Masalah Adalah Ujian Kehidupan, Ini Solusi Menurut Ustadz Adi Hidayat

Stylesphere – Dalam kehidupan, masalah adalah hal yang tidak bisa dihindari. Ia datang silih berganti—ketika satu selesai, yang lain muncul. Mungkin hari ini kita menghadapi persoalan pekerjaan, besok soal keluarga, dan seterusnya, hingga akhir hayat.

Namun, sebagai umat Muslim, kita diajarkan untuk melihat masalah bukan sebagai beban semata, melainkan sebagai ujian dari Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:

“Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS Al-Baqarah: 155)

Ayat ini menegaskan bahwa ujian adalah bagian dari sunnatullah—aturan hidup yang pasti terjadi. Setiap manusia akan diuji dengan berbagai bentuk kesulitan.

Menurut pendakwah kondang Ustadz Adi Hidayat (UAH), langkah pertama saat menghadapi masalah adalah menerima dengan sabar dan lapang dada. Sabar bukan berarti pasrah tanpa usaha, tapi bentuk kesiapan mental untuk menghadapi ujian dengan tenang dan yakin bahwa semua ada solusinya.

Dalam ceramahnya yang dibagikan oleh Stylesphere, UAH menyampaikan bahwa:

“Setiap masalah datang bersama solusinya. Allah tidak menurunkan ujian tanpa disertai jalan keluar.”

Ustadz Adi Hidayat menekankan bahwa kunci utama adalah kembali kepada Allah, memperbanyak doa, istighfar, dan memperbaiki hubungan dengan-Nya. Selain itu, ikhtiar atau usaha nyata untuk mencari jalan keluar juga wajib dilakukan.

Dengan memadukan kesabaran, doa, dan usaha, seorang muslim akan menemukan bahwa masalah bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari pertumbuhan dan kedewasaan spiritual.

Maka, saat masalah datang, jangan panik. Tenangkan hati, kuatkan iman, dan percayalah bahwa Allah sudah siapkan solusinya.

Rahmat Adalah Langkah Pertama Solusi dari Allah, Ini Penjelasan Ustadz Adi Hidayat

Dalam ceramahnya yang disampaikan melalui kanal YouTube Adi Hidayat Official, Kamis (22/5/2025), Ustadz Adi Hidayat (UAH) menekankan pentingnya kesabaran dan doa saat menghadapi masalah hidup. Ia menjelaskan bahwa ketika seorang hamba memohon kepada Allah untuk menghilangkan kesulitannya, maka rahmat Allah adalah hal pertama yang diberikan.

“Kalau kita terima dengan sabar dan kita minta kepada Allah, ‘Ya Allah, hilangkan masalah saya ini’, maka yang pertama Allah berikan adalah rahmat-Nya,” ujar UAH, merujuk pada QS Al-Baqarah ayat 157.

“اُولٰۤئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ”
Artinya: “Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah: 157)

UAH menjelaskan bahwa rahmat Allah merupakan bentuk terkabulnya doa, yang membawa solusi dari masalah yang tengah dihadapi. Ia menyebut bahwa rahmat bukan sekadar belas kasihan, melainkan bentuk pertolongan nyata dari Allah yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kemudahan, kekuatan hati, hingga jalan keluar yang tak disangka-sangka.

“Jadi kalau Bapak Ibu minta solusi kepada Allah, itu yang diberikan rahmat dulu. Rahmat itu adalah terkabulnya doa pada apa yang diinginkan,” lanjut UAH.

Dengan demikian, menghadapi masalah hidup bukan hanya soal mencari penyelesaian logis semata, tetapi juga menguatkan iman, bersabar, dan terus memohon rahmat serta petunjuk dari Allah SWT. Sebab, rahmat adalah awal dari segala solusi yang datang dari-Nya.

Ustadz Adi Hidayat: Masjid Adalah Tempat Meminta Solusi, Ini Doa yang Dianjurkan

Dalam salah satu ceramahnya, Ustadz Adi Hidayat (UAH) menyampaikan bahwa salah satu langkah utama untuk mendapatkan solusi dari setiap permasalahan hidup adalah dengan memperbanyak ibadah di masjid. Masjid, menurutnya, bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga tempat terbaik untuk mencurahkan isi hati kepada Allah dan memohon rahmat-Nya.

UAH menjelaskan bahwa ketika seorang Muslim memasuki masjid, ia dianjurkan membaca doa khusus yang mengandung permohonan akan rahmat Allah. Doa tersebut berbunyi:

اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
Allahummaftha lii abwaaba rahmatik
Artinya: “Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.” (HR. Muslim)

Mengapa disebut “pintu-pintu” rahmat (abwaab), bukan hanya satu pintu? UAH memberikan penjelasan yang menyentuh. “Karena ketika seseorang masuk ke masjid, kecenderungannya adalah ingin mencurahkan isi hatinya kepada Allah, ingin memohon sesuatu. Maka ia berkata, ‘Ya Allah, bukakan untukku banyak jalan menuju rahmat-Mu’,” jelasnya.

UAH juga menyinggung bagaimana para sahabat Nabi sangat dekat dengan masjid. Mereka biasa singgah ke masjid sebelum berangkat bekerja dan kembali mampir ke masjid sepulang dari aktivitasnya—sebelum pulang ke rumah.

“Makanya, jarang ada yang marah-marah setelah pulang kerja, karena aura yang dibawa itu adalah aura masjid,” tambah UAH.

Melalui kebiasaan ini, UAH mengajak umat Islam untuk kembali menjadikan masjid sebagai pusat spiritual dan tempat pelarian utama saat menghadapi berbagai persoalan hidup. Masjid bukan hanya tempat sholat, tetapi juga tempat mendapatkan ketenangan, rahmat, dan solusi dari Allah SWT.

Siapa yang Wajib Berkurban? Ini Batas Mampu dalam Ibadah Kurban Menurut Islam

Siapa yang Wajib Berkurban? Ini Batas Mampu dalam Ibadah Kurban Menurut Islam

Stylesphere – Pada bulan Dzulhijjah, terutama saat Hari Raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan ibadah kurban sebagai bentuk ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Anjuran ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah Al-Kautsar ayat 2:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
Artinya: Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

Meskipun ibadah kurban sangat dianjurkan, Islam tidak mewajibkan setiap orang untuk melaksanakannya. Ajaran Islam sangat memperhatikan kemampuan serta kondisi ekonomi individu, sehingga pelaksanaan ibadah kurban tidak dimaksudkan untuk memberatkan siapa pun.

Namun, sering muncul pemahaman keliru di tengah masyarakat bahwa ibadah kurban hanya ditujukan bagi mereka yang berkecukupan atau orang-orang kaya saja. Padahal, anggapan ini tidak sepenuhnya tepat. Islam memiliki kriteria yang jelas untuk menentukan siapa yang termasuk “mampu” dan karenanya disunnahkan untuk berkurban.

Batas Mampu Berkurban

Menurut penjelasan yang dikutip dari laman NU Online pada Selasa (20/5/2025), seseorang dikatakan mampu berkurban apabila ia memiliki kelebihan harta setelah mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya selama hari raya dan hari tasyrik. Artinya, seseorang tidak perlu menjadi orang kaya untuk bisa berkurban. Asalkan ada dana lebih, meskipun tidak besar, dan tidak mengganggu kebutuhan dasar, maka ia sudah termasuk kategori mampu.

Tidak Ada Paksaan

Bagi yang belum mampu, tidak ada kewajiban untuk memaksakan diri. Islam memberikan kelonggaran dan menilai niat serta kesungguhan hati dalam beribadah. Maka, yang terpenting adalah semangat beribadah dan keikhlasan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kapan Seseorang Dianggap Mampu Berkurban? Ini Penjelasan Imam Ibnu Hajar

Penjelasan mengenai batasan kemampuan dalam berkurban juga ditegaskan oleh ulama besar, Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), dalam karyanya Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj. Menurut beliau, seseorang dikatakan mampu berkurban jika ia memiliki kelebihan rezeki setelah mencukupi kebutuhan pokok diri dan keluarganya—seperti makanan dan pakaian—selama Hari Raya Idul Adha hingga tiga hari tasyrik berikutnya.

Imam Ibnu Hajar menjelaskan, karena kurban merupakan bentuk sedekah, maka seseorang yang ingin melakukannya harus sudah terbebas dari kebutuhan pribadi dan keluarganya terlebih dahulu.

Beliau menulis:

وَلَا بُدَّ أَنْ تَكُونَ فَاضِلَةً عَنْ حَاجَتِهِ وَحَاجَةِ مَنْ يُمَوِّنُهُ لِأَنَّهَا نَوْعُ صَدَقَةٍ

Artinya: “Dan (harta untuk berkurban) harus lebih dari kebutuhannya sendiri dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, karena kurban adalah bagian dari sedekah.” (Tuhfatul Muhtaj, Juz IV, hlm. 47).

Kesimpulan

Berdasarkan pendapat ini, batas mampu berkurban tidaklah diukur dari status ekonomi yang tinggi, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan pokok pribadi dan keluarga. Jika masih ada kelebihan rezeki setelah itu, maka ia termasuk orang yang mampu untuk berkurban. Sebaliknya, jika belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka ia tidak termasuk dalam golongan yang dibebani ibadah kurban.

Wallahu a’lam.

Hari Raya Idul Adha: Makna, Tradisi, dan Ucapan dalam Bahasa Inggris

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha, yang juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban, merupakan salah satu momen penting dalam kalender umat Islam yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan sosial. Perayaan ini memperingati ketaatan dan keteguhan Nabi Ibrahim AS dalam menjalankan perintah Allah SWT untuk mengorbankan putranya tercinta, yang kemudian digantikan oleh Allah dengan seekor domba sebagai wujud rahmat dan kasih sayang-Nya.

Di hari suci ini, umat Muslim di seluruh dunia menggelar salat Idul Adha secara berjamaah, menyembelih hewan kurban, dan membagikan dagingnya kepada keluarga, tetangga, serta mereka yang membutuhkan. Lebih dari sekadar pelaksanaan ibadah, Idul Adha merupakan ajang memperkuat semangat keikhlasan, empati sosial, dan kepedulian terhadap sesama.

Selain berkurban, salah satu cara memperingati Idul Adha yang tak kalah penting adalah dengan menyampaikan ucapan selamat. Memberikan ucapan Hari Raya Idul Adha dalam bahasa Inggris menjadi sarana untuk menebarkan pesan perdamaian, doa, dan kasih sayang yang dapat diterima oleh semua kalangan, tanpa batasan bahasa dan budaya.

Sebagai bentuk apresiasi dan inspirasi, berikut 60 contoh ucapan Idul Adha dalam bahasa Inggris lengkap dengan terjemahannya yang telah dihimpun oleh Stylesphere, Selasa (20/5/2025).

Ucapan Idul Adha Dalam Bahasa Inggris

  1. Eid Mubarak! May your sacrifices be accepted and your prayers answered. Selamat Hari Raya Idul Adha! Semoga pengorbananmu diterima dan doamu dikabulkan.
  2. Wishing you a joyous and peaceful Eid al-Adha! Semoga Idul Adha-mu penuh kebahagiaan dan kedamaian!
  3. Happy Eid al-Adha! May Allah shower His mercy on you and your loved ones. Selamat Idul Adha! Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu dan orang-orang tercintamu.
  4. May this blessed day bring happiness and peace to your heart. Eid Mubarak! Semoga hari yang diberkahi ini membawa kebahagiaan dan kedamaian di hatimu. Selamat Idul Adha!
  5. Eid al-Adha Mubarak! May this day inspire us all to be more compassionate. Selamat Idul Adha! Semoga hari ini menginspirasi kita untuk lebih berbelas kasih.
  6. Eid Mubarak to my dearest family! May our bond grow stronger through faith and sacrifice. Selamat Idul Adha untuk keluarga tercintaku! Semoga ikatan kita semakin kuat melalui iman dan pengorbanan.
  7. Wishing my beloved family a peaceful and blessed Eid al-Adha. Semoga keluarga tercintaku merayakan Idul Adha yang damai dan penuh berkah.
  8. On this sacred day, may our home be filled with warmth and gratitude. Eid Mubarak! Pada hari suci ini, semoga rumah kita dipenuhi kehangatan dan rasa syukur. Selamat Idul Adha!
  9. May Allah accept our Qurbani and strengthen the love in our family. Semoga Allah menerima kurban kita dan mempererat cinta dalam keluarga kita.
  10. Happy Eid to the family that completes me. I am blessed to have you all. Selamat Idul Adha untuk keluarga yang membuat hidupku lengkap. Aku diberkahi memiliki kalian.
  11. Eid Mubarak, my friend! May your day be as bright as your smile. Selamat Idul Adha, temanku! Semoga harimu secerah senyummu.
  12. Wishing you and your family an Eid full of peace and joy. Semoga kamu dan keluargamu merayakan Idul Adha yang penuh kedamaian dan kegembiraan.
  13. On this beautiful occasion, I pray for your success and happiness. Eid Mubarak! Pada kesempatan yang indah ini, aku berdoa untuk kesuksesan dan kebahagiaanmu. Selamat Idul Adha!
  14. Let’s celebrate Eid with a heart full of gratitude and a spirit full of kindness. Mari rayakan Idul Adha dengan hati yang penuh syukur dan semangat kebaikan.
  15. Eid al-Adha Mubarak, bestie! Hope your sacrifice brings immense reward. Selamat Idul Adha, sahabatku! Semoga pengorbananmu membawa pahala besar.

Ucapan idul Adha Sederhana Dalam Bahasa Inggris

  1. Eid Mubarak! Selamat Idul Adha!
  2. Happy Eid al-Adha! Selamat Idul Adha!
  3. Wishing you peace and joy today and always. Semoga kamu selalu dipenuhi kedamaian dan kebahagiaan.
  4. May your Eid be bright and blessed. Semoga Idul Adha-mu penuh cahaya dan berkah.
  5. Joyous Eid wishes to you and your loved ones! Ucapan Idul Adha yang penuh kebahagiaan untukmu dan orang-orang tercinta!
  6. Eid Mubarak, little star! May your smile shine brighter this Eid. Selamat Idul Adha, bintang kecil! Semoga senyummu bersinar lebih terang tahun ini.
  7. Enjoy the sweets, the toys, and the joy of Eid! Nikmati permen, mainan, dan kegembiraan Idul Adha!
  8. Eid al-Adha is more fun when celebrated with kids like you! Idul Adha lebih seru saat dirayakan bersama anak sepertimu!
  9. May this Eid bring lots of gifts and laughter to your day. Semoga Idul Adha ini membawa banyak hadiah dan tawa di harimu.
  10. Happy Eid, my dear child. You’re the reason every celebration is magical. Selamat Idul Adha, anakku tersayang. Kamu adalah alasan setiap perayaan terasa ajaib.
  11. Wishing you and your team a prosperous and peaceful Eid al-Adha. Semoga kamu dan timmu merayakan Idul Adha yang makmur dan damai.
  12. Eid Mubarak! May this holiday bring fresh inspiration to your goals. Selamat Idul Adha! Semoga liburan ini membawa inspirasi baru untuk tujuanmu.
  13. May your hard work be rewarded with blessings this Eid. Semoga kerja kerasmu dibalas dengan berkah di Idul Adha ini.
  14. Sending best wishes of success and peace on this Eid al-Adha. Kirimkan doa terbaik untuk kesuksesan dan kedamaian di Idul Adha ini.
  15. Happy Eid to a valued colleague and friend. Selamat Idul Adha untuk rekan kerja dan sahabat yang berharga.

Ucapan Hari Raya Idul Adha Untuk Pasangan

  1. Eid Mubarak, my love. You are my greatest blessing. Selamat Idul Adha, cintaku. Kamu adalah berkah terbesarku.
  2. May this Eid strengthen our bond and bring us endless happiness. Semoga Idul Adha ini memperkuat ikatan kita dan membawa kebahagiaan tiada henti.
  3. Your love makes every Eid more meaningful. Happy Eid, darling. Cintamu membuat setiap Idul Adha lebih bermakna. Selamat Idul Adha, sayang.
  4. Eid Mubarak to the one who makes my world brighter. Selamat Idul Adha untuk orang yang membuat duniaku lebih bersinar.
  5. Let’s cherish this Eid together and grow stronger in love and faith. Mari rayakan Idul Adha ini bersama dan tumbuh dalam cinta dan iman.
  6. May Allah bless you with health, wealth, and faith. Eid Mubarak! Semoga Allah memberkatimu dengan kesehatan, kekayaan, dan iman. Selamat Idul Adha!
  7. On this holy day, may all your prayers be answered. Di hari yang suci ini, semoga semua doamu dikabulkan.
  8. May your sacrifices bring you closer to Allah and His mercy. Semoga pengorbananmu mendekatkanmu kepada Allah dan rahmat-Nya.
  9. Eid Mubarak! May you always walk on the path of righteousness. Selamat Idul Adha! Semoga kamu selalu berada di jalan yang benar.
  10. Wishing you a heart filled with gratitude and faith this Eid. Semoga hatimu dipenuhi rasa syukur dan iman di Idul Adha ini.
  11. The true meaning of Eid lies in sharing and caring. Happy Eid al-Adha! Makna sejati Idul Adha terletak pada berbagi dan peduli. Selamat Idul Adha!
  12. Celebrate this Eid with a pure heart and open arms. Rayakan Idul Adha ini dengan hati yang tulus dan tangan terbuka.
  13. Eid al-Adha reminds us to give, forgive, and grow. Idul Adha mengingatkan kita untuk memberi, memaafkan, dan berkembang.
  14. May the story of Ibrahim inspire us to obey and trust Allah always. Semoga kisah Nabi Ibrahim menginspirasi kita untuk selalu taat dan percaya kepada Allah.
  15. Let your sacrifices reflect your love for the Creator. Biarlah pengorbananmu mencerminkan cintamu kepada Sang Pencipta.

Memahami Hukum Kurban: Sunnah atau Wajib? Penjelasan Buya Yahya

Stylesphere – Ibadah kurban merupakan salah satu amalan penting dalam Islam yang dilaksanakan setiap Hari Raya Iduladha, termasuk pada perayaan Iduladha 2025 mendatang. Meski demikian, masih banyak umat Muslim yang belum sepenuhnya memahami status hukum kurban, terutama terkait kapan kurban bersifat sunnah dan kapan bisa menjadi wajib.

Kebingungan sering muncul, terutama bagi mereka yang telah berniat untuk berkurban. Dalam ajaran Islam, khususnya menurut Mazhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas ulama (jumhur), hukum kurban pada dasarnya adalah sunnah muakkad. Artinya, kurban sangat dianjurkan tetapi tidak bersifat wajib bagi setiap Muslim.

Namun, ada kondisi tertentu yang dapat mengubah hukum kurban menjadi wajib, salah satunya adalah jika disertai dengan nazar.

Melalui tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @buyayahyaofficial, Minggu (18/05/2025), pendakwah kharismatik KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal dengan Buya Yahya, memberikan penjelasan rinci mengenai hal ini.

Menurut Buya Yahya, jika seseorang dengan tegas menyatakan niat nazar, misalnya dengan mengucapkan, “Aku nazar mau menyembelih kambing sebagai kurban,” maka kurban tersebut otomatis menjadi wajib.

Pernyataan ini dianggap sebagai janji yang mengikat secara syar’i dan tidak boleh diabaikan. Bahkan, Buya Yahya menegaskan bahwa apabila kurban dilakukan sebagai bentuk nazar, maka daging hewan kurban tersebut tidak boleh dimakan oleh orang yang berkurban maupun keluarganya, melainkan harus dibagikan seluruhnya kepada yang berhak menerimanya.

Dengan memahami perbedaan antara kurban yang bersifat sunnah dan yang menjadi wajib karena nazar, umat Muslim diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam berniat dan menjalankan ibadah kurban. Pengetahuan ini juga penting agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanaan dan pembagian kurban.

Bedakan Kurban Sunnah dan Kurban Nazar, Jangan Sampai Ibadah Jadi Beban

Menjelang Iduladha 2025, pemahaman umat Muslim terhadap hukum kurban kembali menjadi perhatian. Salah satu hal penting yang perlu diketahui adalah perbedaan antara kurban yang sunnah dan kurban yang wajib karena nazar. Hal ini disampaikan oleh pendakwah ternama Buya Yahya, melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial, Minggu (18/05/2025).

Menurut Buya Yahya, jika tidak ada niat nazar yang diucapkan secara jelas, maka ibadah kurban tetap berstatus sebagai sunnah muakkad. Dalam hal ini, orang yang berkurban boleh memakan sebagian daging kurbannya, serta membagikannya kepada tetangga, kerabat, dan fakir miskin.

“Selagi kurban itu sunnah, bukan nazar, maka orang yang berkurban boleh memakan dagingnya. Jangan sampai kurban yang seharusnya menjadi ibadah penuh berkah malah berubah menjadi beban,” tegas Buya Yahya.

Namun, berbeda halnya jika seseorang telah menyatakan nazar—misalnya dengan berkata “Saya nazar akan menyembelih kambing untuk kurban”—maka kurban tersebut menjadi wajib, dan ada konsekuensi yang harus ditanggung.

Dalam konteks ini, Buya Yahya mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati dalam mengucapkan niat nazar, karena nazar adalah janji kepada Allah yang harus ditepati. Sekali diucapkan, ia tidak bisa dicabut, dan pelaksanaannya memiliki aturan yang berbeda dengan kurban sunnah.

Jika kurban dilakukan sebagai nazar, maka seluruh bagian daging kurban wajib diberikan kepada fakir miskin. Orang yang berkurban maupun keluarganya tidak diperbolehkan mengonsumsinya, karena daging tersebut menjadi bentuk pemenuhan janji kepada Allah, bukan lagi sebagai ibadah sunnah yang bersifat fleksibel.

“Ini yang sering kali tidak dipahami oleh masyarakat, sehingga terjebak dalam anggapan bahwa kurban selalu wajib,” ujar Buya Yahya.

Dengan memahami perbedaan mendasar ini, umat Muslim diharapkan dapat menjalankan ibadah kurban dengan lebih tepat, tenang, dan penuh keberkahan, tanpa terbebani oleh kesalahpahaman dalam niat maupun pelaksanaannya.

Buya Yahya: Kurban Adalah Ibadah Berbagi, Bukan Beban

Buya Yahya kembali menegaskan pentingnya bijak dalam bernazar, terutama terkait ibadah kurban yang akan dijalankan umat Islam pada Iduladha 2025. Ia mengingatkan bahwa kebiasaan sebagian masyarakat yang mudah mengucapkan nazar tanpa pertimbangan matang dapat menimbulkan kewajiban berat yang justru membebani diri sendiri.

“Jangan mudah-mudah bernazar. Nazar itu janji kepada Allah. Sekali terucap, wajib ditunaikan,” kata Buya Yahya melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial.

Lebih lanjut, Buya menjelaskan bahwa kurban yang dilakukan tanpa nazar tetap berstatus sunnah muakkad, yakni ibadah yang sangat dianjurkan tetapi tidak wajib. Dalam kondisi ini, orang yang berkurban berhak menikmati sebagian daging kurban, serta membagikannya kepada tetangga, kerabat, dan fakir miskin. Hal ini menjadi sarana berbagi kebahagiaan dan mempererat tali persaudaraan antarwarga.

Terkait pembagian daging, Buya Yahya menyarankan agar fakir miskin tetap menjadi prioritas utama. Namun, menurutnya, tidak ada larangan bagi orang mampu menerima daging kurban, selama tujuannya adalah menjaga kebersamaan dan keharmonisan sosial.

“Kurban jangan sampai menjadi ibadah yang penuh tekanan. Selama tidak dinazarkan, tetaplah pada status sunnah. Jalani dengan ringan, ikhlas, dan gembira,” ujar Buya.

Ia juga menekankan bahwa inti dari kurban adalah niat ikhlas untuk berbagi, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Oleh karena itu, umat Islam diimbau untuk memahami hukum dan aturan seputar kurban, terutama terkait nazar, agar bisa melaksanakan ibadah ini dengan tenang dan penuh keberkahan.

Dengan penjelasan tersebut, Buya Yahya berharap masyarakat dapat menjalani ibadah kurban secara bijak, sadar, dan tidak terburu-buru dalam bernazar, sehingga kurban tetap menjadi ibadah yang membawa manfaat lahir dan batin.

Jangan Tergesa Nazar, Kurban Harus Dilakukan dengan Niat Tulus

Menjelang Hari Raya Idul adha 2025, pendakwah ternama Buya Yahya kembali menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam menjalankan ibadah kurban. Ia memperingatkan agar umat Islam tidak tergesa-gesa melafalkan nazar tanpa mempertimbangkan konsekuensinya secara matang.

“Nazar itu ikatan serius dengan Allah. Jika sudah terucap, maka wajib ditepati. Jangan sampai niat baik berubah menjadi beban hanya karena tidak paham hukum kurban,” ujar Buya Yahya dalam video yang tayang di kanal YouTube @buyayahyaofficial.

Menurut Buya, banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara kurban sunnah dan kurban yang menjadi wajib karena nazar. Kurban sunnah bersifat sangat dianjurkan namun tidak mengikat, sehingga pelaksananya boleh menikmati daging kurban dan membaginya kepada sesama. Sementara jika sudah dinazarkan, maka seluruh daging kurban wajib disedekahkan kepada fakir miskin, dan orang yang berkurban tidak boleh memakannya.

Di akhir penjelasannya, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk menjadikan kurban sebagai momen kebersamaan dan berbagi, bukan sumber perdebatan atau tekanan. Ia mengingatkan bahwa perbedaan pendapat soal hukum kurban tidak seharusnya menimbulkan perselisihan di tengah masyarakat.

“Kurban adalah simbol pengorbanan dan ketulusan. Laksanakanlah dengan hati yang lapang, niat yang murni, dan semangat berbagi,” pesannya.

Dengan pemahaman yang tepat mengenai hukum kurban, termasuk konsekuensi dari nazar, Buya Yahya berharap umat Islam bisa menjalani ibadah ini dengan lebih ikhlas, sadar, dan penuh keberkahan.

Semoga penjelasan ini menjadi pencerahan bagi masyarakat agar tidak lagi salah paham dan mampu melaksanakan kurban sesuai tuntunan agama, dengan niat tulus dan semangat persaudaraan.

Ini Syarat Seseorang Dikatakan Mampu Naik haji

Stylesphere – Setiap Muslim tentu memendam harapan besar untuk bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Menatap Ka’bah secara langsung, berdiri di Padang Arafah, serta berjalan mengelilingi Ka’bah dalam thawaf dan menempuh sa’i menjadi impian dan cita-cita jutaan umat Islam di seluruh dunia.

Namun, penting untuk dipahami bahwa ibadah haji tidak diwajibkan bagi semua orang. Hanya mereka yang memenuhi syarat “mampu” yang diwajibkan untuk melaksanakannya.

Sering kali, makna “mampu” ini disempitkan hanya pada aspek finansial. Banyak yang beranggapan bahwa selama seseorang memiliki uang yang cukup, maka ia dianggap telah memenuhi syarat wajib haji. Tetapi, benarkah sesederhana itu?

Dalam ajaran Islam, istilah “mampu” memiliki arti yang jauh lebih luas. Kemampuan untuk berhaji tidak hanya diukur dari seberapa besar tabungan atau berapa banyak aset yang dimiliki.

Ada berbagai aspek lain yang juga menjadi pertimbangan, seperti kondisi fisik, keamanan perjalanan, hingga tanggung jawab terhadap keluarga. Islam tidak akan pernah membebani umatnya dengan kewajiban yang berada di luar batas kemampuan mereka.

Penjelasan NU Online

Mengacu pada penjelasan dari NU Online, kemampuan (istitha’ah) menjadi salah satu syarat wajib dalam pelaksanaan ibadah haji. Artinya, bagi mereka yang tidak masuk dalam kategori mampu, maka kewajiban haji tidak berlaku baginya.

Hal ini ditegaskan secara langsung oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:

وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
(QS. Ali Imran: 97)

Para ulama kemudian mengelaborasi makna “mampu” dalam ayat tersebut dengan membaginya ke dalam dua bentuk kemampuan:

  1. Mampu berhaji secara langsung (dengan diri sendiri).
  2. Mampu berhaji dengan mewakilkan kepada orang lain (badal haji).

Untuk kategori pertama, yaitu seseorang yang mampu menunaikan ibadah haji dengan dirinya sendiri, ulama menyebutkan bahwa terdapat lima syarat utama yang harus dipenuhi agar seseorang dianggap benar-benar mampu. Penjelasan tentang kelima syarat tersebut akan memperjelas bahwa kemampuan berhaji tidak hanya dilihat dari segi materi, tetapi juga mencakup aspek fisik, keamanan, dan tanggung jawab lainnya.

Kesehatan Calon Jemaah

Menunaikan ibadah haji bukanlah perjalanan biasa. Ibadah ini menuntut kesiapan fisik dan mental karena rangkaian manasik yang padat dan menguras tenaga. Oleh karena itu, kesehatan jasmani menjadi syarat utama bagi mereka yang ingin berhaji secara langsung.

Seseorang yang mengalami kondisi seperti lumpuh, usia lanjut yang sangat renta, atau mengidap penyakit permanen yang membuatnya tidak sanggup menjalani aktivitas fisik yang berat maupun menempuh perjalanan jauh, tidak lagi masuk dalam kategori “mampu secara fisik”. Namun, jika ia memiliki kemampuan finansial, maka kewajiban berhaji tetap berlaku—dengan cara mengutus orang lain (badal haji) untuk menggantikan pelaksanaannya.

2. Memiliki Sarana Transportasi yang Memadai

Selain kesiapan fisik, kemampuan untuk mencapai Tanah Suci juga menjadi syarat penting. Dalam pandangan ulama, orang yang tinggal jauh dari Mekah—yakni lebih dari dua marhalah (sekitar 81 kilometer)—baru diwajibkan haji jika memiliki akses transportasi yang layak untuk mencapai lokasi ibadah, baik melalui kendaraan milik sendiri maupun dengan menyewa.

Hal ini juga berlaku untuk mereka yang tinggal relatif dekat, tetapi secara fisik tidak mampu menempuh jarak tersebut dengan berjalan kaki. Dalam konteks Indonesia, syarat ini bisa diterjemahkan sebagai kemampuan membiayai perjalanan dengan pesawat serta transportasi pendukung lainnya selama menjalankan seluruh prosesi ibadah haji.

3. Keamanan dalam Perjalanan

Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan ibadah haji adalah jaminan keamanan. Seorang Muslim hanya diwajibkan berhaji jika keselamatan jiwa, harta, dan kehormatannya terjamin sepanjang perjalanan dan selama berada di Tanah Suci. Apabila terdapat kondisi yang membahayakan seperti konflik bersenjata, maraknya aksi perampokan, atau cuaca ekstrem yang menghalangi perjalanan, maka kewajiban haji tidak berlaku sampai kondisi kembali aman dan memungkinkan.

4. Perempuan Harus Didampingi Suami, Mahram, atau Rombongan Terpercaya

Syariat Islam memberikan perhatian khusus terhadap keselamatan dan kenyamanan perempuan yang akan menunaikan haji. Oleh karena itu, seorang perempuan tidak diperbolehkan melakukan perjalanan jauh sendirian, termasuk untuk ibadah haji. Ia harus didampingi oleh suami, mahram (kerabat laki-laki yang haram dinikahi), atau rombongan perempuan yang dapat dipercaya. Jika tidak ada satu pun dari ketiganya yang bisa menemani, maka ia tidak termasuk dalam kategori wajib haji—karena syarat keamanan dan pendampingan belum terpenuhi.

5. Adanya Waktu yang Cukup untuk Menempuh Perjalanan Haji

Berbeda dengan umrah yang bisa dilakukan kapan saja, ibadah haji hanya bisa dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu dalam tahun hijriyah. Karena itu, syarat wajib haji juga mencakup adanya rentang waktu yang memungkinkan seseorang untuk melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya ke Mekah. Jika seseorang tidak memiliki cukup waktu untuk memulai dan menyelesaikan perjalanan serta rangkaian ibadah sesuai jadwal yang ditentukan, maka kewajiban haji belum berlaku baginya.

Memilih Memaafkan: Pandangan Buya Yahya tentang Pahala dan Akhirat

Stylesphere – Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada situasi di mana seseorang datang meminta maaf kepada kita, namun perasaan sakit hati atau kekecewaan membuat kita enggan memberikan maaf. Ini adalah hal yang sangat manusiawi. Namun, bagaimana dampaknya di akhirat kelak jika kita tetap memilih untuk tidak memaafkan?

Pertanyaan ini dijawab oleh pendakwah KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang akrab disapa Buya Yahya, dalam sebuah tayangan video yang diunggah melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Rabu, 14 Mei 2025.

Memaafkan: Bukan Kewajiban, Tapi Penuh Pahala

Buya Yahya menjelaskan bahwa memberi maaf memang bukan kewajiban mutlak. Seseorang yang tersakiti memiliki hak untuk tidak memaafkan, apalagi jika luka batin yang dirasakan sangat dalam. Namun, ia menekankan bahwa memaafkan adalah amalan mulia yang memiliki nilai pahala besar di sisi Allah SWT.

“Kalau ada orang yang sudah minta maaf kemudian tidak dimaafkan, itu bisa saja sah, tetapi lebih besar pahalanya jika orang tersebut memaafkan,” ujar Buya Yahya dengan penuh renungan.

Menurut beliau, sikap memaafkan adalah cerminan keluhuran akhlak. Meskipun secara syariat seseorang boleh saja menahan maaf, kedudukan orang yang mampu memaafkan jauh lebih tinggi di sisi Allah.

Dendam atau Pahala?

Buya Yahya mengajak kita untuk merenung, apakah mempertahankan sakit hati dan dendam akan membawa manfaat yang lebih besar dibandingkan pahala memaafkan? Ia menjelaskan bahwa walaupun seseorang tidak memaafkan hingga hari kiamat, itu tidak melanggar aturan agama. Namun, orang tersebut akan melewatkan peluang besar untuk meraih kemuliaan di sisi Allah SWT.

“Memang, kalau Anda dibuat orang berbuat salah kepada Anda, Anda belum memaafkan, itu sah. Tapi, pangkatnya rendah. Hebat lagi memaafkan di saat Anda tidak memaafkan sampai di akhirat,” tegas Buya Yahya.

Penutup

Memaafkan memang bukan perkara mudah, terlebih jika luka yang ditinggalkan sangat dalam. Namun, Islam mengajarkan bahwa kemuliaan akhlak salah satunya terletak pada kemampuan untuk memaafkan, bahkan ketika hati masih terasa perih. Memaafkan bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga demi kedamaian dan kemuliaan diri sendiri—di dunia dan akhirat.

Memaafkan Bukan Sekadar Kebaikan, Tapi Jalan Menuju Istana di Surga

Dalam penjelasannya, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk merenungkan makna memaafkan dari sudut pandang akhirat. Ia menggambarkan sebuah peristiwa menyentuh yang mungkin akan dialami oleh orang-orang yang enggan memberi maaf kepada sesama, meskipun permintaan maaf telah disampaikan.

Buya Yahya menyampaikan bahwa di akhirat kelak, orang yang tidak memaafkan akan diperlihatkan sebuah istana yang sangat megah. Saat ia bertanya tentang siapa pemilik istana tersebut, akan terdengar jawaban yang menyentuh hati: “Itu untukmu, jika kamu memaafkan.” Sebuah riwayat yang menggambarkan betapa luar biasanya pahala bagi orang yang mampu memaafkan.

“Di akhirat nanti, orang yang tidak memaafkan akan melihat istana yang sangat indah. Kemudian dia akan bertanya, ‘Itu istana kok hebat banget, untuk siapa?’ Jawabannya, ‘Untukmu, jika kamu memaafkan,’” tutur Buya Yahya.

Memaafkan adalah Pilihan yang Mengangkat Derajat

Buya Yahya menegaskan, meskipun seseorang telah berbuat salah dan memohon maaf namun belum dimaafkan, ia tetap bisa mendapatkan ampunan Allah apabila ia sungguh-sungguh bertaubat dan memperbaiki hubungannya dengan Sang Pencipta. Artinya, ampunan Allah tidak tertutup hanya karena masih ada luka yang belum sembuh di hati manusia lain.

Namun, bagi pihak yang menyimpan sakit hati dan enggan memberi maaf, Allah menawarkan imbalan luar biasa jika ia bersedia melepas dendam tersebut.

“Maka yang dendam tadi diiming-imingi, ‘Itu ada istana, kamu maafin nggak?’ Dan jika dia memaafkan, maka langsung dimaafkan dan memperoleh ganjaran istana di surga,” jelas Buya Yahya penuh harapan.

Lebih dari Sekadar Maaf: Ini Soal Hubungan dengan Allah

Pesan penting yang ditekankan Buya Yahya adalah bahwa memaafkan bukan hanya tentang hubungan antar manusia, tetapi juga soal kedekatan dengan Allah SWT. Ketika kita memaafkan, kita tidak hanya memberikan kelegaan bagi orang lain, tapi juga membebaskan diri sendiri dari beban emosi negatif.

Ia juga memberikan semangat bagi siapa saja yang telah meminta maaf dengan sungguh-sungguh agar tidak khawatir. Allah Maha Mengetahui isi hati setiap hamba-Nya dan akan membalas setiap ketulusan.

“Jangan khawatir, yang penting jika minta maaf, serius. Maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pesan Buya Yahya menenangkan.

Kesimpulan

Dari penjelasan Buya Yahya, kita diajak untuk memahami bahwa memaafkan adalah bentuk kebesaran jiwa. Balasannya bukan sekadar damai di dunia, tetapi juga kemuliaan yang abadi di akhirat. Maka, siapa pun kita—yang meminta atau memberi maaf—masing-masing memiliki jalan menuju ampunan dan cinta Allah. Jangan sia-siakan kesempatan itu hanya karena gengsi atau rasa sakit yang belum reda. Karena bisa jadi, di balik maaf yang kita berikan, tersimpan istana megah menanti kita di surga.

Memaafkan: Jalan Menuju Kedamaian dan Surga

Memaafkan bukan hanya tentang membebaskan orang lain dari kesalahan, tetapi juga membebaskan diri kita sendiri dari beban dendam dan kebencian. Ketika kita memaafkan, kita sebenarnya sedang berbuat baik untuk diri sendiri. Hati menjadi lebih ringan, pikiran lebih jernih, dan jiwa terasa damai.

Sebaliknya, jika kita terus menyimpan dendam, itu bisa menjadi beban yang memberatkan perjalanan kita, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti yang disampaikan oleh Buya Yahya, seseorang yang menolak untuk memaafkan meskipun telah dimintai maaf, bisa saja mengalami kerugian besar di akhirat—kehilangan pahala besar yang seharusnya bisa ia raih.

Memaafkan adalah cerminan kasih sayang yang tulus. Dalam memaafkan, kita memberi orang lain kesempatan untuk memperbaiki diri, sekaligus membuka jalan bagi diri kita sendiri untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Ini bukan perkara sepele, karena mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan utama hidup seorang Muslim.

Di akhirat kelak, setiap bentuk ampunan dan kebaikan yang kita berikan di dunia akan diganjar dengan balasan yang luar biasa. Maka, memberi maaf adalah salah satu bentuk amal paling mulia, yang pahalanya tak ternilai.

Sebagai penutup, Buya Yahya mengingatkan kita agar jangan pernah meremehkan kekuatan dari sebuah permintaan maaf, dan terlebih lagi—kekuatan dalam memberi maaf. Meski berat, memaafkan adalah pilihan yang akan membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik, hati yang lebih lapang, dan keberkahan yang lebih luas.

Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mudah memaafkan, sehingga bisa memperoleh ganjaran istana di surga, seperti yang dijanjikan bagi mereka yang mengikhlaskan. Karena sejatinya, memaafkan adalah amal yang paling tinggi nilainya, dan menjadi tanda keluhuran jiwa seorang hamba yang berharap ridha Tuhannya.

Benarkah Setiap Bayi Lahir Didampingi Dua Jin dan Dua Malaikat? Ini Penjelasan Islam

Stylesphere – Di tengah masyarakat, berkembang berbagai keyakinan mengenai proses kelahiran bayi. Salah satu yang sering dipercayai adalah bahwa setiap bayi yang lahir disertai dua jin dan dua malaikat. Keyakinan ini kerap menimbulkan pertanyaan dan kebingungan di kalangan umat Islam.

Lantas, benarkah anggapan tersebut memiliki dasar dalam ajaran Islam?

Dikutip dari Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah – KTB, Minggu (11/5/2025), disebutkan bahwa pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar menurut ajaran agama. Islam memang mengajarkan bahwa manusia memiliki pendamping dari kalangan jin dan malaikat, tetapi tidak secara spesifik menyebutkan jumlah “dua jin dan dua malaikat” saat kelahiran.

Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Tidak seorang pun dari kalian melainkan telah didampingi oleh qorin (pendamping) dari kalangan jin dan dari kalangan malaikat.”
Para sahabat bertanya, “Apakah engkau juga, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Ya, aku juga demikian. Tetapi Allah telah menolongku atas qorinku itu, maka dia masuk Islam dan tidak mengajakku kecuali kepada kebaikan.”
(HR Muslim)

Dari hadis tersebut, dapat dipahami bahwa setiap manusia memiliki pendamping, yaitu qorin dari kalangan jin dan malaikat yang membimbing kepada kebaikan. Namun, tidak ada dalil yang menyebutkan secara khusus bahwa jumlahnya dua jin dan dua malaikat pada saat kelahiran.

Dengan demikian, kepercayaan bahwa bayi dilahirkan bersama dua jin dan dua malaikat tidak memiliki dasar kuat dalam hadis atau Al-Qur’an. Yang benar adalah setiap orang memiliki satu qorin dari jin dan satu dari malaikat, yang menyertainya dalam kehidupan, bukan semata-mata pada saat kelahiran

Qorin dalam Islam: Pendamping Manusia dari Jin dan Malaikat

Dalam pandangan para ulama, setiap manusia sejak lahir telah memiliki dua pendamping spiritual, yaitu qorin dari golongan jin dan qorin dari golongan malaikat. Keduanya memiliki peran yang sangat berbeda dalam kehidupan manusia.

Qorin dari Golongan Jin: Was Was

Qorin dari jin adalah makhluk gaib yang selalu menyertai manusia sepanjang hidupnya. Ia dikenal dengan nama Was Was, yang merupakan salah satu anak dari iblis. Jin ini memiliki misi khusus, yaitu menggoda dan menyesatkan manusia dari jalan kebenaran.

Was Was hadir sejak manusia dilahirkan, dan terus membisikkan kejahatan, mendorong manusia pada perbuatan maksiat, keburukan, dan kelalaian dari perintah Allah. Ia adalah sumber dari bisikan jahat yang sering dirasakan manusia, baik dalam keadaan sadar maupun tidak.

Qorin dari Golongan Malaikat: Mulhim

Berbeda dengan jin, qorin dari malaikat disebut Mulhim. Malaikat ini bertugas untuk mengarahkan manusia kepada kebaikan, memberi ilham positif, dan mendorong untuk menjauhi perbuatan dosa.

Mulhim tidak memaksa, namun kehadirannya memberikan pengaruh yang menuntun manusia untuk berpikir, berkata, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan ketakwaan.

Kesimpulan: Bukan Dua Jin dan Dua Malaikat

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa jumlah pendamping spiritual manusia hanyalah satu jin dan satu malaikat, bukan dua dari masing-masing seperti yang kadang diyakini sebagian masyarakat. Tidak ada dalil sahih yang menyebutkan adanya dua jin dan dua malaikat yang hadir saat bayi lahir.

Keberadaan qorin bukan hanya terbatas pada saat kelahiran, melainkan menyertai manusia seumur hidupnya. Kedua pendamping ini memainkan peran penting sebagai pengaruh—satu menggoda ke jalan sesat, satu membimbing ke jalan lurus.

Memahami Peran Qorin dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam keseharian, keberadaan qorin—pendamping dari golongan jin dan malaikat—sering kali tidak disadari oleh manusia. Padahal, mereka memiliki peran penting dalam memengaruhi pikiran dan perilaku manusia.

Ilham Kebaikan dan Bisikan Keburukan

Ketika seseorang terdorong untuk melakukan kebaikan dengan tulus, hal itu diyakini sebagai ilham dari malaikat Mulhim, qorin dari golongan malaikat. Sebaliknya, bisikan yang mengarah pada keraguan, keburukan, atau maksiat, biasanya datang dari jin Was Was, qorin dari golongan jin yang bertugas menggoda manusia.

Para ulama menekankan pentingnya memperkuat keimanan dan ketakwaan agar manusia lebih cenderung mengikuti ajakan kebaikan dari malaikat, bukan bisikan jahat dari jin.

Zikir dan Doa Sebagai Perlindungan

Salah satu cara efektif untuk melindungi diri dari pengaruh buruk jin adalah dengan memperbanyak zikir dan doa. Ibadah yang konsisten akan memperkuat hati dan pikiran, menjadikan seseorang lebih tahan terhadap godaan syaitan.

Rasulullah SAW sendiri bersabda bahwa beliau juga memiliki qorin dari jin. Namun, berkat pertolongan Allah, qorin tersebut telah masuk Islam dan tidak lagi mengajaknya kepada keburukan. Ini menunjukkan bahwa iman yang kuat dapat menundukkan godaan jin.

Luruskan Pemahaman yang Keliru

Seringkali beredar keyakinan bahwa bayi yang lahir didampingi oleh dua jin dan dua malaikat, padahal yang benar menurut dalil sahih adalah satu jin dan satu malaikat. Hadis riwayat Imam Muslim menegaskan hal ini, dan umat Islam sebaiknya berpegang pada keterangan yang sahih serta menghindari spekulasi yang tidak berdasar.

Jaga Hati dan Pikiran

Untuk menangkal pengaruh buruk jin Was Was, penting bagi setiap Muslim untuk menjaga hati dan pikiran. Ketika muncul keraguan atau dorongan melakukan dosa, segera mohon perlindungan kepada Allah SWT. Kesadaran akan kehadiran qorin seharusnya menjadi pengingat untuk senantiasa waspada dalam setiap ucapan dan perbuatan.

Penutup

Dengan memahami peran qorin secara benar, umat Islam dapat lebih bijak menyikapi pengaruh spiritual dalam kehidupannya. Keimanan, ibadah yang rutin, dan pemahaman agama yang sahih akan menjadi benteng utama dari godaan syaitan.

Wallahu a’lam bish-shawab — hanya Allah yang Maha Mengetahui segala rahasia kehidupan.

Misteri Keberadaan Malaikat Raqib dan Atid, Pencatat Amal Manusia

Stylesphere – Keberadaan malaikat Raqib dan Atid, yang bertugas mencatat amal baik dan buruk manusia, masih menjadi topik menarik di kalangan umat Islam. Meski dikenal luas melalui ajaran agama, letak pasti dari kedua malaikat ini tidak pernah dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an maupun hadis.

Banyak yang bertanya-tanya: Apakah malaikat Raqib dan Atid berada di tempat yang tetap atau berpindah-pindah? Apakah keduanya berada di satu sisi tubuh manusia, atau masing-masing memiliki posisi tertentu?

Perbedaan pandangan pun muncul di kalangan para ulama. Ada yang berpendapat bahwa Raqib dan Atid berada di sisi kanan dan kiri manusia—Raqib di kanan untuk mencatat amal baik, dan Atid di kiri untuk mencatat amal buruk. Namun, pendapat ini pun tidak bersifat mutlak, karena posisi mereka bukanlah sesuatu yang dijelaskan secara rinci dalam ajaran Islam.

Pembahasan ini dikutip dari Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah – KTB pada Minggu (11/5/2025), yang menegaskan bahwa keberadaan malaikat ini termasuk dalam perkara ghaib yang hanya diketahui hakikatnya oleh Allah SWT.

Sebagai penguat, disebutkan dalam Al-Qur’an surat Qaf ayat 18:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Raqib dan Atid.”

Ayat ini menunjukkan bahwa kedua malaikat tersebut selalu berada “di dekatnya,” yakni dekat dengan manusia, dan tidak ada satu pun ucapan atau perbuatan yang luput dari pengawasan mereka.

Oleh karena itu, meskipun keberadaan pastinya tidak bisa dipastikan secara fisik, umat Islam meyakini bahwa Raqib dan Atid selalu menyertai manusia setiap saat. Keyakinan ini menjadi pengingat agar selalu menjaga perilaku dan perkataan, karena semua akan dicatat dan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Beragam Pandangan tentang Lokasi Malaikat Raqib dan Atid

Keberadaan malaikat Raqib dan Atid, dua makhluk Allah yang bertugas mencatat amal baik dan buruk manusia, menjadi pembahasan menarik dalam literatur keislaman. Para ulama dari berbagai generasi telah mengemukakan pendapat berbeda mengenai posisi kedua malaikat ini, meski semua sepakat bahwa mereka selalu dekat dengan manusia.

Imam Ad-Dhohak dan Al-Hasan menjelaskan bahwa malaikat Raqib dan Atid berada di bawah gigi geraham, tepatnya di atas tenggorokan. Letak ini menunjukkan kedekatan mereka dengan mulut, tempat ucapan manusia keluar dan menjadi bagian penting dari amal yang dicatat.

Riwayat lain, yang lebih populer di kalangan umat Islam, menyebutkan bahwa malaikat pencatat amal baik berada di sebelah kanan manusia, sementara pencatat amal buruk berada di sebelah kiri. Pandangan ini menekankan simbolisme antara kebaikan dan keburukan yang menyertai setiap langkah hidup manusia.

Dalam kitab Nuruzh Zholam halaman 19, disebutkan bahwa kedua malaikat itu masing-masing bernama Raqib dan Atid. Beberapa ulama, seperti Syekh al-Bajuri dan Jalal al-Mahalli, menjelaskan bahwa meskipun namanya terdengar sebagai satu kesatuan, sebenarnya mereka adalah dua malaikat berbeda dengan tugas yang spesifik.

Pendapat lain yang tak kalah menarik menyebut bahwa posisi mereka berada di pojok gigi geraham kanan dan kiri. Ini menegaskan kedekatan mereka dengan ucapan, sebagai aspek penting dari amal manusia.

Ada juga pandangan yang menyatakan bahwa Raqib dan Atid berada di kedua pundak manusia. Simbol ini menggambarkan keseimbangan catatan amal yang selalu mengikuti manusia ke mana pun mereka pergi.

Beberapa riwayat lain menyebut posisi mereka berada di janggut atau bahkan di bibir manusia. Meski tampak simbolis, makna di balik pandangan ini tetap sama: bahwa segala yang diucapkan dan dilakukan manusia selalu dalam pantauan dua malaikat tersebut.

Dengan beragam pandangan tersebut, umat Islam diajak untuk menyadari bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, tak pernah luput dari catatan. Ini menjadi pengingat agar senantiasa menjaga lisan, niat, dan perbuatan demi menggapai ridha Allah SWT.

Posisi Malaikat Roqib dan Atid: Fleksibel Sesuai Keadaan Manusia

Menurut Mujahid, posisi malaikat Roqib dan Atid bisa berubah-ubah tergantung kondisi seseorang. Saat seseorang duduk, salah satu malaikat berada di depan dan yang lainnya di belakang. Sementara saat tidur, satu berada di sisi kepala, dan satunya lagi di dekat kaki.

Pandangan ini menunjukkan bahwa malaikat pencatat amal tersebut tidak menempati posisi tetap, melainkan menyesuaikan diri dengan keadaan manusia. Ini mengisyaratkan kesiapsiagaan mereka dalam mencatat setiap perbuatan manusia, kapan pun dan di mana pun.

Syekh al-Bajuri menanggapi hal ini dengan sikap hati-hati. Ia menyebutkan bahwa masalah lokasi malaikat adalah bagian dari perkara gaib yang tidak bisa dipastikan secara mutlak. Oleh karena itu, beliau menyarankan agar bersikap tawaqquf—tidak mengambil kesimpulan tegas—karena hanya Allah SWT yang mengetahui hakikat sebenarnya.

Meski posisi malaikat tidak diketahui secara pasti, yang paling penting adalah keyakinan bahwa Roqib dan Atid senantiasa mencatat setiap amal, baik yang tampak maupun tersembunyi. Kesadaran ini seharusnya mendorong setiap Muslim untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan berkata.

Dengan demikian, meski posisi malaikat Roqib dan Atid tetap menjadi misteri Ilahi, yang utama adalah menjaga amal perbuatan. Sebab, semua akan dimintai pertanggungjawaban kelak.

Wallahu a’lam – hanya Allah yang Maha Mengetahui.

Haji: Ibadah Penuh Pengorbanan dan Hikmah Mendalam

Stylesphere – Menunaikan ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu, baik secara finansial, fisik, maupun mental. Pada tahun 1446 H/2025 M, pemerintah bersama DPR telah menetapkan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp89.410.258,79 dengan asumsi nilai tukar dolar AS sebesar Rp16.000. Jumlah tersebut tentu bukan angka yang kecil dan menjadi pengorbanan besar bagi banyak calon jemaah.

Meski mahal, semangat umat Islam untuk menunaikan Rukun Islam kelima tetap tinggi. Tak sedikit masyarakat dengan pekerjaan sederhana seperti buruh, yang dengan penuh tekad menabung sedikit demi sedikit demi bisa berangkat ke Tanah Suci. Ini membuktikan bahwa haji bukan sekadar soal materi, tapi juga soal niat dan kesungguhan hati.

Perlu diketahui bahwa haji hanya diwajibkan bagi mereka yang memenuhi syarat kemampuan. Kemampuan ini tidak hanya dalam hal keuangan, tapi juga kesehatan jasmani dan kesiapan mental. Bagi yang belum mampu, kewajiban tersebut belum berlaku dan tidak mendatangkan dosa.

Di balik ibadah haji, tersimpan banyak kisah penuh pelajaran. Salah satunya berasal dari kitab Irsyadul ‘Ibad, yang menggambarkan nilai-nilai luhur dari ibadah ini. Kisah ini menjadi pengingat bagi siapa pun yang akan atau sudah menunaikan haji, baik untuk pertama kali maupun yang sudah berulang.

Haji bukan hanya perjalanan fisik menuju Mekah, tetapi juga perjalanan spiritual untuk membersihkan diri dan memperbarui tekad dalam menjalani kehidupan. Kisah-kisah semacam ini menjadi cermin bahwa haji sejati tidak hanya tercermin dalam perjalanan, tetapi juga dalam perubahan akhlak dan keikhlasan hati setelahnya.

Pelajaran dari Dua Haji yang Gugur Karena Riya’

Dalam sebuah kisah yang diriwayatkan dari ulama besar Sufyan ats-Tsauri, terdapat pelajaran berharga tentang keikhlasan dalam beribadah, khususnya dalam menunaikan haji.

Suatu ketika, Sufyan ats-Tsauri bersama beberapa kawannya dijamu oleh seorang laki-laki. Lelaki tersebut kemudian memanggil istrinya dan berkata, “Berikanlah hidangan yang kamu bawa dari haji yang kedua, bukan yang pertama.” Permintaan itu terdengar biasa saja, namun memiliki makna tersirat yang dalam: ia ingin menunjukkan kepada tamunya bahwa dirinya telah menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali.

Ucapan itu langsung ditanggapi oleh Sufyan ats-Tsauri dengan penuh keprihatinan. “Sungguh kasihan orang ini. Dengan perkataannya itu, ia telah menghapus pahala dua hajinya. Semoga Allah menyelamatkan kita dari riya’,” ujar beliau.

Pernyataan tersebut mengandung pelajaran besar bagi umat Islam: ibadah yang dilakukan dengan niat tidak tulus, terutama karena ingin dipuji atau dilihat orang lain (riya’), dapat menggugurkan seluruh pahala yang telah susah payah diraih. Bahkan, amalan sebesar ibadah haji pun tak bernilai jika tidak didasari oleh keikhlasan.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap ibadah, sekecil apa pun, harus dilandasi dengan niat yang bersih dan ikhlas karena Allah semata. Sebab, hanya amalan yang murni dari hati yang akan diterima dan diberi ganjaran oleh-Nya.

Ibadah Haji dan Bahaya Riya’

Haji merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang menjadi salah satu pilar utama dalam Islam. Namun, ibadah agung ini akan menjadi sia-sia apabila tidak dilandasi dengan niat yang tulus semata-mata karena Allah. Rasulullah SAW telah memberi peringatan agar umatnya berhati-hati terhadap penyakit hati bernama riya’, yaitu melakukan ibadah bukan untuk Allah, melainkan untuk dilihat, dipuji, atau diakui manusia.

Dalam sebuah hadits riwayat Adz-Dzahabi, diceritakan bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “Apa itu keselamatan pada hari esok (hari kiamat)?” Nabi menjawab, “Ketika kamu tidak menipu Allah.” Lelaki itu bertanya lagi, “Bagaimana kita menipu Allah?” Rasulullah menjelaskan, “Yaitu ketika kamu menunaikan perintah Allah dan rasul-Nya namun kamu bertujuan untuk selain ridha Allah. Berhati-hatilah dari riya’ karena sesungguhnya ia termasuk kategori syirik kepada Allah.”

Riya’ adalah salah satu bentuk syirik kecil yang bisa menghapus pahala amal kebaikan. Nabi SAW bahkan menyebutkan bahwa pada hari kiamat, orang-orang yang berbuat riya’ akan dipanggil dengan empat panggilan yang menghinakan: kafir, durhaka (fâjir), cedera (ghâdir), dan merugi (khâsir). Mereka akan diperintahkan untuk meminta pahala kepada orang-orang yang menjadi tujuan mereka dalam beribadah: “Ambillah pahala dari orang-orang yang menjadi tujuan amalmu, wahai penipu diri sendiri.”

Dalam kitab Irsyâdul ‘Ibâd, juga diceritakan bahwa ketika seorang imam ditanya, “Siapakah orang yang ikhlas?” Ia menjawab, “Orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukannya.” Artinya, orang yang benar-benar ikhlas tidak memperlihatkan amalnya kepada siapa pun, sebagaimana ia juga tidak ingin orang lain mengetahui dosa-dosanya.

Semoga kita semua dijauhkan dari penyakit riya’, khususnya saat melaksanakan ibadah sebesar haji. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT dengan penuh keikhlasan. Wallahu a’lam.

Paus dan Khalifah: Dua Wajah Kepemimpinan Agama dalam Sejarah Umat Manusia

Stylesphere – Dunia baru saja menyaksikan momen bersejarah dalam Gereja Katolik dengan terpilihnya Paus Leo XIV, seorang kardinal asal Amerika Serikat, sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik pada Kamis malam (9/5/2025), waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus baru ini menandai simbol kuat kepemimpinan agama yang serupa dengan peran kekhalifahan dalam Islam pada masanya.

Meskipun Paus dan Khalifah memiliki bentuk serta sejarah yang berbeda, keduanya memiliki kedudukan sebagai simbol tertinggi kepemimpinan umat, dengan peran yang melampaui sekadar urusan keagamaan. Kepemimpinan ini bukan hanya berbicara tentang ajaran agama, tetapi juga tentang identitas, kekuasaan, warisan peradaban, dan arahan masa depan umat manusia.

Untuk memahami lebih jauh, mari kita telaah dua wajah kepemimpinan agama terbesar dalam sejarah umat manusia, dengan tinjauan dari perspektif sejarah, teologi, sosiologi, dan struktur kekuasaan yang melingkupinya.

Dua Pilar Kepemimpinan Agama Dalam Sejarah

Kepemimpinan spiritual dalam dua agama besar dunia, Katolik dan Islam, memiliki akar sejarah dan peran yang kuat membentuk peradaban. Kepausan dan kekhalifahan masing-masing menjadi simbol utama otoritas agama, meski berkembang dalam konteks yang berbeda.

Asal-usul Kepemimpinan

Dalam tradisi Katolik, kepausan berakar dari keyakinan bahwa Rasul Petrus, murid utama Yesus Kristus, ditunjuk sebagai pemimpin Gereja pertama. Konsep Penerus Petrus menjadi dasar keberadaan Paus sebagai otoritas tertinggi dalam Gereja Katolik Roma.

Di sisi lain, kekhalifahan muncul pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW pada 632 Masehi. Karena Nabi tidak meninggalkan wasiat eksplisit tentang pengganti, para sahabat sepakat memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama. Inilah awal dari masa Khulafaur Rasyidin, dan fondasi sistem kepemimpinan umat Islam untuk meneruskan fungsi politik dan administratif Nabi.

Peran Sosial dan Politik

Paus, di luar peran rohani, juga pernah menjadi tokoh politik berpengaruh. Dalam sejarah Eropa abad pertengahan, Paus kerap menjadi penentu dalam urusan kerajaan, perang salib, hingga konflik antarnegara.

Khalifah, sebaliknya, memegang kekuasaan menyeluruh: politik, agama, hingga militer. Pada masa Abbasiyah atau Utsmaniyah, khalifah bukan sekadar pemimpin spiritual, melainkan kepala negara yang memimpin peradaban besar dengan kontribusi luas dalam ilmu pengetahuan, budaya, dan hukum Islam.

Struktur dan Organisasi

Gereja Katolik memiliki struktur hierarkis yang sangat terpusat. Paus memegang kendali tertinggi, diikuti para Uskup, Imam, dan Diakon yang tersebar di seluruh dunia dengan sistem yang seragam.

Berbeda dengan itu, kekhalifahan bersifat lebih dinamis dan adaptif terhadap zamannya. Awalnya bersifat musyawarah, kemudian berubah menjadi sistem dinasti seperti Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Masing-masing menerapkan model pemerintahan dengan tingkat sentralisasi dan birokrasi yang berbeda-beda, bergantung pada wilayah dan kebutuhan geopolitik saat itu.

Dengan dua tradisi besar ini, jelas bahwa baik kepausan maupun kekhalifahan memainkan peran penting dalam membentuk wajah dunia—bukan hanya secara spiritual, tetapi juga secara sosial, budaya, dan politik. Apakah kamu tertarik dengan perbandingan aspek lainnya, seperti peran pendidikan atau hubungan antaragama?

Akhir Kekhalifahan dan Keberlangsungan Kepausan

Kekhalifahan Islam secara resmi dibubarkan pada tahun 1924 oleh Kemal Atatürk, sebagai bagian dari agenda sekularisasi dan modernisasi di Turki. Dengan penghapusan lembaga ini, berakhir pula satu-satunya institusi yang secara historis mengklaim kepemimpinan atas seluruh umat Islam.

Meskipun demikian, kerinduan terhadap kekhalifahan masih kerap muncul dalam diskusi-diskusi keislaman kontemporer. Wacana ini menunjukkan adanya kebutuhan sebagian umat untuk melihat representasi politik dari identitas keagamaan mereka, meski tidak lagi dalam bentuk struktural seperti masa lalu.

Sebaliknya, kepausan sebagai lembaga kepemimpinan spiritual umat Katolik tetap bertahan hingga hari ini. Vatikan, sebagai negara merdeka terkecil di dunia, menjadi pusat otoritas keagamaan bagi lebih dari satu miliar umat Katolik di seluruh dunia.

Kesimpulan

Baik Paus maupun Khalifah mencerminkan dua model kepemimpinan religius yang menunjukkan bagaimana agama pernah—dan masih—terintegrasi ke dalam struktur sosial dan politik. Meskipun berbeda dari segi konsep, peran, dan sejarah, keduanya memperlihatkan bahwa kepemimpinan agama memiliki daya pengaruh besar dalam membentuk arah dan wajah peradaban.

Memahami dua institusi ini tidak hanya memperkaya pengetahuan sejarah, tetapi juga memberi wawasan lebih luas tentang interaksi antara agama, kekuasaan, dan budaya dalam konteks global.