Shahih al-Sirah an-Nabawiyah karya Ibrahim Al-Ali, dijelaskan bahwa setelah kegagalan misi Abu Sufyan, Rasulullah SAW mulai menyusun strategi untuk menghadapi Quraisy. Beliau mempersiapkan pasukan sebanyak 10.000 orang untuk bergerak menuju Makkah. Untuk menjaga Madinah selama keberangkatannya, Rasulullah menunjuk Abu Raham al-Ghifari sebagai pemimpin sementara.
Rasulullah juga bermusyawarah dengan para sahabat dan menginstruksikan kepada kaum Muslimin agar bersiap-siap menghadapi perjalanan besar ini. Peristiwa inilah yang kelak dikenal sebagai Fathu Makkah, penaklukan Makkah yang menjadi salah satu momen paling monumental dalam sejarah Islam.
Fathu Makkah: Dari Diplomasi Menuju Hari Kasih Sayang

Setelah berbagai upaya diplomatik dilakukan dengan para tokoh Quraisy, Rasulullah SAW akhirnya memimpin langsung pasukan kaum Muslimin memasuki Kota Makkah pada tanggal 20 Ramadan tahun ke-8 Hijriyah, atau bertepatan dengan 11 Januari 630 Masehi. Sebanyak 10.000 pasukan turut serta dalam peristiwa besar ini, dengan tujuan menagih komitmen atas Perjanjian Hudaibiyah yang sebelumnya telah dilanggar oleh pihak Quraisy.
Kabar keberangkatan pasukan ke Makkah disambut dengan suka cita oleh para prajurit Muslim. Mereka merasa saat itu adalah momen yang telah lama dinanti—kemenangan atas kota kelahiran mereka yang selama ini menjadi pusat perlawanan terhadap Islam.
Salah satu panglima pembawa bendera, Sa’d bin Ubadah, terbawa semangat hingga mengucapkan kalimat penuh gairah kemenangan:
“Hari ini adalah hari pembalasan dan kehancuran bagi mereka!” (al-yaum yaum al-malhamah), serunya lantang.
Namun ketika Rasulullah SAW mendengar seruan tersebut, beliau segera menegurnya melalui Ali bin Abi Thalib. Tak hanya itu, Rasulullah mencopot Sa’d dari tugasnya sebagai pembawa bendera dan menunjuk putranya, Qays bin Sa’d bin Ubadah, sebagai pengganti.
Rasulullah lalu mengoreksi ucapan tersebut dengan menyampaikan pesan yang jauh lebih dalam dan bermakna:
“Hari ini adalah hari kasih sayang” (al-yaum yaum al-marhamah), tegas beliau kepada seluruh pasukan.
Tindakan Rasulullah ini menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa. Di tengah kondisi pasukan yang sedang membara oleh semangat jihad, beliau tetap menjunjung tinggi prinsip rahmat dan pengendalian diri. Ia tahu bahwa kemenangan sejati bukan hanya soal merebut kota, tetapi juga menaklukkan hati.
Sementara itu, penduduk Makkah diliputi kegelisahan. Melihat besarnya jumlah pasukan Islam yang datang, mereka sadar bahwa pelanggaran atas gencatan senjata yang disepakati dalam Perjanjian Hudaibiyah kini berbalik menjadi ancaman serius. Mereka tahu, posisi mereka lemah di hadapan kekuatan kaum Muslimin yang semakin solid dan strategis.
Namun, apa yang terjadi selanjutnya menjadi pelajaran berharga dalam sejarah Islam—bagaimana kemenangan tidak dijadikan ajang balas dendam, melainkan sebagai momen memaafkan dan merangkul.
Fathu Makkah: Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah di Bulan Ramadan
Peristiwa Fathu Makkah menjadi salah satu momen paling monumental dalam sejarah Islam. Tidak seperti Perang Badar yang melibatkan pertempuran terbuka, penaklukan Makkah terjadi tanpa adanya perlawanan berarti. Umat Islam berhasil mengambil alih kota suci tersebut dari kaum Quraisy tanpa pertumpahan darah. Ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga kemenangan moral dan spiritual.
Setibanya di Makkah, Rasulullah SAW langsung memerintahkan penyucian kawasan Ka’bah dan Masjidil Haram dari segala bentuk berhala dan simbol kemusyrikan yang selama ini dijadikan sesembahan oleh kaum kafir Quraisy. Ketika menghancurkan patung-patung tersebut, Rasulullah membacakan firman Allah dalam Surah Al-Isra’ ayat 81:
وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا
“Katakanlah, ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.”
Ayat ini menjadi simbol dari berakhirnya masa kekufuran di tanah suci dan hadirnya cahaya kebenaran Islam yang mencerahkan.
Setelah pembersihan Ka’bah, Rasulullah memerintahkan Bilal bin Rabah untuk mengumandangkan azan dari atas Ka’bah. Momen ini sangat menyentuh: suara panggilan tauhid itu keluar dari lisan seorang mantan budak yang dahulu disiksa dan direndahkan oleh kaum Quraisy karena keimanannya. Kini, Bilal berdiri di tempat tertinggi di Makkah, memanggil manusia kepada Allah.
Alih-alih membalas dendam atas perlakuan Quraisy di masa lalu, Rasulullah justru memberikan amnesti umum kepada penduduk Makkah. Beliau meneladani sikap Nabi Yusuf AS, dengan mengutip Surah Yusuf ayat 92:
قَالَ لَا تَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَۗ يَغْفِرُ اللّٰهُ لَكُمْ ۖوَهُوَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ
“Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.”
Sikap mulia Rasulullah ini mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukan terletak pada dominasi, melainkan pada kemampuan memaafkan dan membangun perdamaian.
Fathu Makkah pun dikenang sebagai peristiwa besar yang terjadi di bulan Ramadan—bulan yang penuh rahmat dan pengampunan. Tidak hanya berhasil menghapuskan simbol-simbol kemusyrikan, tetapi juga menanamkan nilai kasih sayang dan rekonsiliasi dalam masyarakat yang sebelumnya dipenuhi konflik.
Wallahu a’lam.