Stylesphere – Bulan Ramadan adalah waktu yang penuh keberkahan, di mana umat Muslim dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah mereka. Keutamaan bulan suci ini memberikan kesempatan bagi setiap Muslim untuk memperbanyak amalan dan meraih pahala yang berlipat ganda.
Salah satu amalan yang dapat dilakukan secara istiqomah selama bulan Ramadan adalah sholat Isyraq atau sholat Syuruq. Sholat sunnah ini dikerjakan dua rakaat setelah matahari terbit.
Meskipun hukumnya sunnah, sholat Isyraq memiliki keutamaan luar biasa. Orang yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala setara dengan haji dan umrah yang sempurna. Pahala ini diberikan kepada mereka yang melaksanakan sholat Subuh berjamaah, kemudian berdzikir hingga matahari terbit, lalu mengerjakan sholat Isyraq.
Artinya:“Siapa saja yang sholat Subuh secara berjamaah, kemudian duduk berdzikir kepada Allah hingga terbit matahari, lalu mengerjakan sholat dua rakaat, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana haji dan umrah yang sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. At-Tirmidzi, Hadis Hasan).
Agar mendapatkan keutamaan tersebut, berikut niat dan tata cara sholat Isyraq yang bisa diamalkan selama bulan Ramadan, lengkap dengan doa setelahnya.
Berikut Adalah Tata Cara Sholat Isyraq Yang Benar
Sholat Isyraq dilaksanakan sebanyak dua rakaat. Adapun tata caranya tidak berbeda jauh dengan sholat pada umumnya, yakni diawali dengan niat dan ditutup dengan salam. Berikut tata caranya.
1. Membaca niat sholat Isyraq
Berikut adalah niat sholat isyraq sebagaimana diterangkan Syaikh Nawawi dalam kitab Nihayatuz Zain.
Artinya, “Aku niat shalat sunnah isyraq dua rakaat karena Allah.”
2. Takbiratul ihram
3. Membaca surah al-Fatihah dilanjutkan salah satu surah dalam Al-Qur’an (Dianjurkan surah Ad-Dhuha)
4. Rukuk
5. Iktidal
6. Sujud pertama
7. Duduk di antara dua sujud
8. Sujud kedua rakaat pertama
9. Berdiri dan mengulang urutan di atas sejak membaca Surah al-Fatihah, salah satu surah dalam Al-Qur’an (dianjurkan surah As-Syarh), hingga sujud kedua
Stylephere – Kehidupan rumah tangga penuh dengan dinamika, dan salah satu bentuk ibadah dalam pernikahan adalah hubungan suami istri, termasuk di bulan Ramadan. Hubungan ini tentu hanya boleh dilakukan pada malam hari, karena jika dilakukan di siang hari akan membatalkan puasa.
Namun, muncul pertanyaan: apakah seseorang dalam kondisi junub boleh melakukan aktivitas, seperti memasak sahur? Apakah seorang wanita diperbolehkan memasak sahur sebelum mandi junub, dan apakah hal ini memengaruhi keabsahan puasanya?
Melansir Kemenag.go.id, menunda mandi junub dan mendahulukan aktivitas lain, seperti memasak atau pekerjaan rumah tangga lainnya, hukumnya diperbolehkan. Tidak ada larangan bagi seseorang yang sedang junub untuk melakukan kegiatan seperti memasak, menyapu, atau mencuci sebelum mandi junub.
Salah satu dalil yang mendukung kebolehan ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah pernah berada dalam kondisi junub saat fajar tiba, kemudian beliau mandi sebelum melanjutkan ibadah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa menunda mandi junub untuk melakukan aktivitas lain, termasuk memasak sahur, tidak berpengaruh terhadap keabsahan puasa. Namun, disarankan untuk segera mandi agar dapat melaksanakan ibadah lainnya, seperti sholat Subuh, dalam keadaan suci.
Hukum Menunda Mandi Junub untuk Memasak Sahur di Bulan Ramadan
Aku bertemu Rasulullah dan aku pada saat itu dalam keadaan sedang junub, lalu beliau menggandeng tanganku, maka aku berjalan bersama beliau sampai beliau duduk, lalu aku keluar sebentar, aku menemui seseorang, lalu aku mandi, kemudian datang dan beliau sedang duduk, lalu berkata; Kemana saja kamu wahai Abu Hir? Aku berkata kepada beliau (bahwa aku tadi junub). Maka beliau bersabda: Subhanallah, wahai Abu Hir, sesunggugnya seorang mukmin tidak najis.”
Dalam kitab Fathul Al-Bari, Al-Hafidz Ibnu Hajar menjadikan hadis ini sebagai dasar kebolehan seseorang menunda mandi junub dan juga kebolehan dia memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, seperti memasak, pergi ke pasar, dan lainnya. Beliau berkata sebagai berikut;
وفيه جواز تأخير الاغتسال عن أول وقت وجوبه ..وعلى جواز تصرف الجنب في حوائجه
“Hadis ini menjadi dalil kebolehan mengakhirkan mandi junub dari awal waktunya dan kebolehan orang yang junub melakukan aktifitas untuk memenuhi kebutuhannya.”
Hanya saja, meski memasak sebelum mandi besar diperbolehkan, namun jika seseorang hendak makan atau minum setelah memasak, maka dia dianjurkan untuk wudhu terlebih dahulu. Hal ini karena menurut para ulama, makan dan minum tanpa wudhu dalam keadaan junub hukumnya makruh.
Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dari Sayidah Aisyah, dia berkata;
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا كان جنبا فأراد أن يأكل أو ينام توضأ وضوءه للصلاة
“Apabila Rasulullah Saw berada dalam kondisi junub, kemudian beliau ingin makan atau tidur, beliau berwudhu sebagaimana wudhu ketika hendak salat.”
Puasa Tanpa Sholat: Sah Secara Fikih, tetapi Kurang Sempurna di Sisi Allah
Stylesphere – Puasa di bulan Ramadan merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat Muslim. Secara hukum fikih, puasa tetap sah meskipun seseorang tidak menjalankan sholat. Namun, sangat disayangkan jika ibadah yang sudah dilakukan menjadi kurang bernilai di sisi Allah karena meninggalkan sholat. Menjaga keseimbangan antara puasa dan sholat merupakan bentuk kesempurnaan ibadah seorang Muslim.
Saat Ramadan tiba, suasana ibadah terasa lebih kuat dibandingkan bulan lainnya. Banyak orang yang jarang menjalankan puasa sunnah, namun tetap berusaha berpuasa penuh selama sebulan. Di sisi lain, ada fenomena yang cukup sering terjadi di masyarakat, yaitu seseorang rajin berpuasa tetapi tidak menjalankan sholat.
Fenomena ini dapat ditemukan di berbagai kalangan, baik anak muda maupun orang dewasa. Beberapa orang mungkin belum terbiasa menjalankan sholat lima waktu, tetapi tetap ingin berpuasa karena Ramadan hanya datang setahun sekali. Ada juga yang merasa lebih mudah menahan lapar dan haus dibandingkan meluangkan waktu untuk sholat.
Bagi sebagian orang, puasa memiliki daya tarik tersendiri. Atmosfer Ramadan yang penuh kebersamaan serta ajakan dari lingkungan sekitar, seperti keluarga dan teman, membuat banyak orang terdorong untuk menjalankannya. Sementara itu, sholat sering dianggap sebagai ibadah pribadi yang lebih sulit dijaga, terutama bagi mereka yang belum menjadikannya kebiasaan.
Kesibukan sehari-hari juga menjadi alasan umum seseorang meninggalkan sholat. Ada yang mengaku lupa sholat karena pekerjaan menumpuk, tertidur setelah sahur, atau terlalu lelah setelah berbuka. Padahal, semangat yang sama dalam menahan lapar dan haus bisa menjadi motivasi untuk lebih disiplin dalam menjalankan ibadah lainnya.
Menariknya, meskipun tidak sholat, banyak orang tetap berusaha menjalankan puasa dengan serius. Mereka menjaga diri dari makan dan minum, menahan emosi, serta berusaha melakukan kebaikan. Ada harapan bahwa Ramadan bisa menjadi titik awal perubahan, meskipun belum semua ibadah bisa dijalankan dengan sempurna.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga momen untuk membangun kebiasaan baik dalam ibadah. Jika seseorang mampu berpuasa selama sebulan penuh, bukan tidak mungkin kebiasaan baik lainnya, seperti sholat lima waktu, juga bisa mulai diterapkan secara perlahan.
Lalu, apakah puasa tetap sah jika seseorang tidak menjalankan sholat? Apakah menahan lapar dan haus saja sudah cukup tanpa menjalankan kewajiban lain dalam Islam? Jawabannya, secara hukum fikih, puasa tetap sah. Namun, puasa yang sempurna bukan hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga memperbaiki diri dengan menjalankan seluruh kewajiban dalam Islam, termasuk sholat. Ramadan adalah kesempatan terbaik untuk memperbaiki ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan lebih baik.
Hukuman Bagi Orang Yang Puasa Tanpa Sholat
Jika seseorang meninggalkan sholat bukan karena mengingkari kewajibannya, melainkan karena malas atau lalai, maka ia tetap dianggap sebagai seorang Muslim. Dalam hal ini, puasanya tetap sah secara hukum, tetapi kehilangan nilai kesempurnaannya di sisi Allah.
Menurut kitab Taqriratus Sadidah, ada dua jenis pembatalan dalam ibadah puasa. Pertama, pembatalan yang hanya menghapus pahala puasa tetapi tidak membatalkan puasanya secara hukum. Kedua, pembatalan yang benar-benar membatalkan puasa sehingga wajib diganti di hari lain.
Meninggalkan sholat termasuk dalam kategori pertama, yaitu perbuatan yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala puasa, tetapi tidak membatalkan puasanya secara fikih. Artinya, orang tersebut tidak wajib mengganti puasanya, tetapi ia kehilangan keutamaan yang seharusnya diperoleh dari ibadah tersebut.
Seorang ulama mengibaratkan puasa tanpa sholat seperti tubuh tanpa roh. Secara fisik, seseorang tampak menjalankan ibadah, tetapi kehilangan maknanya karena tidak disertai dengan amalan utama seperti sholat.
Banyak orang merasa bahwa puasa lebih berat dibandingkan sholat, sehingga mereka lebih memilih berpuasa tetapi mengabaikan sholat. Padahal, dalam Islam, setiap ibadah saling berkaitan dan tidak bisa dipilih hanya berdasarkan keinginan pribadi.
Jika seseorang benar-benar ingin menjalankan ibadah dengan baik, maka seharusnya ia juga berusaha melaksanakan sholat. Sebab, sholat adalah penghubung utama antara hamba dengan Allah, sedangkan puasa adalah bentuk penyucian diri yang lebih sempurna jika disertai dengan sholat.
Dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak orang yang hanya menjalankan ibadah tertentu, seperti puasa, tetapi lalai dalam ibadah lainnya. Hal ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman mengenai ajaran Islam yang menekankan keseimbangan dalam beribadah.
Oleh karena itu, bagi mereka yang sudah terbiasa menjalankan puasa, hendaknya juga mulai membiasakan diri menjaga sholat. Jika seseorang mampu menahan lapar dan haus seharian demi menjalankan perintah Allah, tentu melaksanakan sholat lima waktu yang hanya membutuhkan beberapa menit tidak seharusnya menjadi hal yang sulit.
Pada akhirnya, meskipun puasa tanpa sholat tidak membatalkan puasa secara hukum fikih, ibadah tersebut akan menjadi kurang bernilai di sisi Allah. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara puasa dan sholat merupakan bentuk kesempurnaan ibadah seorang Muslim.
Stylesphere – Bulan Ramadan merupakan waktu yang penuh berkah, di mana umat Muslim diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Dalam pelaksanaannya, terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar puasa menjadi sah.
Selama berpuasa, kita diwajibkan menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang dapat membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah mengenai hukum menelan ludah, karena hal ini merupakan tindakan alami yang sulit dihindari.
Menanggapi hal ini, Buya Yahya, seorang ulama terkemuka yang sering memberikan penjelasan seputar fiqih, menyampaikan bahwa menelan ludah tidak membatalkan puasa. Namun, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar tidak mengganggu keabsahan puasa.
Meski tampak sepele, pemahaman yang tepat mengenai aturan-aturan puasa sangat penting agar ibadah yang kita jalankan sah dan diterima oleh Allah SWT.
Inilah Syarat Menelan Ludah Agar Tetap Sah Berpuasa
Sebagian besar umat Muslim mungkin belum mengetahui bahwa menelan ludah sendiri tidak membatalkan puasa, asalkan memenuhi syarat tertentu. Hal ini dijelaskan oleh Buya Yahya dalam salah satu ceramahnya.
“Syarat pertama adalah ludah itu berasal dari diri sendiri. Mungkin terdengar aneh, tapi ada saja yang bertanya soal ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Buya Yahya menjelaskan dengan contoh, “Misalnya, dalam momen harmonis rumah tangga, seorang suami mencium istrinya lalu tanpa sengaja menelan ludah pasangannya. Dalam kasus seperti ini, puasanya batal karena yang ditelan bukan ludahnya sendiri,” katanya, dikutip dari YouTube Al-Bahjah TV.
Karena itu, penting untuk memahami bahwa yang dimaksud dengan menelan ludah yang tidak membatalkan puasa adalah ludah yang berasal dari diri sendiri.
Syarat kedua agar menelan ludah tidak membatalkan puasa adalah ludah tersebut masih berada di dalam mulut. Jika seseorang mengumpulkan ludah di dalam mulutnya hingga cukup banyak lalu menelannya, hal itu tetap tidak membatalkan puasa.
“Ludah yang masih berada di tempatnya, yaitu di dalam mulut, tidak membatalkan puasa. Para ulama bahkan menjelaskan bahwa jika seseorang mengumpulkan ludah hingga banyak lalu menelannya, puasanya tetap sah karena ludah tersebut masih berada di dalam mulut,” jelas Buya Yahya, ulama asal Blitar, Jawa Timur.
Syarat ketiga yang harus dipenuhi adalah bahwa ludah tersebut harus murni, tidak bercampur dengan zat lain.
“Menelan ludah tidak membatalkan puasa selama ludah tersebut masih murni, belum bercampur dengan sesuatu seperti permen atau makanan. Jika sudah bercampur, maka puasanya batal,” tambahnya.
Buya Yahya menegaskan bahwa sebagian besar ludah yang ditelan saat puasa adalah ludah yang aman. “Jika saya menelan ludah sendiri di siang hari Ramadan, itu tidak membatalkan puasa,” ujarnya.
Dengan memahami tiga syarat ini, kita dapat menjalani puasa dengan lebih tenang tanpa khawatir berlebihan mengenai hal-hal yang sebenarnya tidak membatalkan puasa.
Stylesphere – Puasa di bulan Ramadan tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah mencium pasangan saat berpuasa dapat membatalkan puasa.
Untuk menjawab hal ini, Gus Baha mengisahkan peran Aisyah dalam menjelaskan sunnah Rasulullah.
Aisyah sering meriwayatkan kebiasaan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri. Oleh karena itu, hukum mencium pasangan saat berpuasa dapat ditemukan dalam riwayat Aisyah.
Pertanyaan mengenai ciuman saat berpuasa di bulan Ramadan kerap menjadi perbincangan. Lantas, apakah hal ini dapat membatalkan puasa?
Sebelum menjawabnya, Gus Baha atau KH Ahmad Bahauddin Nursalim menekankan pentingnya peran Aisyah dalam sejarah Islam. Sebagai istri Rasulullah, Aisyah banyak meriwayatkan hadis yang menjelaskan kebiasaan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri selama Ramadan.
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Maimunah, salah satu istri Rasulullah, mengenai hukum mencium istri saat berpuasa. “Wahai Ummul Mukminin, saya memiliki istri yang cantik. Apakah mencium istri bisa membatalkan puasa?” tanyanya. Kisah ini dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @NUOnlineID.
Maimunah memberikan jawaban yang mengundang tawa. “Jangan tanya aku! Nabi tak pernah menciumku saat puasa. Coba tanyakan kepada Aisyah,” ujarnya. Jawaban ini menarik karena Maimunah adalah istri Rasulullah yang telah berusia lanjut.
Menurut Gus Baha, alasan Maimunah merespons demikian adalah karena Rasulullah lebih mungkin mencium Aisyah yang masih muda. “Entah Maimunah atau siapa, pokoknya istri Nabi yang jarang dicium,” ujar Gus Baha, yang membuat jamaah tertawa.
Apakah Batal Atau Tidak? Berikut Penjelasannya
Karena jawaban Maimunah belum memberikan kepastian, sahabat tersebut kemudian bertanya kepada Aisyah. Ia menegaskan bahwa pertanyaannya adalah perkara haq, sehingga Allah tidak malu untuk membahasnya.
“Apakah mencium istri membatalkan puasa?” tanya sahabat itu kepada Aisyah. Dengan tegas, Aisyah menjawab, “Nabi biasa menciumku saat puasa, tetapi beliau tetap berpuasa.”
Dari jawaban ini, dapat disimpulkan bahwa mencium istri tidak membatalkan puasa, selama tidak menimbulkan syahwat berlebihan hingga menyebabkan keluarnya air mani.
Gus Baha menjelaskan bahwa dalam Islam, ada banyak hal yang tidak membatalkan puasa tetapi tetap perlu dikendalikan agar tidak berlebihan, termasuk ciuman antara suami dan istri.
Selain itu, Gus Baha juga menekankan bahwa Aisyah memiliki peran besar dalam menyampaikan ilmu agama. Banyak hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah, yang bahkan tidak diketahui oleh istri-istri Rasulullah lainnya.
“Betapa banyak ilmu yang kita peroleh dari jalur Aisyah, yang kadang tidak diketahui oleh istri Nabi yang lain,” ujar Gus Baha dalam ceramahnya.
Dalam kajian fiqih, hukum mencium istri saat puasa memang tidak membatalkan puasa. Namun, dianjurkan untuk menahan diri, terutama bagi mereka yang belum mampu mengendalikan syahwatnya.
Bedakan Ciuman Nafsu dan Ciuman Sayang
Para ulama membedakan antara ciuman yang sekadar ungkapan kasih sayang dengan ciuman yang dapat menimbulkan syahwat. Jika yang kedua, maka lebih baik ditinggalkan agar tidak menjerumuskan dalam hal-hal yang bisa membatalkan puasa.
Selain itu, mencium istri saat puasa juga memiliki hikmah lain, yakni menunjukkan bahwa Islam tidak melarang kasih sayang antara suami istri, selama dilakukan dalam batas yang diperbolehkan.
Dalam sejarah Islam, banyak peristiwa yang menunjukkan bagaimana Rasulullah tetap menunjukkan rasa cintanya kepada istri-istrinya, bahkan di bulan Ramadhan.
Namun, bagi yang merasa ciuman bisa berpotensi membangkitkan syahwat secara berlebihan, maka lebih baik menghindarinya. Sebab, puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menjaga hati dan pikiran dari hal-hal yang bisa mengurangi pahala ibadah.
Dengan demikian, jawaban dari pertanyaan ini tidak hanya sekadar boleh atau tidak, tetapi juga mempertimbangkan aspek pengendalian diri dan niat dari masing-masing individu.
Kesimpulannya, mencium istri saat puasa Ramadhan tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah. Namun, bagi yang belum bisa mengendalikan diri, sebaiknya lebih berhati-hati agar tidak sampai menimbulkan hal yang dilarang dalam puasa.Wallahu a’lam.