Iduladha dan Ibadah Kurban: Antara Kemampuan dan Kewajiban

Iduladha dan Ibadah Kurban: Antara Kemampuan dan Kewajiban

Stylesphere – Ketika Iduladha tiba, gema takbir membahana, dan hewan-hewan kurban mulai disiapkan. Namun, di tengah semangat pengorbanan ini, tak sedikit umat Islam yang secara finansial mampu justru memilih untuk tidak berkurban. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah tindakan tersebut sah menurut syariat? Apa hukumnya tidak berkurban padahal mampu, dan adakah konsekuensi dari sikap tersebut?

Pertanyaan ini bukan untuk menghakimi, tetapi untuk mengajak merenungi makna dan urgensi kurban dalam kehidupan seorang Muslim.

Hukum Kurban dalam Pandangan Ulama

Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali sepakat bahwa berkurban termasuk sunnah muakkadah—amalan sunnah yang sangat dianjurkan, terutama bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial. Dalam pandangan ini, meninggalkan kurban meski mampu memang tidak menimbulkan dosa, tetapi berarti seseorang telah melewatkan kesempatan mengerjakan ibadah yang sangat mulia.

Berbeda dengan itu, mazhab Hanafi memandang ibadah kurban sebagai wajib bagi setiap Muslim yang memiliki kelapangan rezeki, mirip dengan syarat yang berlaku dalam kewajiban zakat. Maka dalam perspektif ini, tidak berkurban padahal mampu bisa berimplikasi pada dosa.

Hadis Rasulullah SAW sebagai Landasan

Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang memiliki kelapangan (harta) tetapi tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Hadis ini sering dijadikan dalil oleh para ulama untuk menunjukkan betapa pentingnya ibadah kurban, khususnya bagi mereka yang mampu. Walaupun para ulama berbeda pendapat mengenai status hukum kurban, mereka sepakat bahwa ibadah ini memiliki nilai spiritual, sosial, dan kemanusiaan yang sangat tinggi.

Kesimpulan

Bagi seorang Muslim yang mampu, berkurban bukan sekadar menyembelih hewan, tetapi bentuk nyata dari ketakwaan, kepedulian sosial, dan pengamalan ajaran Islam. Meski tidak selalu berstatus wajib dalam semua mazhab, semangat dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya patut untuk dijadikan prioritas.

Meninggalkan kurban tanpa uzur syar’i berarti mengabaikan kesempatan besar untuk mendekatkan diri kepada Allah serta berbagi dengan sesama. Maka, Iduladha adalah momen reflektif: sejauh mana kita menjadikan ibadah sebagai wujud syukur atas nikmat yang telah Allah berikan?

Mampu Berkurban: Ukuran yang Realistis, Bukan Kaya Raya

Dalam ajaran Islam, seseorang dianggap mampu berkurban apabila pada hari-hari Iduladha ia memiliki kelebihan harta yang melebihi kebutuhan pokok diri dan tanggungannya. Artinya, kriteria “mampu” ini tidak menuntut seseorang menjadi kaya raya, tetapi cukup memiliki keuangan yang stabil serta bebas dari utang mendesak.

Maka dari itu, seorang pegawai tetap, pengusaha, pedagang, atau siapa pun yang memiliki pendapatan tetap dan tidak sedang dalam kesulitan ekonomi serius, sejatinya tergolong mampu. Sayangnya, masih banyak yang memilih untuk tidak berkurban, padahal syarat kemampuan telah terpenuhi.

Apa yang Dilewatkan Jika Tidak Berkurban?

Meninggalkan kurban bukan sekadar melewatkan ritual tahunan. Ada banyak nilai yang ikut terlewatkan, di antaranya:

  • 🌟 Kesempatan meraih pahala besar
  • 🐏 Keteladanan dari Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW
  • 💞 Momen berbagi dengan kaum duafa dan masyarakat sekitar
  • 🙏 Bentuk nyata rasa syukur atas nikmat rezeki dari Allah

Lebih dari itu, bagi yang mampu tetapi enggan berkurban, ada bahaya sikap bakhil (kikir) yang sangat dibenci dalam Islam. Sifat ini bukan hanya menghambat pahala, tapi juga dapat menyeret seseorang ke dalam kehidupan yang penuh kesempitan.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Lail ayat 8–10:

“Dan barang siapa yang kikir, dan merasa dirinya cukup (tidak butuh), serta mendustakan yang terbaik (agama), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesulitan.”

Refleksi Iduladha: Antara Rezeki dan Kepedulian

Ibadah kurban adalah wujud ketakwaan dan kepedulian sosial. Ini adalah bentuk nyata dari pengorbanan, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga menaklukkan ego dan sifat individualis. Kurban adalah panggilan untuk berbagi, bersyukur, dan mendekat kepada Allah SWT.

Maka, jika kita tergolong mampu namun masih ragu untuk berkurban, mungkin saatnya kita bertanya: Apakah ini karena keterbatasan harta, atau karena kelalaian hati?

Kurban: Ibadah yang Menguatkan Diri dan Menyentuh Sesama

Ibadah kurban bukan sekadar ritual individu. Ia adalah ibadah sosial, bentuk nyata kepedulian dan solidaritas umat. Dengan berkurban, kita membantu masyarakat miskin, daerah pelosok, serta mereka yang jarang sekali mendapatkan akses gizi layak. Ini adalah distribusi kekayaan yang adil, bagian dari semangat Islam yang merangkul dan membagi, bukan menimbun dan melupakan.

Tak heran jika Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya ibadah kurban. Meski secara hukum bukan wajib mutlak, kurban adalah sunnah muakkadah—amalan yang sangat dianjurkan dan ditekankan dalam syariat. Rasulullah SAW sendiri selalu berkurban setiap tahun, tidak pernah meninggalkannya selama hidupnya, sebagai bentuk keteladanan bagi umatnya.

Lebih dari Sekadar Pahala

Jika seseorang mampu namun memilih tidak berkurban, bisa jadi itu cerminan keringnya semangat ibadah atau hilangnya empati sosial. Padahal, Iduladha adalah momen melembutkan hati, menyadarkan diri bahwa semua yang kita miliki adalah titipan Allah yang harus dipertanggungjawabkan.

Berkurban bukan hanya tentang pahala atau hukum, tapi juga tentang siapa kita di hadapan Allah dan sesama manusia. Ini adalah bentuk syukur atas rezeki, latihan melepaskan keterikatan dunia, dan bukti bahwa hati kita masih hidup dengan keimanan.

Jangan Tunda, Saatnya Berkurban

Jika tahun ini Allah beri kelapangan rezeki, jangan tunda untuk berkurban. Jadikan ini sebagai momentum untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjangkau saudara-saudara kita yang jarang menikmati daging setahun sekali pun.

Bersama Dompet Dhuafa, salurkan kurbanmu ke tempat-tempat yang benar-benar membutuhkan. Biarkan hewan kurbanmu menjadi sumber keberkahan, kebaikan, dan senyum harapan bagi mereka yang jarang tersentuh.

Karena kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi tentang menyembelih ego, memurnikan niat, dan memperkuat tali kemanusiaan.

Menyambut Dzulhijjah 1446 H: Amalan Puasa Sunnah Sebelum Idul Adha 2025

Menyambut Dzulhijjah 1446 H: Amalan Puasa Sunnah Sebelum Idul Adha 2025

StylesphereBulan Dzulqa’dah 1446 H akan segera berakhir, menandakan datangnya bulan mulia Dzulhijjah 1446 H, yang bertepatan dengan Dzulhijjah 2025 dalam kalender Masehi. Sebagai salah satu dari empat bulan haram yang dimuliakan Allah SWT, Dzulhijjah menjadi waktu istimewa bagi umat Islam untuk memperbanyak ibadah dan amal saleh.

Salah satu ibadah yang dianjurkan di awal bulan ini adalah puasa sunnah. Puasa Dzulhijjah memiliki keutamaan besar dan merupakan bentuk kecintaan kepada Allah SWT, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Terdapat tiga jenis puasa sunnah yang bisa diamalkan sebelum Hari Raya Idul Adha, yaitu:

  1. Puasa Awal Dzulhijjah (1–7 Dzulhijjah)
    Dianjurkan untuk berpuasa sejak hari pertama Dzulhijjah sebagai bentuk amal saleh yang dicintai Allah.
  2. Puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah)
    Puasa ini memiliki nilai keutamaan tersendiri dan merupakan bagian dari tradisi umat Islam menyambut momen Arafah.
  3. Puasa Arafah (9 Dzulhijjah)
    Puasa Arafah merupakan yang paling utama. Bagi yang tidak menunaikan haji, puasa ini dapat menghapus dosa dua tahun, satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang (HR. Muslim).

Niat Puasa Dzulhijjah

Niat puasa bisa diucapkan dalam hati atau secara lisan sebelum fajar, contohnya:

“Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i sunnati Dzulhijjah lillāhi ta‘ālā.”
Artinya: Saya niat berpuasa sunnah Dzulhijjah esok hari karena Allah Ta‘ala.

Jadwal Puasa Dzulhijjah 2025

Bergantung pada hasil rukyatul hilal, estimasi awal Dzulhijjah 1446 H kemungkinan jatuh pada Selasa, 30 Juni 2025. Maka, berikut perkiraan jadwalnya:

  • 1–7 Dzulhijjah 1446 H: 30 Juni – 6 Juli 2025
  • Puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah): 7 Juli 2025
  • Puasa Arafah (9 Dzulhijjah): 8 Juli 2025
  • Idul Adha (10 Dzulhijjah): 9 Juli 2025

Penutup

Menghidupkan awal Dzulhijjah dengan puasa sunnah adalah amalan yang sangat dianjurkan, terlebih karena pahala amal di bulan ini dilipatgandakan. Mari manfaatkan momen mulia ini untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meraih keberkahan menjelang Idul Adha.

Niat dan Waktu Pelaksanaan Puasa Sunnah Dzulhijjah

Puasa sunnah di bulan Dzulhijjah dikerjakan seperti puasa-puasa lainnya, yaitu dimulai sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.

Kapan Niat Puasa Dzulhijjah Dilakukan?

Berbeda dengan puasa wajib (seperti Ramadan) yang harus diniatkan pada malam hari, puasa sunnah seperti puasa Dzulhijjah memiliki kelonggaran dalam niat. Jika lupa berniat di malam hari, niat masih bisa dilakukan hingga sebelum zawâl (tergelincirnya matahari atau masuk waktu Zuhur), selama belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar.


Lafal Niat Puasa Sunnah Dzulhijjah

Berikut adalah niat-niat puasa sunnah yang biasa dilakukan pada awal bulan Dzulhijjah:


🗓️ Niat Puasa Tanggal 1–7 Dzulhijjah

نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ ذِيْ الْحِجَّةِ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma syahri dzil hijjah sunnatan lillâhi ta‘âlâ.

Artinya: “Saya niat puasa sunnah bulan Dzulhijjah karena Allah Ta‘âlâ.”


🗓️ Niat Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah)

نَوَيْتُ صَوْمَ تَرْوِيَةَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma tarwiyata sunnatan lillâhi ta‘âlâ.

Artinya: “Saya niat puasa sunnah Tarwiyah karena Allah Ta‘âlâ.”


🗓️ Niat Puasa Hari Arafah (9 Dzulhijjah)

نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma arafata sunnatan lillâhi ta‘âlâ.

Artinya: “Saya niat puasa sunnah Arafah karena Allah Ta‘âlâ.”


Dengan melaksanakan puasa-puasa sunnah ini, umat Islam dapat meraih berbagai keutamaan dan pahala yang besar, khususnya pada hari-hari terbaik sepanjang tahun, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

“Tidak ada hari-hari yang amal saleh lebih dicintai Allah daripada sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. Bukhari)

Jika Anda ingin, saya juga bisa bantu buatkan kalender puasa Dzulhijjah 1446 H dalam format visual. Mau saya bantu buatkan?

Keutamaan Puasa Awal Dzulhijjah dan Puasa Arafah

🌙 Puasa Awal Dzulhijjah: Ibadah Sunnah dengan Pahala Besar

Puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah ibadah sunnah yang sangat dianjurkan. Keutamaannya sangat besar karena hari-hari ini termasuk waktu paling dicintai oleh Allah untuk beramal saleh.

Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Imam At-Tirmidzi, Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبَّ إِلَى اللّٰهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيْهَا مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ يَعْدِلُ صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Tidak ada hari-hari yang lebih Allah sukai untuk beribadah selain sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Satu hari berpuasa di dalamnya setara dengan satu tahun berpuasa, dan satu malam mendirikan shalat malam setara dengan shalat pada malam Lailatul Qadar.”
(HR. At-Tirmidzi)


🕋 Keutamaan Khusus Puasa Arafah (9 Dzulhijjah)

Dari seluruh hari di awal Dzulhijjah, puasa pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) memiliki keutamaan paling besar. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa puasa Arafah dapat menghapus dosa selama dua tahun, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ…
“Puasa Arafah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang…”
(HR. Muslim)


📌 Kesimpulan

Berikut ringkasan keutamaan puasa di awal Dzulhijjah:

Hari PuasaKeutamaan
Tanggal 1–7 DzulhijjahSetiap hari puasa setara pahala dengan satu tahun puasa
Malam-malamnyaSetiap malam ibadah setara malam Lailatul Qadar
Hari Arafah (9 Dzulhijjah)Menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya

Melaksanakan puasa-puasa ini adalah kesempatan besar meraih pahala berlimpah, khususnya menjelang Hari Raya Idul Adha.

Jika Anda ingin, saya juga bisa bantu buatkan infografik sederhana tentang keutamaan puasa Dzulhijjah. Ingin dibuatkan?

Penulisan “Iduladha” yang Benar: Antara Bahasa, Makna, dan Keteladanan

Penulisan “Iduladha” yang Benar: Antara Bahasa, Makna, dan Keteladanan

Stylesphere – Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan dua momen agung yang sarat makna, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Kedua hari raya ini bukan sekadar tradisi keagamaan, melainkan juga momentum spiritual dan sosial yang mendalam. Iduladha, secara khusus, menjadi pengingat akan nilai pengorbanan, ketaatan, dan keikhlasan, seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS.

Namun, di tengah gegap gempita perayaannya, terdapat satu aspek yang sering terabaikan: penulisan istilah “Iduladha” yang benar dalam bahasa Indonesia. Tak jarang kita menjumpai variasi penulisan seperti “Idul Adha”, bahkan di media massa dan dokumen resmi. Pertanyaannya: mana yang tepat secara kaidah bahasa?

Penulisan yang Benar: “Iduladha”

Berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) dan referensi dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), penulisan yang benar dan baku adalah Iduladha, ditulis serangkai tanpa spasi.

Hal ini serupa dengan penulisan istilah lain seperti:

  • Idulfitri (bukan Idul Fitri)
  • Ramadhan (bukan Ramadan, jika mengikuti transliterasi Indonesia)

Kata “Iduladha” berasal dari bahasa Arab ‘Īd al-Aḍḥā (عيد الأضحى), yang secara harfiah berarti “Hari Raya Kurban”. Dalam proses penyerapan ke bahasa Indonesia, unsur fonetik disesuaikan, dan kata depan (Idul) digabungkan dengan kata berikutnya (adha) untuk membentuk satu kesatuan istilah.

Mengapa Ini Penting?

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, memahami penulisan istilah religius seperti ini bukan sekadar soal teknis. Ini juga merupakan bentuk kepedulian terhadap pelestarian bahasa nasional, serta menghormati makna sakral dari istilah tersebut.

Ketika kita menulis dengan benar, kita:

  • Menunjukkan kesadaran literasi bahasa
  • Menghargai struktur dan sejarah bahasa serapan
  • Memberikan contoh baik dalam komunikasi publik, terutama di ruang media dan pendidikan

Kesimpulan: Bahasa adalah Cerminan Keteladanan

Iduladha mengajarkan kita arti ketaatan yang murni dan pengorbanan yang tulus. Dalam konteks bahasa, ketaatan bisa dimaknai sebagai kedisiplinan dalam berbahasa, termasuk dalam menulis istilah keagamaan dengan benar. Mulai dari hal kecil seperti penulisan “Iduladha”, kita turut menjaga integritas bahasa sebagai sarana dakwah, komunikasi, dan peradaban.

Iduladha atau Idul Adha? Ini Penulisan yang Benar Menurut KBBI

Dalam praktik sehari-hari, penulisan istilah hari raya umat Islam ini memang kerap bervariasi. Sebagian orang menulis “Idul Adha” dengan spasi, sementara lainnya memilih bentuk “Iduladha” tanpa spasi. Lalu, yang manakah yang benar secara kaidah bahasa Indonesia?

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi VI yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, penulisan yang baku dan benar adalah “Iduladha”, ditulis dalam satu kata tanpa spasi.

Jika Anda mencoba mencari entri “Idul Adha” secara terpisah di situs resmi KBBI, tidak akan ditemukan hasil pencarian. Sebaliknya, ketika mengetik “Iduladha”, akan muncul definisi resmi sebagai berikut:

Iduladha (n): hari raya haji yang jatuh pada tanggal 10–13 Zulhijah, disertai dengan penyembelihan hewan kurban (seperti sapi, kambing, atau unta) bagi yang mampu.

Dengan demikian, “Idul Adha” dikategorikan sebagai bentuk tidak baku, meskipun masih umum ditemukan dalam media, percakapan, maupun tulisan informal.

Hal serupa juga berlaku untuk istilah “Idulfitri”, yang sering salah ditulis menjadi “Idul Fitri”. Menurut kaidah bahasa Indonesia, kedua istilah tersebut merupakan bentuk serapan utuh dari bahasa Arab yang seharusnya ditulis serangkai.

Kesimpulan

Sebagai pengguna bahasa Indonesia yang baik, penting bagi kita untuk membiasakan penulisan yang benar sesuai dengan standar baku. Menggunakan bentuk seperti “Iduladha” dan “Idulfitri” bukan hanya mencerminkan ketepatan berbahasa, tetapi juga menunjukkan kepedulian terhadap kaidah kebahasaan yang benar dan berwibawa.

Asal Usul dan Makna Kata “Iduladha”

Secara etimologis, istilah Iduladha berasal dari bahasa Arab ‘Īd al-Aḍḥā.

  • Kata ‘Īd (عيد) berarti “hari raya” atau “perayaan”.
  • Sementara Aḍḥā (الأضحى) berasal dari kata aḍḥiyah (أضحية), yang berarti “kurban” atau “hewan sembelihan”.

Gabungan kedua kata ini, ‘Īd al-Aḍḥā, secara harfiah bermakna “hari raya kurban” atau “hari raya penyembelihan”.

Dalam sejarah Islam, Iduladha memperingati momen luar biasa ketika Nabi Ibrahim a.s. menunjukkan ketundukannya kepada perintah Allah SWT untuk mengorbankan putranya, Nabi Ismail a.s. Sebuah peristiwa yang menggambarkan ketaatan, keikhlasan, dan pengorbanan total dalam menjalankan kehendak Ilahi.

Istilah Lokal di Indonesia

Di tengah masyarakat Indonesia, Iduladha juga dikenal dengan beberapa nama lain yang mencerminkan kekayaan budaya lokal, antara lain:

  • Lebaran Haji – karena bertepatan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci.
  • Lebaran Besar – merujuk pada perayaannya yang dianggap lebih megah dibandingkan Idulfitri.
  • Hari Raya Kurban atau Idul Kurban – menekankan pada tradisi penyembelihan hewan kurban.

Meski istilah-istilah lokal ini cukup populer dalam penggunaan sehari-hari, hanya bentuk “Iduladha” yang diakui secara baku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Siapa yang Wajib Berkurban? Ini Batas Mampu dalam Ibadah Kurban Menurut Islam

Siapa yang Wajib Berkurban? Ini Batas Mampu dalam Ibadah Kurban Menurut Islam

Stylesphere – Pada bulan Dzulhijjah, terutama saat Hari Raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan ibadah kurban sebagai bentuk ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Anjuran ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah Al-Kautsar ayat 2:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
Artinya: Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

Meskipun ibadah kurban sangat dianjurkan, Islam tidak mewajibkan setiap orang untuk melaksanakannya. Ajaran Islam sangat memperhatikan kemampuan serta kondisi ekonomi individu, sehingga pelaksanaan ibadah kurban tidak dimaksudkan untuk memberatkan siapa pun.

Namun, sering muncul pemahaman keliru di tengah masyarakat bahwa ibadah kurban hanya ditujukan bagi mereka yang berkecukupan atau orang-orang kaya saja. Padahal, anggapan ini tidak sepenuhnya tepat. Islam memiliki kriteria yang jelas untuk menentukan siapa yang termasuk “mampu” dan karenanya disunnahkan untuk berkurban.

Batas Mampu Berkurban

Menurut penjelasan yang dikutip dari laman NU Online pada Selasa (20/5/2025), seseorang dikatakan mampu berkurban apabila ia memiliki kelebihan harta setelah mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya selama hari raya dan hari tasyrik. Artinya, seseorang tidak perlu menjadi orang kaya untuk bisa berkurban. Asalkan ada dana lebih, meskipun tidak besar, dan tidak mengganggu kebutuhan dasar, maka ia sudah termasuk kategori mampu.

Tidak Ada Paksaan

Bagi yang belum mampu, tidak ada kewajiban untuk memaksakan diri. Islam memberikan kelonggaran dan menilai niat serta kesungguhan hati dalam beribadah. Maka, yang terpenting adalah semangat beribadah dan keikhlasan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kapan Seseorang Dianggap Mampu Berkurban? Ini Penjelasan Imam Ibnu Hajar

Penjelasan mengenai batasan kemampuan dalam berkurban juga ditegaskan oleh ulama besar, Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), dalam karyanya Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj. Menurut beliau, seseorang dikatakan mampu berkurban jika ia memiliki kelebihan rezeki setelah mencukupi kebutuhan pokok diri dan keluarganya—seperti makanan dan pakaian—selama Hari Raya Idul Adha hingga tiga hari tasyrik berikutnya.

Imam Ibnu Hajar menjelaskan, karena kurban merupakan bentuk sedekah, maka seseorang yang ingin melakukannya harus sudah terbebas dari kebutuhan pribadi dan keluarganya terlebih dahulu.

Beliau menulis:

وَلَا بُدَّ أَنْ تَكُونَ فَاضِلَةً عَنْ حَاجَتِهِ وَحَاجَةِ مَنْ يُمَوِّنُهُ لِأَنَّهَا نَوْعُ صَدَقَةٍ

Artinya: “Dan (harta untuk berkurban) harus lebih dari kebutuhannya sendiri dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, karena kurban adalah bagian dari sedekah.” (Tuhfatul Muhtaj, Juz IV, hlm. 47).

Kesimpulan

Berdasarkan pendapat ini, batas mampu berkurban tidaklah diukur dari status ekonomi yang tinggi, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan pokok pribadi dan keluarga. Jika masih ada kelebihan rezeki setelah itu, maka ia termasuk orang yang mampu untuk berkurban. Sebaliknya, jika belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka ia tidak termasuk dalam golongan yang dibebani ibadah kurban.

Wallahu a’lam.

Hari Raya Idul Adha: Makna, Tradisi, dan Ucapan dalam Bahasa Inggris

Hari Raya Idul Adha: Makna, Tradisi, dan Ucapan dalam Bahasa Inggris

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha, yang juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban, merupakan salah satu momen penting dalam kalender umat Islam yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan sosial. Perayaan ini memperingati ketaatan dan keteguhan Nabi Ibrahim AS dalam menjalankan perintah Allah SWT untuk mengorbankan putranya tercinta, yang kemudian digantikan oleh Allah dengan seekor domba sebagai wujud rahmat dan kasih sayang-Nya.

Di hari suci ini, umat Muslim di seluruh dunia menggelar salat Idul Adha secara berjamaah, menyembelih hewan kurban, dan membagikan dagingnya kepada keluarga, tetangga, serta mereka yang membutuhkan. Lebih dari sekadar pelaksanaan ibadah, Idul Adha merupakan ajang memperkuat semangat keikhlasan, empati sosial, dan kepedulian terhadap sesama.

Selain berkurban, salah satu cara memperingati Idul Adha yang tak kalah penting adalah dengan menyampaikan ucapan selamat. Memberikan ucapan Hari Raya Idul Adha dalam bahasa Inggris menjadi sarana untuk menebarkan pesan perdamaian, doa, dan kasih sayang yang dapat diterima oleh semua kalangan, tanpa batasan bahasa dan budaya.

Sebagai bentuk apresiasi dan inspirasi, berikut 60 contoh ucapan Idul Adha dalam bahasa Inggris lengkap dengan terjemahannya yang telah dihimpun oleh Stylesphere, Selasa (20/5/2025).

Ucapan Idul Adha Dalam Bahasa Inggris

  1. Eid Mubarak! May your sacrifices be accepted and your prayers answered. Selamat Hari Raya Idul Adha! Semoga pengorbananmu diterima dan doamu dikabulkan.
  2. Wishing you a joyous and peaceful Eid al-Adha! Semoga Idul Adha-mu penuh kebahagiaan dan kedamaian!
  3. Happy Eid al-Adha! May Allah shower His mercy on you and your loved ones. Selamat Idul Adha! Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu dan orang-orang tercintamu.
  4. May this blessed day bring happiness and peace to your heart. Eid Mubarak! Semoga hari yang diberkahi ini membawa kebahagiaan dan kedamaian di hatimu. Selamat Idul Adha!
  5. Eid al-Adha Mubarak! May this day inspire us all to be more compassionate. Selamat Idul Adha! Semoga hari ini menginspirasi kita untuk lebih berbelas kasih.
  6. Eid Mubarak to my dearest family! May our bond grow stronger through faith and sacrifice. Selamat Idul Adha untuk keluarga tercintaku! Semoga ikatan kita semakin kuat melalui iman dan pengorbanan.
  7. Wishing my beloved family a peaceful and blessed Eid al-Adha. Semoga keluarga tercintaku merayakan Idul Adha yang damai dan penuh berkah.
  8. On this sacred day, may our home be filled with warmth and gratitude. Eid Mubarak! Pada hari suci ini, semoga rumah kita dipenuhi kehangatan dan rasa syukur. Selamat Idul Adha!
  9. May Allah accept our Qurbani and strengthen the love in our family. Semoga Allah menerima kurban kita dan mempererat cinta dalam keluarga kita.
  10. Happy Eid to the family that completes me. I am blessed to have you all. Selamat Idul Adha untuk keluarga yang membuat hidupku lengkap. Aku diberkahi memiliki kalian.
  11. Eid Mubarak, my friend! May your day be as bright as your smile. Selamat Idul Adha, temanku! Semoga harimu secerah senyummu.
  12. Wishing you and your family an Eid full of peace and joy. Semoga kamu dan keluargamu merayakan Idul Adha yang penuh kedamaian dan kegembiraan.
  13. On this beautiful occasion, I pray for your success and happiness. Eid Mubarak! Pada kesempatan yang indah ini, aku berdoa untuk kesuksesan dan kebahagiaanmu. Selamat Idul Adha!
  14. Let’s celebrate Eid with a heart full of gratitude and a spirit full of kindness. Mari rayakan Idul Adha dengan hati yang penuh syukur dan semangat kebaikan.
  15. Eid al-Adha Mubarak, bestie! Hope your sacrifice brings immense reward. Selamat Idul Adha, sahabatku! Semoga pengorbananmu membawa pahala besar.

Ucapan idul Adha Sederhana Dalam Bahasa Inggris

  1. Eid Mubarak! Selamat Idul Adha!
  2. Happy Eid al-Adha! Selamat Idul Adha!
  3. Wishing you peace and joy today and always. Semoga kamu selalu dipenuhi kedamaian dan kebahagiaan.
  4. May your Eid be bright and blessed. Semoga Idul Adha-mu penuh cahaya dan berkah.
  5. Joyous Eid wishes to you and your loved ones! Ucapan Idul Adha yang penuh kebahagiaan untukmu dan orang-orang tercinta!
  6. Eid Mubarak, little star! May your smile shine brighter this Eid. Selamat Idul Adha, bintang kecil! Semoga senyummu bersinar lebih terang tahun ini.
  7. Enjoy the sweets, the toys, and the joy of Eid! Nikmati permen, mainan, dan kegembiraan Idul Adha!
  8. Eid al-Adha is more fun when celebrated with kids like you! Idul Adha lebih seru saat dirayakan bersama anak sepertimu!
  9. May this Eid bring lots of gifts and laughter to your day. Semoga Idul Adha ini membawa banyak hadiah dan tawa di harimu.
  10. Happy Eid, my dear child. You’re the reason every celebration is magical. Selamat Idul Adha, anakku tersayang. Kamu adalah alasan setiap perayaan terasa ajaib.
  11. Wishing you and your team a prosperous and peaceful Eid al-Adha. Semoga kamu dan timmu merayakan Idul Adha yang makmur dan damai.
  12. Eid Mubarak! May this holiday bring fresh inspiration to your goals. Selamat Idul Adha! Semoga liburan ini membawa inspirasi baru untuk tujuanmu.
  13. May your hard work be rewarded with blessings this Eid. Semoga kerja kerasmu dibalas dengan berkah di Idul Adha ini.
  14. Sending best wishes of success and peace on this Eid al-Adha. Kirimkan doa terbaik untuk kesuksesan dan kedamaian di Idul Adha ini.
  15. Happy Eid to a valued colleague and friend. Selamat Idul Adha untuk rekan kerja dan sahabat yang berharga.

Ucapan Hari Raya Idul Adha Untuk Pasangan

  1. Eid Mubarak, my love. You are my greatest blessing. Selamat Idul Adha, cintaku. Kamu adalah berkah terbesarku.
  2. May this Eid strengthen our bond and bring us endless happiness. Semoga Idul Adha ini memperkuat ikatan kita dan membawa kebahagiaan tiada henti.
  3. Your love makes every Eid more meaningful. Happy Eid, darling. Cintamu membuat setiap Idul Adha lebih bermakna. Selamat Idul Adha, sayang.
  4. Eid Mubarak to the one who makes my world brighter. Selamat Idul Adha untuk orang yang membuat duniaku lebih bersinar.
  5. Let’s cherish this Eid together and grow stronger in love and faith. Mari rayakan Idul Adha ini bersama dan tumbuh dalam cinta dan iman.
  6. May Allah bless you with health, wealth, and faith. Eid Mubarak! Semoga Allah memberkatimu dengan kesehatan, kekayaan, dan iman. Selamat Idul Adha!
  7. On this holy day, may all your prayers be answered. Di hari yang suci ini, semoga semua doamu dikabulkan.
  8. May your sacrifices bring you closer to Allah and His mercy. Semoga pengorbananmu mendekatkanmu kepada Allah dan rahmat-Nya.
  9. Eid Mubarak! May you always walk on the path of righteousness. Selamat Idul Adha! Semoga kamu selalu berada di jalan yang benar.
  10. Wishing you a heart filled with gratitude and faith this Eid. Semoga hatimu dipenuhi rasa syukur dan iman di Idul Adha ini.
  11. The true meaning of Eid lies in sharing and caring. Happy Eid al-Adha! Makna sejati Idul Adha terletak pada berbagi dan peduli. Selamat Idul Adha!
  12. Celebrate this Eid with a pure heart and open arms. Rayakan Idul Adha ini dengan hati yang tulus dan tangan terbuka.
  13. Eid al-Adha reminds us to give, forgive, and grow. Idul Adha mengingatkan kita untuk memberi, memaafkan, dan berkembang.
  14. May the story of Ibrahim inspire us to obey and trust Allah always. Semoga kisah Nabi Ibrahim menginspirasi kita untuk selalu taat dan percaya kepada Allah.
  15. Let your sacrifices reflect your love for the Creator. Biarlah pengorbananmu mencerminkan cintamu kepada Sang Pencipta.
Memahami Hukum Kurban: Sunnah atau Wajib? Penjelasan Buya Yahya

Memahami Hukum Kurban: Sunnah atau Wajib? Penjelasan Buya Yahya

Stylesphere – Ibadah kurban merupakan salah satu amalan penting dalam Islam yang dilaksanakan setiap Hari Raya Iduladha, termasuk pada perayaan Iduladha 2025 mendatang. Meski demikian, masih banyak umat Muslim yang belum sepenuhnya memahami status hukum kurban, terutama terkait kapan kurban bersifat sunnah dan kapan bisa menjadi wajib.

Kebingungan sering muncul, terutama bagi mereka yang telah berniat untuk berkurban. Dalam ajaran Islam, khususnya menurut Mazhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas ulama (jumhur), hukum kurban pada dasarnya adalah sunnah muakkad. Artinya, kurban sangat dianjurkan tetapi tidak bersifat wajib bagi setiap Muslim.

Namun, ada kondisi tertentu yang dapat mengubah hukum kurban menjadi wajib, salah satunya adalah jika disertai dengan nazar.

Melalui tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @buyayahyaofficial, Minggu (18/05/2025), pendakwah kharismatik KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal dengan Buya Yahya, memberikan penjelasan rinci mengenai hal ini.

Menurut Buya Yahya, jika seseorang dengan tegas menyatakan niat nazar, misalnya dengan mengucapkan, “Aku nazar mau menyembelih kambing sebagai kurban,” maka kurban tersebut otomatis menjadi wajib.

Pernyataan ini dianggap sebagai janji yang mengikat secara syar’i dan tidak boleh diabaikan. Bahkan, Buya Yahya menegaskan bahwa apabila kurban dilakukan sebagai bentuk nazar, maka daging hewan kurban tersebut tidak boleh dimakan oleh orang yang berkurban maupun keluarganya, melainkan harus dibagikan seluruhnya kepada yang berhak menerimanya.

Dengan memahami perbedaan antara kurban yang bersifat sunnah dan yang menjadi wajib karena nazar, umat Muslim diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam berniat dan menjalankan ibadah kurban. Pengetahuan ini juga penting agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanaan dan pembagian kurban.

Bedakan Kurban Sunnah dan Kurban Nazar, Jangan Sampai Ibadah Jadi Beban

Menjelang Iduladha 2025, pemahaman umat Muslim terhadap hukum kurban kembali menjadi perhatian. Salah satu hal penting yang perlu diketahui adalah perbedaan antara kurban yang sunnah dan kurban yang wajib karena nazar. Hal ini disampaikan oleh pendakwah ternama Buya Yahya, melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial, Minggu (18/05/2025).

Menurut Buya Yahya, jika tidak ada niat nazar yang diucapkan secara jelas, maka ibadah kurban tetap berstatus sebagai sunnah muakkad. Dalam hal ini, orang yang berkurban boleh memakan sebagian daging kurbannya, serta membagikannya kepada tetangga, kerabat, dan fakir miskin.

“Selagi kurban itu sunnah, bukan nazar, maka orang yang berkurban boleh memakan dagingnya. Jangan sampai kurban yang seharusnya menjadi ibadah penuh berkah malah berubah menjadi beban,” tegas Buya Yahya.

Namun, berbeda halnya jika seseorang telah menyatakan nazar—misalnya dengan berkata “Saya nazar akan menyembelih kambing untuk kurban”—maka kurban tersebut menjadi wajib, dan ada konsekuensi yang harus ditanggung.

Dalam konteks ini, Buya Yahya mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati dalam mengucapkan niat nazar, karena nazar adalah janji kepada Allah yang harus ditepati. Sekali diucapkan, ia tidak bisa dicabut, dan pelaksanaannya memiliki aturan yang berbeda dengan kurban sunnah.

Jika kurban dilakukan sebagai nazar, maka seluruh bagian daging kurban wajib diberikan kepada fakir miskin. Orang yang berkurban maupun keluarganya tidak diperbolehkan mengonsumsinya, karena daging tersebut menjadi bentuk pemenuhan janji kepada Allah, bukan lagi sebagai ibadah sunnah yang bersifat fleksibel.

“Ini yang sering kali tidak dipahami oleh masyarakat, sehingga terjebak dalam anggapan bahwa kurban selalu wajib,” ujar Buya Yahya.

Dengan memahami perbedaan mendasar ini, umat Muslim diharapkan dapat menjalankan ibadah kurban dengan lebih tepat, tenang, dan penuh keberkahan, tanpa terbebani oleh kesalahpahaman dalam niat maupun pelaksanaannya.

Buya Yahya: Kurban Adalah Ibadah Berbagi, Bukan Beban

Buya Yahya kembali menegaskan pentingnya bijak dalam bernazar, terutama terkait ibadah kurban yang akan dijalankan umat Islam pada Iduladha 2025. Ia mengingatkan bahwa kebiasaan sebagian masyarakat yang mudah mengucapkan nazar tanpa pertimbangan matang dapat menimbulkan kewajiban berat yang justru membebani diri sendiri.

“Jangan mudah-mudah bernazar. Nazar itu janji kepada Allah. Sekali terucap, wajib ditunaikan,” kata Buya Yahya melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial.

Lebih lanjut, Buya menjelaskan bahwa kurban yang dilakukan tanpa nazar tetap berstatus sunnah muakkad, yakni ibadah yang sangat dianjurkan tetapi tidak wajib. Dalam kondisi ini, orang yang berkurban berhak menikmati sebagian daging kurban, serta membagikannya kepada tetangga, kerabat, dan fakir miskin. Hal ini menjadi sarana berbagi kebahagiaan dan mempererat tali persaudaraan antarwarga.

Terkait pembagian daging, Buya Yahya menyarankan agar fakir miskin tetap menjadi prioritas utama. Namun, menurutnya, tidak ada larangan bagi orang mampu menerima daging kurban, selama tujuannya adalah menjaga kebersamaan dan keharmonisan sosial.

“Kurban jangan sampai menjadi ibadah yang penuh tekanan. Selama tidak dinazarkan, tetaplah pada status sunnah. Jalani dengan ringan, ikhlas, dan gembira,” ujar Buya.

Ia juga menekankan bahwa inti dari kurban adalah niat ikhlas untuk berbagi, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Oleh karena itu, umat Islam diimbau untuk memahami hukum dan aturan seputar kurban, terutama terkait nazar, agar bisa melaksanakan ibadah ini dengan tenang dan penuh keberkahan.

Dengan penjelasan tersebut, Buya Yahya berharap masyarakat dapat menjalani ibadah kurban secara bijak, sadar, dan tidak terburu-buru dalam bernazar, sehingga kurban tetap menjadi ibadah yang membawa manfaat lahir dan batin.

Jangan Tergesa Nazar, Kurban Harus Dilakukan dengan Niat Tulus

Menjelang Hari Raya Idul adha 2025, pendakwah ternama Buya Yahya kembali menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam menjalankan ibadah kurban. Ia memperingatkan agar umat Islam tidak tergesa-gesa melafalkan nazar tanpa mempertimbangkan konsekuensinya secara matang.

“Nazar itu ikatan serius dengan Allah. Jika sudah terucap, maka wajib ditepati. Jangan sampai niat baik berubah menjadi beban hanya karena tidak paham hukum kurban,” ujar Buya Yahya dalam video yang tayang di kanal YouTube @buyayahyaofficial.

Menurut Buya, banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara kurban sunnah dan kurban yang menjadi wajib karena nazar. Kurban sunnah bersifat sangat dianjurkan namun tidak mengikat, sehingga pelaksananya boleh menikmati daging kurban dan membaginya kepada sesama. Sementara jika sudah dinazarkan, maka seluruh daging kurban wajib disedekahkan kepada fakir miskin, dan orang yang berkurban tidak boleh memakannya.

Di akhir penjelasannya, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk menjadikan kurban sebagai momen kebersamaan dan berbagi, bukan sumber perdebatan atau tekanan. Ia mengingatkan bahwa perbedaan pendapat soal hukum kurban tidak seharusnya menimbulkan perselisihan di tengah masyarakat.

“Kurban adalah simbol pengorbanan dan ketulusan. Laksanakanlah dengan hati yang lapang, niat yang murni, dan semangat berbagi,” pesannya.

Dengan pemahaman yang tepat mengenai hukum kurban, termasuk konsekuensi dari nazar, Buya Yahya berharap umat Islam bisa menjalani ibadah ini dengan lebih ikhlas, sadar, dan penuh keberkahan.

Semoga penjelasan ini menjadi pencerahan bagi masyarakat agar tidak lagi salah paham dan mampu melaksanakan kurban sesuai tuntunan agama, dengan niat tulus dan semangat persaudaraan.

Ini Syarat Seseorang Dikatakan Mampu Naik haji

Ini Syarat Seseorang Dikatakan Mampu Naik haji

Stylesphere – Setiap Muslim tentu memendam harapan besar untuk bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Menatap Ka’bah secara langsung, berdiri di Padang Arafah, serta berjalan mengelilingi Ka’bah dalam thawaf dan menempuh sa’i menjadi impian dan cita-cita jutaan umat Islam di seluruh dunia.

Namun, penting untuk dipahami bahwa ibadah haji tidak diwajibkan bagi semua orang. Hanya mereka yang memenuhi syarat “mampu” yang diwajibkan untuk melaksanakannya.

Sering kali, makna “mampu” ini disempitkan hanya pada aspek finansial. Banyak yang beranggapan bahwa selama seseorang memiliki uang yang cukup, maka ia dianggap telah memenuhi syarat wajib haji. Tetapi, benarkah sesederhana itu?

Dalam ajaran Islam, istilah “mampu” memiliki arti yang jauh lebih luas. Kemampuan untuk berhaji tidak hanya diukur dari seberapa besar tabungan atau berapa banyak aset yang dimiliki.

Ada berbagai aspek lain yang juga menjadi pertimbangan, seperti kondisi fisik, keamanan perjalanan, hingga tanggung jawab terhadap keluarga. Islam tidak akan pernah membebani umatnya dengan kewajiban yang berada di luar batas kemampuan mereka.

Penjelasan NU Online

Mengacu pada penjelasan dari NU Online, kemampuan (istitha’ah) menjadi salah satu syarat wajib dalam pelaksanaan ibadah haji. Artinya, bagi mereka yang tidak masuk dalam kategori mampu, maka kewajiban haji tidak berlaku baginya.

Hal ini ditegaskan secara langsung oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:

وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
(QS. Ali Imran: 97)

Para ulama kemudian mengelaborasi makna “mampu” dalam ayat tersebut dengan membaginya ke dalam dua bentuk kemampuan:

  1. Mampu berhaji secara langsung (dengan diri sendiri).
  2. Mampu berhaji dengan mewakilkan kepada orang lain (badal haji).

Untuk kategori pertama, yaitu seseorang yang mampu menunaikan ibadah haji dengan dirinya sendiri, ulama menyebutkan bahwa terdapat lima syarat utama yang harus dipenuhi agar seseorang dianggap benar-benar mampu. Penjelasan tentang kelima syarat tersebut akan memperjelas bahwa kemampuan berhaji tidak hanya dilihat dari segi materi, tetapi juga mencakup aspek fisik, keamanan, dan tanggung jawab lainnya.

Kesehatan Calon Jemaah

Menunaikan ibadah haji bukanlah perjalanan biasa. Ibadah ini menuntut kesiapan fisik dan mental karena rangkaian manasik yang padat dan menguras tenaga. Oleh karena itu, kesehatan jasmani menjadi syarat utama bagi mereka yang ingin berhaji secara langsung.

Seseorang yang mengalami kondisi seperti lumpuh, usia lanjut yang sangat renta, atau mengidap penyakit permanen yang membuatnya tidak sanggup menjalani aktivitas fisik yang berat maupun menempuh perjalanan jauh, tidak lagi masuk dalam kategori “mampu secara fisik”. Namun, jika ia memiliki kemampuan finansial, maka kewajiban berhaji tetap berlaku—dengan cara mengutus orang lain (badal haji) untuk menggantikan pelaksanaannya.

2. Memiliki Sarana Transportasi yang Memadai

Selain kesiapan fisik, kemampuan untuk mencapai Tanah Suci juga menjadi syarat penting. Dalam pandangan ulama, orang yang tinggal jauh dari Mekah—yakni lebih dari dua marhalah (sekitar 81 kilometer)—baru diwajibkan haji jika memiliki akses transportasi yang layak untuk mencapai lokasi ibadah, baik melalui kendaraan milik sendiri maupun dengan menyewa.

Hal ini juga berlaku untuk mereka yang tinggal relatif dekat, tetapi secara fisik tidak mampu menempuh jarak tersebut dengan berjalan kaki. Dalam konteks Indonesia, syarat ini bisa diterjemahkan sebagai kemampuan membiayai perjalanan dengan pesawat serta transportasi pendukung lainnya selama menjalankan seluruh prosesi ibadah haji.

3. Keamanan dalam Perjalanan

Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan ibadah haji adalah jaminan keamanan. Seorang Muslim hanya diwajibkan berhaji jika keselamatan jiwa, harta, dan kehormatannya terjamin sepanjang perjalanan dan selama berada di Tanah Suci. Apabila terdapat kondisi yang membahayakan seperti konflik bersenjata, maraknya aksi perampokan, atau cuaca ekstrem yang menghalangi perjalanan, maka kewajiban haji tidak berlaku sampai kondisi kembali aman dan memungkinkan.

4. Perempuan Harus Didampingi Suami, Mahram, atau Rombongan Terpercaya

Syariat Islam memberikan perhatian khusus terhadap keselamatan dan kenyamanan perempuan yang akan menunaikan haji. Oleh karena itu, seorang perempuan tidak diperbolehkan melakukan perjalanan jauh sendirian, termasuk untuk ibadah haji. Ia harus didampingi oleh suami, mahram (kerabat laki-laki yang haram dinikahi), atau rombongan perempuan yang dapat dipercaya. Jika tidak ada satu pun dari ketiganya yang bisa menemani, maka ia tidak termasuk dalam kategori wajib haji—karena syarat keamanan dan pendampingan belum terpenuhi.

5. Adanya Waktu yang Cukup untuk Menempuh Perjalanan Haji

Berbeda dengan umrah yang bisa dilakukan kapan saja, ibadah haji hanya bisa dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu dalam tahun hijriyah. Karena itu, syarat wajib haji juga mencakup adanya rentang waktu yang memungkinkan seseorang untuk melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya ke Mekah. Jika seseorang tidak memiliki cukup waktu untuk memulai dan menyelesaikan perjalanan serta rangkaian ibadah sesuai jadwal yang ditentukan, maka kewajiban haji belum berlaku baginya.

Sejarah Idul Adha Dalam Agama Islam

Sejarah Idul Adha Dalam Agama Islam

Stylesphere – Kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS, merupakan inti dari Idul Adha. Allah SWT menguji keimanan Nabi Ibrahim AS dengan memerintahkannya untuk mengorbankan putranya yang sangat dicintainya. Nabi Ibrahim AS, dengan penuh ketaatan dan keikhlasan, siap melaksanakan perintah tersebut.

Keikhlasan Nabi Ismail AS yang rela dikorbankan juga merupakan teladan yang luar biasa. Kisah ini menunjukkan betapa pentingnya ketaatan dan kepasrahan kepada Allah SWT, bahkan dalam menghadapi cobaan yang sangat berat.

Pada saat Nabi Ibrahim AS hendak menyembelih Nabi Ismail AS, Allah SWT mengganti Nabi Ismail AS dengan seekor domba sebagai pengganti kurban. Peristiwa ini menunjukkan kasih sayang dan rahmat Allah SWT yang tak terhingga.

Pengujian keimanan Nabi Ibrahim AS dan keikhlasan Nabi Ismail AS mengajarkan kita tentang arti sebenarnya dari pengorbanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Kisah ini menjadi landasan utama dari syariat kurban dalam Islam.

Awal Mula Syariat Kurban dalam Islam

Syariat kurban dalam Islam berakar dari kisah Nabi Ibrahim AS. Allah SWT telah menurunkan perintah untuk berkurban dalam Al-Qur’an, seperti yang tercantum dalam QS Al Hajj ayat 34:

 وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Wa likulli ummatin ja’alnaa mansakan liyazkuruu ismallaahi ‘alaa maa razaqahum min bahiimati al-‘an’aami fa ilaahukum ilaahun waahidun fala hu aslimuu wa basysyiril mukhibtiin.

Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”

Rasulullah SAW juga melaksanakan ibadah kurban dan mengajarkannya kepada umatnya. Tradisi kurban kemudian berkembang dari masa ke masa, menjadi bagian integral dari perayaan Idul Adha.

Memahami Makna Idul Adha: Ibadah, Pengorbanan, dan Kepedulian Sosial

Idul Adha, salah satu hari raya besar dalam Islam, diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah dalam kalender Hijriah. Momen suci ini tidak hanya menandai puncaknya ibadah haji di Tanah Suci Mekkah, tetapi juga menjadi peringatan atas kisah penuh keimanan dan pengorbanan dari Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS.

Dalam sejarahnya, Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah SWT untuk mengorbankan putra tercintanya sebagai bentuk ketaatan total. Namun, sebelum pengorbanan itu terlaksana, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai bentuk rahmat dan ujian keimanan. Peristiwa ini menjadi simbol penting tentang ketaatan, keikhlasan, dan pengorbanan dalam ajaran Islam.

Lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan kurban, Idul Adha mengajarkan nilai-nilai luhur yang mencakup kepedulian sosial dan semangat berbagi. Daging hewan kurban yang disembelih tidak hanya untuk keluarga sendiri, melainkan dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Tradisi ini menumbuhkan solidaritas dan mempererat ikatan sosial dalam masyarakat.

Idul Adha juga menjadi momentum reflektif bagi umat Muslim untuk menumbuhkan keimanan dan memperkuat hubungan dengan sesama. Di tengah suasana perayaan, umat diajak untuk merenungi makna sejati dari pengorbanan—yakni mendahulukan perintah Allah dan kepentingan orang lain di atas keinginan pribadi.

Sebagai perayaan yang menyatukan umat Muslim di seluruh dunia, Idul Adha adalah saat yang tepat untuk mempererat silaturahmi, memperkuat rasa syukur, dan menumbuhkan empati terhadap sesama. Hari raya ini tidak hanya menjadi bentuk ibadah vertikal kepada Allah, tetapi juga ibadah horizontal yang menumbuhkan cinta kasih dan kepedulian sosial di tengah kehidupan bermasyarakat.

Dengan memahami makna mendalam dari Idul Adha, semoga kita semua dapat menghayati nilai-nilainya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari—menjadi pribadi yang lebih taat, ikhlas, dan peduli terhadap sesama.

Idul Adha: Makna, Asal Usul, dan Nilai Spiritual di Baliknya

Idul Adha merupakan salah satu hari raya terbesar dalam Islam yang sarat makna spiritual dan sosial. Kata “Idul Adha” berasal dari bahasa Arab, di mana ‘Id’ berarti “perayaan” atau “kembali”, dan ‘Adha’ berarti “kurban” atau “sembelihan”. Secara harfiah, Idul Adha berarti Hari Raya Kurban, merujuk pada peristiwa besar dalam sejarah Islam: pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang bersedia menyembelih putranya, Nabi Ismail AS, demi menjalankan perintah Allah SWT.

Dalam masyarakat Muslim, Idul Adha juga dikenal dengan sebutan Hari Raya Kurban, Lebaran Haji, atau Idul Kubra (hari raya besar), yang membedakannya dari Idul Fitri yang disebut sebagai Idul Shughra (hari raya kecil). Perbedaan ini mencerminkan karakteristik dan nilai utama dari masing-masing hari raya.

Idul Fitri menandai kemenangan spiritual setelah sebulan penuh berpuasa, lebih bersifat personal dan introspektif. Sementara itu, Idul Adha menekankan aspek pengorbanan dan ketaatan kepada Allah SWT, serta kepedulian sosial melalui penyembelihan hewan kurban dan pembagian daging kepada mereka yang membutuhkan.

Momentum Idul Adha tidak hanya memperingati pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail AS, tetapi juga mengajak umat Islam untuk merefleksikan nilai-nilai pengorbanan, keikhlasan, dan ketaatan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks modern, pesan ini tetap relevan: sering kali kita harus membuat keputusan sulit yang menuntut kerelaan untuk melepaskan sesuatu demi kebaikan yang lebih besar, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

Ritual penyembelihan hewan kurban bukan hanya bentuk ibadah simbolik, tetapi juga ekspresi konkret dari rasa syukur dan kepatuhan kepada Allah SWT. Melalui ibadah ini, umat Muslim diingatkan untuk berbagi rezeki dan menjalin solidaritas sosial, memperkuat ikatan antar sesama, serta menyebarkan semangat kebaikan.

Idul Adha, dengan segala makna yang terkandung di dalamnya, menjadi momen penting untuk mempertegas komitmen spiritual dan sosial umat Muslim. Semoga kita bisa terus menghidupkan nilai-nilai luhur dari perayaan ini dalam kehidupan kita, tak hanya saat hari raya, tetapi juga sepanjang tahun.

Pelaksanaan Idul Adha dalam Ajaran Islam

Rangkaian ibadah Idul Adha diawali dengan salat Idul Adha yang dilaksanakan pada pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah. Setelah salat, dibacakan khutbah yang biasanya berisi pesan-pesan moral dan ajaran agama.

Takbir dan tahmid dikumandangkan sejak malam Idul Adha hingga hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah). Penyembelihan hewan kurban dilakukan setelah salat Idul Adha atau pada hari-hari tasyrik.

Hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah) merupakan hari-hari yang dianjurkan untuk memperbanyak takbir dan berdoa. Pembagian daging kurban juga dilakukan pada hari-hari tersebut.

Hukum berkurban adalah sunnah muakkadah (sunnah yang dianjurkan). Hewan yang boleh dikurbankan adalah unta, sapi, kambing, atau domba yang memenuhi syarat tertentu.

Syarat hewan kurban antara lain sehat, tidak cacat, dan telah mencapai usia tertentu. Waktu penyembelihan hewan kurban adalah pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.

Daging kurban dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk keluarga yang berkurban, sepertiga untuk kerabat dan tetangga, dan sepertiga untuk fakir miskin. Ada larangan bagi orang yang berkurban untuk memakan daging kurbannya sebelum dibagikan kepada yang berhak menerimanya.

Haji: Ibadah Penuh Pengorbanan dan Hikmah Mendalam

Haji: Ibadah Penuh Pengorbanan dan Hikmah Mendalam

Stylesphere – Menunaikan ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu, baik secara finansial, fisik, maupun mental. Pada tahun 1446 H/2025 M, pemerintah bersama DPR telah menetapkan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp89.410.258,79 dengan asumsi nilai tukar dolar AS sebesar Rp16.000. Jumlah tersebut tentu bukan angka yang kecil dan menjadi pengorbanan besar bagi banyak calon jemaah.

Meski mahal, semangat umat Islam untuk menunaikan Rukun Islam kelima tetap tinggi. Tak sedikit masyarakat dengan pekerjaan sederhana seperti buruh, yang dengan penuh tekad menabung sedikit demi sedikit demi bisa berangkat ke Tanah Suci. Ini membuktikan bahwa haji bukan sekadar soal materi, tapi juga soal niat dan kesungguhan hati.

Perlu diketahui bahwa haji hanya diwajibkan bagi mereka yang memenuhi syarat kemampuan. Kemampuan ini tidak hanya dalam hal keuangan, tapi juga kesehatan jasmani dan kesiapan mental. Bagi yang belum mampu, kewajiban tersebut belum berlaku dan tidak mendatangkan dosa.

Di balik ibadah haji, tersimpan banyak kisah penuh pelajaran. Salah satunya berasal dari kitab Irsyadul ‘Ibad, yang menggambarkan nilai-nilai luhur dari ibadah ini. Kisah ini menjadi pengingat bagi siapa pun yang akan atau sudah menunaikan haji, baik untuk pertama kali maupun yang sudah berulang.

Haji bukan hanya perjalanan fisik menuju Mekah, tetapi juga perjalanan spiritual untuk membersihkan diri dan memperbarui tekad dalam menjalani kehidupan. Kisah-kisah semacam ini menjadi cermin bahwa haji sejati tidak hanya tercermin dalam perjalanan, tetapi juga dalam perubahan akhlak dan keikhlasan hati setelahnya.

Pelajaran dari Dua Haji yang Gugur Karena Riya’

Dalam sebuah kisah yang diriwayatkan dari ulama besar Sufyan ats-Tsauri, terdapat pelajaran berharga tentang keikhlasan dalam beribadah, khususnya dalam menunaikan haji.

Suatu ketika, Sufyan ats-Tsauri bersama beberapa kawannya dijamu oleh seorang laki-laki. Lelaki tersebut kemudian memanggil istrinya dan berkata, “Berikanlah hidangan yang kamu bawa dari haji yang kedua, bukan yang pertama.” Permintaan itu terdengar biasa saja, namun memiliki makna tersirat yang dalam: ia ingin menunjukkan kepada tamunya bahwa dirinya telah menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali.

Ucapan itu langsung ditanggapi oleh Sufyan ats-Tsauri dengan penuh keprihatinan. “Sungguh kasihan orang ini. Dengan perkataannya itu, ia telah menghapus pahala dua hajinya. Semoga Allah menyelamatkan kita dari riya’,” ujar beliau.

Pernyataan tersebut mengandung pelajaran besar bagi umat Islam: ibadah yang dilakukan dengan niat tidak tulus, terutama karena ingin dipuji atau dilihat orang lain (riya’), dapat menggugurkan seluruh pahala yang telah susah payah diraih. Bahkan, amalan sebesar ibadah haji pun tak bernilai jika tidak didasari oleh keikhlasan.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap ibadah, sekecil apa pun, harus dilandasi dengan niat yang bersih dan ikhlas karena Allah semata. Sebab, hanya amalan yang murni dari hati yang akan diterima dan diberi ganjaran oleh-Nya.

Ibadah Haji dan Bahaya Riya’

Haji merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang menjadi salah satu pilar utama dalam Islam. Namun, ibadah agung ini akan menjadi sia-sia apabila tidak dilandasi dengan niat yang tulus semata-mata karena Allah. Rasulullah SAW telah memberi peringatan agar umatnya berhati-hati terhadap penyakit hati bernama riya’, yaitu melakukan ibadah bukan untuk Allah, melainkan untuk dilihat, dipuji, atau diakui manusia.

Dalam sebuah hadits riwayat Adz-Dzahabi, diceritakan bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “Apa itu keselamatan pada hari esok (hari kiamat)?” Nabi menjawab, “Ketika kamu tidak menipu Allah.” Lelaki itu bertanya lagi, “Bagaimana kita menipu Allah?” Rasulullah menjelaskan, “Yaitu ketika kamu menunaikan perintah Allah dan rasul-Nya namun kamu bertujuan untuk selain ridha Allah. Berhati-hatilah dari riya’ karena sesungguhnya ia termasuk kategori syirik kepada Allah.”

Riya’ adalah salah satu bentuk syirik kecil yang bisa menghapus pahala amal kebaikan. Nabi SAW bahkan menyebutkan bahwa pada hari kiamat, orang-orang yang berbuat riya’ akan dipanggil dengan empat panggilan yang menghinakan: kafir, durhaka (fâjir), cedera (ghâdir), dan merugi (khâsir). Mereka akan diperintahkan untuk meminta pahala kepada orang-orang yang menjadi tujuan mereka dalam beribadah: “Ambillah pahala dari orang-orang yang menjadi tujuan amalmu, wahai penipu diri sendiri.”

Dalam kitab Irsyâdul ‘Ibâd, juga diceritakan bahwa ketika seorang imam ditanya, “Siapakah orang yang ikhlas?” Ia menjawab, “Orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukannya.” Artinya, orang yang benar-benar ikhlas tidak memperlihatkan amalnya kepada siapa pun, sebagaimana ia juga tidak ingin orang lain mengetahui dosa-dosanya.

Semoga kita semua dijauhkan dari penyakit riya’, khususnya saat melaksanakan ibadah sebesar haji. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT dengan penuh keikhlasan. Wallahu a’lam.

Makna dan Tata Cara Sholat Idul Adha: Ibadah Penuh Keutamaan

Makna dan Tata Cara Sholat Idul Adha: Ibadah Penuh Keutamaan

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu momen penting dalam Islam yang dirayakan penuh suka cita oleh umat Muslim di seluruh dunia. Selain dikenal sebagai hari penyembelihan hewan kurban sebagai bentuk kepedulian sosial dan ketaatan kepada Allah SWT, Idul Adha juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri secara spiritual kepada Sang Pencipta.

Sebagai pembuka dari rangkaian ibadah Idul Adha, umat Islam dianjurkan melaksanakan sholat Idul Adha. Ibadah ini memiliki status sunah muakkad, yakni sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan. Rasulullah SAW beserta para sahabatnya secara konsisten melaksanakan sholat ini, menjadikannya sebagai bagian penting dari syiar Islam dan simbol kuatnya persaudaraan antarumat.

Meskipun tidak bersifat wajib, meninggalkan sholat Idul Adha tanpa alasan yang jelas dianggap sebagai kehilangan besar, karena ibadah ini membawa keutamaan dan pahala yang luar biasa.

Sholat Idul Adha umumnya dilaksanakan secara berjamaah, baik di lapangan terbuka, masjid, maupun di rumah jika kondisi tidak memungkinkan. Mengetahui niat dan tata cara pelaksanaan sholat Idul Adha secara benar menjadi penting agar ibadah tidak hanya dilakukan sebagai rutinitas tahunan, tetapi juga benar-benar mengandung nilai spiritual yang mendalam.

Artikel ini akan mengulas secara lengkap bacaan niat serta langkah-langkah pelaksanaan sholat Idul Adha, agar setiap umat Muslim dapat mengamalkannya dengan baik dan khusyuk.

Bacaan Niat Sholat Idul Adha

Dalam setiap pelaksanaan sholat, niat merupakan hal pertama yang harus dilakukan. Begitu pula dengan sholat Idul Adha, niat menjadi pembuka yang membedakan ibadah ini dari ibadah lainnya. Niat tidak perlu diucapkan dengan suara, melainkan cukup dilafalkan di dalam hati sesaat sebelum takbiratul ihram.

Berikut bacaan niat sholat Idul Adha untuk imam dan makmum:

Niat Sholat Idul Adha Sebagai Imam

Lafal Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ إِمَامًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati imaaman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai imam karena Allah ta’ala.”

Niat Sholat Idul Adha Sebagai Makmum

Lafal Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati makmuman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah ta’ala.”

🕌 Panduan Lengkap Niat dan Tata Cara Sholat Idul Adha

Hari Raya Idul Adha merupakan momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Selain memperingati kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS, hari raya ini juga menjadi ajang mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah kurban dan sholat Idul Adha.

Sholat Idul Adha menjadi pembuka rangkaian ibadah di hari raya ini. Meski hukumnya sunnah muakkad (sangat dianjurkan), Rasulullah SAW dan para sahabat selalu melaksanakannya sebagai bentuk pengagungan kepada Allah dan syiar Islam.

🌙 Hukum dan Keutamaan Sholat Idul Adha

Sholat Idul Adha dikerjakan dua rakaat secara berjamaah, biasanya di lapangan terbuka atau masjid. Jika kondisi tidak memungkinkan, bisa dilakukan di rumah. Ibadah ini membawa banyak keutamaan, mulai dari memperkuat ukhuwah Islamiyah hingga meraih pahala besar dari Allah SWT.

🙏 Niat Sholat Idul Adha

Niat dilakukan dalam hati sebelum takbiratul ihram. Berikut adalah bacaannya:

Untuk Imam

Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ إِمَامًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati imaaman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai imam karena Allah Ta’ala.”

Untuk Makmum

Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati makmuman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah Ta’ala.”

🧎 Tata Cara Sholat Idul Adha

Sholat ini terdiri dari dua rakaat, dengan tambahan takbir sebagai ciri khasnya:

Rakaat Pertama:

  1. Niat
  2. Takbiratul ihram
  3. Doa iftitah
  4. 7 takbir tambahan
  5. Bacaan dzikir di sela takbir
  6. Surah Al-Fatihah
  7. Surah Al-A’la
  8. Rukuk, i’tidal, sujud, duduk, sujud lagi

Rakaat Kedua:

  1. Berdiri
  2. 5 takbir tambahan
  3. Dzikir di sela takbir
  4. Surah Al-Fatihah
  5. Surah Al-Ghasyiyah
  6. Rukuk, i’tidal, sujud, duduk, sujud
  7. Salam

Setelah Sholat:

Jamaah tetap duduk untuk menyimak khutbah Idul Adha, yang disampaikan dalam dua bagian oleh khatib, berbeda dengan khutbah Jumat yang dilakukan sebelum sholat.

🕌 Waktu dan Sunnah Sebelum Sholat Idul Adha, Ini yang Perlu Diketahui

Sholat Idul Adha merupakan bagian penting dari rangkaian ibadah Hari Raya Kurban. Waktu pelaksanaannya dimulai ketika matahari telah terbit setinggi tombak—sekitar pukul 06.00 hingga 06.30 WIB—dan berakhir sebelum masuk waktu Zuhur. Dianjurkan untuk melaksanakannya lebih awal agar umat Muslim memiliki cukup waktu untuk melaksanakan penyembelihan hewan kurban setelahnya.

🌟 Sunnah Sebelum Sholat Idul Adha

Untuk menyempurnakan ibadah, berikut beberapa amalan sunnah yang dianjurkan sebelum melaksanakan sholat Idul Adha:

  • Mandi sunnah sebelum berangkat ke tempat sholat.
  • Memakai pakaian terbaik—tidak harus baru, yang penting bersih dan rapi.
  • Menggunakan wewangian untuk menyegarkan diri.
  • Tidak makan terlebih dahulu, berbeda dengan Idul Fitri di mana dianjurkan makan sebelum sholat.
  • Berjalan kaki menuju lokasi sholat jika memungkinkan, sebagai bentuk kesederhanaan dan sunnah Rasul.
  • Memperbanyak takbir sejak malam Idul Adha hingga waktu sholat, sebagai bentuk pengagungan kepada Allah SWT.

Sholat Idul Adha idealnya dilakukan secara berjamaah di tempat terbuka, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Namun, bila kondisi tidak memungkinkan, seperti cuaca buruk atau keadaan darurat, sholat dapat dilakukan di masjid atau bahkan di rumah.