Memahami Hukum Kurban: Sunnah atau Wajib? Penjelasan Buya Yahya

Stylesphere – Ibadah kurban merupakan salah satu amalan penting dalam Islam yang dilaksanakan setiap Hari Raya Iduladha, termasuk pada perayaan Iduladha 2025 mendatang. Meski demikian, masih banyak umat Muslim yang belum sepenuhnya memahami status hukum kurban, terutama terkait kapan kurban bersifat sunnah dan kapan bisa menjadi wajib.

Kebingungan sering muncul, terutama bagi mereka yang telah berniat untuk berkurban. Dalam ajaran Islam, khususnya menurut Mazhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas ulama (jumhur), hukum kurban pada dasarnya adalah sunnah muakkad. Artinya, kurban sangat dianjurkan tetapi tidak bersifat wajib bagi setiap Muslim.

Namun, ada kondisi tertentu yang dapat mengubah hukum kurban menjadi wajib, salah satunya adalah jika disertai dengan nazar.

Melalui tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @buyayahyaofficial, Minggu (18/05/2025), pendakwah kharismatik KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal dengan Buya Yahya, memberikan penjelasan rinci mengenai hal ini.

Menurut Buya Yahya, jika seseorang dengan tegas menyatakan niat nazar, misalnya dengan mengucapkan, “Aku nazar mau menyembelih kambing sebagai kurban,” maka kurban tersebut otomatis menjadi wajib.

Pernyataan ini dianggap sebagai janji yang mengikat secara syar’i dan tidak boleh diabaikan. Bahkan, Buya Yahya menegaskan bahwa apabila kurban dilakukan sebagai bentuk nazar, maka daging hewan kurban tersebut tidak boleh dimakan oleh orang yang berkurban maupun keluarganya, melainkan harus dibagikan seluruhnya kepada yang berhak menerimanya.

Dengan memahami perbedaan antara kurban yang bersifat sunnah dan yang menjadi wajib karena nazar, umat Muslim diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam berniat dan menjalankan ibadah kurban. Pengetahuan ini juga penting agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanaan dan pembagian kurban.

Bedakan Kurban Sunnah dan Kurban Nazar, Jangan Sampai Ibadah Jadi Beban

Menjelang Iduladha 2025, pemahaman umat Muslim terhadap hukum kurban kembali menjadi perhatian. Salah satu hal penting yang perlu diketahui adalah perbedaan antara kurban yang sunnah dan kurban yang wajib karena nazar. Hal ini disampaikan oleh pendakwah ternama Buya Yahya, melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial, Minggu (18/05/2025).

Menurut Buya Yahya, jika tidak ada niat nazar yang diucapkan secara jelas, maka ibadah kurban tetap berstatus sebagai sunnah muakkad. Dalam hal ini, orang yang berkurban boleh memakan sebagian daging kurbannya, serta membagikannya kepada tetangga, kerabat, dan fakir miskin.

“Selagi kurban itu sunnah, bukan nazar, maka orang yang berkurban boleh memakan dagingnya. Jangan sampai kurban yang seharusnya menjadi ibadah penuh berkah malah berubah menjadi beban,” tegas Buya Yahya.

Namun, berbeda halnya jika seseorang telah menyatakan nazar—misalnya dengan berkata “Saya nazar akan menyembelih kambing untuk kurban”—maka kurban tersebut menjadi wajib, dan ada konsekuensi yang harus ditanggung.

Dalam konteks ini, Buya Yahya mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati dalam mengucapkan niat nazar, karena nazar adalah janji kepada Allah yang harus ditepati. Sekali diucapkan, ia tidak bisa dicabut, dan pelaksanaannya memiliki aturan yang berbeda dengan kurban sunnah.

Jika kurban dilakukan sebagai nazar, maka seluruh bagian daging kurban wajib diberikan kepada fakir miskin. Orang yang berkurban maupun keluarganya tidak diperbolehkan mengonsumsinya, karena daging tersebut menjadi bentuk pemenuhan janji kepada Allah, bukan lagi sebagai ibadah sunnah yang bersifat fleksibel.

“Ini yang sering kali tidak dipahami oleh masyarakat, sehingga terjebak dalam anggapan bahwa kurban selalu wajib,” ujar Buya Yahya.

Dengan memahami perbedaan mendasar ini, umat Muslim diharapkan dapat menjalankan ibadah kurban dengan lebih tepat, tenang, dan penuh keberkahan, tanpa terbebani oleh kesalahpahaman dalam niat maupun pelaksanaannya.

Buya Yahya: Kurban Adalah Ibadah Berbagi, Bukan Beban

Buya Yahya kembali menegaskan pentingnya bijak dalam bernazar, terutama terkait ibadah kurban yang akan dijalankan umat Islam pada Iduladha 2025. Ia mengingatkan bahwa kebiasaan sebagian masyarakat yang mudah mengucapkan nazar tanpa pertimbangan matang dapat menimbulkan kewajiban berat yang justru membebani diri sendiri.

“Jangan mudah-mudah bernazar. Nazar itu janji kepada Allah. Sekali terucap, wajib ditunaikan,” kata Buya Yahya melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial.

Lebih lanjut, Buya menjelaskan bahwa kurban yang dilakukan tanpa nazar tetap berstatus sunnah muakkad, yakni ibadah yang sangat dianjurkan tetapi tidak wajib. Dalam kondisi ini, orang yang berkurban berhak menikmati sebagian daging kurban, serta membagikannya kepada tetangga, kerabat, dan fakir miskin. Hal ini menjadi sarana berbagi kebahagiaan dan mempererat tali persaudaraan antarwarga.

Terkait pembagian daging, Buya Yahya menyarankan agar fakir miskin tetap menjadi prioritas utama. Namun, menurutnya, tidak ada larangan bagi orang mampu menerima daging kurban, selama tujuannya adalah menjaga kebersamaan dan keharmonisan sosial.

“Kurban jangan sampai menjadi ibadah yang penuh tekanan. Selama tidak dinazarkan, tetaplah pada status sunnah. Jalani dengan ringan, ikhlas, dan gembira,” ujar Buya.

Ia juga menekankan bahwa inti dari kurban adalah niat ikhlas untuk berbagi, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Oleh karena itu, umat Islam diimbau untuk memahami hukum dan aturan seputar kurban, terutama terkait nazar, agar bisa melaksanakan ibadah ini dengan tenang dan penuh keberkahan.

Dengan penjelasan tersebut, Buya Yahya berharap masyarakat dapat menjalani ibadah kurban secara bijak, sadar, dan tidak terburu-buru dalam bernazar, sehingga kurban tetap menjadi ibadah yang membawa manfaat lahir dan batin.

Jangan Tergesa Nazar, Kurban Harus Dilakukan dengan Niat Tulus

Menjelang Hari Raya Idul adha 2025, pendakwah ternama Buya Yahya kembali menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam menjalankan ibadah kurban. Ia memperingatkan agar umat Islam tidak tergesa-gesa melafalkan nazar tanpa mempertimbangkan konsekuensinya secara matang.

“Nazar itu ikatan serius dengan Allah. Jika sudah terucap, maka wajib ditepati. Jangan sampai niat baik berubah menjadi beban hanya karena tidak paham hukum kurban,” ujar Buya Yahya dalam video yang tayang di kanal YouTube @buyayahyaofficial.

Menurut Buya, banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara kurban sunnah dan kurban yang menjadi wajib karena nazar. Kurban sunnah bersifat sangat dianjurkan namun tidak mengikat, sehingga pelaksananya boleh menikmati daging kurban dan membaginya kepada sesama. Sementara jika sudah dinazarkan, maka seluruh daging kurban wajib disedekahkan kepada fakir miskin, dan orang yang berkurban tidak boleh memakannya.

Di akhir penjelasannya, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk menjadikan kurban sebagai momen kebersamaan dan berbagi, bukan sumber perdebatan atau tekanan. Ia mengingatkan bahwa perbedaan pendapat soal hukum kurban tidak seharusnya menimbulkan perselisihan di tengah masyarakat.

“Kurban adalah simbol pengorbanan dan ketulusan. Laksanakanlah dengan hati yang lapang, niat yang murni, dan semangat berbagi,” pesannya.

Dengan pemahaman yang tepat mengenai hukum kurban, termasuk konsekuensi dari nazar, Buya Yahya berharap umat Islam bisa menjalani ibadah ini dengan lebih ikhlas, sadar, dan penuh keberkahan.

Semoga penjelasan ini menjadi pencerahan bagi masyarakat agar tidak lagi salah paham dan mampu melaksanakan kurban sesuai tuntunan agama, dengan niat tulus dan semangat persaudaraan.

Memilih Memaafkan: Pandangan Buya Yahya tentang Pahala dan Akhirat

Stylesphere – Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada situasi di mana seseorang datang meminta maaf kepada kita, namun perasaan sakit hati atau kekecewaan membuat kita enggan memberikan maaf. Ini adalah hal yang sangat manusiawi. Namun, bagaimana dampaknya di akhirat kelak jika kita tetap memilih untuk tidak memaafkan?

Pertanyaan ini dijawab oleh pendakwah KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang akrab disapa Buya Yahya, dalam sebuah tayangan video yang diunggah melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Rabu, 14 Mei 2025.

Memaafkan: Bukan Kewajiban, Tapi Penuh Pahala

Buya Yahya menjelaskan bahwa memberi maaf memang bukan kewajiban mutlak. Seseorang yang tersakiti memiliki hak untuk tidak memaafkan, apalagi jika luka batin yang dirasakan sangat dalam. Namun, ia menekankan bahwa memaafkan adalah amalan mulia yang memiliki nilai pahala besar di sisi Allah SWT.

“Kalau ada orang yang sudah minta maaf kemudian tidak dimaafkan, itu bisa saja sah, tetapi lebih besar pahalanya jika orang tersebut memaafkan,” ujar Buya Yahya dengan penuh renungan.

Menurut beliau, sikap memaafkan adalah cerminan keluhuran akhlak. Meskipun secara syariat seseorang boleh saja menahan maaf, kedudukan orang yang mampu memaafkan jauh lebih tinggi di sisi Allah.

Dendam atau Pahala?

Buya Yahya mengajak kita untuk merenung, apakah mempertahankan sakit hati dan dendam akan membawa manfaat yang lebih besar dibandingkan pahala memaafkan? Ia menjelaskan bahwa walaupun seseorang tidak memaafkan hingga hari kiamat, itu tidak melanggar aturan agama. Namun, orang tersebut akan melewatkan peluang besar untuk meraih kemuliaan di sisi Allah SWT.

“Memang, kalau Anda dibuat orang berbuat salah kepada Anda, Anda belum memaafkan, itu sah. Tapi, pangkatnya rendah. Hebat lagi memaafkan di saat Anda tidak memaafkan sampai di akhirat,” tegas Buya Yahya.

Penutup

Memaafkan memang bukan perkara mudah, terlebih jika luka yang ditinggalkan sangat dalam. Namun, Islam mengajarkan bahwa kemuliaan akhlak salah satunya terletak pada kemampuan untuk memaafkan, bahkan ketika hati masih terasa perih. Memaafkan bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga demi kedamaian dan kemuliaan diri sendiri—di dunia dan akhirat.

Memaafkan Bukan Sekadar Kebaikan, Tapi Jalan Menuju Istana di Surga

Dalam penjelasannya, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk merenungkan makna memaafkan dari sudut pandang akhirat. Ia menggambarkan sebuah peristiwa menyentuh yang mungkin akan dialami oleh orang-orang yang enggan memberi maaf kepada sesama, meskipun permintaan maaf telah disampaikan.

Buya Yahya menyampaikan bahwa di akhirat kelak, orang yang tidak memaafkan akan diperlihatkan sebuah istana yang sangat megah. Saat ia bertanya tentang siapa pemilik istana tersebut, akan terdengar jawaban yang menyentuh hati: “Itu untukmu, jika kamu memaafkan.” Sebuah riwayat yang menggambarkan betapa luar biasanya pahala bagi orang yang mampu memaafkan.

“Di akhirat nanti, orang yang tidak memaafkan akan melihat istana yang sangat indah. Kemudian dia akan bertanya, ‘Itu istana kok hebat banget, untuk siapa?’ Jawabannya, ‘Untukmu, jika kamu memaafkan,’” tutur Buya Yahya.

Memaafkan adalah Pilihan yang Mengangkat Derajat

Buya Yahya menegaskan, meskipun seseorang telah berbuat salah dan memohon maaf namun belum dimaafkan, ia tetap bisa mendapatkan ampunan Allah apabila ia sungguh-sungguh bertaubat dan memperbaiki hubungannya dengan Sang Pencipta. Artinya, ampunan Allah tidak tertutup hanya karena masih ada luka yang belum sembuh di hati manusia lain.

Namun, bagi pihak yang menyimpan sakit hati dan enggan memberi maaf, Allah menawarkan imbalan luar biasa jika ia bersedia melepas dendam tersebut.

“Maka yang dendam tadi diiming-imingi, ‘Itu ada istana, kamu maafin nggak?’ Dan jika dia memaafkan, maka langsung dimaafkan dan memperoleh ganjaran istana di surga,” jelas Buya Yahya penuh harapan.

Lebih dari Sekadar Maaf: Ini Soal Hubungan dengan Allah

Pesan penting yang ditekankan Buya Yahya adalah bahwa memaafkan bukan hanya tentang hubungan antar manusia, tetapi juga soal kedekatan dengan Allah SWT. Ketika kita memaafkan, kita tidak hanya memberikan kelegaan bagi orang lain, tapi juga membebaskan diri sendiri dari beban emosi negatif.

Ia juga memberikan semangat bagi siapa saja yang telah meminta maaf dengan sungguh-sungguh agar tidak khawatir. Allah Maha Mengetahui isi hati setiap hamba-Nya dan akan membalas setiap ketulusan.

“Jangan khawatir, yang penting jika minta maaf, serius. Maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pesan Buya Yahya menenangkan.

Kesimpulan

Dari penjelasan Buya Yahya, kita diajak untuk memahami bahwa memaafkan adalah bentuk kebesaran jiwa. Balasannya bukan sekadar damai di dunia, tetapi juga kemuliaan yang abadi di akhirat. Maka, siapa pun kita—yang meminta atau memberi maaf—masing-masing memiliki jalan menuju ampunan dan cinta Allah. Jangan sia-siakan kesempatan itu hanya karena gengsi atau rasa sakit yang belum reda. Karena bisa jadi, di balik maaf yang kita berikan, tersimpan istana megah menanti kita di surga.

Memaafkan: Jalan Menuju Kedamaian dan Surga

Memaafkan bukan hanya tentang membebaskan orang lain dari kesalahan, tetapi juga membebaskan diri kita sendiri dari beban dendam dan kebencian. Ketika kita memaafkan, kita sebenarnya sedang berbuat baik untuk diri sendiri. Hati menjadi lebih ringan, pikiran lebih jernih, dan jiwa terasa damai.

Sebaliknya, jika kita terus menyimpan dendam, itu bisa menjadi beban yang memberatkan perjalanan kita, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti yang disampaikan oleh Buya Yahya, seseorang yang menolak untuk memaafkan meskipun telah dimintai maaf, bisa saja mengalami kerugian besar di akhirat—kehilangan pahala besar yang seharusnya bisa ia raih.

Memaafkan adalah cerminan kasih sayang yang tulus. Dalam memaafkan, kita memberi orang lain kesempatan untuk memperbaiki diri, sekaligus membuka jalan bagi diri kita sendiri untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Ini bukan perkara sepele, karena mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan utama hidup seorang Muslim.

Di akhirat kelak, setiap bentuk ampunan dan kebaikan yang kita berikan di dunia akan diganjar dengan balasan yang luar biasa. Maka, memberi maaf adalah salah satu bentuk amal paling mulia, yang pahalanya tak ternilai.

Sebagai penutup, Buya Yahya mengingatkan kita agar jangan pernah meremehkan kekuatan dari sebuah permintaan maaf, dan terlebih lagi—kekuatan dalam memberi maaf. Meski berat, memaafkan adalah pilihan yang akan membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik, hati yang lebih lapang, dan keberkahan yang lebih luas.

Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mudah memaafkan, sehingga bisa memperoleh ganjaran istana di surga, seperti yang dijanjikan bagi mereka yang mengikhlaskan. Karena sejatinya, memaafkan adalah amal yang paling tinggi nilainya, dan menjadi tanda keluhuran jiwa seorang hamba yang berharap ridha Tuhannya.

Pandangan tentang Tanggung Jawab Dosa dalam Keluarga

Stylesphere – Pandangan bahwa dosa istri dan anak akan otomatis ditanggung oleh suami atau ayah masih sering ditemukan di tengah masyarakat. Banyak yang merasa aman dengan keyakinan ini, seolah-olah ada “penanggung” bagi setiap kesalahan mereka. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar dan tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam.

Dalam Islam, setiap individu bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri. Tidak ada yang bisa memindahkan dosa secara otomatis kepada orang lain tanpa sebab yang jelas. Pemahaman keliru ini coba diluruskan oleh KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya dalam sebuah kajian yang tayang di kanal YouTube @albahjah-tv pada Selasa, 22 April 2025.

Dalam sesi tanya-jawab bersama jamaah, Buya Yahya menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal konsep tanggung dosa sepenuhnya oleh pihak lain dalam keluarga. Dosa istri bukan tanggung jawab penuh suami, dan dosa anak bukan sepenuhnya beban sang ayah. Namun, jika suami atau ayah memiliki peran dalam terjadinya dosa itu—karena kelalaian, pembiaran, atau bahkan mendorong perbuatan maksiat—maka ia akan ikut menanggung dosa tersebut.

Sebagai contoh, Buya Yahya mengungkapkan situasi ketika seorang ayah memberikan alat elektronik kepada anaknya tanpa memberikan arahan atau pengawasan. Jika alat tersebut kemudian digunakan untuk perbuatan maksiat, maka sang ayah ikut bertanggung jawab, meskipun ia sedang berada di tanah suci untuk umroh atau tengah melaksanakan tahajud.

Intinya, tanggung jawab dalam keluarga tidak bersifat otomatis dan mutlak. Ada batas yang jelas antara tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab moral yang muncul karena keterlibatan atau kelalaian dalam mendidik dan membimbing anggota keluarga. Islam mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, termasuk dalam urusan spiritual dan moral di rumah tangga.

Tanggung Jawab Dosa dalam Keluarga: Penjelasan Tegas Buya Yahya

Pemahaman bahwa dosa anggota keluarga, seperti istri atau anak, otomatis ditanggung oleh kepala keluarga masih sering beredar di masyarakat. Buya Yahya, dai kharismatik yang dikenal luas, menanggapi pandangan ini dengan tegas dalam sebuah kajian yang ditayangkan di kanal YouTube @albahjah-tv pada 22 April 2025.

Menurut Buya Yahya, dosa muncul karena adanya kelalaian, terutama dalam hal pendidikan dan pengawasan. Orang tua yang membiarkan anak tumbuh tanpa bimbingan, atau tidak memberikan pendidikan yang layak, tetap memikul tanggung jawab atas akibat dari kelalaian tersebut. Namun, jika orang tua sudah berusaha maksimal dalam mendidik, menasihati, dan mengarahkan anak ke jalan yang benar, lalu anak tersebut tetap memilih melakukan kesalahan, maka orang tua tidak menanggung dosanya.

Hal serupa juga berlaku dalam hubungan suami istri. Buya Yahya menolak anggapan bahwa semua dosa istri otomatis menjadi beban suami. Ia menyebut pandangan itu sebagai pemahaman keliru yang kadang dijadikan tameng oleh sebagian orang untuk berbuat maksiat tanpa merasa bersalah.

Menurutnya, setiap dosa adalah tanggung jawab pribadi. Istri tidak bisa berlindung di balik status suami sebagai pemimpin rumah tangga untuk membenarkan perilaku salah. Suami hanya akan ikut berdosa jika ia mengetahui kesalahan istrinya namun memilih diam dan tidak mengambil tindakan. Sebaliknya, jika suami sudah menasihati dan memperingatkan secara sungguh-sungguh, namun istrinya tetap melakukan perbuatan dosa, maka tanggung jawab itu gugur. Suami sudah menjalankan perannya sebagai pemimpin rumah tangga.

Buya Yahya mengilustrasikan hal ini dengan hubungan antara guru dan santri. Seorang guru yang membimbing banyak santri tidak otomatis menanggung dosa-dosa mereka. Namun, jika ia membiarkan pelanggaran terjadi tanpa menegur atau memberikan sanksi, maka ia turut bersalah. Karena itu, di pondok pesantren, diterapkan aturan dan hukuman agar setiap santri belajar bertanggung jawab atas perbuatannya tanpa membebani gurunya.

Penjelasan ini menegaskan bahwa dalam Islam, tanggung jawab moral dan spiritual bersifat personal, kecuali jika ada kelalaian atau pembiaran yang jelas dari pihak yang seharusnya membimbing.

Bagaimana Hukum Walimatus Safar? Apakah Termasuk Bid’ah?

Stylesphere – Calon jemaah haji Indonesia tahun 2025 tengah bersiap menunaikan rukun Islam kelima. Berdasarkan jadwal Kementerian Agama (Kemenag), keberangkatan gelombang pertama dijadwalkan mulai 2 Mei 2025.

Haji merupakan ibadah wajib bagi umat Islam yang mampu secara finansial, fisik, dan kesehatan. Perintah ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, surah Ali Imran ayat 97:

“Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran: 97)

Di Indonesia, tradisi yang biasa dilakukan menjelang keberangkatan haji adalah menggelar walimatus safar atau acara pamitan. Tujuannya adalah memohon doa dari keluarga dan masyarakat agar calon jemaah diberi kelancaran dan keselamatan selama menjalankan ibadah, serta pulang dengan membawa predikat haji mabrur.

Lalu, bagaimana hukum walimatus safar? Apakah termasuk bid’ah?

Pertanyaan ini pernah dibahas dalam kajian oleh KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya). Ia menegaskan bahwa walimatus safar bukanlah bid’ah. Tradisi ini diperbolehkan karena termasuk bentuk silaturahmi dan permohonan doa, selama tidak mengandung unsur kemaksiatan atau berlebihan. Buya Yahya menyebut, yang tidak dibenarkan adalah ketika acara tersebut diisi dengan hal-hal yang bertentangan dengan syariat.

Jadi, walimatus safar sah-sah saja dilakukan sebagai bagian dari budaya yang mendukung nilai-nilai Islam, selama tetap dalam batas syariat.

Buya Yahya Menjelaskan

Buya Yahya menjelaskan bahwa walimatus safar adalah bentuk tasyakuran bagi calon jemaah haji, mirip dengan walimatul khitan untuk anak yang dikhitan atau walimatul ursy dalam pernikahan. Acara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesempatan menunaikan ibadah haji.

Walimah safar itu artinya seseorang bersyukur karena urusannya lancar untuk berangkat haji, lalu dia mengadakan syukuran. Hukumnya boleh, tidak masalah, dan bukan termasuk bid’ah. Apalagi isinya berbagi rezeki, memberi makan orang,” ujar Buya Yahya, dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV, Ahad (20/4/2025).

Namun, ia mengingatkan bahwa acara ini tidak wajib. Jika calon jemaah tidak mampu, tak perlu memaksakan diri karena bisa membebani secara finansial.

“Yang tidak boleh adalah memaksakan diri. Kadang biaya untuk walimah safar justru lebih besar daripada biaya hajinya sendiri. Itu bisa menyiksa,” tambahnya.

Buya Yahya menekankan agar tradisi walimah safar tidak menjadi beban atau kewajiban sosial yang memaksa. Tradisi ini hanya baik jika dilakukan dalam batas kemampuan dan tanpa memberatkan pihak yang bersangkutan.

Pesan Buya Yahya

Buya Yahya mengimbau agar acara walimatus safar bukan menjadi sarana untuk menyombongkan diri bahwa ia akan berangkat haji. Ia mewanti-wanti jangan sampai ibadah hajinya tercoreng karena sikap tercelanya.

“Kalau masalah sedekah untuk tolak bala agar selamat di perjalanan, oke, atau mensyukuri nikmat Allah karena sudah dipanggil Allah sebagai tamu Allah, tapi kalau sudah masuk  wilayah maksain, masuk wilayah sombong, ini bermasalah. Dua saja ini yang perlu diantisipasi,” tuturnya.

Buya Yahya menyimpulkan, acara walimatus safar boleh saja digelar dan bukan perkara bid’ah. Hanya saja niatnya harus benar, bukan ingin sombong mau haji. Jika tidak dilaksanakan pun tidak apa-apa, terlebih lagi jika tak punya biaya lebih untuk haji.

Ingin Panjang Umur? Ikuti Cara Bersedekah Buya Yahya Berikut Ini

Stylesphere – Keinginan untuk hidup panjang dan memberi manfaat adalah harapan banyak orang. Dalam Islam, ada panduan spiritual yang diyakini dapat memperpanjang umur, salah satunya adalah sedekah.

KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) menyampaikan bahwa sedekah yang dilakukan dengan ikhlas memiliki keutamaan besar, termasuk dalam hal memperpanjang usia seseorang. Pernyataan ini disampaikannya dalam salah satu ceramah di kanal YouTube @albahjah-tv, dikutip pada Rabu (16/04/2025).

Buya Yahya menjelaskan bahwa para ulama memiliki perbedaan pandangan soal makna “panjang umur” dalam hadis Nabi. Salah satu pendapat menyatakan bahwa umur seseorang memang benar-benar bisa ditambah oleh Allah karena kebiasaan bersedekah. Pendapat ini didasarkan pada pemahaman tekstual dari sabda Rasulullah.

Dengan kata lain, dalam pandangan sebagian ulama, sedekah yang ikhlas tak hanya mendatangkan berkah dalam hidup, tapi juga dapat memperpanjang jangka waktu kehidupan seseorang sesuai dengan kehendak Allah.

Pengertian Umur Panjang

Pendapat kedua terkait makna “panjang umur” dalam hadis menyebut bahwa yang dimaksud bukan penambahan usia secara fisik, melainkan keberkahan dalam hidup itu sendiri. Artinya, meskipun seseorang hidup dalam waktu yang singkat, amal dan manfaatnya tetap terasa panjang dan terus berlanjut.

Buya Yahya memberi contoh, seseorang yang membangun pondok pesantren atau lembaga pendidikan akan tetap menuai pahala meski telah meninggal dunia. Selama tempat itu digunakan untuk kebaikan, amalnya terus mengalir. Inilah yang disebut sebagai umur yang panjang—kisah hidup dan kebaikannya terus dibicarakan dan memberi manfaat bagi banyak orang.

Selain itu, sedekah juga diyakini sebagai penangkal maksiat. Orang yang rajin bersedekah biasanya memiliki hati yang lebih lembut dan penuh kasih sayang. Sifat ini membuatnya lebih dekat dengan sesama dan lebih dekat pula kepada rahmat Allah.

Menurut Buya Yahya, hati yang lembut karena kebiasaan bersedekah akan mendatangkan kasih sayang Allah, bahkan di saat-saat sulit seperti sakaratul maut.

Sedekah Untuk Bahagia di Akhirat

Bagi orang yang ikhlas dalam bersedekah, Allah akan memudahkan jalan menuju husnul khatimah, atau akhir hidup yang baik.

Sedekah yang diberikan dengan tulus kepada sesama makhluk akan membuat seseorang lebih rendah hati dan terhindar dari sifat sombong.

Orang yang ikhlas memberi tidak akan mudah membanggakan diri atas apa yang dimilikinya, karena ia sadar bahwa semua itu hanya titipan dari Allah.

Buya Yahya menekankan pentingnya menjadikan sedekah sebagai amalan rutin, tidak hanya ketika sedang lapang, tetapi juga saat sempit.

Hal ini karena manfaat sedekah tidak hanya dirasakan oleh penerima, tetapi jauh lebih besar dirasakan oleh yang memberi.

Panjang umur tidak hanya dimaknai dari sisi biologis, tetapi juga dari sisi spiritual dan sosial yang memberikan dampak luas kepada kehidupan orang lain.

Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memiliki umur yang panjang dan bermanfaat, sebaiknya memulai kebiasaan bersedekah sejak hari ini.

Kisah hidup yang panjang dan penuh berkah dapat dibentuk dari tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan dengan niat yang lurus kepada Allah.

Buya Yahya pun mengajak umat Islam untuk menjadikan sedekah sebagai jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat yang hakiki.

Dengan sedekah, tidak hanya panjang umur yang diraih, tetapi juga ketenangan jiwa, keberkahan harta, serta kemuliaan saat kembali kepada Sang Pencipta.

Hukum Haji dengan Uang Pinjaman Menurut Buya Yahya

Stylesphere – Haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib bagi umat Muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Namun, sebagian orang yang belum mampu secara ekonomi tetap berusaha keras untuk berangkat haji, termasuk dengan cara berutang.

Menanggapi hal ini, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) menjelaskan bahwa secara fikih, ibadah haji yang dilakukan dengan dana hasil pinjaman tetap sah, asalkan semua syarat dan rukunnya terpenuhi. Artinya, ibadah tersebut tetap diterima secara hukum agama.

Meski begitu, Buya Yahya menegaskan bahwa berutang demi berhaji bukan langkah yang dianjurkan. Haji hanya wajib bagi mereka yang benar-benar mampu. Karena itu, tidak perlu memaksakan diri dengan mengambil utang jika kondisi keuangan belum memungkinkan. Niat baik untuk berhaji memang penting, tetapi harus tetap disesuaikan dengan kemampuan agar tidak menimbulkan beban baru.

Berhaji Yang Benar Menurut Buya Yahya

Buya Yahya mengingatkan umat Islam agar tidak memaksakan diri untuk berhaji atau berumrah dengan cara berutang, apalagi jika utangnya mengandung riba.

“Masalahnya jadi lebih berat saat kita belum mampu melunasi utang, sementara kita sudah naik haji. Rasa malu bisa muncul, dan dari situlah kadang seseorang terdorong untuk mencari uang dengan cara yang tidak benar,” ujar Buya Yahya.

Ia menegaskan bahwa tidak semua praktik pinjam-meminjam sesuai syariat Islam. Banyak yang justru melibatkan sistem bunga, yang dalam Islam termasuk riba dan hukumnya haram.

“Kalau berangkat haji dengan pinjaman berbunga, itu bisa menunjukkan ibadah dilakukan bukan karena Allah. Padahal, tidak berhaji karena belum mampu itu tidak berdosa. Tapi kalau haji dengan cara yang haram, justru menambah dosa,” jelasnya.

Buya Yahya juga mengakui bahwa ada pinjaman yang halal, tanpa bunga, dan sesuai syariat. Namun, ia tetap mengimbau agar umat Islam tidak memaksakan diri berutang demi beribadah.

“Haji dan umrah adalah ibadah seumur hidup sekali. Jangan biasakan beribadah dengan berutang, karena utang wajib dibayar,” ujarnya.

Ia menutup pesannya dengan menegaskan bahwa ibadah haji dan umrah tetap sah secara hukum, tetapi jika dilakukan dengan uang haram, yang patut diragukan adalah ketulusannya.

Amalan Setara Naik Haji

1. Salat Subuh Berjamaah

Salat Subuh berjamaah memiliki keutamaan yang sangat besar. Seseorang yang salat Subuh berjamaah, kemudian duduk berzikir kepada Allah Swt. hingga matahari terbit, lalu salat dua rakaat (salat isyraq), akan mendapatkan pahala yang setara dengan haji dan umroh yang sempurna.

Seperti riwayat dari Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda:

من صلى الغداة في جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس، ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة 

Artinya: “Siapa yang mengerjakan salat subuh berjemaah, kemudian dia tetap duduk sambil zikir sampai terbit matahari dan setelah itu mengerjakan salat dua rakaat, maka akan diberikan pahala haji dan umrah.” (HR. At-Tirmidzi)

2. Berbuat Baik kepada Orang Tua

Berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Pahala berbakti kepada orang tua bisa menyamai pahala haji dan umroh, karena rida Allah Swt. tergantung pada rida orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.

Sebagaimana Anas r.a. berkata:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : أَتَى رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنِّى أَشْتَهِى الْجِهَادَ وَلَا أَقْدِرُ عَلَيْهِ. قَالَ : هَلْ بَقِيَ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ؟ قَالَ : أُمِّي. قَالَ : فَأَبْلِ اللهَ فِى بِرِّهَا. فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَأَنْتَ حَاجٌّ وَمُعْتَمِرٌ وَمُجَاهِدٌ. فَإِذَا رَضِيَتْ عَنْكَ أُمُّكَ فَاتَّقِ اللهَ وَبِرَّهَا

Artinya: “Dari Anas, ia berkata, ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. kemudian berkata “Sesungguhnya aku ingin berjihad namun aku tidak mampu” 

Rasulullah saw. bersabda: “Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih ada?” Laki-laki itu menjawab: “Ibuku” 

Rasulullah saw. bersabda: “Perbaikilah hubunganmu dengan Allah Swt. dengan berbakti kepada ibumu. Ketika kamu telah melakukannya maka kamu adalah orang yang berhaji, umrah dan jihad. Ketika ibumu rida kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan berbaktilah kepada ibumu”. (Abu Ya’la Al-Maushuli, Musnad Abu Ya’la Al-Maushuli, [Damaskus: Dar al-Ma’mun Lit Turats, 1989], Jilid V, halaman 150).

3. Pergi ke Masjid dengan Niat untuk Menuntut Ilmu

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Seseorang yang pergi ke masjid untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah Swt. sampai ia kembali. Pahala menuntut ilmu juga bisa setara dengan pahala haji dan umroh. Seperti dari Abu Umamah bahwa Rasul bersabda:

 من غدا إلى المسجد لايريد إلا أن يتعلم خيرا أو يعلمه، كان له كأجر حاج تاما حجته 

Artinya, “Siapa yang berangkat ke masjid hanya untuk belajar kebaikan atau mengajarkannya, diberikan pahala seperti pahala ibadah haji yang sempurna hajinya” (HR. At-Thabarani)