Bolehkah Berdoa untuk Wafat di Tanah Suci? Ini Penjelasannya

Stylesphere – Makkah dan Madinah merupakan dua kota suci yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Makkah adalah tempat kelahiran Rasulullah SAW dan lokasi Ka’bah, kiblat seluruh umat Islam. Sementara itu, Madinah menjadi saksi perjuangan besar Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat dalam menyebarkan risalah Islam.

Tak mengherankan jika banyak umat Muslim merindukan kedua kota ini, bukan hanya untuk dikunjungi dalam ibadah haji atau umrah, tetapi juga untuk bisa menetap hingga akhir hayat. Harapan untuk menghembuskan napas terakhir di Tanah Suci menjadi cita-cita mulia bagi sebagian orang, karena diyakini mendatangkan kemuliaan akhir hayat serta rahmat Allah SWT yang melimpah.

Keinginan ini sering kali diwujudkan dalam bentuk doa yang khusyuk, dipanjatkan di sela-sela ibadah, atau dalam sujud panjang penuh harap. Bahkan, sebagian orang meyakini bahwa wafat di Tanah Suci dapat mengantarkan pada keutamaan mati syahid, sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat.

Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang berdoa agar wafat di Tanah Suci? Apakah permohonan seperti ini sesuai dengan ajaran tawakal?

Dalam Islam, tidak ada larangan untuk memohon kepada Allah agar diwafatkan di tempat yang mulia. Rasulullah SAW sendiri pernah mendoakan Umar bin Khattab agar syahid di jalan Allah dan wafat di Madinah. Hal ini menunjukkan bahwa memohon tempat kematian yang penuh keberkahan bukanlah bentuk kurang tawakal, tetapi bagian dari harapan seorang hamba akan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik).

Tawakal tidak berarti pasrah tanpa harapan, tetapi berusaha dan berdoa, sambil menyerahkan hasil sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Maka, memanjatkan doa agar diwafatkan di Makkah atau Madinah adalah bentuk keinginan akan kebaikan akhir hidup, yang tentu dibolehkan selama disertai niat tulus dan keyakinan bahwa segala takdir berada di tangan-Nya.

Hukum Berdoa Agar Wafat di Tanah Suci: Antara Sunnah dan Tawakal

Keinginan untuk wafat di Tanah Suci, seperti Makkah atau Madinah, adalah harapan mulia yang dimiliki banyak umat Islam. Harapan ini lahir dari keyakinan bahwa wafat di tempat yang suci merupakan tanda husnul khatimah dan mengandung keutamaan besar. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap doa semacam ini?

Mengutip dari laman muslim.or.id, para ulama menyebutkan bahwa hukum berdoa agar diwafatkan di tempat yang mulia adalah sunnah. Tanah Suci Makkah dan Madinah termasuk dalam kategori tempat yang mulia, sehingga tidak mengapa bahkan dianjurkan untuk memohon kepada Allah agar diwafatkan di sana.

Salah satu dalil utama yang mendasari anjuran ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah di sana. Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang mati di sana.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan keutamaan besar bagi mereka yang wafat di kota Madinah. Namun, para ulama menekankan bahwa maksud dari hadis ini bukanlah mengusahakan kematian secara tidak wajar atau dengan tindakan yang membahayakan diri.

Sebagaimana dijelaskan oleh At-Tibiy dalam Tuhfatul Ahwadzi (10/286):

“Perintah agar meninggal di Madinah bukanlah dengan usaha sendiri, tetapi kembali kepada kehendak Allah. Hendaknya seseorang tetap bertahan tinggal di Madinah dan berusaha tidak meninggalkannya.”

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (9/151). Beliau menyebut bahwa hadis tersebut menjadi dalil kuat tentang keutamaan tinggal di kota Madinah dan bersabar atas segala ujian serta kesulitan yang mungkin dihadapi di sana. Keutamaan tersebut berlaku hingga hari kiamat.

Bahkan, dalam Al-Majmu’ (5/106), Imam An-Nawawi menegaskan:

“Disunnahkan meminta kematian di tanah yang mulia.”

Dengan demikian, berdoa agar wafat di Tanah Suci adalah amalan yang dianjurkan dalam Islam. Selama dilakukan dengan niat yang tulus, tanpa melanggar syariat, dan tetap menyerahkan hasil akhirnya kepada ketetapan Allah, maka hal ini bukanlah bentuk kurang tawakal, melainkan ekspresi cinta kepada tempat-tempat suci dan harapan akan akhir yang baik.

Antara Harapan Syahid dan Jaminan Pahala Abadi

Wafat di Tanah Suci, baik di Makkah maupun Madinah, adalah dambaan banyak umat Islam. Selain karena kemuliaan tempat tersebut, salah satu hikmah besar dari meninggal di sana adalah banyaknya orang shalih yang akan mendoakan, serta berkah dari para penghuni Tanah Suci — baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.

Namun, muncul pertanyaan penting: Apakah orang yang wafat di Tanah Suci akan mendapatkan keutamaan mati syahid?

Tidak Ada Dalil Langsung tentang Mati Syahid

Secara tegas, tidak ada dalil atau nash yang menyatakan bahwa wafat di Tanah Suci secara otomatis termasuk dalam kategori mati syahid. Yang ada adalah keutamaan luar biasa bagi mereka yang wafat saat menjalankan ibadah haji atau umrah.

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut:

“Barangsiapa keluar untuk berhaji lalu meninggal dunia, maka dituliskan untuknya pahala haji hingga hari kiamat. Barangsiapa keluar untuk umrah lalu meninggal dunia, maka ditulis untuknya pahala umrah hingga hari kiamat. Dan barangsiapa keluar untuk berjihad lalu mati maka ditulis untuknya pahala jihad hingga hari kiamat.”
(HR. Abu Ya’la, lihat Shahih At-Targhib no. 1114)

Hadis ini menunjukkan bahwa wafat dalam perjalanan ibadah seperti haji dan umrah mendatangkan ganjaran pahala yang terus mengalir hingga hari kiamat. Ini adalah bentuk kemuliaan tersendiri, meskipun tidak secara spesifik dikategorikan sebagai mati syahid.

Wafat di Madinah dan Syafaat Rasulullah SAW

Bagi mereka yang wafat di Madinah, terdapat keistimewaan tambahan berupa syafaat langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya:

“Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah), kemudian dia mati, kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya, atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat, jika dia seorang Muslim.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan keutamaan bagi orang yang hidup dan wafat di Madinah dengan penuh kesabaran. Mereka dijanjikan syafaat atau kesaksian dari Rasulullah SAW pada hari kiamat — suatu bentuk kemuliaan yang tidak dimiliki oleh tempat lain di dunia.


Kesimpulan

Berdoa agar wafat di Tanah Suci adalah amalan yang disunnahkan. Meskipun tidak secara otomatis menjadikan seseorang syahid, namun mereka yang wafat dalam keadaan menunaikan ibadah haji atau umrah tetap mendapatkan pahala luar biasa. Terlebih lagi, mereka yang wafat di Madinah mendapatkan janji syafaat dari Rasulullah SAW.

Semoga Allah mengizinkan kita menutup usia di tempat yang paling mulia, dengan cara yang diridhai-Nya.

Masjid Ghamamah: Saksi Mukjizat Turunnya Hujan di Tengah Gurun Madinah

Stylesphere – Di tengah tanah Arab yang mayoritas berupa gurun gersang, hujan adalah anugerah langka dan berharga. Hingga kini, pada tahun 2025, peristiwa turunnya hujan tetap menjadi momen yang disambut dengan suka cita. Di kota suci Madinah, berdiri sebuah masjid yang menyimpan sejarah luar biasa terkait salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW—Masjid Ghamamah.

Masjid ini memang tidak sepopuler Masjid Nabawi, namun nilai spiritual dan historisnya sangat tinggi. Letaknya pun tak jauh dari Masjid Nabawi, menjadikannya salah satu lokasi ziarah yang penting bagi jamaah umrah dan haji yang ingin menyusuri jejak kehidupan Rasulullah SAW.

Nama “Ghamamah” berasal dari bahasa Arab yang berarti awan atau mendung. Nama itu berkaitan langsung dengan peristiwa luar biasa yang pernah terjadi di lokasi tersebut. Suatu waktu, kota Madinah dilanda kekeringan hebat. Tanah mengering dan retak, tanaman mati, dan kehidupan warga pun mulai terganggu.

Melihat kondisi itu, masyarakat Madinah memohon kepada Nabi Muhammad SAW untuk berdoa kepada Allah agar hujan diturunkan. Rasulullah pun mengajak mereka menuju sebuah lapangan terbuka—yang kelak menjadi tempat berdirinya Masjid Ghamamah. Di sana, beliau memimpin shalat istisqa, shalat sunnah khusus yang dilakukan untuk memohon turunnya hujan.

Usai shalat, Rasulullah mengangkat tangan, memanjatkan doa-doa penuh harap. Suasana saat itu sangat khusyuk, para penduduk ikut menengadahkan tangan mereka, meneteskan air mata, dan berseru dalam harapan yang sama. Tak lama setelah itu, awan mendung mulai menggantung di langit Madinah, dan hujan pun turun dengan deras, menyiram tanah yang kering dan menghidupkan kembali harapan seluruh warga.

Masjid Ghamamah kini menjadi pengingat atas mukjizat tersebut—bahwa di tengah kegersangan sekalipun, rahmat Allah bisa turun melalui doa yang tulus dan penuh keyakinan.

Masjid Ghamamah: Saksi Bisu Mukjizat Hujan

Tak lama setelah lantunan doa Rasulullah SAW dan umat Madinah menggema di lapangan terbuka, tanda-tanda keajaiban mulai tampak di langit. Awan-awan perlahan berkumpul di atas kota yang semula cerah. Dari kejauhan terdengar gemuruh lembut, disertai hembusan angin sejuk yang menyapu Madinah, membawa harapan di tengah kekeringan panjang.

Langit yang tadinya cerah berubah menjadi kelabu. Awan mendung menebal, lalu hujan deras pun turun dengan derasnya, menyiram tanah Madinah yang kering. Air hujan itu menjadi berkah yang dinanti-nantikan, menjawab doa penuh harap yang dipanjatkan oleh Rasulullah SAW dan para penduduk kota.

Peristiwa tersebut meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Islam. Dari situlah nama Ghamamah, yang berarti awan, melekat pada tempat tersebut. Nama itu diabadikan sebagai pengingat mukjizat turunnya hujan sebagai jawaban atas doa sang Nabi.

Namun, keistimewaan Masjid Ghamamah tidak berhenti di situ. Masjid ini juga menjadi tempat Rasulullah SAW pertama kali memimpin shalat Idul Fitri di kota Madinah setelah hijrah dari Makkah. Dua momen besar ini—shalat istisqa dan shalat Id—menjadikan Masjid Ghamamah sebagai tempat penuh makna dalam perjalanan dakwah Rasulullah.

Kini, Masjid Ghamamah berdiri megah meski telah melalui berbagai tahap renovasi. Bangunannya tetap memancarkan nuansa sakral dan spiritual yang kuat. Siapa pun yang datang ke sana akan merasakan kedamaian, seakan diajak untuk kembali merenungi sejarah dan memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.