Stylesphere – Tak sedikit orang menjalani hidup dengan wajah murung dan hati yang dipenuhi kesedihan. Mereka terjebak dalam anggapan bahwa kehidupan yang serius dan suram adalah bentuk ketakwaan. Padahal, dalam Islam, keceriaan adalah bagian dari akhlak seorang mukmin sejati.
Hidup dengan semangat dan senyuman bukan berarti mengabaikan masalah. Sebaliknya, itu mencerminkan kemampuan seorang Muslim untuk berdamai dengan ujian, serta menghadapi kehidupan dengan optimisme dan tawakal. Kesedihan bukan satu-satunya wujud ketundukan kepada Allah SWT.
Dalam ajaran Islam, keseimbangan antara iman dan kebahagiaan sangat ditekankan. Seorang Muslim justru dianjurkan untuk tampil ramah, menyebarkan senyum tulus, dan menunjukkan semangat hidup dalam keseharian. Inilah cerminan akhlak Rasulullah SAW—sosok yang dikenal penuh kelembutan, wajah berseri, dan hati yang lapang.
Pendakwah asal Blitar, KH Yahya Zainul Ma’arif, atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya, pernah menyampaikan dalam salah satu ceramahnya kepada Anugerahslot islamic bahwa umat Islam seharusnya meneladani kepribadian Nabi Muhammad SAW dalam hal keceriaan.
“Jangan biasakan wajah murung. Nabi itu orang yang paling banyak tersenyum kepada sahabat-sahabatnya,” ujar Buya Yahya, menekankan bahwa wajah cerah dan perilaku ramah adalah sunnah yang sangat mulia.
Lebih dari sekadar ekspresi wajah, senyum dan keceriaan adalah bentuk sedekah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi)
Dalam konteks sosial, sikap positif ini membawa dampak luar biasa. Ia menyebarkan energi kebaikan, menguatkan hubungan antarsesama, dan menciptakan suasana kehidupan yang lebih damai.
Buya Yahya pun mengajak umat Islam untuk tidak membiarkan beban hidup merenggut cahaya iman dari wajah mereka. Senyum bukan tanda lemahnya iman, tapi tanda kuatnya harapan dan keyakinan kepada takdir Allah.
Buya Yahya: Nabi Muhammad SAW Adalah Teladan Hidup Ceria, Bukan Wajah Muram
Dalam salah satu tayangan ceramah di kanal YouTube @albahjah-tv yang dikutip Ahad (6/7/2025), Buya Yahya menjelaskan bahwa gaya hidup Rasulullah SAW adalah penuh keceriaan. Ia menyebut bahwa Nabi memiliki sifat “basam”—yakni pribadi yang senantiasa tersenyum dan memancarkan wajah cerah, bukan sosok yang muram dan membuat orang lain ikut bersedih.
Buya Yahya mencontohkan bahwa meski Nabi Muhammad SAW pernah menangis, seperti saat ditinggal wafat putranya Sayyidina Ibrahim, kesedihan beliau tidak menetap lama. Setelah momen tangis yang manusiawi itu, Rasulullah kembali tampil ceria, meneruskan dakwahnya dengan semangat dan optimisme.
“Keceriaan bukan sesuatu yang dangkal dalam Islam,” tegas Buya Yahya. “Senyum dan semangat hidup justru menunjukkan kuatnya iman dan kedewasaan jiwa.”
Menurutnya, seorang mukmin sejati adalah mereka yang mampu menyimpan kesedihan dengan bijak, lalu menampilkan akhlak mulia dan ketenangan kepada orang lain. Bukan berarti memendam luka sendirian, tetapi mengelola kesedihan agar tidak melukai dan membebani sekitar.
Kesedihan Bukan Identitas Seorang Mukmin
Buya Yahya mengingatkan bahwa kesedihan adalah bagian dari ujian hidup yang pasti dialami setiap insan—baik itu dalam bentuk musibah, kehilangan, maupun kekecewaan. Namun, kesedihan tidak boleh dibiarkan membentuk karakter dan kepribadian.
Jika kesedihan terus dipelihara, ia bisa menjadi racun yang merusak akal sehat, melemahkan semangat, dan melahirkan prasangka buruk, bukan hanya terhadap diri sendiri tapi juga terhadap takdir Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW, lanjut Buya Yahya, tidak menjadikan duka sebagai identitas pribadinya. Meski penuh ujian berat selama hidupnya, beliau tetap mampu tersenyum, menyapa sahabat dengan hangat, dan menyebarkan Islam dengan keteduhan jiwa.
“Kesedihan itu ada, tapi tidak perlu dipamerkan,” kata Buya Yahya. “Senyummu bisa menjadi penguat bagi orang lain, dan itu termasuk bentuk sedekah.”
Buya Yahya: Wajah Ceria Adalah Cermin Kekuatan Iman
Buya Yahya menegaskan bahwa hidup yang baik bukan ditandai dengan wajah muram, tetapi dengan senyuman yang tulus dan hati yang lapang. Menurut beliau, wajah yang berseri bukan sekadar ekspresi luar, melainkan pancaran iman dan energi positif yang mampu menguatkan orang di sekitar.
Dalam ceramahnya, Buya Yahya mengingatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Senyumanmu kepada saudaramu adalah sedekah”. Artinya, tersenyum bukan hal sepele, tetapi ibadah ringan yang berdampak besar.
Senyum yang Menyemangati dan Menguatkan
Orang yang menjalani hidup dengan ceria lebih mudah diterima, dicintai, dan dipercaya. Keceriaan menciptakan ikatan sosial yang sehat dan harmonis. Senyum menjadi jembatan kehangatan dalam keluarga, pertemanan, bahkan dalam dakwah.
Islam bukan agama yang mengajarkan kesuraman, sebaliknya—Islam mengajarkan kegembiraan sebagai wujud kekuatan spiritual. Dalam menghadapi musibah, ujian, atau kesulitan, senyum menjadi perisai yang melindungi jiwa agar tidak larut dalam kesedihan.
Teladan Rasulullah SAW
Buya Yahya menyampaikan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang selalu menebar salam, menyambut orang dengan senyum, dan memancarkan ketenangan di tengah masyarakat yang penuh gejolak. Meski mengalami banyak cobaan, beliau tidak membiarkan duka menguasai dirinya.
Senyum Nabi adalah lambang ketegaran, bukan kepura-puraan. Itu bentuk keikhlasan dan bukti keyakinan bahwa “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS Al-Insyirah: 6)
Belajar dari Luka, Menjadi Lebih Kuat
Hidup ceria bukan berarti hidup tanpa luka. Justru dari luka-luka itulah manusia belajar bertumbuh dan menguat. Buya Yahya mengajak umat Islam untuk meneladani Rasulullah dalam hal ini—yakni menjadikan keceriaan sebagai bentuk syukur dan semangat sebagai bekal perjuangan di jalan Allah.
Bagi siapa pun yang tengah diuji, tetaplah hadirkan wajah ceria. Bukan untuk menipu diri, tapi sebagai wujud kesabaran dan keyakinan bahwa setiap gelap akan digantikan cahaya oleh Allah SWT.
Stylesphere – Sakit merupakan bagian dari ujian hidup yang hampir pasti dialami oleh setiap manusia. Dalam ajaran Islam, sakit tidak hanya dipandang sebagai gangguan fisik semata, tetapi juga sebagai pengingat dari Allah SWT agar manusia kembali merenungi keterbatasannya dan memperkuat ketergantungannya kepada Sang Pencipta.
Ketika seseorang yang kita kenal, terutama seorang perempuan, tengah diuji dengan sakit, maka mendoakannya adalah bentuk empati yang sangat dianjurkan. Selain sebagai ungkapan kasih sayang dan kepedulian, doa juga menjadi media spiritual untuk memohonkan kesembuhan dari Allah SWT.
Anjuran Mendoakan Orang Sakit dalam Islam
Mendoakan orang sakit merupakan amalan mulia yang memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam. Dalam hadis riwayat Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah, disebutkan bahwa mendoakan orang sakit termasuk salah satu dari lima hak seorang Muslim atas Muslim lainnya. Hak-hak tersebut mencakup:
Menjawab salam
Memenuhi undangan
Mengiringi jenazah
Mendoakan orang yang bersin
Menjenguk dan mendoakan orang sakit
Dalam buku Fiqih Ibadah bagi Orang Sakit dan Bepergian karya Enang Hidayat, dijelaskan bahwa menjenguk dan mendoakan orang sakit merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW, karena dapat menguatkan hubungan antarsesama dan menjadi sarana memperbanyak doa-doa yang mustajab.
Doa: Pengakuan Hamba kepada Sang Penyembuh
Berdoa bagi orang yang sedang sakit sejatinya merupakan pengakuan bahwa hanya Allah SWT yang memiliki kuasa untuk menyembuhkan. Doa bukan sekadar ucapan, tetapi juga bentuk ibadah yang penuh makna dan ketulusan.
Mendoakan perempuan yang sedang sakit, baik itu keluarga, teman, maupun tetangga, menjadi wujud kepedulian dan cinta dalam Islam. Lebih dari itu, doa tersebut menjadi pengantar harapan agar Allah meringankan penderitaannya dan mengembalikan kesehatannya.
Berikut adalah kumpulan doa untuk perempuan yang sedang sakit, sebagaimana dirangkum oleh Anugerahslot, Sabtu (5/7/2025).
Doa untuk Perempuan yang Sedang Sakit Beserta Amalan agar Cepat Sembuh
Sakit bukan sekadar kondisi fisik, tapi juga ujian iman dan keteguhan hati. Dalam ajaran Islam, ketika seseorang—terutama perempuan—sedang sakit, kita dianjurkan untuk mendoakannya sebagai bentuk kasih sayang dan kepedulian sesama Muslim. Doa menjadi bukti bahwa kita percaya hanya Allah-lah yang mampu memberikan kesembuhan sejati.
Berikut ini beberapa doa untuk perempuan yang sedang sakit, mulai dari yang singkat hingga yang lengkap, sebagaimana dirangkum dari berbagai sumber.
1. Doa Singkat untuk Perempuan yang Sakit (Langsung Ditujukan)
اَللّٰهُ يَشْفِيْكِ Syafakillah Artinya: “Semoga Allah menyembuhkanmu.”
Doa ini diucapkan langsung kepada perempuan yang sedang sakit. Namun jika disebutkan kepada orang lain (pihak ketiga), bentuknya berubah:
Syafahallah – untuk satu perempuan yang sedang sakit, dibicarakan kepada orang lain.
Syafahunnallah – untuk lebih dari satu perempuan yang sakit.
2. Doa Lengkap untuk Kesembuhan
شَفَاكِ اللَّهُ لَا بَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ Syafakillah laa ba’sa, thohurun insyaaAllah Artinya: “Semoga Allah memberikan kesembuhan kepadamu. Tidak mengapa, Insya Allah sakitmu ini menjadi penghapus dosa.”
Doa ini sering diucapkan sebagai bentuk penghiburan sekaligus harapan bahwa sakit yang dialami akan membawa kebaikan.
3. Doa Rasulullah SAW untuk Orang Sakit
Diriwayatkan dalam Kitab Al-Adzkar karya Imam Nawawi, Rasulullah SAW sering membaca doa berikut saat menjenguk orang sakit:
اللَّهُمَّ رَبِّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ، اشْفِ، أَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا Allaahumma rabbannaas, adzhibil ba’sa, isyfii antasy-syaafii, laa syifaa’a illaa syifaa’uka, syifaa’an laa yughaadiru saqamaa Artinya: “Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini. Sembuhkanlah dia. Engkaulah Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan selain dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan rasa sakit sedikit pun.”
4. Doa Tambahan Khusus untuk Perempuan
اللَّهُمَّ اشْفِ عَبْدَتَكَ، يَا شَافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا Allahumma isyfii ‘abdataka, yaa Syaafii, laa syifaa-a illa syifaa-uka, syifaa-an laa yughaadiru saqamaa Artinya: “Ya Allah, sembuhkanlah hamba perempuan-Mu ini, wahai Yang Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan selain dari-Mu. Kesembuhan yang sempurna, yang tidak menyisakan sakit sedikit pun.”
Amalan yang Dianjurkan Agar Cepat Sembuh
Selain doa, Islam juga menganjurkan beberapa amalan yang dapat dilakukan oleh orang yang sedang sakit untuk mempercepat proses kesembuhan. Berikut di antaranya:
1. Ikhtiar dengan Pengobatan
Berobat adalah bentuk usaha dan tidak bertentangan dengan tawakal. Rasulullah SAW bersabda:
“Berobatlah, wahai hamba Allah, karena Allah tidak menciptakan suatu penyakit kecuali juga menciptakan obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu tua.” (HR Ahmad)
Ikhtiar ini mencakup memeriksakan diri ke dokter, mengonsumsi obat, beristirahat cukup, dan menjaga pola makan yang sehat.
2. Memperbanyak Doa dan Dzikir
Doa adalah bentuk tawakal, dan dzikir menenangkan hati. Beberapa dzikir yang dianjurkan:
Istighfar – memohon ampun atas dosa-dosa.
Ya Shafi (يا شافي) – salah satu Asmaul Husna yang artinya Yang Maha Menyembuhkan.
3. Bersedekah
Sedekah diyakini sebagai salah satu wasilah kesembuhan. Rasulullah SAW bersabda:
“Obatilah orang-orang sakit di antara kalian dengan sedekah.” (HR Thabrani & Baihaqi)
Memberi kepada yang membutuhkan, seperti fakir miskin atau anak yatim, menjadi sarana harapan agar Allah SWT menurunkan pertolongan-Nya.
4. Bersabar dan Bertawakal
Kesabaran saat sakit adalah bentuk ibadah yang sangat bernilai. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi SAW berkata kepada seorang perempuan yang sakit:
“Jika kamu bersabar, kamu akan masuk surga. Tetapi jika kamu ingin, aku akan mendoakan kesembuhan untukmu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Penutup
Mendoakan dan merawat perempuan yang sedang sakit tidak hanya bentuk kasih sayang, tapi juga ibadah yang dianjurkan oleh syariat. Doa-doa yang tulus, disertai usaha dan kesabaran, menjadi kombinasi terbaik dalam menjemput kesembuhan atas izin Allah SWT.
Stylesphere – Sholat dhuha merupakan salah satu ibadah sunnah yang dilaksanakan pada pagi hari hingga menjelang waktu zuhur. Ibadah ini memiliki banyak keutamaan, di antaranya menjadi salah satu jalan untuk memperoleh rezeki serta pengampunan dari Allah SWT.
Sebelum melaksanakan sholat dhuha, penting bagi seorang Muslim untuk mengetahui dan mengucapkan niat dengan penuh kesungguhan. Niat tersebut menjadi penanda kesiapan hati dalam beribadah dan sekaligus membedakan jenis ibadah yang dilakukan.
Meskipun niat bisa diucapkan dengan kalimat yang singkat dan sederhana, ketulusan dalam hati adalah kunci utama. Dengan niat yang benar dan pemahaman yang baik, sholat dhuha 2 rakaat dapat dilakukan dengan mudah dan penuh kekhusyukan.
Bagi yang ingin mengamalkan sholat ini secara rutin, memahami bacaan niat sholat dhuha 2 rakaat menjadi hal yang penting. Sebab, hal ini tidak hanya menyangkut sah atau tidaknya ibadah, tetapi juga mencerminkan keseriusan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dirangkum Anugerahslot dari berbagai sumber, berikut niat sholat dhuha 2 rakaat yang dapat diamalkan, Jumat (4/7/2025).
Dalam buku The Power of Dhuha: Kunci Memaksimalkan Shalat Dhuha dengan Doa-doa Mustajab (2014) karya A’yunin, dijelaskan bahwa sholat dhuha merupakan salah satu ibadah sunnah yang dikerjakan pada waktu dhuha—yaitu saat matahari mulai meninggi hingga sebelum masuk waktu zuhur.
Sholat dhuha memiliki keutamaan besar, terutama sebagai amalan pembuka pintu rezeki dan penghapus dosa. Namun, sebagaimana ibadah lainnya, pelaksanaannya harus diawali dengan niat yang benar.
Pentingnya Niat dalam Sholat
Dalam setiap ibadah, niat adalah bagian yang sangat penting. Ia merupakan rukun sah sholat yang menunjukkan kesadaran dan kesungguhan hati seorang hamba dalam beribadah. Niat juga berfungsi membedakan antara satu jenis ibadah dengan yang lain.
Dalam praktiknya, niat tidak perlu diucapkan secara lisan, cukup dilafalkan dalam hati bersamaan dengan takbiratul ihram—yaitu saat mengucapkan “Allahu Akbar” di awal sholat.
Lafal Niat Sholat Dhuha 2 Rakaat
Bagi yang ingin mengerjakan sholat dhuha dua rakaat, berikut adalah lafal niatnya:
Artinya: “Aku niat sholat sunnah Dhuha empat rakaat karena Allah Ta’ala.”
Jumlah Rakaat dan Tata Cara
Sholat dhuha dapat dikerjakan minimal dua rakaat dan maksimal delapan rakaat. Pelaksanaannya dilakukan dengan dua rakaat sekali salam, sebagaimana sholat sunnah lainnya.
Menghadirkan niat dengan benar sejak awal akan menyempurnakan ibadah yang dilakukan dan menunjukkan kesungguhan dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Konsistensi dan ketulusan dalam menunaikan sholat dhuha dapat menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon keberkahan hidup.
Sholat Dhuha: Sunnah yang Dianjurkan Rasulullah dan Waktu Pelaksanaannya
Mengutip kajian dalam Jurnal Literasiologi Volume 11 Nomor 1, sholat dhuha merupakan salah satu ibadah sunnah yang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan seorang Muslim. Sholat ini termasuk amalan yang rutin dilakukan oleh Rasulullah SAW, dan beliau sangat menganjurkan umatnya untuk menunaikannya secara konsisten.
Sholat Dhuha Termasuk Sunnah Muakkad
Dilihat dari hukumnya, banyak ulama sepakat bahwa sholat dhuha termasuk dalam kategori sunnah muakkad—yaitu amalan sunnah yang sangat dianjurkan. Status ini setara dengan sholat sunnah rawatib seperti qobliyah dan ba’diyah dalam sholat fardhu. Anjuran kuat ini berasal dari berbagai hadits shahih, salah satunya riwayat Abu Hurairah RA.
Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW bersabda:
“Kekasihku SAW mewasiatkan kepadaku tiga hal: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat sholat dhuha, dan sholat witir sebelum tidur.” (HR Bukhari, No. 1178)
Hadits ini menjadi bukti bahwa sholat dhuha tidak hanya dianjurkan kepada Abu Hurairah, tetapi juga merupakan wasiat umum bagi seluruh umat Islam.
Waktu Pelaksanaan Sholat Dhuha
Sholat dhuha dikerjakan pada waktu pagi, dimulai setelah matahari terbit sempurna hingga menjelang masuknya waktu dzuhur. Secara umum, waktu pelaksanaannya berada di rentang:
Sekitar pukul 07.00 hingga 11.00 waktu setempat, tergantung posisi geografis.
Waktu terbaik untuk melaksanakan sholat dhuha adalah sekitar 15 hingga 45 menit setelah matahari terbit, yakni ketika matahari telah naik setinggi tombak. Pada saat ini, kondisi alam dianggap lebih tenang dan penuh keberkahan.
Waktu-Waktu yang Harus Dihindari
Agar ibadah lebih sah dan optimal, terdapat beberapa waktu yang perlu dihindari untuk sholat dhuha:
Setelah sholat subuh hingga matahari terbit sempurna, yaitu sekitar 15 menit pertama setelah terbit. Ini adalah waktu larangan sholat karena matahari masih dalam posisi naik dari ufuk.
Saat matahari berada tepat di atas kepala (zawal), biasanya sekitar 5–10 menit sebelum masuk waktu dzuhur.
Menjelang waktu dzuhur, ketika waktu dhuha hampir habis dan sangat dekat dengan waktu sholat fardhu.
Dengan memahami batasan waktu ini, seorang Muslim dapat menunaikan sholat dhuha secara tepat dan mendapatkan keutamaan maksimal.
Kesimpulan
Sholat dhuha adalah amalan sunnah yang sarat keutamaan: membuka pintu rezeki, menjadi bentuk syukur kepada Allah SWT, dan menjadi bagian dari wasiat Rasulullah SAW. Melaksanakannya secara rutin tidak hanya mendatangkan keberkahan di pagi hari, tetapi juga menunjukkan komitmen dalam mengikuti jejak Nabi.
Tata Cara Sholat Dhuha 2 Rakaat yang Benar
Sholat dhuha merupakan salah satu sholat sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) oleh Rasulullah SAW. Selain menjadi amalan pembuka pintu rezeki, sholat ini juga merupakan bentuk syukur atas nikmat yang diberikan Allah setiap pagi. Pelaksanaannya cukup mudah dan secara umum serupa dengan sholat sunnah lainnya. Berikut adalah tata cara sholat dhuha 2 rakaat yang benar:
Langkah-langkah Sholat Dhuha 2 Rakaat
Membaca niat dalam hati, sesuai jumlah rakaat yang akan dikerjakan, sambil memulai sholat: “Ushalli sunnatadh-dhuhaa rak’ataini lillaahi ta’aalaa.” Artinya: “Aku niat sholat sunnah dhuha dua rakaat karena Allah Ta’ala.”
Takbiratul ihram, dengan mengucapkan “Allahu Akbar” sambil mengangkat kedua tangan.
Membaca doa iftitah (sunah, boleh dibaca atau tidak).
Membaca surat Al-Fatihah.
Membaca surat pendek atau ayat Al-Qur’an. Disunnahkan:
Rakaat pertama: Surat Asy-Syams
Rakaat kedua: Surat Ad-Dhuha
Rukuk, dengan membaca doa rukuk sambil membungkuk.
I’tidal, berdiri kembali setelah rukuk, membaca doa i’tidal.
Sujud pertama, membaca doa sujud.
Duduk di antara dua sujud, membaca doa sesuai sunnah.
Sujud kedua, kembali membaca doa sujud.
Berdiri untuk rakaat kedua, ulangi langkah 4–10.
Setelah sujud kedua di rakaat kedua, duduk tasyahud akhir, lalu membaca doa tasyahud.
Mengakhiri sholat dengan salam, menoleh ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan:
“Assalamu’alaikum warahmatullah.”
Doa Setelah Sholat Dhuha
Setelah sholat selesai, dianjurkan membaca doa sebagai bentuk permohonan rezeki dan keberkahan. Salah satu doa yang populer dibaca setelah sholat dhuha berbunyi:
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagungan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, dan perlindungan adalah perlindungan-Mu. Ya Allah, jika rezekiku masih di langit, maka turunkanlah. Jika ada di bumi, keluarkanlah. Jika sulit, mudahkanlah. Jika haram, sucikanlah. Jika jauh, dekatkanlah. Berkat dhuha-Mu, keagungan-Mu, keindahan-Mu, kekuatan dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah kepadaku sebagaimana Engkau melimpahkannya kepada hamba-hamba-Mu yang saleh.”
Keutamaan Sholat Dhuha dalam Pandangan Ulama dan Buku Tuntunan
Sholat dhuha merupakan salah satu ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Dalam buku Tuntunan Praktis Shalat Dhuha karya Budiman Mustofa—sebagaimana dikutip dalam kajian yang dipublikasikan oleh situs IAIN Kediri—dijelaskan bahwa Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya menjaga amalan ini. Beliau mendorong umatnya untuk melaksanakan sholat dhuha secara konsisten, agar memperoleh berbagai keutamaan yang tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga di akhirat.
Lebih lanjut, dalam Buku Pintar Shalat Lengkap yang juga dikutip dari sumber yang sama, dijelaskan bahwa sholat dhuha memiliki banyak keutamaan luar biasa bagi siapa saja yang mengerjakannya dengan ikhlas dan penuh kesungguhan. Beberapa di antaranya adalah:
Mendapat derajat yang mulia di sisi Allah SWT.
Termasuk golongan hamba yang taat dan dicintai Allah.
Pahalanya setara dengan ibadah umrah apabila dilaksanakan dengan niat yang lurus.
Dosa-dosa diampuni, bahkan meskipun sebanyak buih di lautan.
Pahalanya seperti orang yang ikut berperang lalu menang dengan cepat, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits.
Dilaksanakan di waktu mustajab, yaitu saat pagi hari penuh keberkahan.
Merespon panggilan Allah, sebagai bentuk ketaatan atas seruan ibadah.
Dijanjikan tempat khusus di surga bagi yang rajin mengamalkannya.
Menjadi sebab penghapus dosa, baik kecil maupun besar, sebagai bentuk rahmat Allah terhadap hamba-Nya.
Kesimpulan
Dengan begitu banyaknya keutamaan yang terkandung dalam sholat dhuha, tidak heran jika Rasulullah SAW menjadikannya sebagai amalan yang beliau wasiatkan kepada para sahabat, termasuk Abu Hurairah RA. Sholat dhuha bukan hanya ibadah sunnah, melainkan juga bentuk latihan spiritual yang mengasah kesyukuran, memperkuat ikatan dengan Allah, dan membuka pintu-pintu keberkahan dalam kehidupan.
Stylesphere – Dalam perjalanan hidup, setiap manusia pasti menghadapi ujian dan tantangan. Ketika hati mulai lelah dan pikiran diliputi kegelisahan, ayat “Inna ma’al usri yusra” menjadi pengingat kuat bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada kemudahan yang menyertainya.
Sering kali, kita lupa bahwa cobaan adalah bagian dari proses pendewasaan dan pembentukan diri. Dengan menghayati makna ayat tersebut, kita diajak untuk percaya bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melebihi batas kemampuannya. Harapan tetap bisa tumbuh, bahkan ketika keadaan belum berubah.
Mengulang dan merenungi bacaan “Inna ma’al usri yusra” bisa menjadi penguat hati saat menghadapi tekanan hidup. Ayat ini tidak hanya sebagai janji Ilahi, tetapi juga menjadi sumber motivasi untuk tetap bertahan, terus bergerak maju, dan yakin bahwa jalan keluar akan datang seiring dengan kesulitan itu sendiri.
Demikian dirangkum oleh Anugerahslot dari berbagai sumber, Kamis (3/7/2025).
“Inna ma’al usri yusro” (إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا) berarti: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” Ayat ini terdapat dalam Surah Al-Insyirah ayat 6 dan menjadi janji Allah SWT bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada jalan keluar dan kemudahan yang menyertainya.
Lebih dari sekadar kalimat indah dalam Al-Qur’an, ayat ini membawa pesan spiritual yang dalam—menjadi sumber ketenangan, harapan, dan kekuatan ketika menghadapi ujian hidup.
1. Motivasi dan Harapan
Ayat ini menanamkan semangat bahwa cobaan hanyalah sementara. Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya tenggelam dalam kesulitan tanpa solusi. Kesadaran ini memberi harapan dan keteguhan hati, bahkan saat keadaan terasa berat.
2. Kesabaran dan Keteguhan
“Inna ma’al usri yusro” mengajarkan nilai sabar dan ketekunan. Keyakinan bahwa kemudahan akan datang menjaga seorang hamba dari keputusasaan. Menurut Quraish Shihab, sabar adalah menahan diri demi meraih kebaikan yang lebih luhur—suatu proses membentuk jiwa yang tangguh.
3. Kasih Sayang Allah
Ayat ini mencerminkan bahwa ujian adalah bentuk kasih sayang Allah SWT. Dalam setiap kesulitan terselip rahmat, pelajaran, dan kesempatan untuk mendekat kepada-Nya. Allah tidak membebani di luar batas kemampuan hamba-Nya.
4. Tawakal dan Optimisme
Melalui ayat ini, seorang Muslim diajak untuk bertawakal—menyerahkan hasil kepada Allah setelah berikhtiar. Ia menjadi fondasi optimisme dan kepercayaan penuh kepada kehendak-Nya, bukan kepada kekuatan dunia semata.
“Inna ma’al usri yusra” bukan hanya kalimat penyemangat, tapi janji ilahi bahwa cahaya selalu menyertai gelapnya ujian.
Menghidupkan Makna “Inna Ma’al Usri Yusra” dalam Kehidupan Sehari-hari
Menghafal ayat “Inna ma’al usri yusra” (Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan) memang penting, namun lebih penting lagi adalah mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Ayat ini bukan sekadar nasihat spiritual, melainkan panduan praktis dalam menghadapi berbagai ujian hidup, baik secara emosional, mental, maupun fisik.
Berikut ini beberapa cara untuk mengimplementasikan makna ayat tersebut dalam keseharian:
1. Menanamkan Pola Pikir Positif Saat Menghadapi Ujian
Setiap cobaan adalah peluang untuk belajar dan bertumbuh. Ketika mengalami kegagalan, kesedihan, atau tekanan hidup, coba ubah perspektif: bahwa di balik setiap kesulitan, Allah sudah menjanjikan kemudahan. Keyakinan ini akan menguatkan mental dan membuka jalan untuk melihat sisi baik dari setiap peristiwa.
2. Bersabar dan Bertawakal dengan Hati Lapang
Sabar bukan berarti menyerah, tapi kemampuan untuk tetap tenang dalam ujian. Tawakal adalah bentuk ketundukan kepada kehendak Allah setelah usaha maksimal dilakukan. Seperti dijelaskan dalam buku Jangan Berburuk Sangka pada Allah oleh Suci Irmawati (2016), tauhid yang kuat akan membentuk kelapangan hati dalam menghadapi takdir. Sikap ini akan menumbuhkan keteguhan dan menepis keluh kesah yang melemahkan.
3. Konsisten dalam Usaha dan Doa
Dalam Islam, ikhtiar dan doa harus berjalan seiring. Jangan hanya berharap solusi tanpa bergerak, tetapi juga jangan mengandalkan usaha semata tanpa menyertakan doa. Seperti sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Bukhari No. 1930: “Sebaik-baik makanan yang dimakan seseorang adalah dari hasil jerih payahnya sendiri.” Hadis ini menegaskan pentingnya bekerja keras dengan semangat, sambil terus bergantung pada pertolongan Allah.
4. Menjadikan Kesulitan Sebagai Cermin Diri
Setiap kesulitan adalah momen untuk merenung. Bisa jadi ujian itu datang agar kita lebih mendekat kepada Allah, memperbaiki akhlak, atau menyadari kekeliruan dalam hidup. Gunakan masa sulit sebagai peluang untuk introspeksi, memperkuat spiritualitas, dan memperbaiki hubungan dengan Allah SWT.
Penutup
“Inna ma’al usri yusra” bukan hanya janji Ilahi, tetapi juga peneguh jiwa bagi mereka yang sabar dan tawakal. Dengan memahami dan menghidupkan makna ayat ini dalam setiap langkah kehidupan, kita tidak hanya bertahan dalam ujian, tetapi juga tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih dekat dengan Allah SWT.
Makna Mendalam di Balik Pengulangan Ayat “Inna Ma’al ‘Usri Yusra”
Pengulangan ayat “Inna ma’al usri yusra” dalam Surah Al-Insyirah bukanlah tanpa maksud. Para ulama tafsir sepakat bahwa ini adalah bentuk penegasan dari Allah SWT atas janji-Nya yang tak pernah meleset: bahwa dalam setiap kesulitan, pasti ada kemudahan yang menyertainya. Bukan sekadar penghiburan spiritual, melainkan jaminan ilahi bagi siapa pun yang sedang menghadapi ujian hidup.
Menariknya, dalam struktur bahasa Arab, penggunaan kata “al-‘usr” (kesulitan) disebut dengan bentuk tertentu (ma’rifat) yang menunjukkan kesulitan yang itu-itu saja. Sementara “yusra” (kemudahan) disebut tanpa alif-lam (nakirah), mengindikasikan kemudahan yang banyak dan beragam. Dari sinilah para mufassir menyimpulkan: satu kesulitan akan dibarengi dengan banyak kemudahan.
Hal yang lebih istimewa lagi, Allah tidak mengatakan “setelah kesulitan ada kemudahan,” melainkan “bersama kesulitan ada kemudahan.” Artinya, pada saat kita berada dalam tekanan, pada waktu yang sama pula sebenarnya telah tersedia jalan keluar, pertolongan, atau ketenangan yang mungkin belum kita sadari. Inilah kasih sayang Allah yang sering datang dalam bentuk yang tak kasat mata, tapi bisa kita rasakan jika hati tetap terhubung kepada-Nya.
Renungan dari ayat ini juga mengajarkan satu pelajaran penting: jangan tunggu ujian selesai baru bersyukur. Bahkan saat badai masih menerpa, Allah sudah menyisipkan nikmat. Mungkin berupa kekuatan hati, kehadiran orang yang peduli, atau hikmah yang akan kita pahami belakangan.
“Inna ma’al usri yusra” adalah cahaya dalam gelap. Ia menuntun kita untuk tidak menyerah, untuk tetap yakin, sabar, dan bertawakal. Ayat ini membentuk pondasi spiritual bahwa siapa yang bergantung penuh kepada Allah, tidak akan dibiarkan sendirian. Jalan keluar akan datang, bahkan dari arah yang tak pernah kita sangka.
Stylesphere – Dalam ajaran Islam, mandi wajib atau ghusl merupakan bentuk pensucian diri dari hadas besar yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim. Bagi kaum pria, mandi wajib menjadi keharusan setelah mengalami junub, mimpi basah, atau selesai melakukan hubungan suami istri. Memahami tata cara mandi wajib pria yang benar dan sesuai dengan tuntunan sunnah sangat penting agar ibadah yang dilakukan sah dan diterima oleh Allah SWT.
Mandi wajib tidak hanya bermakna membersihkan tubuh secara lahiriah, tetapi juga menjadi bentuk penyucian spiritual. Ini adalah momen untuk menyegarkan jiwa dan memperbarui niat dalam beribadah serta mendekatkan diri kepada Allah. Berikut rangkuman lengakap Anugerahslot islamic.
Tata Cara Mandi Wajib Sesuai Sunnah Nabi
Dalam Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq (2008), dijelaskan bahwa Rasulullah SAW memiliki urutan tertentu dalam melaksanakan mandi wajib. Tata cara tersebut adalah sebagai berikut:
Berniat dalam hati untuk menghilangkan hadas besar.
Mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali.
Membersihkan kemaluan dan bagian tubuh yang terkena najis.
Berwudhu seperti hendak shalat.
Menyiram seluruh tubuh dengan air, dimulai dari sisi kanan, kemudian sisi kiri.
Memastikan air mengenai seluruh bagian tubuh, termasuk sela-sela rambut, lipatan kulit, dan bagian tersembunyi lainnya.
Tata cara ini bukan hanya menekankan kebersihan fisik, tetapi juga mengajarkan keteraturan, kesempurnaan, dan kesadaran spiritual dalam bersuci.
Pentingnya Meratakan Air ke Seluruh Tubuh
Penjelasan serupa juga tercantum dalam Ensiklopedi Fikih Islam karya Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi. Ia menegaskan bahwa salah satu syarat sahnya mandi wajib adalah meratakan air ke seluruh tubuh tanpa ada bagian yang terlewat. Ini termasuk bagian-bagian yang sering terlupakan seperti lipatan kulit, belakang telinga, dan sela-sela jari.
Lebih dari Sekadar Ritual Fisik
Mandi wajib sejatinya bukan hanya sekadar prosedur teknis, tetapi merupakan cerminan adab dan kesucian dalam Islam. Kesungguhan dalam menjalankan tata cara mandi wajib mencerminkan penghormatan terhadap ibadah dan komitmen untuk menjaga kebersihan lahir maupun batin.
Kesimpulan:
Mandi wajib bagi pria merupakan kewajiban penting yang menyertai berbagai kondisi hadas besar. Melaksanakannya sesuai sunnah Nabi SAW bukan hanya menjadikan ibadah sah, tetapi juga membawa ketenangan dan kesegaran spiritual. Dengan memahami tata caranya secara menyeluruh, kita bisa menjalani ibadah dengan lebih sempurna dan penuh makna.
Bacaan Niat Mandi Wajib Pria yang Sesuai Syariat
Mandi wajib merupakan salah satu bentuk ibadah penyucian diri dari hadas besar yang diwajibkan dalam Islam. Sebelum memulai mandi wajib, penting bagi seorang Muslim untuk membaca niat, karena niat adalah syarat sahnya ibadah menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab Syafi’i.
Berikut beberapa bacaan niat mandi wajib pria yang dapat digunakan:
1. Bacaan Niat Mandi Wajib yang Sederhana
Arab: نَوَيْتُ الغُسْلَ لِرَفْعِ الجِنَابَةِ
Latin: Nawaitul ghusla li raf’il janabati.
Artinya: “Saya berniat mandi untuk menghilangkan junub.”
Bacaan ini umum digunakan dan mencukupi syarat sah niat dalam konteks mandi wajib setelah junub atau mimpi basah.
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah, aku niat mandi untuk menghilangkan hadas besar, fardhu karena Allah Ta’ala.”
Bacaan ini lebih lengkap dan menegaskan bahwa mandi tersebut dilakukan sebagai kewajiban ibadah karena Allah SWT.
Kapan Niat Harus Dibaca?
Dalam madzhab Syafi’i, niat harus dilakukan bersamaan dengan menyiramkan air pertama kali ke tubuh. Artinya, niat tidak cukup hanya diucapkan sebelumnya, tetapi harus diiringi dengan tindakan awal dari mandi wajib itu sendiri.
Kesimpulan:
Membaca niat sebelum mandi wajib adalah bagian penting dalam pelaksanaan ibadah bersuci dari hadas besar. Baik menggunakan niat yang singkat maupun yang lengkap, yang terpenting adalah menghadirkan kesadaran dalam hati bahwa mandi tersebut dilakukan untuk menghilangkan hadas dan karena Allah SWT. Lakukan niat dengan sungguh-sungguh agar mandi wajib sah dan ibadah setelahnya diterima.
Tata Cara Mandi Wajib Pria Sesuai Sunnah Rasulullah SAW
Sebagai seorang Muslim, penting untuk mengetahui dan menghafalkan tata cara mandi wajib atau ghusl sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Mandi wajib dilakukan untuk menghilangkan hadas besar dan menyucikan diri sebelum beribadah. Berikut ini adalah langkah-langkah mandi wajib pria sesuai sunnah:
1. Membaca Niat
Langkah pertama adalah membaca niat mandi wajib. Niat dilakukan dalam hati, dan dapat dilafalkan seperti:
Nawaitul ghusla li raf’il janabati “Saya berniat mandi untuk menghilangkan junub.”
2. Membasuh Kedua Telapak Tangan
Disunnahkan untuk mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali. Hal ini bertujuan agar tangan bersih dari najis atau kotoran sebelum melanjutkan ke bagian tubuh lainnya.
3. Membersihkan Kotoran pada Bagian Tersembunyi
Bersihkan bagian tubuh yang rentan najis, terutama area kemaluan, pusar, ketiak, dan lipatan-lipatan tubuh lainnya. Gunakan tangan kiri untuk membersihkan bagian-bagian tersebut.
4. Mencuci Tangan Kembali Menggunakan Sabun
Setelah membersihkan kemaluan dan bagian najis, cucilah tangan kembali, idealnya dengan menggosokkannya ke tanah atau tembok (sebagai simbol penghilangan najis), kemudian bilas dengan air dan sabun.
5. Berwudu Seperti untuk Sholat
Lakukan wudu sebagaimana biasa saat hendak sholat. Mulai dari membasuh wajah, tangan, menyapu kepala, dan membasuh kaki. Anda boleh menunda membasuh kaki hingga akhir mandi jika berdiri di tempat yang tergenang air.
6. Membersihkan Pangkal Rambut
Masukkan jari-jari tangan ke pangkal rambut dan usap kulit kepala hingga air merata. Setelah itu, siram kepala sebanyak tiga kali hingga air menyentuh seluruh bagian rambut dan kulit kepala.
7. Membasuh Seluruh Tubuh
Guyur seluruh tubuh dengan air secara merata, dimulai dari sisi kanan, lalu sisi kiri. Gosok-gosok badan dan pastikan air membasahi semua bagian tubuh, termasuk area tersembunyi seperti sela jari kaki, pusar, telinga, dan lipatan kulit lainnya.
8. Membaca Doa Setelah Mandi Wajib
Setelah selesai mandi, dianjurkan membaca doa berikut:
Latin: Asyhadu an laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalahu, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluhu. Allahumma-j‘alni minat-tawwabiin, waj‘alni minal-muthathohhiriin.
Artinya: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.”
Kesimpulan:
Mandi wajib bukan hanya ritual bersih-bersih, melainkan ibadah yang menuntut ketertiban, kebersihan, dan kesungguhan hati. Dengan mengikuti tata cara mandi wajib pria sesuai sunnah, seorang Muslim tidak hanya menjaga kesucian fisik, tetapi juga meraih keutamaan spiritual sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah SWT.
Sunnah-Sunnah dalam Mandi Junub Menurut Imam al-Ghazali
Mandi junub tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kewajiban bersuci dari hadas besar, tetapi juga menjadi sarana untuk menyempurnakan ibadah dan meneladani tuntunan Rasulullah SAW. Menurut laman resmi Kementerian Agama RI, beberapa sunnah dalam mandi junub dijelaskan secara rinci oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Bidâyatul Hidâyah. Berikut adalah sunnah-sunnah tersebut:
1. Membasuh Kedua Tangan Tiga Kali
Sebelum memulai mandi junub, disunnahkan untuk membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali sebagai langkah awal dalam membersihkan diri.
2. Membersihkan Kotoran dan Najis
Sunnah berikutnya adalah membersihkan najis atau kotoran yang masih menempel di tubuh, khususnya di bagian-bagian tersembunyi seperti kemaluan, pusar, dan lipatan tubuh.
3. Berwudhu dengan Sempurna
Lakukan wudhu sebagaimana ketika hendak melaksanakan salat. Ini menjadi bentuk kesempurnaan dalam bersuci sebelum mandi.
4. Mengguyur Kepala Tiga Kali Disertai Niat
Guyurlah kepala sebanyak tiga kali, sambil menghadirkan niat dalam hati untuk menghilangkan hadas besar. Ini merupakan inti dari mandi junub.
5. Mengguyur Tubuh dari Kanan ke Kiri
Disunnahkan mengguyur bagian tubuh sebelah kanan terlebih dahulu sebanyak tiga kali, kemudian bagian kiri dengan jumlah yang sama.
6. Menggosok Tubuh Tiga Kali
Gosok seluruh tubuh, baik bagian depan maupun belakang, sebanyak tiga kali. Hal ini membantu memastikan air benar-benar merata ke seluruh tubuh.
7. Menyela Rambut dan Jenggot
Bagi yang memiliki rambut tebal atau jenggot, disunnahkan untuk menyela-nyelanya agar air mencapai pangkal rambut dan tidak ada bagian yang tertinggal.
8. Memastikan Air Mengenai Lipatan Kulit
Pastikan air mengalir ke bagian tubuh yang tersembunyi seperti lipatan kulit, belakang telinga, dan sela-sela jari. Ini menunjukkan kehati-hatian dalam menyucikan diri.
9. Menghindari Menyentuh Kemaluan Setelah Wudhu
Jika setelah berwudhu tangan menyentuh kemaluan, disarankan untuk memperbarui wudhu. Hal ini untuk menjaga kesempurnaan wudhu dalam rangkaian mandi.
Kesimpulan:
Mandi junub adalah bagian dari adab bersuci yang sangat ditekankan dalam Islam. Melakukan sunnah-sunnah di atas tidak hanya menyempurnakan ibadah mandi wajib, tetapi juga menjadi bentuk keteladanan terhadap praktik Rasulullah SAW. Memahami dan mengamalkannya adalah cerminan dari ketekunan dan kehati-hatian seorang Muslim dalam menjaga kesucian lahir dan batin.
Penyebab Seorang Pria Wajib Mandi Junub dalam Islam Sesuai Sunnah Rasulullah SAW
Dalam ajaran Islam, ghusl atau mandi wajib merupakan salah satu bentuk ibadah yang bertujuan untuk menyucikan diri dari hadas besar. Mandi wajib menjadi syarat utama sebelum melaksanakan ibadah-ibadah yang memerlukan kesucian, seperti sholat, puasa, membaca Al-Qur’an, thawaf, dan ibadah lainnya. Berikut ini adalah beberapa kondisi yang mewajibkan seorang pria untuk melakukan mandi wajib, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, hadis, dan sunnah Rasulullah SAW:
1. Keluar Mani Karena Syahwat, Baik Saat Terjaga Maupun Tidur (Mimpi Basah)
Apabila air mani keluar karena rangsangan syahwat—baik karena hubungan suami istri, masturbasi, atau mimpi basah—maka wajib bagi pria untuk mandi junub. Rasulullah SAW bersabda:
“Air (mandi) itu karena air (mani).” (HR. Muslim, no. 343)
Dalam hadis lain, Ummu Salamah RA bertanya kepada Rasulullah SAW tentang laki-laki yang bermimpi basah, dan beliau bersabda:
“Kalau ia melihat air (mani), maka ia harus mandi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menunjukkan bahwa keluarnya mani dalam kondisi apa pun tetap mewajibkan mandi, asalkan ada tanda fisik berupa keluarnya cairan tersebut.
2. Berhubungan Suami Istri, Meskipun Tidak Sampai Keluar Mani
Dalam Islam, mandi wajib juga diwajibkan bagi pria yang melakukan hubungan intim, meskipun tidak sampai mengalami ejakulasi. Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila dua kemaluan bertemu (terjadi penetrasi), maka wajib mandi, meskipun tidak keluar mani.” (HR. Muslim, no. 349)
Hadis ini menegaskan bahwa hubungan badan dengan penetrasi sudah cukup menjadi sebab wajibnya mandi, meski tidak terjadi keluarnya mani.
3. Masuk Islam (Bagi Mualaf)
Bagi seorang pria yang memeluk Islam, disyariatkan untuk mandi wajib sebagai simbol penyucian diri dari kehidupan sebelumnya. Hal ini merujuk pada kisah sahabat Qais bin ‘Ashim:
“Qais bin ‘Ashim masuk Islam, lalu Nabi SAW memerintahkannya mandi.” (HR. Abu Dawud, no. 355)
Para ulama menyebutkan bahwa mandi ini dianjurkan bahkan diwajibkan sebagai bentuk awal dari kebersihan fisik dan spiritual setelah memeluk agama Islam.
4. Kematian (Jenazah Wajib Dimandikan)
Seorang Muslim yang wafat wajib dimandikan oleh sesama Muslim. Ini merupakan bagian dari fardhu kifayah bagi umat Islam yang hidup. Memandikan jenazah adalah bentuk penghormatan terakhir sekaligus penyucian sebelum dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan.
Kesimpulan:
Mandi wajib merupakan kewajiban yang memiliki dimensi ibadah sekaligus kebersihan dalam Islam. Seorang pria harus memahami situasi-situasi yang mewajibkan mandi junub agar dapat menjalankan ibadah dengan sah dan sempurna. Dengan mematuhi sunnah Rasulullah SAW dalam bersuci, seorang Muslim akan senantiasa berada dalam kondisi suci, baik secara lahir maupun batin.
Stylesphere – Keinginan untuk hidup sukses dan memiliki kekayaan adalah harapan yang dimiliki oleh hampir setiap orang. Namun dalam pandangan Islam, kekayaan bukan hanya diukur dari jumlah harta, melainkan juga dari cara memperolehnya serta bagaimana harta tersebut dimanfaatkan.
Dalam ceramah terbarunya, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) memberikan nasihat mendalam tentang bagaimana meraih kesuksesan dan kekayaan yang hakiki menurut Islam. Ceramah ini disampaikan melalui tayangan video di kanal YouTube @buyayahyaofficial dan dikutip Anugerahslot pada Ahad (29 Juni 2025).
Sandarkan Usaha kepada Allah
Menurut Buya Yahya, setiap aktivitas—terutama dalam urusan mencari nafkah—harus diawali dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT. Ia menekankan pentingnya menjadikan hubungan spiritual dengan Allah sebagai fondasi utama dalam membangun usaha dan mencapai kesuksesan.
“Yang dibangun tidak dengan Allah, maka susah menghantarkan kepada Allah,” ujar Buya Yahya.
Beliau menyoroti bahwa hanya sedikit orang yang benar-benar memulai usahanya dengan langkah spiritual, seperti berwudhu, berdoa, atau melaksanakan salat sebelum membuka toko atau memulai bisnis.
Dua Amalan Sunnah Sebelum Memulai Usaha
Buya Yahya mengingatkan bahwa dalam riwayat hadits Nabi Muhammad SAW, terdapat dua amalan sunnah yang sangat dianjurkan sebelum memulai aktivitas atau usaha:
Berwudhu – sebagai bentuk penyucian diri dan persiapan spiritual
Berdoa atau melaksanakan salat sunnah – untuk memohon pertolongan dan keberkahan dari Allah
Kedua amalan ini, meskipun ringan, diyakini memiliki pengaruh besar dalam menarik keberkahan dan menjauhkan usaha dari kesulitan yang tidak terlihat.
Dengan menjadikan Allah sebagai pusat niat dan awal dari setiap ikhtiar, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk menyelaraskan usaha dunia dengan tujuan akhirat. Karena pada akhirnya, kesuksesan yang sejati adalah ketika harta yang dimiliki membawa manfaat dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Buya Yahya: Rezeki Tanpa Sandaran kepada Allah Akan Terasa Berat
Dalam sebuah ceramahnya yang dikutip dari kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Ahad (29 Juni 2025), KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) mengingatkan pentingnya mengawali usaha dan aktivitas duniawi dengan langkah spiritual. Menurutnya, banyak orang lupa bahwa rezeki sejati bukan hanya soal strategi, melainkan soal sandaran hati kepada Allah SWT.
Dua Amalan Sunnah Sebelum Memulai Usaha
Buya Yahya menyampaikan bahwa Rasulullah SAW telah memberi tuntunan dua bentuk amalan sunnah sebelum memulai aktivitas penting, termasuk saat hendak membuka usaha:
Berwudhu lalu berdoa
Berwudhu lalu melaksanakan dua rakaat salat sunnah, kemudian berdoa
Amalan ini adalah bentuk permohonan pertolongan kepada Allah yang seringkali terlupakan. Buya Yahya menegaskan dengan pertanyaan retoris:
“Siapa di antara kita yang saat membuka toko melakukannya?”
Spiritualitas yang Sering Terpinggirkan
Menurut Buya, banyak orang saat hendak memulai bisnis hanya fokus pada perhitungan duniawi—seperti strategi pemasaran, target keuntungan, dan penguasaan pasar. Padahal, dimensi spiritual seharusnya menjadi fondasi utama.
Ia mengakui bahwa seseorang bisa saja menjadi kaya tanpa mengenal Allah, namun kekayaan semacam itu akan berbeda nilainya dan dampaknya dibandingkan dengan kekayaan yang disertai kesadaran spiritual.
“Kekayaan yang tidak dibarengi dengan rasa syukur dan kesadaran kepada Allah, justru bisa menjadi beban,” ujar Buya Yahya.
Kekayaan: Alat, Bukan Tujuan
Buya Yahya mengingatkan bahwa kekayaan bukanlah tujuan akhir dalam hidup, melainkan alat untuk meraih ridha Allah SWT. Orang yang kaya tapi tetap bersandar kepada Allah akan lebih ringan dalam berzakat, bersedekah, dan membantu sesama, karena hatinya terpaut pada nilai-nilai akhirat.
Sebaliknya, rezeki yang dicari hanya dengan mengandalkan akal dan strategi duniawi, tanpa ruh spiritual, sering terasa berat dijalani. Bahkan jika jumlahnya besar, tidak sedikit yang tetap diliputi kegelisahan dan ketidaktenangan.
Dengan penekanan ini, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk membangun usaha dengan mengintegrasikan aspek spiritual. Karena rezeki yang penuh berkah bukan sekadar banyaknya angka, tapi ketenangan hati dan kebermanfaatan harta di jalan Allah.
Buya Yahya: Kunci Sukses dan Kekayaan Sejati Ada pada Kedekatan dengan Allah
Buya Yahya menegaskan bahwa rezeki yang disertai niat ikhlas dan orientasi ibadah kepada Allah SWT, meskipun terlihat kecil secara materi, akan membawa ketenangan dan keberkahan dalam hidup. Sebaliknya, harta yang besar tanpa keikhlasan dan sandaran kepada Allah, bisa menjadi sumber kegelisahan.
Dalam ceramahnya, Buya Yahya mengingatkan umat Islam agar tidak melupakan rasa syukur dan senantiasa memohon pertolongan Allah dalam setiap usaha dan pekerjaan yang dijalani. Ia menekankan pentingnya memulai aktivitas dengan hubungan yang kuat kepada Allah, karena dari situlah jalan kesuksesan dan kekayaan akan terasa lebih mudah dan diberkahi.
“Rezeki adalah titipan dari Allah. Maka, tempatkan ia sesuai dengan kehendak-Nya dan manfaatkan dalam koridor syariat,” ujar Buya Yahya.
Menurutnya, kesuksesan hakiki bukan hanya soal kerja keras dan strategi bisnis, tetapi juga soal kedekatan dengan Allah, ketulusan niat, serta kesadaran untuk menjaga amanah harta yang diberikan.
Buya Yahya menutup pesannya dengan ajakan reflektif: di tengah gemuruh dunia bisnis modern yang kerap menomorsatukan logika dan materi, unsur spiritualitas tetap menjadi fondasi utama. Bagi siapa pun yang ingin mencapai keberhasilan sejati, hubungan dengan Sang Pemberi Rezeki tak boleh diabaikan.
Stylesphere – Ayatollah Ali Khamenei merupakan tokoh sentral dalam politik dan keagamaan Iran sekaligus figur berpengaruh di dunia Syi’ah. Perhatiannya semakin besar ketika konflik antara Iran dan Israel mencuat, menempatkan sosoknya di tengah sorotan publik internasional.
Sejak menjabat sebagai Pemimpin Tertinggi Iran pada tahun 1989, Khamenei telah memainkan peran vital dalam membentuk arah kebijakan domestik maupun luar negeri Iran, serta dalam mengarahkan dinamika keagamaan di dalam negeri. Reputasinya dikenal luas sebagai simbol kekuasaan Syi’ah, namun juga kerap menjadi figur kontroversial di mata dunia Barat dan sebagian komunitas Muslim non-Syi’ah.
Pendekatan Moderat terhadap Hubungan Antar-Mazhab
Di balik citra politik yang kuat, terdapat sisi lain dari kepemimpinan Khamenei yang jarang mendapat perhatian, terutama terkait pandangannya dalam membina hubungan antar-mazhab dalam Islam. Salah satu hal yang cukup menonjol adalah seruannya untuk menjaga penghormatan terhadap tokoh-tokoh Sunni serta larangan tegas terhadap penghinaan yang dapat memecah belah umat.
Sikap ini mencerminkan pendekatan yang lebih inklusif dan toleran, menunjukkan bahwa Khamenei tidak hanya melihat Islam dalam kacamata sektarian, melainkan sebagai kesatuan umat yang harus dijaga dari konflik internal. Meski pernyataan dan kebijakannya kerap disalahpahami, aspek moderat ini menunjukkan adanya kompleksitas dalam pemikirannya yang tidak selalu terekspos oleh media arus utama.
Peran Strategis di Iran dan Dunia Islam
Sebagai pemimpin spiritual dan politik tertinggi di Iran, Ayatollah Khamenei tidak hanya menentukan arah kebijakan dalam negeri, tetapi juga memainkan peran strategis dalam percaturan geopolitik dunia Islam. Pandangannya terhadap dialog antar-mazhab, kemandirian politik, serta perlawanan terhadap hegemoni asing menjadikannya figur yang dihormati sekaligus dikritik oleh berbagai pihak.
Dalam konteks konflik regional dan ketegangan sektarian yang kerap memecah belah dunia Muslim, pendekatan Khamenei terhadap persatuan umat dan penolakan terhadap provokasi sektarian memiliki implikasi yang penting—baik bagi stabilitas internal Iran maupun bagi solidaritas umat Islam secara global.
Mengenal Ayatollah Ali Khamenei secara lebih komprehensif membuka ruang pemahaman yang lebih luas tentang dinamika politik dan keagamaan di Iran. Lebih dari sekadar tokoh kontroversial, ia adalah pemimpin dengan visi yang kompleks—memadukan peran sebagai penjaga ideologi negara, penggerak perlawanan terhadap dominasi global, sekaligus tokoh yang mendorong dialog dan penghormatan antar mazhab Islam.
Dengan menggali sisi-sisi tersembunyi dari pemikirannya, kita bisa memahami bahwa realitas politik dan keagamaan di Timur Tengah seringkali tidak bisa disederhanakan menjadi hitam dan putih.
Ayatollah Ali Khamenei dan Komitmen terhadap Persatuan Umat Islam
Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, selama ini dikenal luas sebagai sosok yang memegang kendali kuat dalam struktur pemerintahan Iran, baik dari sisi spiritual maupun politik. Ia adalah ulama paling berpengaruh dalam mazhab Syiah di negara tersebut dan memainkan peran sentral dalam mengarahkan kebijakan negara.
Namun di balik citra politik dan ideologis yang kerap melekat padanya, terdapat sisi lain dari kepemimpinan Khamenei yang jarang mendapat sorotan, yakni komitmennya terhadap persatuan umat Islam lintas mazhab.
Fatwa untuk Meredam Ketegangan Sektarian
Pada tahun 2010, di tengah meningkatnya ketegangan sektarian antara kalangan Syiah dan Sunni di dunia Islam, Ayatollah Khamenei mengeluarkan sebuah fatwa penting. Dalam fatwa tersebut, ia secara tegas melarang penghinaan terhadap istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah r.a., serta para sahabat Nabi, yang merupakan tokoh-tokoh sentral dan sangat dihormati oleh umat Sunni.
Langkah ini diambil sebagai respons atas meningkatnya provokasi dari sejumlah tokoh ekstrem Syiah yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan ofensif, memicu kemarahan luas di kalangan Sunni dan memperparah polarisasi antar-mazhab.
Pesan Toleransi dan Keutuhan Umat
Dalam isi fatwanya, Ayatollah Khamenei menegaskan bahwa tindakan mencela simbol-simbol yang dihormati oleh umat Islam lainnya adalah perbuatan yang “haram” dan bertentangan dengan ajaran Islam. Ia menekankan pentingnya menjaga kehormatan tokoh-tokoh keagamaan dan menghindari segala bentuk ucapan atau tindakan yang dapat memecah belah umat.
Pesan tersebut memperlihatkan bahwa Khamenei tidak hanya berkonsentrasi pada isu-isu ideologis dalam lingkup Syiah, tetapi juga memiliki pandangan yang luas terhadap rekonsiliasi antar-mazhab dan stabilitas dunia Islam secara keseluruhan.
Strategi Ayatollah Khamenei dalam Membangun Persatuan Islam
Langkah Ayatollah Ali Khamenei dalam melarang penghinaan terhadap tokoh-tokoh Sunni bukan sekadar isyarat simbolis, melainkan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempererat hubungan antara umat Islam lintas mazhab, khususnya antara Sunni dan Syiah. Dalam berbagai kesempatan, Khamenei menekankan bahwa persatuan umat Islam merupakan kebutuhan mendesak, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti Islamofobia, intervensi asing, dan konflik internal di dunia Muslim.
Pekan Persatuan Islam: Membangun Dialog Antar-Mazhab
Sebagai wujud nyata dari komitmennya, Khamenei turut menggagas dan mendorong pelaksanaan “Pekan Persatuan Islam”, yang diperingati setiap tahun di Iran. Perayaan ini berlangsung antara tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW menurut kalender Sunni dan Syiah, sebagai simbol niat baik dan ajakan untuk saling memahami perbedaan historis serta membangun dialog yang konstruktif.
Inisiatif ini dimaksudkan sebagai platform untuk mempertemukan ulama, cendekiawan, dan tokoh-tokoh Islam dari berbagai mazhab, guna mendiskusikan isu-isu keumatan dalam semangat kolaboratif, bukan konfrontatif.
Apresiasi dan Tantangan dari Dua Arah
Langkah moderat Khamenei mendapat reaksi beragam dari berbagai kalangan. Di satu sisi, kelompok Syiah konservatif menentang pendekatan ini, menganggapnya sebagai kompromi terhadap prinsip-prinsip mazhab mereka. Di sisi lain, sebagian kalangan Sunni masih menyimpan kecurigaan, menilai ajakan tersebut sebagai bagian dari strategi politik Iran untuk memperluas pengaruh di dunia Islam.
Meski demikian, respon positif juga muncul dari tokoh-tokoh Sunni berpengaruh. Salah satunya adalah Syaikh Yusuf al-Qaradawi, ulama terkemuka dari Qatar, yang menyambut baik fatwa Khamenei dan menyebutnya sebagai langkah konstruktif dalam membangun jembatan Sunni-Syiah.
Menolak Sektarianisme, Menjaga Etika Perbedaan
Fatwa dan pendekatan yang ditunjukkan Khamenei menjadi bukti bahwa meskipun ia merupakan figur utama dalam mazhab Syiah, ia tidak mewakili sikap sektarian ekstrem yang kerap diasosiasikan dengan sebagian kelompok garis keras. Sebaliknya, ia berupaya menegaskan bahwa perbedaan mazhab tidak harus menjadi penghalang untuk persatuan, selama dilandasi oleh saling menghormati dan menjaga etika dalam perbedaan.
Penutup: Catatan Penting Bagi Dunia Islam
Sebagai salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia Islam, sikap Ayatollah Khamenei menjadi catatan penting dalam wacana persatuan umat. Ia menunjukkan bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan dalam sejarah Islam, namun bisa dikelola dengan hikmah, toleransi, dan rasa hormat. Dalam dunia yang kian terfragmentasi, pendekatan seperti ini menjadi semakin relevan untuk menjaga solidaritas dan stabilitas umat Islam secara global.
Stylesphere – Puasa Asyura, yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram dalam kalender hijriyah, merupakan salah satu amalan sunnah yang memiliki nilai sejarah dan spiritual yang mendalam. Lebih dari sekadar ritual ibadah, puasa ini menyimpan kisah panjang yang menghubungkan masa jahiliyah, sejarah kenabian Musa AS, hingga masa kenabian Rasulullah SAW.
Dalam salah satu ceramahnya yang disampaikan melalui kanal YouTube @persepsidalamdiam, Ustadz Adi Hidayat (UAH) membahas sejarah dan makna syariat puasa Asyura dari perspektif lintas zaman. Ia menjelaskan bahwa puasa ini sudah dikenal jauh sebelum kedatangan Islam.
“Puasa Asyura bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Quraisy. Bahkan di masa jahiliyah, mereka sudah terbiasa melaksanakannya,” tutur Ustadz Adi Hidayat, dikutip Anugerahslot islamic pada Jumat (27/6/2025).
Menurut UAH, praktik puasa pada tanggal 10 Muharram telah menjadi bagian dari tradisi turun-temurun di kalangan penduduk Makkah. Tradisi ini kemudian mendapat pengakuan dalam Islam dan diberi makna baru melalui bimbingan Nabi Muhammad SAW.
Ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah, beliau mendapati bahwa kaum Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura. Mereka melakukannya sebagai bentuk penghormatan terhadap peristiwa diselamatkannya Nabi Musa AS dan kaumnya dari kejaran Fir’aun. Momen ini menjadi titik penting penyelarasan antara ajaran terdahulu dengan syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW.
Dengan sikap bijak, Nabi Muhammad SAW mengakui nilai spiritual di balik puasa tersebut dan mengarahkan umat Islam untuk ikut melakukannya, bahkan menganjurkan untuk menambah puasa sehari sebelumnya (Tasua, 9 Muharram) sebagai pembeda dari kebiasaan kaum Yahudi.
Puasa Asyura: Tradisi Lama yang Dikuatkan Syariat, Simbol Syukur dan Jejak Sejarah Iman
Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa Islam tidak serta-merta menolak tradisi lama. Sebaliknya, Islam memilah dan menimbang setiap tradisi berdasarkan nilai dan manfaat yang dikandungnya. “Dari sini kita bisa lihat bagaimana Islam tidak serta-merta menolak semua tradisi lama, tapi menimbangnya berdasarkan nilai dan manfaat,” jelasnya.
Menurut Ustadz Adi, dalam menyikapi tradisi semacam ini, syariat Islam memiliki empat pendekatan, salah satunya adalah melestarikan tradisi apabila terbukti membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Puasa Asyura menjadi contoh nyata bagaimana sebuah tradisi yang berasal dari masa lampau dapat diadopsi dan diteguhkan dalam Islam sebagai ibadah sunnah. Tradisi ini tidak hanya diperkuat secara hukum, tetapi juga dimaknai sebagai bentuk syukur, pembersih dosa, dan penghormatan terhadap warisan sejarah kenabian.
“Syariat memperkuat puasa Asyura karena ia mengandung unsur syukur, penghapusan dosa, dan penghargaan terhadap sejarah kenabian,” ujar UAH.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa keutamaan puasa Asyura tidak sebatas pada pahala yang dijanjikan, melainkan juga pada kesadaran historis dan spiritual umat Islam dalam mengenang jejak para nabi. Hal ini memperluas dimensi puasa Asyura—bukan sekadar ritual, tetapi juga pelajaran tentang iman dan perjalanan umat manusia.
Ustadz Adi pun mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa puasa Asyura menjadi sebab dihapuskannya dosa setahun yang lalu. Keistimewaan inilah yang menjadikan puasa ini sangat dianjurkan bagi umat Islam.
“Bukan hanya sekadar amal pribadi, puasa ini mengajarkan kita tentang hubungan antara sejarah, iman, dan keikhlasan dalam menjalankan syariat,” pungkasnya.
Puasa Asyura: Bukan Sekadar Ibadah Sunnah, tapi Simbol Kesadaran Sejarah dan Tauhid
Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengajak umat Islam untuk tidak memandang puasa Asyura sebagai sekadar rutinitas tahunan. Ia menekankan pentingnya menjalankan ibadah ini dengan pemahaman yang mendalam tentang latar belakang sejarah dan nilai-nilai yang dikandungnya. “Mengenal sejarahnya akan menambah makna dalam setiap amal yang dilakukan,” ungkapnya.
Menurut UAH, hadits-hadits Nabi SAW menggambarkan secara jelas bagaimana puasa Asyura dihargai dalam Islam, bahkan menjadi salah satu bentuk pendidikan iman bagi umat Muslim pada masa awal Islam. Praktik ini bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga sarana mengenalkan umat kepada nilai-nilai kenabian terdahulu.
Lebih dari itu, UAH menilai puasa Asyura sebagai simbol pengakuan terhadap kebenaran risalah nabi-nabi sebelum Rasulullah SAW, terutama Nabi Musa AS. Ini sekaligus memperkuat ikatan mata rantai kenabian dalam ajaran tauhid yang menjadi inti dari semua risalah langit. “Maka puasa ini bukan sekadar formalitas, tapi ada pesan tauhid yang kuat di baliknya,” tegasnya.
Kesadaran akan makna ini, lanjutnya, sangat penting agar puasa Asyura tidak kehilangan ruh substansialnya. Di tengah masyarakat yang semakin pragmatis, di mana ibadah kerap dilakukan tanpa memahami konteks sejarah dan spiritualnya, pemahaman yang benar akan memperdalam kekhusyukan dalam beribadah.
“Dengan memahami akar sejarahnya, kita bisa lebih khusyuk dan ikhlas dalam menunaikan ibadah ini. Ada ruh yang menggerakkan, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban sunnah,” jelasnya.
Menutup ceramahnya, Ustadz Adi Hidayat menegaskan kembali bahwa syariat Islam sangat menghargai tradisi yang membawa kemaslahatan. Dalam hal ini, puasa Asyura adalah contoh ideal bagaimana warisan tradisi lama yang mengandung nilai kebaikan dapat dihidupkan kembali dalam naungan iman dan tauhid.
Stylesphere – Setiap pergantian tahun dalam kalender Hijriah membawa semangat baru bagi umat Islam. Salah satu bentuk kesiapan spiritual yang kerap dilakukan adalah membaca doa akhir tahun dan doa awal tahun Hijriah. Amalan ini bukan sekadar tradisi, melainkan bentuk refleksi diri dan harapan untuk perubahan hidup yang lebih baik di tahun yang akan datang.
Kedua doa ini biasanya dibaca pada waktu transisi, yakni menjelang dan sesudah waktu Maghrib di malam 1 Muharam. Hal ini sesuai dengan sistem penanggalan Islam, di mana hari baru dimulai saat matahari terbenam. Karena itu, waktu Maghrib menjadi momen yang tepat untuk mengakhiri tahun dengan permohonan ampun, serta memulai tahun baru dengan doa dan harapan yang baik.
Tradisi ini juga mengajarkan pentingnya memaknai waktu dan pergantian hari sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri. Umumnya, doa akhir tahun dan awal tahun dibaca masing-masing sebanyak tiga kali sebagai bentuk kesungguhan dalam memohon perlindungan, bimbingan, serta keberkahan dari Allah SWT.
Dengan mengamalkan doa-doa ini, diharapkan setiap Muslim di Anugerahslot dapat menyambut tahun baru Hijriah dengan hati yang bersih, niat yang lurus, dan tekad untuk menjalani kehidupan yang lebih baik di bawah ridha dan anugerah Allah.
Doa Akhir Tahun Hijriah 1446 H: Momen Muhasabah dan Permohonan Ampunan
Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H diperkirakan jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Menyambut pergantian tahun Hijriah, umat Islam dianjurkan untuk melakukan muhasabah, yakni evaluasi diri atas segala amal dan perbuatan yang telah dilakukan selama setahun terakhir.
Salah satu amalan yang dianjurkan menjelang tahun baru Islam adalah membaca doa akhir tahun Hijriah. Ulama seperti KH Soleh Darat dan Habib Utsman bin Yahya, tokoh besar di abad ke-19 hingga awal abad ke-20, menganjurkan umat Muslim untuk membaca doa ini sebanyak tiga kali sebelum waktu Maghrib pada hari terakhir bulan Dzulhijjah, yaitu Kamis, 26 Juni 2025.
Dalam karya Habib Utsman bin Yahya yang berjudul Maslakul Akhyar, beliau mencantumkan teks doa akhir tahun berikut:
Allâhumma mâ ‘amiltu min ‘amalin fî hâdzihi sanati mâ nahaitanî ‘anhu, wa lam atub minhu, wa hamalta fîhâ ‘alayya bi fadhlika ba‘da qudratika ‘alâ ‘uqûbatî, wa da‘autanî ilat taubati min ba‘di jarâ’atî ‘alâ ma‘shiyatik. Fa innî astaghfiruka, faghfirlî wa mâ ‘amiltu fîhâ mimmâ tardhâ, wa wa‘attanî ‘alaihits tsawâba, fa’as’aluka an tataqabbala minnî wa lâ taqtha‘ rajâ’î minka yâ karîm.
Artinya
“Tuhanku, aku memohon ampun atas semua perbuatanku di tahun ini yang Engkau larang, namun belum sempat aku taubati. Ampunilah segala dosaku yang telah Engkau maklumi karena kemurahan-Mu, padahal Engkau mampu menyiksaku. Engkau telah mengajakku untuk bertaubat setelah aku lancang bermaksiat kepada-Mu. Maka aku memohon ampunan-Mu. Terimalah segala amal yang Engkau ridai dan yang telah Engkau janjikan pahala atasnya. Jangan putuskan harapanku kepada-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah.”
Makna dan Tujuan Doa Akhir Tahun
Doa akhir tahun ini sarat akan makna penyesalan, pengakuan dosa, dan harapan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Membacanya menjadi simbol kesiapan hati untuk meninggalkan kesalahan masa lalu dan menyongsong tahun baru Hijriah dengan semangat taubat dan perbaikan diri.
Selain itu, menurut para ulama, doa ini juga merupakan bentuk permohonan perlindungan dari segala godaan, terutama dari setan, selama tahun berikutnya.
Dengan membacanya secara khusyuk dan penuh keikhlasan, diharapkan seorang Muslim dapat memperoleh ampunan Allah SWT dan memulai tahun baru dengan hati yang bersih dan jiwa yang tenang.
Manfaat Membaca Doa Akhir Tahun Hijriah: Ketenangan Batin dan Perlindungan Spiritual
Membaca doa akhir tahun Hijriah bukan hanya sebuah tradisi keagamaan, tetapi juga membawa dampak positif secara psikologis dan spiritual bagi yang mengamalkannya. Di antara manfaat yang dirasakan oleh banyak umat Muslim adalah:
Menenangkan batin
Menghadirkan kesadaran diri akan perbuatan selama setahun
Menumbuhkan semangat baru dan positif dalam menyambut tahun berikutnya
KH Sholeh Darat, salah satu ulama besar Nusantara, menjelaskan bahwa doa ini memiliki makna mendalam. Menurut beliau, siapa pun yang membacanya dengan hati yang tulus akan memperoleh perlindungan dari godaan setan dan mendapatkan pendampingan dari dua malaikat penjaga selama satu tahun penuh.
“Terlindungi dari godaan setan dan didampingi dua malaikat penjaga selama setahun,” jelas KH Sholeh Darat.
Beliau juga menambahkan bahwa setan tidak akan mampu mengganggu orang yang mengamalkan doa ini dengan niat yang ikhlas. Malaikat yang ditugaskan pun bukan hanya menjaga, tetapi juga membimbing orang tersebut agar tetap berada di jalan yang diridhai Allah SWT.
Meskipun doa-doa ini tidak bersumber langsung dari hadis Nabi Muhammad SAW, para ulama besar telah menganjurkannya sebagai bagian dari amalan sunnah yang baik. Di antara referensi yang memuat doa akhir dan awal tahun Hijriah adalah:
Kitab Maslakul Akhyar karya Habib Utsman bin Yahya
Kitab Lathaifut Thaharah wa Asrarus Shalah karya KH Sholeh Darat
Amalan membaca doa ini sah secara syariat selama tidak diyakini sebagai ibadah wajib. Ia merupakan ekspresi spiritual yang murni, sebagai bentuk harapan, penyesalan, dan semangat memperbaiki diri — bukan sebuah bentuk bid’ah.
Dengan demikian, membaca doa akhir tahun menjadi salah satu cara menyambut pergantian tahun Hijriah secara penuh makna, sebagai upaya memperbarui hubungan dengan Allah SWT dan memulai tahun baru dengan hati yang bersih.
Stylesphere – Tahun Baru Islam atau 1 Muharam merupakan momen penting bagi umat Muslim di seluruh dunia. Hari ini menandai pergantian tahun dalam kalender Hijriah, sekaligus menjadi waktu yang tepat untuk melakukan refleksi diri, memohon ampunan, dan menyambut tahun baru dengan penuh harapan serta doa terbaik kepada Allah SWT.
Salah satu amalan yang dianjurkan dalam menyambut 1 Muharam adalah membaca doa awal tahun. Doa ini dipanjatkan sebagai bentuk permohonan perlindungan dari berbagai godaan, bantuan dalam menahan hawa nafsu, dan harapan agar senantiasa diberi petunjuk serta didekatkan kepada Allah SWT sepanjang tahun yang akan dijalani.
Dalam kitab Al-Jami’ Al-Kabir karya Imam As-Suyuthi, doa awal dan akhir tahun turut dicantumkan sebagai bagian dari amalan yang dianjurkan. Menariknya, Mufti Batavia yang masyhur, Habib (Sayyid) Utsman bin Yahya, kemudian menambahkan lafaz shalawat di awal doa tersebut, memperindah susunannya dan memperkuat maknanya.
Sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan membuka lembaran baru dengan penuh kebaikan, membaca doa awal tahun menjadi langkah spiritual yang mendalam dan bermakna.
Berikut ulasan lengkapnya yang dirangkum Anugerahslot, Rabu (25/6/2025).
Doa Awal Tahun 1 Muharam: Amalan Awali Tahun Baru Islam dengan Harapan dan Keberkahan
Doa awal tahun 1 Muharam menjadi salah satu amalan penting yang dianjurkan untuk menyambut tahun baru Islam. Doa ini dipanjatkan agar setiap muslim mendapatkan perlindungan dan keberkahan sepanjang tahun yang akan datang.
Merujuk pada kitab Al-Jami’ Al-Kabir karya Imam As-Suyuthi, doa untuk akhir dan awal tahun telah dicantumkan secara khusus. Kemudian, Mufti Batavia, Habib (Sayyid) Utsman bin Yahya, menambahkan lafadz shalawat di awal doa tersebut sehingga maknanya semakin lengkap dan indah.
Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), waktu pembacaan doa awal tahun 1 Muharam hendaknya diperhatikan dengan baik agar mendapatkan manfaat maksimal.
Berikut adalah teks doa awal tahun yang bisa diamalkan:
Teks Latin: “Allahumma antal-abadiyyul-qadiimul-awwal. Wa ‘alaa fadhlikal-‘azhimi wujuudikal-mu’awwal. Wa haadzaa ‘aamun jadiidun qad aqbal. Nas’alukal ‘ishmata fiihi minasy-syaithaani wa auliyaa-ihii wa junuudihii. Wal’auna ‘alaa haadzhihin-nafsil-ammarati bis-suu-i. Wal-isytighaala bimaa yuqorribuni ilaika zulfa. Yaa dzal-jalaali wal-ikraam. Wa shallallaahu ‘alaa sayyidina Muhammadin wa ‘alaa ‘aalihi wa shahbihii wa sallam.”
Terjemahan Bahasa Indonesia: “Ya Allah, Engkaulah Yang Kekal, Yang Awal dan Dahulu Ada. Kami memohon perlindungan hanya kepada anugerah-Mu yang agung dan kemurahan-Mu yang luas pada tahun yang baru ini, dari godaan setan, para pengikut dan tentaranya. Berikanlah kami pertolongan untuk mengalahkan hawa nafsu yang mengajak pada keburukan, serta agar kami selalu sibuk dengan amal yang mendekatkan diri kepada-Mu, wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.”
Dengan membaca doa ini di awal tahun Hijriah, diharapkan setiap Muslim dapat menjalani tahun baru dengan penuh keberkahan dan terhindar dari segala godaan serta keburukan.
1 Muharam Tanggal 27 Juni 2025
Kapan 1 Muharam 2025? Mengutip dari SKB 3 Menteri Nomor 1017 Tahun 2024, Nomor 2 Tahun 2024, dan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2025, Tahun Baru Islam 1 Muharam 1447 H atau Tahun Baru Islam 2025 diperingati pada Jumat (27/6). Hari itu juga merupakan libur nasional.
Itu artinya, 1 Muharam 1447 H atau 1 Muharam 2025 jatuh pada 27 Juni 2025. Ini juga sesuai dengan penanggalan dalam kalender Hijriah 2025 yang diterbitkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Berdasarkan kalender Hijriah 2025, 1 Muharam 2025 bertepatan dengan 27 Juni 2025. Jika mengikuti ketetapan tersebut, maka bulan Muharam 2025 berlangsung sampai tanggal 25 Juli 2025.
Berikut rincian tanggal-tanggal penting di bulan Muharam 1447 H (2025), melansir dari kalender Hijriah yang diterbitkan oleh Kemenag RI:
1 Muharam 1447 H: 27 Juni 2025
2 Muharam 1447 H: 28 Juni 2025
3 Muharam 1447 H: 29 Juni 2025
4 Muharam 1447 H: 30 Juni 2025
5 Muharam 1447 H: 1 Juli 2025
6 Muharam 1447 H: 2 Juli 2025
7 Muharam 1447 H: 3 Juli 2025
8 Muharam 1447 H: 4 Juli 2025
9 Muharam 1447 H: 5 Juli 2025
10 Muharam 1447 H: 6 Juli 2025
11 Muharam 1447 H: 7 Juli 2025
12 Muharam 1447 H: 8 Juli 2025
13 Muharam 1447 H: 9 Juli 2025
14 Muharam 1447 H: 10 Juli 2025
15 Muharam 1447 H: 11 Juli 2025
16 Muharam 1447 H: 12 Juli 2025
17 Muharam 1447 H: 13 Juli 2025
18 Muharam 1447 H: 14 Juli 2025
19 Muharam 1447 H: 15 Juli 2025
20 Muharam 1447 H: 16 Juli 2025
21 Muharam 1447 H: 17 Juli 2025
22 Muharam 1447 H: 18 Juli 2025
23 Muharam 1447 H: 19 Juli 2025
24 Muharam 1447 H: 20 Juli 2025
25 Muharam 1447 H: 21 Juli 2025
26 Muharam 1447 H: 22 Juli 2025
27 Muharam 1447 H: 23 Juli 2025
28 Muharam 1447 H: 24 Juli 2025
29 Muharam 1447 H: 25 Juli 2025
Amalan di Bulan Muharam
Bulan Muharam merupakan salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Terdapat berbagai amalan sunnah yang dapat dikerjakan untuk meraih keberkahan di bulan ini. Sujumlah amalan sunnah yang bisa dikerjakan di bulan Muharram adalah puasa awal Muharram, puasa Tasua, puasa Asyura, mengupas kepala anak yatim, bersedekah, dan memperbanyak istighfar.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa Muharram dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim).
1. Puasa Awal Muharram
Berpuasa pada hari pertama bulan Muharram merupakan salah satu amalan sunnah yang dianjurkan untuk mengawali tahun baru Hijriah dengan amal saleh. Puasa ini dikerjakan tepat pada tanggal 1 Muharram. Pada tahun 2025 ini, 1 Muharram 1447 H jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Adapun niat puasa sunnah Muharram adalah sebagai berikut, melansir dari buku Meraih Surga dengan Puasa karya H Herdiansyah Achmad Lc:
Arab Latin: Nawaitu shauma-sy-syahri-l-muharrami sunnata-lillâhi ta’âla.
Artinya: “Saya berniat puasa bulan Muharram sunnah karena Allah Ta’ala.”
2. Puasa Tasua
Selain pada awal Muharram, umat muslim juga dianjurkan untuk mengerjakan puasa pada tanggal 9 Muharram atau dikenal dengan puasa Tasua. Puasa ini dianjurkan sebagai bentuk penyelisihan terhadap tradisi kaum Yahudi, yang hanya berpuasa pada hari Asyura saja. Puasa Tasua 2025 dikerjakan pada Sabtu, 5 Juli 2025. Berikut adalah niat puasa Tasua, melansir dari Buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun karya Ustaz Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid:
Arab Latin: Naiwaitu shauma tasu’aa-i sunnatan lillaahi ta’aalaa.
Artinya: “Saya berniat puasa sunnah Tasu’a karena Allah Ta’ala.
3. Puasa Asyura
Puasa Asyura adalah puasa sunnah yang dilakukan pada tanggal 10 Muharram. Puasa ini merupakan salah satu puasa yang sangat dianjurkan di bulan Muharram. Puasa Asyura dikerjakan sebagai bentuk penghormatan terhadap kemenangan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan kaumnya dari kejaran Fir’aun.
Puasa Asyura 2025 jatuh pada Minggu, 6 Juli 2025. Adapun niat puasa Asyura adalah sebagai berikut, melansir dari Buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun karya Ustaz Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid:
نَوَيْتُ صَوْمَ عَاشُرَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى.
Arab Latin: Naiwaitu shauma ‘aasyura sunnatan lillaahi ta’aalaa.
Artinya: “Saya berniat puasa sunnah Asyura karena Allah Ta’ala.”
4. Puasa 11 Muharram
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan sejumlah ulama lainnya berpendapat bahwa disunnahkan berpuasa juga pada tanggal 11 Muharram, selain tanggal 9 (Tasu’a) dan 10 (Asyura). Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, melansir dari Buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun karya Ustaz Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid:
“Berpuasalah pada hari Asyura dan berbedalah dengan kaum Yahudi, dengan berpuasa satu hari sebelumnya dan satu hari sesudahnya.” (HR. Ahmad).
Arab Latin: Nawaitu shauma-sy-syahri-l-muharrami sunnata-lillâhi ta’âla.
Artinya: “Saya berniat puasa bulan Muharram sunnah karena Allah Ta’ala.”
5. Memperbanyak Istighfar
Di bulan Muharram, umat muslim juga dianjurkan untuk memperbanyak permohonan ampun kepada Allah SWT. Salah satu bacaan istighfar yang paling utama dan sangat dianjurkan adalah sayyidul istighfar. Rasulullah SAW bersabda, melansir dari buku Doa & Dzikir Sepanjang Tahun karya H Hamdan Hamedan, M A:
“Barang siapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni surga.” (HR. Bukhari no. 6.306)
Arab Latin: Allaahumma anta rabbii laa ilaaha illa anta khalaqtanii wa anaa ‘abduka wa anaa ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatha’tu. A-‘uudzu bika min syarri maa shana’tu abuu-u laka bini’matika ‘alayya wa abuu-u laka bi-dzanbii, faghfirlii fa innahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta.
Artinya: “Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Engkau. Engkau telah Menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji- Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui dosaku kepada- Mu dan aku akui nikmat-Mu kepadaku, maka ampunilah aku. Sebab, tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain-Mu.”
6. Puasa Ayyamul Bidh
Puasa Ayyamul Bidh adalah puasa sunnah yang dilakukan setiap tanggal 13, 14, dan 15 pada bulan Hijriah. Puasa ini merupakan salah satu amalan saleh yang dianjurkan untuk dilakukan secara rutin setiap bulan, termasuk di bulan Muharram.
Dalam sejumlah hadits, Rasulullah SAW menekankan keutamaan puasa Ayyamul Bidh. Salah satunya tertuang dalam wasiat beliau kepada sahabat Abu Hurairah RA, melansir dari laman MUI:
“Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Kekasihku (Rasulullah SAW) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak pernah meninggalkannya hingga aku mati, yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan (ayyamul bidh), mengerjakan sholat Dhuha, dan mengerjakan shalat Witir sebelum tidur.” (HR Bukhari no 1178)