Jutaan Jemaah Haji Mulai Memadati Makkah dan Madinah, Desain Rumah Arab Jadi Sorotan

Stylesphere – Menjelang musim haji 2025, jutaan jemaah dari berbagai negara mulai berdatangan ke Arab Saudi untuk menunaikan rukun Islam kelima. Dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah, kembali dipadati oleh umat Muslim yang hendak menjalankan ibadah haji.

Selain menjadi pusat ibadah, wilayah Arab Saudi juga menyimpan daya tarik lain, salah satunya adalah desain arsitektur rumahnya yang khas. Rumah-rumah di kawasan Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, terkenal dengan bentuknya yang simpel dan minimalis namun tetap menarik.

Berbeda dengan rumah-rumah di Indonesia yang umumnya menggunakan genteng, rumah di kawasan Arab justru nyaris semuanya memiliki atap datar tanpa genteng. Hal ini bukan tanpa alasan. Desain rumah di suatu wilayah biasanya sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan budaya lokal.

Di kawasan Semenanjung Arab yang terkenal dengan iklimnya yang panas ekstrem, atap datar terbukti lebih efektif dalam menghadapi terik matahari yang suhunya bisa mencapai hingga 50 derajat Celsius saat musim panas. Desain seperti ini memberikan keuntungan fungsional yang signifikan.

Mengutip tayangan video dari kanal YouTube @ventour_travel pada Jumat (2/5/2025), atap datar mampu menyerap panas secara merata, tidak seperti atap miring bergenteng yang bisa menjebak panas di bagian bawahnya. Selain itu, dinding rumah yang lebih tebal turut membantu menahan suhu panas, sehingga suhu di dalam ruangan tetap stabil dan nyaman.

Dengan begitu, rumah-rumah di kawasan Arab tak hanya tampil unik, tetapi juga sangat adaptif terhadap kondisi iklim yang keras.

Desain Rumah Arab Jadi Sorotan karena Adaptif terhadap Iklim Ekstrem

Memasuki musim haji 2025, jutaan jemaah dari seluruh dunia mulai berdatangan ke Arab Saudi, khususnya menuju dua kota suci, Makkah dan Madinah, untuk menunaikan ibadah haji. Di tengah semarak spiritual itu, perhatian juga tertuju pada kekhasan arsitektur di kawasan tersebut, terutama desain rumah-rumah di wilayah Arab yang unik dan fungsional.

Berbeda dengan rumah di Indonesia yang umumnya beratapkan genteng miring, rumah-rumah di Timur Tengah justru menggunakan atap datar. Pilihan desain ini bukan sekadar estetika, melainkan hasil adaptasi terhadap kondisi iklim dan lingkungan setempat.

Negara-negara di Semenanjung Arab dikenal memiliki suhu yang sangat tinggi di siang hari, bahkan bisa mencapai 50 derajat Celsius saat musim panas. Untuk menghadapi panas ekstrem ini, desain atap datar terbukti lebih efektif. Atap datar menyerap panas secara merata dan, bersama dinding rumah yang tebal, membantu menjaga suhu dalam ruangan tetap stabil dan nyaman.

Menariknya, saat malam tiba suhu di kawasan gurun bisa turun drastis. Namun, rumah tanpa genteng justru memberikan kehangatan alami, menjadikannya solusi ideal untuk perubahan suhu yang ekstrem antara siang dan malam.

Curah hujan yang sangat minim juga menjadi alasan utama mengapa rumah di Arab tidak membutuhkan atap miring. Di daerah tropis seperti Indonesia, atap miring berfungsi untuk mengalirkan air hujan. Namun, di kawasan gurun yang jarang diguyur hujan, fungsi itu menjadi tidak relevan. Karena itu, atap datar adalah pilihan yang lebih efisien dan logis.

Selain itu, atap datar memiliki kelebihan fungsional lain. Area datar tersebut sering dimanfaatkan sebagai ruang tambahan untuk menjemur pakaian, menyimpan barang, atau bahkan menjadi tempat beristirahat di malam hari.

Desain ini juga unggul dalam menghadapi kondisi angin kencang dan badai pasir yang umum terjadi di gurun. Tidak adanya genteng mengurangi risiko kerusakan saat angin bertiup kencang, dan struktur atap yang kokoh serta minim celah membantu mencegah pasir masuk ke dalam rumah.

Dari sisi material, rumah-rumah di Arab umumnya dibangun menggunakan bahan seperti tanah liat atau batu bata, yang memiliki kemampuan isolasi panas yang baik sekaligus menjaga kelembaban di dalam ruangan.

Desain rumah Arab adalah contoh nyata bagaimana arsitektur berkembang selaras dengan alam dan kebutuhan masyarakatnya. Fungsional, tahan iklim ekstrem, dan tetap nyaman untuk ditinggali—itulah kekuatan dari kesederhanaan desain rumah Timur Tengah.

Desain Rumah Arab: Simpel, Adaptif, dan Harmonis dengan Alam

Menjelang musim haji 2025, jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia mulai berdatangan ke Arab Saudi, menuju dua kota suci umat Islam: Makkah dan Madinah. Di balik kemegahan spiritual yang tercermin di Tanah Suci, ada sisi lain yang menarik untuk diamati—yakni arsitektur rumah-rumah di kawasan Arab yang memiliki keunikan tersendiri.

Salah satu ciri khas paling mencolok dari rumah-rumah di Timur Tengah adalah desain atapnya yang datar, tanpa genteng seperti rumah di daerah tropis seperti Indonesia. Tradisi membangun rumah dengan atap datar ini bukan hal baru. Bahkan, rumah-rumah pada zaman Nabi Muhammad SAW pun menggunakan desain serupa—tanpa genteng, namun tetap fungsional dan nyaman.

Ada berbagai alasan di balik pilihan desain ini. Pertama dan yang paling utama adalah faktor iklim. Di kawasan Semenanjung Arab, suhu siang hari bisa mencapai 50 derajat Celsius saat musim panas. Dalam kondisi ekstrem seperti ini, desain atap datar justru lebih efektif menahan panas karena menyerapnya secara merata. Dinding rumah yang tebal turut membantu menjaga suhu ruangan tetap stabil, menciptakan kenyamanan meski di tengah panas gurun yang menyengat.

Menariknya, ketika malam tiba, suhu di gurun dapat turun drastis. Rumah-rumah dengan atap datar justru mampu menahan kehangatan di dalam ruangan, menjadikannya tempat tinggal yang adaptif terhadap perubahan suhu ekstrem.

Faktor curah hujan juga turut memengaruhi bentuk atap. Di negara-negara Arab, hujan sangat jarang turun. Tidak seperti di Indonesia yang membutuhkan atap miring untuk mengalirkan air hujan, di Arab, kebutuhan itu hampir tidak ada. Maka, desain atap datar menjadi pilihan paling efisien secara struktural dan ekonomis.

Lebih dari itu, atap datar juga memiliki fungsi sosial yang penting. Di banyak wilayah, atap rumah sering dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul, beristirahat, atau menikmati udara malam yang mulai sejuk. Fungsi ini tidak akan tercapai jika rumah menggunakan atap genteng seperti di negara tropis.

Keunggulan lainnya adalah ketahanan terhadap angin kencang dan badai pasir yang kerap melanda kawasan gurun. Genteng-genteng seperti yang digunakan di Indonesia mudah terlepas saat diterpa angin, sedangkan atap datar lebih kokoh dan minim risiko kerusakan. Desain rumah pun dirancang dengan struktur tertutup dan material yang mampu menghadapi tantangan lingkungan, seperti tanah liat dan batu bata yang efektif dalam menjaga kelembaban dan menahan panas.

Meskipun teknologi konstruksi modern terus berkembang, masyarakat Arab tetap mempertahankan desain rumah tradisional ini. Alasannya jelas: keselarasan dengan alam, efisiensi energi, dan kenyamanan jangka panjang. Lebih dari sekadar gaya, desain rumah Arab mencerminkan kearifan lokal yang lahir dari pemahaman mendalam terhadap lingkungan.

Fenomena ini memberikan pelajaran penting: desain bangunan sebaiknya tidak hanya mengikuti tren global, tetapi juga memperhatikan kebutuhan lokal dan kondisi iklim setempat. Dari arsitektur Arab, kita belajar bahwa kesederhanaan, fungsionalitas, dan keberlanjutan dapat berjalan beriringan dalam menciptakan tempat tinggal yang ideal.

Makna Haji Mabrur: Lebih dari Sekadar Sah secara Syariat

Stylesphere – Ibadah haji sering disebut sebagai puncak perjalanan spiritual seorang Muslim. Salah satu istilah yang menjadi dambaan jamaah, termasuk pada musim haji 2025 ini, adalah “Haji Mabrur”.

Secara umum, Haji Mabrur dipahami sebagai haji yang diterima oleh Allah. Namun, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar sah secara syariat. Menurut dai muda Ustadz Adi Hidayat (UAH), Haji Mabrur adalah perubahan diri yang nyata setelah menunaikan semua rukun dan kewajiban haji.

Definisi resmi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut Haji Mabrur sebagai ibadah haji yang sah dan sempurna, dengan seluruh syarat dan rukun yang terpenuhi dengan baik.

Dalam tayangan video di kanal YouTube @nafassubuhtv yang dikutip Jumat (26/04/2025), Ustadz Adi Hidayat menjelaskan lebih dalam: Haji disebut mabrur ketika di Arafah, jamaah beristighfar, menyadari keburukan dirinya, dan bertekad kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Proses ini menjadi titik awal transformasi akhlak yang sejati.

Melawan Sifat Buruk dalam Diri

Di Muzdalifah, jamaah haji mengumpulkan batu sebagai persiapan untuk melontar jumrah, sebuah ritual penting dalam rangkaian ibadah haji. Sebelum berangkat, dianjurkan bagi jamaah untuk terlebih dahulu mencatat dan mengenali sifat buruk yang ada dalam diri sendiri melalui introspeksi, tanpa perlu bertanya kepada orang lain.

Melontar jumrah sejatinya bukan sekadar melempar batu ke sebuah tugu, melainkan simbol perlawanan terhadap sifat-sifat buruk dalam diri. Setiap lemparan mencerminkan usaha melawan hawa nafsu yang menghalangi kebaikan.

Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa pada saat yang sama, di tempat lain, umat Islam juga melakukan penyembelihan hewan kurban. Kalimat yang diucapkan saat melontar jumrah maupun menyembelih hewan adalah serupa, yakni “Bismillah Allahu Akbar.”

Batu yang dilempar dalam jumrah merepresentasikan sifat-sifat hewani dalam diri manusia, sedangkan hewan yang disembelih melambangkan upaya menundukkan hawa nafsu. Sifat hewani ini berasal dari kata “basyar,” yang merujuk pada dorongan naluriah dalam manusia yang harus dikendalikan demi mencapai kemuliaan akhlak.

Makna Mendalam di Balik Haji Mabrur

Saat seseorang berhasil melontar seluruh sifat buruknya dalam ibadah haji, ia kembali dalam keadaan bersih, membawa hanya kebaikan. Inilah yang disebut dengan Haji Mabrur—sebuah predikat bagi mereka yang mampu menepiskan keburukan dan menumbuhkan karakter mulia secara berkelanjutan.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa setelah menunaikan haji, seorang Muslim tidak boleh lagi mengotori dirinya dengan perbuatan maksiat. Semua pengorbanan—fisik, harta, tenaga, dan waktu—yang telah dicurahkan harus dijaga dengan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai keimanan.

Allah menjanjikan surga bagi haji yang mabrur. Karena itu, penting untuk terus menjaga buah kebaikan dari haji dengan amal nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Ustadz Adi Hidayat menegaskan bahwa perubahan ini harus tercermin dalam sikap, tutur kata, serta perbuatan. Haji bukan sekadar gelar sosial atau kebanggaan, melainkan komitmen seumur hidup untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah.

Dengan demikian, hakikat Haji Mabrur bukan hanya terletak pada kesempurnaan ritual, melainkan pada kesungguhan untuk terus istiqamah dalam kebaikan.

Lebih Baik Hewan Jantan Atau Betina Ketika Berqurban?

Stylesphere – Dalam memilih hewan qurban, banyak umat Islam bingung antara memilih hewan jantan atau betina. Di masyarakat, hewan jantan sering dianggap lebih utama. Namun, harganya biasanya lebih mahal dibandingkan hewan betina, yang bisa menjadi pertimbangan tersendiri.

Pada kenyataannya, menurut para ulama, ukuran tubuh dan manfaat daging lebih penting daripada jenis kelamin hewan. Prinsip ini ditegaskan oleh pendakwah KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) dalam salah satu kajiannya.

Dikutip Jumat (26/04/2025) dari kanal YouTube @AlMadani_Channel, Buya Yahya menjelaskan bahwa inti dari qurban adalah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi umat. Karena itu, fokus utama dalam memilih hewan qurban adalah pada besarnya manfaat daging, bukan pada bulu, tanduk, atau kondisi fisik lainnya.

Buya Yahya menekankan, semakin besar dan banyak daging hewan, semakin baik untuk dijadikan qurban. Jika hewan jantan lebih besar, maka ia lebih utama. Namun jika ada betina yang lebih besar dibanding jantan, maka betina tersebut lebih layak dipilih.

Islam Lebih Mengutamakan Substansi

Dalam ibadah qurban, tujuan utamanya adalah memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada orang lain, bukan sekadar memilih hewan berdasarkan jenis kelamin.

Terkait warna hewan qurban, Buya Yahya menjelaskan bahwa tidak ada ketentuan khusus dalam syariat. Memang, ada riwayat yang menyebut Nabi Muhammad SAW pernah menyembelih hewan berwarna putih. Namun, jika harus memilih antara hewan putih yang kurus dan hewan hitam yang gemuk, maka sebaiknya memilih yang gemuk, meskipun warnanya hitam.

Ini menunjukkan bahwa Islam lebih menekankan substansi dan manfaat dibanding tampilan fisik.

Buya Yahya juga mengingatkan agar umat tidak terjebak pada simbol-simbol lahiriah. Esensi qurban adalah ketulusan hati: mempersembahkan yang terbaik untuk Allah dan membagi kebahagiaan dengan sesama.

Hewan Qurban Harus Memenuhi Syariat

Ketulusan dalam memilih hewan qurban yang terbaik — dari segi ukuran dan manfaat — mencerminkan keikhlasan seorang hamba dalam menaati perintah Allah.

Buya Yahya mengingatkan bahwa hewan qurban harus memenuhi syarat syariat: sehat, cukup umur, dan bebas cacat. Setelah itu, fokus utama adalah memilih hewan yang memberi manfaat terbesar bagi penerima daging qurban.

Ukuran besar yang dimaksud bukan hanya soal fisik, tetapi juga kualitas daging yang bisa dinikmati banyak orang.

Semangat berqurban bukan sekadar menunaikan kewajiban tahunan, melainkan juga mempererat kasih sayang dan persaudaraan antarumat.

Dalam berqurban, keutamaan tidak terletak pada jenis kelamin atau warna hewan, melainkan pada seberapa besar manfaat yang bisa disebarkan.

Pesan ini menjadi pengingat bagi seluruh umat Islam untuk lebih bijaksana dalam berqurban, demi meraih pahala dan keberkahan yang lebih luas.

Bolehkah Berhubungan Suami Istri di Malam Takbiran Idul Adha?

Stylesphere – Malam takbiran menjelang Idul Adha merupakan momen yang sangat istimewa dan sarat dengan nilai spiritual bagi umat Islam. Suasana penuh kekhidmatan terasa ketika gema takbir berkumandang dari masjid ke masjid, mengagungkan nama Allah SWT dan menyambut datangnya hari raya yang penuh makna.

Dalam nuansa religius tersebut, muncul berbagai pertanyaan dari umat, salah satunya terkait aktivitas dalam rumah tangga: “Apakah boleh berhubungan suami istri di malam takbiran Idul Adha?” Pertanyaan ini cukup sering ditanyakan, karena malam takbiran dipandang sebagai waktu mulia yang hendaknya dijalani dengan penuh rasa hormat dan ibadah.

Dari sudut pandang fikih, tidak ada larangan syariat yang secara eksplisit melarang hubungan suami istri di malam takbiran, baik menjelang Idul Adha maupun Idul Fitri. Artinya, selama dilakukan dengan adab dan niat yang baik, hubungan suami istri tetap diperbolehkan dalam Islam, termasuk pada malam-malam yang mulia seperti ini.

Namun demikian, sebagian ulama menganjurkan agar malam takbiran diisi dengan ibadah dan memperbanyak dzikir, termasuk takbir, tahmid, dan doa, sebagai bentuk penyambutan terhadap hari raya yang agung. Oleh karena itu, pasangan suami istri disarankan untuk tetap menjaga keseimbangan antara memenuhi hak pasangan dan memanfaatkan waktu yang mulia dengan amalan-amalan spiritual.

Kesimpulannya, berhubungan suami istri di malam takbiran bukanlah hal yang dilarang dalam Islam, tetapi sebaiknya dilakukan dengan bijak dan tidak mengabaikan nilai-nilai keutamaan malam tersebut.

Hukum Berhubungan Suami Istri di Malam Takbiran Idul Adha

Malam takbiran menjelang Idul Adha merupakan malam yang penuh keutamaan dan kemuliaan. Dalam berbagai riwayat, malam hari raya termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa, serta dianjurkan untuk memperbanyak takbir, tahmid, dan tahlil sebagai bentuk pengagungan kepada Allah SWT.

Karena nilai spiritual malam ini begitu tinggi, umat Islam sangat dianjurkan untuk mengisinya dengan berbagai bentuk ibadah. Namun, pertanyaan yang kerap muncul di kalangan pasangan Muslim adalah: “Apakah boleh berhubungan suami istri di malam takbiran?”

Secara hukum, tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkan hubungan suami istri pada malam takbiran. Islam sebagai agama yang penuh keseimbangan dan realistis, tidak memberatkan umatnya dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam urusan rumah tangga.

Oleh karena itu, penting untuk memahami perbedaan antara hal yang dianjurkan (sunnah) dan yang dilarang (haram). Mengisi malam takbiran dengan ibadah adalah amalan yang sangat dianjurkan, namun bukan berarti aktivitas duniawi seperti hubungan suami istri menjadi sesuatu yang terlarang, selama tidak melalaikan kewajiban lain seperti salat atau mengabaikan nilai-nilai spiritual malam tersebut.

Kesimpulannya, berhubungan suami istri di malam takbiran tetap diperbolehkan, asalkan dilakukan dengan bijaksana dan tetap menjaga kekhusyukan malam raya yang penuh berkah itu.

Pendapat Ulama

Tidak terdapat dalil yang secara eksplisit melarang hubungan suami istri pada malam Hari Raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Aktivitas tersebut termasuk perkara yang mubah atau dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan cara yang sesuai dengan syariat.

Mengutip penjelasan dari NU Online Jawa Barat, hubungan suami istri pada malam hari raya diperbolehkan karena tidak ada larangan syar’i yang mengatur sebaliknya. Bahkan, jika dilakukan dengan niat untuk menjaga keharmonisan rumah tangga dan mempererat hubungan pasangan, hal itu dapat bernilai ibadah.

Meski demikian, para ulama mengingatkan agar malam hari raya tidak dihabiskan hanya untuk kesenangan duniawi. Umat Islam tetap dianjurkan untuk memperbanyak amalan seperti melantunkan takbir, berdoa, dan merenungkan makna hari raya—khususnya pada Idul Adha, yang sarat nilai pengorbanan dan kepatuhan, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS.

Dengan keseimbangan antara hak pribadi dan ibadah, malam hari raya bisa menjadi momentum spiritual sekaligus perekat hubungan dalam rumah tangga.

Etika Islam dalam Menyambut Malam Hari Raya

Meski secara hukum berhubungan suami istri diperbolehkan pada malam Hari Raya, Islam tetap mengajarkan pentingnya menjaga adab, memperhatikan waktu, suasana, dan memprioritaskan ibadah. Jika malam tersebut diwarnai dengan gema takbir bersama keluarga atau masyarakat sekitar, maka sebaiknya umat Islam turut serta terlebih dahulu dalam menyemarakkan syiar tersebut.

Melaksanakan salat Isya berjamaah, memperbanyak zikir, dan menyimak lantunan takbir akan memperkuat rasa syukur serta kekhusyukan dalam menyambut datangnya Idul Adha. Setelah aktivitas ibadah tersebut, hubungan suami istri tetap diperbolehkan, selama tidak mengganggu suasana sakral dan tetap menjaga kesucian malam yang penuh berkah itu.

Dengan menjaga adab dan keharmonisan antara ibadah serta kehidupan rumah tangga, setiap aktivitas akan memiliki nilai yang lebih mendalam. Hubungan suami istri tidak hanya mempererat ikatan jasmani, tetapi juga dapat menjadi sarana memperoleh keridaan Ilahi.

Inilah cerminan rumah tangga Islami yang ideal—seimbang dalam menjalani kehidupan duniawi dan ukhrawi, serta harmonis dalam cinta dan ketaatan kepada Allah SWT.

Hal Yang Perlu Diketahui Umat Muslim Menjelang Puasa Idul Adha

Stylesphere – Menjelang Idul Adha, umat Islam dianjurkan untuk menunaikan dua puasa sunnah yang sangat utama, yaitu puasa Tarwiyah dan Arafah. Puasa ini dilakukan pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah, menjelang hari raya kurban. Meskipun tidak wajib, kedua puasa ini mengandung keutamaan besar, termasuk pengampunan dosa selama dua tahun untuk puasa Arafah.

Namun, keutamaan tersebut hanya bisa diraih jika disertai dengan niat yang benar sesuai ketentuan syariat. Membaca niat adalah bagian penting dalam menjalankan ibadah puasa. Niat bisa dibaca di malam hari atau sebelum fajar, dan harus dilakukan dengan kesadaran serta keikhlasan.

Sebenarnya, puasa di bulan Dzulhijjah bisa dimulai sejak tanggal 1, namun yang paling dianjurkan adalah tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah, yaitu saat puasa Tarwiyah dan Arafah.

Arti Puasa Tarwiyah

Puasa Tarwiyah dilakukan pada 8 Dzulhijjah dan menjadi awal dari dua hari penting menjelang Idul Adha. Istilah “Tarwiyah” berasal dari kata “rawa” yang berarti berpikir atau merenung. Hari ini mengingatkan umat Islam pada saat Nabi Ibrahim AS merenungkan mimpi yang berisi perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismail AS.

Melalui puasa Tarwiyah, umat Islam diajak untuk meneladani keteguhan dan ketaatan Nabi Ibrahim. Ini adalah waktu untuk memperdalam makna pengorbanan, keikhlasan, dan kepatuhan dalam menjalankan perintah Allah SWT. Meski hanya satu hari, puasa ini memiliki nilai spiritual yang tinggi dan dapat memperkuat iman.

Berikut lafal niat untuk melaksanakan puasa Tarwiyah:

نَوَيْتُ صَوْمَ تَرْوِيَةَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma tarwiyata sunnatan lillâhi ta‘âlâ.
Artinya: “Saya niat puasa sunnah Tarwiyah karena Allah ta’ala.”

Penjelasan Puasa Arafah

Tanggal 9 Dzulhijjah dikenal sebagai Hari Arafah, yaitu hari puncak ibadah haji saat jamaah wukuf di Padang Arafah. Bagi umat Islam yang tidak sedang menunaikan haji, sangat dianjurkan untuk menjalankan puasa Arafah.

Keutamaan puasa ini sangat besar: diampuni dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Namun, bagi jamaah haji yang sedang wukuf, puasa ini tidak disunnahkan, bahkan dimakruhkan. Sementara bagi yang tidak berhaji, ini menjadi peluang besar untuk meraih ampunan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Berikut niat puasa Arafah:

نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى

“Nawaitu shauma arafata sunnatan lillâhi ta‘âlâ.”

Artinya: “Saya niat puasa sunnah Arafah karena Allah ta’ala.”

Cara Membaca Doa Niat Puasa Tarwiyah

Niat puasa sunnah, seperti puasa Tarwiyah dan Arafah, idealnya dibaca sejak malam hari setelah Maghrib hingga sebelum fajar. Namun, karena statusnya sunnah, niat tetap sah bila dilakukan di pagi hari—selama belum makan, minum, atau melakukan hal yang membatalkan puasa.

Hal ini sejalan dengan praktik Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis, beliau pernah berniat puasa sunnah di pagi hari setelah memastikan belum makan dan minum. Ini menunjukkan bahwa puasa sunnah lebih fleksibel dibandingkan puasa wajib.

Berikut panduan waktu niat:

  • Malam hari (sebelum tidur): Waktu paling utama dan dianjurkan.
  • Pagi hari (sebelum Dzuhur): Masih diperbolehkan jika belum melakukan hal yang membatalkan puasa.

Niat bisa dibaca dalam hati atau dilafalkan lirih. Yang penting, ada kesadaran dan kehendak untuk berpuasa karena Allah SWT.

Persiapan Menjelang Idul Adha

Menjelang Idul Adha, puasa Tarwiyah dan Arafah menjadi momentum penting untuk menyiapkan jiwa. Ini bukan sekadar ibadah sunnah, tapi latihan batin untuk merendahkan ego, membersihkan diri dari dosa, dan menyambut hari raya dengan kesadaran penuh.

Puasa ini mengajarkan bahwa pengorbanan bukan hanya soal hewan kurban, tapi juga tentang menundukkan keinginan pribadi demi nilai yang lebih besar. Ia menyiapkan hati agar lebih bersyukur, lebih lapang, dan lebih sadar akan makna hidup yang sesungguhnya.

Menjalankannya dua hari penuh—8 dan 9 Dzulhijjah—menjadi bentuk keseriusan spiritual. Tapi yang membuatnya bernilai bukan durasinya, melainkan niat. Tanpa niat yang jernih, puasa hanya menjadi rutinitas. Dengan niat yang lurus, ia menjadi jalan mendekat kepada Allah.

Bagaimana Hukum Walimatus Safar? Apakah Termasuk Bid’ah?

Stylesphere – Calon jemaah haji Indonesia tahun 2025 tengah bersiap menunaikan rukun Islam kelima. Berdasarkan jadwal Kementerian Agama (Kemenag), keberangkatan gelombang pertama dijadwalkan mulai 2 Mei 2025.

Haji merupakan ibadah wajib bagi umat Islam yang mampu secara finansial, fisik, dan kesehatan. Perintah ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, surah Ali Imran ayat 97:

“Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran: 97)

Di Indonesia, tradisi yang biasa dilakukan menjelang keberangkatan haji adalah menggelar walimatus safar atau acara pamitan. Tujuannya adalah memohon doa dari keluarga dan masyarakat agar calon jemaah diberi kelancaran dan keselamatan selama menjalankan ibadah, serta pulang dengan membawa predikat haji mabrur.

Lalu, bagaimana hukum walimatus safar? Apakah termasuk bid’ah?

Pertanyaan ini pernah dibahas dalam kajian oleh KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya). Ia menegaskan bahwa walimatus safar bukanlah bid’ah. Tradisi ini diperbolehkan karena termasuk bentuk silaturahmi dan permohonan doa, selama tidak mengandung unsur kemaksiatan atau berlebihan. Buya Yahya menyebut, yang tidak dibenarkan adalah ketika acara tersebut diisi dengan hal-hal yang bertentangan dengan syariat.

Jadi, walimatus safar sah-sah saja dilakukan sebagai bagian dari budaya yang mendukung nilai-nilai Islam, selama tetap dalam batas syariat.

Buya Yahya Menjelaskan

Buya Yahya menjelaskan bahwa walimatus safar adalah bentuk tasyakuran bagi calon jemaah haji, mirip dengan walimatul khitan untuk anak yang dikhitan atau walimatul ursy dalam pernikahan. Acara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesempatan menunaikan ibadah haji.

Walimah safar itu artinya seseorang bersyukur karena urusannya lancar untuk berangkat haji, lalu dia mengadakan syukuran. Hukumnya boleh, tidak masalah, dan bukan termasuk bid’ah. Apalagi isinya berbagi rezeki, memberi makan orang,” ujar Buya Yahya, dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV, Ahad (20/4/2025).

Namun, ia mengingatkan bahwa acara ini tidak wajib. Jika calon jemaah tidak mampu, tak perlu memaksakan diri karena bisa membebani secara finansial.

“Yang tidak boleh adalah memaksakan diri. Kadang biaya untuk walimah safar justru lebih besar daripada biaya hajinya sendiri. Itu bisa menyiksa,” tambahnya.

Buya Yahya menekankan agar tradisi walimah safar tidak menjadi beban atau kewajiban sosial yang memaksa. Tradisi ini hanya baik jika dilakukan dalam batas kemampuan dan tanpa memberatkan pihak yang bersangkutan.

Pesan Buya Yahya

Buya Yahya mengimbau agar acara walimatus safar bukan menjadi sarana untuk menyombongkan diri bahwa ia akan berangkat haji. Ia mewanti-wanti jangan sampai ibadah hajinya tercoreng karena sikap tercelanya.

“Kalau masalah sedekah untuk tolak bala agar selamat di perjalanan, oke, atau mensyukuri nikmat Allah karena sudah dipanggil Allah sebagai tamu Allah, tapi kalau sudah masuk  wilayah maksain, masuk wilayah sombong, ini bermasalah. Dua saja ini yang perlu diantisipasi,” tuturnya.

Buya Yahya menyimpulkan, acara walimatus safar boleh saja digelar dan bukan perkara bid’ah. Hanya saja niatnya harus benar, bukan ingin sombong mau haji. Jika tidak dilaksanakan pun tidak apa-apa, terlebih lagi jika tak punya biaya lebih untuk haji.

Doa Idul Adha Apa Boleh Digabungkan Dengan Qadha Ramadhan

StylespherePuasa sunnah menjelang Idul Adha, seperti puasa Tarwiyah dan Arafah, sangat dianjurkan bagi umat Islam yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Kedua puasa ini memiliki keutamaan besar, seperti menghapus dosa dan mendatangkan pahala yang berlimpah. Namun, bagi yang masih memiliki utang puasa Ramadhan, muncul pertanyaan: apakah boleh menggabungkan niat puasa qadha Ramadhan dengan puasa sunnah tersebut?

Pertanyaan ini penting, karena banyak umat Islam ingin mengoptimalkan ibadah tanpa mengabaikan kewajiban. Menggabungkan dua niat dalam satu puasa—yaitu niat qadha dan niat sunnah—memerlukan pemahaman mendalam terhadap hukum Islam dan pandangan para ulama.

Secara umum, sebagian ulama membolehkan penggabungan niat qadha puasa Ramadhan dengan puasa sunnah seperti Arafah atau Tarwiyah, selama tujuan utama adalah menunaikan puasa wajib. Dalam hal ini, pahala puasa sunnah bisa tetap didapat sebagai bonus, walaupun yang diniatkan secara eksplisit adalah qadha.

Meski begitu, agar lebih aman dan jelas, disarankan untuk mendahulukan pelunasan puasa wajib, lalu mengerjakan puasa sunnah secara terpisah. Ini membantu memastikan keabsahan ibadah dan memperbesar peluang mendapatkan pahala penuh dari masing-masing jenis puasa.

Dengan memahami aturan ini, Anda bisa lebih bijak dalam menyusun jadwal puasa, menunaikan kewajiban qadha, sekaligus meraih keutamaan dari puasa-puasa sunnah menjelang Idul Adha. Berikut penjelasan tentang niat puasa Idul Adha dan qadha Ramadhan. Serta apakah keduanya boleh digabungkan, dirangkum Stylesphere

Pengertian Puasa Idul Adha

Dilansir dari laman Universitas KH. A Wahab Hasbullah (Unwaha) Tambakberas Jombang, puasa Idul Adha mencakup puasa yang dilakukan pada awal bulan Dzulhijjah, khususnya pada tanggal 8 (Tarwiyah) dan 9 (Arafah). Kedua hari ini sangat dianjurkan untuk berpuasa karena memiliki keutamaan besar.

Puasa Dzulhijjah sendiri dimulai sejak tanggal 1 hingga 7 Dzulhijjah, meskipun puasa pada tanggal 8 dan 9 memiliki nilai yang lebih utama. Puasa Arafah, yang jatuh pada 9 Dzulhijjah, dikenal mampu menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Sementara itu, puasa Tarwiyah pada 8 Dzulhijjah juga sangat dianjurkan, terutama bagi mereka yang tidak sedang menunaikan ibadah haji.

Ibadah puasa di sepuluh hari pertama Dzulhijjah merupakan amalan yang sangat dicintai Allah SWT. Ini adalah bentuk persiapan spiritual menjelang Hari Raya Idul Adha—momen untuk menyucikan diri, memperkuat ketakwaan, dan meningkatkan amal. Setiap ibadah yang dilakukan pada hari-hari ini memiliki nilai tinggi dan membawa keberkahan.

Arti Puasa Qadha Ramadan

Puasa qadha Ramadan adalah puasa yang dilakukan untuk mengganti hari-hari puasa yang ditinggalkan selama bulan Ramadan. Setiap Muslim yang tidak bisa berpuasa karena alasan syar’i seperti sakit, bepergian jauh, haid, atau kondisi lain yang dibenarkan, wajib menggantinya di luar bulan Ramadan sesuai dengan jumlah hari yang terlewat.

Puasa ini tidak terikat waktu tertentu, namun dianjurkan untuk segera ditunaikan setelah Ramadan berakhir agar tidak menjadi beban. Hukum qadha puasa adalah wajib bagi yang memiliki tanggungan, sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.

Puasa qadha juga harus disertai dengan niat khusus yang diucapkan sebelum fajar. Meskipun sifatnya wajib, pelaksanaannya tetap harus dilakukan dengan keikhlasan dan tidak ditunda-tunda tanpa alasan yang jelas.

Apakah Puasa Idul Adha Boleh digabungkan dengan Qadha Ramadan?

Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya menggabungkan niat puasa qadha Ramadhan dengan puasa sunnah seperti Arafah atau Tarwiyah. Dalam kitab I’anatut Thalibin dan Asnal Mathalib dijelaskan bahwa menggabungkan niat tetap dianggap sah. Artinya, meskipun niat utama ditujukan untuk qadha, pelaksana puasa tetap bisa memperoleh keutamaan dari puasa sunnah tersebut.

Meski demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa sebaiknya utang puasa Ramadhan ditunaikan lebih dahulu sebelum menjalankan puasa sunnah. Alasannya, qadha adalah kewajiban yang harus diprioritaskan, sedangkan puasa sunnah bisa dikerjakan setelah kewajiban selesai. Jika seseorang baru mengingat utang puasanya pada hari Arafah, disarankan langsung melakukan qadha pada hari itu juga.

Kesimpulannya, penggabungan niat puasa qadha dan sunnah memang diperbolehkan menurut sebagian ulama, tetapi yang lebih utama adalah menyelesaikan kewajiban terlebih dahulu agar ibadah yang dijalankan lebih sempurna dan keutamaannya tetap maksimal.

Syarat Berkurban dan Hukumnya Dalam Islam

Stylesphere – Idul Adha merupakan momen penting dalam Islam, salah satu ibadah utamanya adalah penyembelihan hewan kurban. Meski sudah menjadi tradisi tahunan, banyak umat Islam masih bertanya-tanya: apakah kurban hukumnya wajib atau hanya sunnah?

Perbedaan pandangan ini bukan tanpa dasar. Para ulama dari berbagai mazhab memiliki pendapat berbeda, tergantung pada penafsiran dalil yang digunakan. Bahkan, ada mazhab yang membolehkan seseorang berutang demi bisa berkurban.

Karena itu, memahami hukum kurban secara menyeluruh sangat penting. Artikel ini akan memaparkan penjelasan tentang status hukum kurban, syarat yang harus dipenuhi, serta keutamaannya, berdasarkan sumber-sumber terpercaya. Tujuannya agar kamu bisa lebih mantap dalam menjalankan ibadah ini.

Penetapan Hukum Kurban Dalam islam

Penetapan hukum kurban dalam Islam merujuk pada sejumlah ayat Al-Qur’an. Salah satu yang paling sering dijadikan acuan adalah Surah Al-Kautsar ayat 2: “Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!” Ayat ini menjadi dasar bahwa kurban merupakan bagian dari bentuk penghambaan kepada Allah.

Mayoritas ulama, termasuk Imam Malik dan Imam Al-Syafi’i, menyimpulkan bahwa kurban hukumnya sunnah muakkadah—sangat dianjurkan bagi yang mampu, namun tidak berdosa jika ditinggalkan.

Di sisi lain, Surah Al-Maidah ayat 27 menyatakan: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” Ini menekankan pentingnya niat dan ketakwaan sebagai syarat diterimanya ibadah kurban.

Selain sebagai ibadah personal, kurban juga mengandung dimensi sosial. Hal ini tercermin dalam Surah Al-Hajj ayat 28: “Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” Kurban bukan hanya bentuk ketaatan kepada Allah, tetapi juga wujud kepedulian terhadap sesama.

Syarat Berkurban di Idul Adha

Berikut syarat-syarat penting yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan ibadah kurban:

  1. Mampu secara finansial
    Kurban hanya diwajibkan bagi Muslim yang telah mencukupi kebutuhan pokoknya dan memiliki kelebihan harta. Tidak dianjurkan bagi mereka yang harus berutang atau mengorbankan kebutuhan pokok keluarganya.
  2. Hewan yang sah untuk dikurbankan
    Jenis hewan yang diperbolehkan antara lain kambing, domba, sapi, dan unta. Hewan harus sehat, tidak cacat, dan cukup umur: minimal satu tahun untuk kambing dan domba, serta dua tahun untuk sapi.
  3. Niat karena Allah SWT
    Niat berkurban harus murni sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, bukan karena pamer atau sekadar mengikuti tradisi.
  4. Proses penyembelihan sesuai syariat
    Hewan disembelih oleh orang yang paham tata cara penyembelihan dalam Islam, yaitu dengan menyebut nama Allah dan memotong urat leher serta saluran pernapasan dengan pisau yang tajam.
  5. Waktu penyembelihan
    Kurban hanya sah jika dilakukan setelah salat Idul Adha pada 10 Dzulhijjah dan selama tiga hari tasyrik berikutnya, yaitu 11–13 Dzulhijjah.

Dengan memperhatikan kelima syarat ini, ibadah kurban dapat dilakukan secara sah dan bernilai ibadah yang maksimal.

Pahala Ketika Berkuraban Dalam islam

Berkurban memiliki sejumlah keutamaan yang penting, di antaranya:

  • Pahala besar dari Allah SWT
    Ibadah kurban menjadi salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan dan mendatangkan pahala yang besar bagi pelakunya.
  • Menghapus dosa
    Kurban menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus sebagai penghapus dosa bagi yang melaksanakannya dengan niat ikhlas.
  • Simbol ketaatan dan pengorbanan
    Kurban mencerminkan keteladanan Nabi Ibrahim AS dalam mematuhi perintah Allah tanpa ragu, sebagai simbol ketaatan mutlak.
  • Memberi manfaat kepada sesama
    Daging kurban dibagikan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan, sehingga membawa manfaat sosial yang nyata.
  • Meningkatkan solidaritas dan empati sosial
    Kurban menjadi momen berbagi dan mempererat hubungan antaranggota masyarakat, terutama dalam suasana Hari Raya.

Idul Adha, yang juga dikenal sebagai Lebaran Haji, merupakan momen penting dalam Islam dan dirayakan bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Penyembelihan hewan kurban menjadi salah satu amalan utama dalam perayaan tersebut.