Masjid Ghamamah: Saksi Mukjizat Turunnya Hujan di Tengah Gurun Madinah

Stylesphere – Di tengah tanah Arab yang mayoritas berupa gurun gersang, hujan adalah anugerah langka dan berharga. Hingga kini, pada tahun 2025, peristiwa turunnya hujan tetap menjadi momen yang disambut dengan suka cita. Di kota suci Madinah, berdiri sebuah masjid yang menyimpan sejarah luar biasa terkait salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW—Masjid Ghamamah.

Masjid ini memang tidak sepopuler Masjid Nabawi, namun nilai spiritual dan historisnya sangat tinggi. Letaknya pun tak jauh dari Masjid Nabawi, menjadikannya salah satu lokasi ziarah yang penting bagi jamaah umrah dan haji yang ingin menyusuri jejak kehidupan Rasulullah SAW.

Nama “Ghamamah” berasal dari bahasa Arab yang berarti awan atau mendung. Nama itu berkaitan langsung dengan peristiwa luar biasa yang pernah terjadi di lokasi tersebut. Suatu waktu, kota Madinah dilanda kekeringan hebat. Tanah mengering dan retak, tanaman mati, dan kehidupan warga pun mulai terganggu.

Melihat kondisi itu, masyarakat Madinah memohon kepada Nabi Muhammad SAW untuk berdoa kepada Allah agar hujan diturunkan. Rasulullah pun mengajak mereka menuju sebuah lapangan terbuka—yang kelak menjadi tempat berdirinya Masjid Ghamamah. Di sana, beliau memimpin shalat istisqa, shalat sunnah khusus yang dilakukan untuk memohon turunnya hujan.

Usai shalat, Rasulullah mengangkat tangan, memanjatkan doa-doa penuh harap. Suasana saat itu sangat khusyuk, para penduduk ikut menengadahkan tangan mereka, meneteskan air mata, dan berseru dalam harapan yang sama. Tak lama setelah itu, awan mendung mulai menggantung di langit Madinah, dan hujan pun turun dengan deras, menyiram tanah yang kering dan menghidupkan kembali harapan seluruh warga.

Masjid Ghamamah kini menjadi pengingat atas mukjizat tersebut—bahwa di tengah kegersangan sekalipun, rahmat Allah bisa turun melalui doa yang tulus dan penuh keyakinan.

Masjid Ghamamah: Saksi Bisu Mukjizat Hujan

Tak lama setelah lantunan doa Rasulullah SAW dan umat Madinah menggema di lapangan terbuka, tanda-tanda keajaiban mulai tampak di langit. Awan-awan perlahan berkumpul di atas kota yang semula cerah. Dari kejauhan terdengar gemuruh lembut, disertai hembusan angin sejuk yang menyapu Madinah, membawa harapan di tengah kekeringan panjang.

Langit yang tadinya cerah berubah menjadi kelabu. Awan mendung menebal, lalu hujan deras pun turun dengan derasnya, menyiram tanah Madinah yang kering. Air hujan itu menjadi berkah yang dinanti-nantikan, menjawab doa penuh harap yang dipanjatkan oleh Rasulullah SAW dan para penduduk kota.

Peristiwa tersebut meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Islam. Dari situlah nama Ghamamah, yang berarti awan, melekat pada tempat tersebut. Nama itu diabadikan sebagai pengingat mukjizat turunnya hujan sebagai jawaban atas doa sang Nabi.

Namun, keistimewaan Masjid Ghamamah tidak berhenti di situ. Masjid ini juga menjadi tempat Rasulullah SAW pertama kali memimpin shalat Idul Fitri di kota Madinah setelah hijrah dari Makkah. Dua momen besar ini—shalat istisqa dan shalat Id—menjadikan Masjid Ghamamah sebagai tempat penuh makna dalam perjalanan dakwah Rasulullah.

Kini, Masjid Ghamamah berdiri megah meski telah melalui berbagai tahap renovasi. Bangunannya tetap memancarkan nuansa sakral dan spiritual yang kuat. Siapa pun yang datang ke sana akan merasakan kedamaian, seakan diajak untuk kembali merenungi sejarah dan memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.

Bagaimana Hukum Walimatus Safar? Apakah Termasuk Bid’ah?

Stylesphere – Calon jemaah haji Indonesia tahun 2025 tengah bersiap menunaikan rukun Islam kelima. Berdasarkan jadwal Kementerian Agama (Kemenag), keberangkatan gelombang pertama dijadwalkan mulai 2 Mei 2025.

Haji merupakan ibadah wajib bagi umat Islam yang mampu secara finansial, fisik, dan kesehatan. Perintah ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, surah Ali Imran ayat 97:

“Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran: 97)

Di Indonesia, tradisi yang biasa dilakukan menjelang keberangkatan haji adalah menggelar walimatus safar atau acara pamitan. Tujuannya adalah memohon doa dari keluarga dan masyarakat agar calon jemaah diberi kelancaran dan keselamatan selama menjalankan ibadah, serta pulang dengan membawa predikat haji mabrur.

Lalu, bagaimana hukum walimatus safar? Apakah termasuk bid’ah?

Pertanyaan ini pernah dibahas dalam kajian oleh KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya). Ia menegaskan bahwa walimatus safar bukanlah bid’ah. Tradisi ini diperbolehkan karena termasuk bentuk silaturahmi dan permohonan doa, selama tidak mengandung unsur kemaksiatan atau berlebihan. Buya Yahya menyebut, yang tidak dibenarkan adalah ketika acara tersebut diisi dengan hal-hal yang bertentangan dengan syariat.

Jadi, walimatus safar sah-sah saja dilakukan sebagai bagian dari budaya yang mendukung nilai-nilai Islam, selama tetap dalam batas syariat.

Buya Yahya Menjelaskan

Buya Yahya menjelaskan bahwa walimatus safar adalah bentuk tasyakuran bagi calon jemaah haji, mirip dengan walimatul khitan untuk anak yang dikhitan atau walimatul ursy dalam pernikahan. Acara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesempatan menunaikan ibadah haji.

Walimah safar itu artinya seseorang bersyukur karena urusannya lancar untuk berangkat haji, lalu dia mengadakan syukuran. Hukumnya boleh, tidak masalah, dan bukan termasuk bid’ah. Apalagi isinya berbagi rezeki, memberi makan orang,” ujar Buya Yahya, dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV, Ahad (20/4/2025).

Namun, ia mengingatkan bahwa acara ini tidak wajib. Jika calon jemaah tidak mampu, tak perlu memaksakan diri karena bisa membebani secara finansial.

“Yang tidak boleh adalah memaksakan diri. Kadang biaya untuk walimah safar justru lebih besar daripada biaya hajinya sendiri. Itu bisa menyiksa,” tambahnya.

Buya Yahya menekankan agar tradisi walimah safar tidak menjadi beban atau kewajiban sosial yang memaksa. Tradisi ini hanya baik jika dilakukan dalam batas kemampuan dan tanpa memberatkan pihak yang bersangkutan.

Pesan Buya Yahya

Buya Yahya mengimbau agar acara walimatus safar bukan menjadi sarana untuk menyombongkan diri bahwa ia akan berangkat haji. Ia mewanti-wanti jangan sampai ibadah hajinya tercoreng karena sikap tercelanya.

“Kalau masalah sedekah untuk tolak bala agar selamat di perjalanan, oke, atau mensyukuri nikmat Allah karena sudah dipanggil Allah sebagai tamu Allah, tapi kalau sudah masuk  wilayah maksain, masuk wilayah sombong, ini bermasalah. Dua saja ini yang perlu diantisipasi,” tuturnya.

Buya Yahya menyimpulkan, acara walimatus safar boleh saja digelar dan bukan perkara bid’ah. Hanya saja niatnya harus benar, bukan ingin sombong mau haji. Jika tidak dilaksanakan pun tidak apa-apa, terlebih lagi jika tak punya biaya lebih untuk haji.

Hukum Haji dengan Uang Pinjaman Menurut Buya Yahya

Stylesphere – Haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib bagi umat Muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Namun, sebagian orang yang belum mampu secara ekonomi tetap berusaha keras untuk berangkat haji, termasuk dengan cara berutang.

Menanggapi hal ini, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) menjelaskan bahwa secara fikih, ibadah haji yang dilakukan dengan dana hasil pinjaman tetap sah, asalkan semua syarat dan rukunnya terpenuhi. Artinya, ibadah tersebut tetap diterima secara hukum agama.

Meski begitu, Buya Yahya menegaskan bahwa berutang demi berhaji bukan langkah yang dianjurkan. Haji hanya wajib bagi mereka yang benar-benar mampu. Karena itu, tidak perlu memaksakan diri dengan mengambil utang jika kondisi keuangan belum memungkinkan. Niat baik untuk berhaji memang penting, tetapi harus tetap disesuaikan dengan kemampuan agar tidak menimbulkan beban baru.

Berhaji Yang Benar Menurut Buya Yahya

Buya Yahya mengingatkan umat Islam agar tidak memaksakan diri untuk berhaji atau berumrah dengan cara berutang, apalagi jika utangnya mengandung riba.

“Masalahnya jadi lebih berat saat kita belum mampu melunasi utang, sementara kita sudah naik haji. Rasa malu bisa muncul, dan dari situlah kadang seseorang terdorong untuk mencari uang dengan cara yang tidak benar,” ujar Buya Yahya.

Ia menegaskan bahwa tidak semua praktik pinjam-meminjam sesuai syariat Islam. Banyak yang justru melibatkan sistem bunga, yang dalam Islam termasuk riba dan hukumnya haram.

“Kalau berangkat haji dengan pinjaman berbunga, itu bisa menunjukkan ibadah dilakukan bukan karena Allah. Padahal, tidak berhaji karena belum mampu itu tidak berdosa. Tapi kalau haji dengan cara yang haram, justru menambah dosa,” jelasnya.

Buya Yahya juga mengakui bahwa ada pinjaman yang halal, tanpa bunga, dan sesuai syariat. Namun, ia tetap mengimbau agar umat Islam tidak memaksakan diri berutang demi beribadah.

“Haji dan umrah adalah ibadah seumur hidup sekali. Jangan biasakan beribadah dengan berutang, karena utang wajib dibayar,” ujarnya.

Ia menutup pesannya dengan menegaskan bahwa ibadah haji dan umrah tetap sah secara hukum, tetapi jika dilakukan dengan uang haram, yang patut diragukan adalah ketulusannya.

Amalan Setara Naik Haji

1. Salat Subuh Berjamaah

Salat Subuh berjamaah memiliki keutamaan yang sangat besar. Seseorang yang salat Subuh berjamaah, kemudian duduk berzikir kepada Allah Swt. hingga matahari terbit, lalu salat dua rakaat (salat isyraq), akan mendapatkan pahala yang setara dengan haji dan umroh yang sempurna.

Seperti riwayat dari Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda:

من صلى الغداة في جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس، ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة 

Artinya: “Siapa yang mengerjakan salat subuh berjemaah, kemudian dia tetap duduk sambil zikir sampai terbit matahari dan setelah itu mengerjakan salat dua rakaat, maka akan diberikan pahala haji dan umrah.” (HR. At-Tirmidzi)

2. Berbuat Baik kepada Orang Tua

Berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Pahala berbakti kepada orang tua bisa menyamai pahala haji dan umroh, karena rida Allah Swt. tergantung pada rida orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.

Sebagaimana Anas r.a. berkata:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : أَتَى رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنِّى أَشْتَهِى الْجِهَادَ وَلَا أَقْدِرُ عَلَيْهِ. قَالَ : هَلْ بَقِيَ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ؟ قَالَ : أُمِّي. قَالَ : فَأَبْلِ اللهَ فِى بِرِّهَا. فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَأَنْتَ حَاجٌّ وَمُعْتَمِرٌ وَمُجَاهِدٌ. فَإِذَا رَضِيَتْ عَنْكَ أُمُّكَ فَاتَّقِ اللهَ وَبِرَّهَا

Artinya: “Dari Anas, ia berkata, ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. kemudian berkata “Sesungguhnya aku ingin berjihad namun aku tidak mampu” 

Rasulullah saw. bersabda: “Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih ada?” Laki-laki itu menjawab: “Ibuku” 

Rasulullah saw. bersabda: “Perbaikilah hubunganmu dengan Allah Swt. dengan berbakti kepada ibumu. Ketika kamu telah melakukannya maka kamu adalah orang yang berhaji, umrah dan jihad. Ketika ibumu rida kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan berbaktilah kepada ibumu”. (Abu Ya’la Al-Maushuli, Musnad Abu Ya’la Al-Maushuli, [Damaskus: Dar al-Ma’mun Lit Turats, 1989], Jilid V, halaman 150).

3. Pergi ke Masjid dengan Niat untuk Menuntut Ilmu

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Seseorang yang pergi ke masjid untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah Swt. sampai ia kembali. Pahala menuntut ilmu juga bisa setara dengan pahala haji dan umroh. Seperti dari Abu Umamah bahwa Rasul bersabda:

 من غدا إلى المسجد لايريد إلا أن يتعلم خيرا أو يعلمه، كان له كأجر حاج تاما حجته 

Artinya, “Siapa yang berangkat ke masjid hanya untuk belajar kebaikan atau mengajarkannya, diberikan pahala seperti pahala ibadah haji yang sempurna hajinya” (HR. At-Thabarani)