Ayatollah Ali Khamenei: Pemimpin Berpengaruh dengan Pendekatan Kompleks dalam Dunia Islam

Stylesphere – Ayatollah Ali Khamenei merupakan tokoh sentral dalam politik dan keagamaan Iran sekaligus figur berpengaruh di dunia Syi’ah. Perhatiannya semakin besar ketika konflik antara Iran dan Israel mencuat, menempatkan sosoknya di tengah sorotan publik internasional.

Sejak menjabat sebagai Pemimpin Tertinggi Iran pada tahun 1989, Khamenei telah memainkan peran vital dalam membentuk arah kebijakan domestik maupun luar negeri Iran, serta dalam mengarahkan dinamika keagamaan di dalam negeri. Reputasinya dikenal luas sebagai simbol kekuasaan Syi’ah, namun juga kerap menjadi figur kontroversial di mata dunia Barat dan sebagian komunitas Muslim non-Syi’ah.

Pendekatan Moderat terhadap Hubungan Antar-Mazhab

Di balik citra politik yang kuat, terdapat sisi lain dari kepemimpinan Khamenei yang jarang mendapat perhatian, terutama terkait pandangannya dalam membina hubungan antar-mazhab dalam Islam. Salah satu hal yang cukup menonjol adalah seruannya untuk menjaga penghormatan terhadap tokoh-tokoh Sunni serta larangan tegas terhadap penghinaan yang dapat memecah belah umat.

Sikap ini mencerminkan pendekatan yang lebih inklusif dan toleran, menunjukkan bahwa Khamenei tidak hanya melihat Islam dalam kacamata sektarian, melainkan sebagai kesatuan umat yang harus dijaga dari konflik internal. Meski pernyataan dan kebijakannya kerap disalahpahami, aspek moderat ini menunjukkan adanya kompleksitas dalam pemikirannya yang tidak selalu terekspos oleh media arus utama.

Peran Strategis di Iran dan Dunia Islam

Sebagai pemimpin spiritual dan politik tertinggi di Iran, Ayatollah Khamenei tidak hanya menentukan arah kebijakan dalam negeri, tetapi juga memainkan peran strategis dalam percaturan geopolitik dunia Islam. Pandangannya terhadap dialog antar-mazhab, kemandirian politik, serta perlawanan terhadap hegemoni asing menjadikannya figur yang dihormati sekaligus dikritik oleh berbagai pihak.

Dalam konteks konflik regional dan ketegangan sektarian yang kerap memecah belah dunia Muslim, pendekatan Khamenei terhadap persatuan umat dan penolakan terhadap provokasi sektarian memiliki implikasi yang penting—baik bagi stabilitas internal Iran maupun bagi solidaritas umat Islam secara global.

Mengenal Ayatollah Ali Khamenei secara lebih komprehensif membuka ruang pemahaman yang lebih luas tentang dinamika politik dan keagamaan di Iran. Lebih dari sekadar tokoh kontroversial, ia adalah pemimpin dengan visi yang kompleks—memadukan peran sebagai penjaga ideologi negara, penggerak perlawanan terhadap dominasi global, sekaligus tokoh yang mendorong dialog dan penghormatan antar mazhab Islam.

Dengan menggali sisi-sisi tersembunyi dari pemikirannya, kita bisa memahami bahwa realitas politik dan keagamaan di Timur Tengah seringkali tidak bisa disederhanakan menjadi hitam dan putih.

Ayatollah Ali Khamenei dan Komitmen terhadap Persatuan Umat Islam

Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, selama ini dikenal luas sebagai sosok yang memegang kendali kuat dalam struktur pemerintahan Iran, baik dari sisi spiritual maupun politik. Ia adalah ulama paling berpengaruh dalam mazhab Syiah di negara tersebut dan memainkan peran sentral dalam mengarahkan kebijakan negara.

Namun di balik citra politik dan ideologis yang kerap melekat padanya, terdapat sisi lain dari kepemimpinan Khamenei yang jarang mendapat sorotan, yakni komitmennya terhadap persatuan umat Islam lintas mazhab.

Fatwa untuk Meredam Ketegangan Sektarian

Pada tahun 2010, di tengah meningkatnya ketegangan sektarian antara kalangan Syiah dan Sunni di dunia Islam, Ayatollah Khamenei mengeluarkan sebuah fatwa penting. Dalam fatwa tersebut, ia secara tegas melarang penghinaan terhadap istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah r.a., serta para sahabat Nabi, yang merupakan tokoh-tokoh sentral dan sangat dihormati oleh umat Sunni.

Langkah ini diambil sebagai respons atas meningkatnya provokasi dari sejumlah tokoh ekstrem Syiah yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan ofensif, memicu kemarahan luas di kalangan Sunni dan memperparah polarisasi antar-mazhab.

Pesan Toleransi dan Keutuhan Umat

Dalam isi fatwanya, Ayatollah Khamenei menegaskan bahwa tindakan mencela simbol-simbol yang dihormati oleh umat Islam lainnya adalah perbuatan yang “haram” dan bertentangan dengan ajaran Islam. Ia menekankan pentingnya menjaga kehormatan tokoh-tokoh keagamaan dan menghindari segala bentuk ucapan atau tindakan yang dapat memecah belah umat.

Pesan tersebut memperlihatkan bahwa Khamenei tidak hanya berkonsentrasi pada isu-isu ideologis dalam lingkup Syiah, tetapi juga memiliki pandangan yang luas terhadap rekonsiliasi antar-mazhab dan stabilitas dunia Islam secara keseluruhan.

Strategi Ayatollah Khamenei dalam Membangun Persatuan Islam

Langkah Ayatollah Ali Khamenei dalam melarang penghinaan terhadap tokoh-tokoh Sunni bukan sekadar isyarat simbolis, melainkan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempererat hubungan antara umat Islam lintas mazhab, khususnya antara Sunni dan Syiah. Dalam berbagai kesempatan, Khamenei menekankan bahwa persatuan umat Islam merupakan kebutuhan mendesak, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti Islamofobia, intervensi asing, dan konflik internal di dunia Muslim.

Pekan Persatuan Islam: Membangun Dialog Antar-Mazhab

Sebagai wujud nyata dari komitmennya, Khamenei turut menggagas dan mendorong pelaksanaan “Pekan Persatuan Islam”, yang diperingati setiap tahun di Iran. Perayaan ini berlangsung antara tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW menurut kalender Sunni dan Syiah, sebagai simbol niat baik dan ajakan untuk saling memahami perbedaan historis serta membangun dialog yang konstruktif.

Inisiatif ini dimaksudkan sebagai platform untuk mempertemukan ulama, cendekiawan, dan tokoh-tokoh Islam dari berbagai mazhab, guna mendiskusikan isu-isu keumatan dalam semangat kolaboratif, bukan konfrontatif.

Apresiasi dan Tantangan dari Dua Arah

Langkah moderat Khamenei mendapat reaksi beragam dari berbagai kalangan. Di satu sisi, kelompok Syiah konservatif menentang pendekatan ini, menganggapnya sebagai kompromi terhadap prinsip-prinsip mazhab mereka. Di sisi lain, sebagian kalangan Sunni masih menyimpan kecurigaan, menilai ajakan tersebut sebagai bagian dari strategi politik Iran untuk memperluas pengaruh di dunia Islam.

Meski demikian, respon positif juga muncul dari tokoh-tokoh Sunni berpengaruh. Salah satunya adalah Syaikh Yusuf al-Qaradawi, ulama terkemuka dari Qatar, yang menyambut baik fatwa Khamenei dan menyebutnya sebagai langkah konstruktif dalam membangun jembatan Sunni-Syiah.

Menolak Sektarianisme, Menjaga Etika Perbedaan

Fatwa dan pendekatan yang ditunjukkan Khamenei menjadi bukti bahwa meskipun ia merupakan figur utama dalam mazhab Syiah, ia tidak mewakili sikap sektarian ekstrem yang kerap diasosiasikan dengan sebagian kelompok garis keras. Sebaliknya, ia berupaya menegaskan bahwa perbedaan mazhab tidak harus menjadi penghalang untuk persatuan, selama dilandasi oleh saling menghormati dan menjaga etika dalam perbedaan.

Penutup: Catatan Penting Bagi Dunia Islam

Sebagai salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia Islam, sikap Ayatollah Khamenei menjadi catatan penting dalam wacana persatuan umat. Ia menunjukkan bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan dalam sejarah Islam, namun bisa dikelola dengan hikmah, toleransi, dan rasa hormat. Dalam dunia yang kian terfragmentasi, pendekatan seperti ini menjadi semakin relevan untuk menjaga solidaritas dan stabilitas umat Islam secara global.

Israel Kembali Jadi Sorotan Dunia: Tiberias dan Isyarat Kiamat dalam Khazanah Islam

Stylesphere – Israel kembali menjadi sorotan dunia internasional setelah melancarkan serangan terhadap Iran. Aksi tersebut memicu gelombang kecaman dari berbagai negara dan menimbulkan unjuk rasa di sejumlah belahan dunia.

Namun, alih-alih melemah, Iran menunjukkan respons tegas. Negeri tersebut membalas serangan dengan meluncurkan rudal, roket, hingga mengerahkan drone canggih. Sistem pertahanan udara Israel, Iron Dome, dikabarkan kewalahan, sementara warga Israel dilaporkan berada dalam kondisi panik.

Dalam khazanah Islam, nama Israel bukanlah hal asing. Meski para ulama berpendapat bahwa “Bani Israil” yang disebut dalam Al-Qur’an berbeda dengan entitas politik modern yang kini dikenal sebagai Negara Israel, nama ini tetap menjadi bagian dari sejumlah narasi keagamaan penting, termasuk yang berkaitan dengan tanda-tanda akhir zaman.

Salah satu wilayah yang kini berada di bawah kekuasaan Israel juga dikaitkan dengan peristiwa besar menjelang kiamat, yakni kemunculan kaum Ya’juj dan Ma’juj. Dalam beberapa hadis Nabi Muhammad SAW, disebutkan bahwa mereka akan muncul dan melintasi kawasan Tiberias, lalu menimbulkan kerusakan besar.

Baca juga : Ya’juj dan Ma’juj Diriwayatkan Muncul di Israel Jelang Kiamat, Tepatnya di Wilayah Ini

Rasulullah SAW bahkan menyebut bahwa Danau Thabariyah—atau yang juga dikenal sebagai Danau Tiberias—akan mengalami kekeringan akibat ulah Ya’juj dan Ma’juj. Peristiwa ini dipercaya sebagai salah satu tanda dekatnya hari kiamat.

Secara geografis, wilayah Tiberias berada di antara Palestina dan Suriah. Namun dalam kondisi politik saat ini, kawasan tersebut dikuasai oleh Israel secara de facto.

Fenomena geopolitik yang terjadi di wilayah ini pun sering kali mengundang refleksi dari perspektif agama, sejarah, dan masa depan dunia.

Asal-usul Nama Tiberias dan Makna Suci di Baliknya Menurut Tradisi Yahudi

Melansir Anugerahslot, Senin (23/6/2025), Tiberias—atau dalam bahasa Ibrani disebut Tiveryah (טבריה)—merupakan kota bersejarah yang dikenal luas di dunia. Kota ini didirikan oleh Herodes dan dinamai untuk menghormati Kaisar Romawi, Tiberius. Namun, dalam tradisi Yahudi, diyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan, termasuk pemberian nama tempat. Maka dari itu, nama-nama dalam bahasa Ibrani sering kali dianggap mencerminkan sifat atau karakteristik mendalam dari tempat tersebut.

Tiveryah bukan sekadar kota biasa. Dalam kepercayaan Yahudi, ia merupakan salah satu dari empat kota suci di Israel, sekaligus tempat terakhir berdirinya Sanhedrin—lembaga mahkamah agung Yahudi pada masa kuno di Tanah Israel.

Dalam Talmud, dua orang bijak memberikan penafsiran spiritual terhadap nama kota ini:

  • Rabi Jeremiah menyatakan bahwa nama Tiveryah berkaitan dengan letak geografisnya. Kota ini berada di pusat wilayah Tanah Israel, sehingga diasosiasikan dengan kata tabur (טבור) dalam bahasa Ibrani, yang berarti “pusar.”
  • Rabba bar Nahmeini, atau Rabbah, menafsirkan bahwa Tiveryah merupakan akronim dari frasa tovah re’iyatah, yang berarti “penglihatannya indah.” Ini merujuk pada keindahan visual wilayah tersebut, yang memang dikenal memiliki lanskap yang memesona.

Dalam sejarah Yahudi, Tiberias juga dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan, terutama dalam masa pasca-penyebaran kaum Yahudi. Kota ini memainkan peran penting dalam pelestarian dan penyusunan berbagai teks keagamaan.

Namun dalam konteks modern, istilah Tiberias juga sering merujuk pada Danau Tiberias, yang dalam bahasa Arab disebut Danau Thabariyah. Danau ini memiliki nilai penting dalam berbagai narasi keagamaan, baik dalam tradisi Yahudi, Kristen, maupun Islam.

Danau Tiberias dalam Perspektif Islam: Lokasi Strategis yang Disebut Rasulullah Menjelang Kiamat

Mengutip kanal Islami Anugerahslot, Senin (23/6/2025), Danau Tiberias memiliki berbagai sebutan lain seperti Laut Al-Jalil atau Danau Al-Jalil. Danau ini bukan sekadar perairan biasa, melainkan memiliki makna penting dalam sejarah, geografi, dan eskatologi Islam.

Dalam buku Kiamat Sudah Dekat? karya Dr. Muhammad al-‘Areifi, sebagaimana dikutip Republika, dijelaskan bahwa Danau Tiberias terletak di wilayah utara Palestina dan menjadi muara utama bagi Sungai Yordania. Air dari danau ini mengaliri kawasan delta Yordania yang subur, menjadikannya sumber daya vital di wilayah tersebut.

Danau ini memiliki ukuran panjang sekitar 23 kilometer, lebar 13 kilometer, dan kedalaman maksimum tidak lebih dari 44 meter. Secara unik, permukaan air Danau Tiberias berada 210 meter di bawah permukaan laut, menjadikannya salah satu danau air tawar terendah di dunia.

Secara geografis, danau ini masuk dalam wilayah yang mencakup Palestina dan Suriah. Namun secara politik, wilayah ini kini dikuasai Israel secara de facto, menjadikannya titik sensitif dalam peta konflik dan perbincangan global.

Lebih dari sekadar penting secara geografis, Danau Tiberias juga memiliki kedudukan khusus dalam hadis-hadis Rasulullah SAW terkait tanda-tanda akhir zaman. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, disebutkan bahwa kaum Ya’juj dan Ma’juj—makhluk perusak yang akan muncul menjelang hari kiamat—akan meminum habis air danau ini.

Rasulullah SAW bersabda:

“Kemudian Allah SWT mengeluarkan Ya’juj dan Ma’juj, mereka turun dengan cepat dari bukit-bukit yang tinggi. Setelah itu, barisan pertama dari mereka melewati Danau Thabariyah (Tiberias) dan meminum habis semua air dalam danau tersebut.”
(HR. Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dari An-Nawwas bin Sam’an RA)

Hadis ini menandakan bahwa Danau Tiberias menjadi bagian dari narasi besar dalam eskatologi Islam—tanda menjelang datangnya Hari Kiamat. Kejadian itu digambarkan sebagai simbol dari kehancuran ekologis dan kekacauan global yang akan melanda dunia.

Danau Galilea: Danau Air Tawar Terendah di Dunia dan Tanda Zaman Menjelang Kiamat

Danau Galilea, yang juga dikenal dengan berbagai nama seperti Danau Genesaret, Danau Kineret, Danau Kinerot, Laut Tiberias, atau Danau Tiberias, adalah danau air tawar terbesar di wilayah yang kini dikenal sebagai Israel. Terletak di dekat Dataran Tinggi Golan, danau ini memiliki luas sekitar 166 kilometer persegi dengan kedalaman maksimum sekitar 43 meter.

Posisinya sangat unik karena berada di 211,315 meter di bawah permukaan laut, menjadikannya danau air tawar terendah di dunia, sekaligus danau terendah kedua secara keseluruhan, setelah Laut Mati yang merupakan danau air asin.

Danau Galilea menerima air dari dua sumber utama: mata air bawah tanah dan aliran Sungai Yordan yang mengalir dari utara ke selatan melalui danau ini. Kombinasi sumber ini menjadikan Galilea sangat penting bagi suplai air di wilayah tersebut.

Jejak Sejarah yang Mendalam

Secara historis, Danau Galilea terletak di jalur kuno Via Maris, jalur perdagangan utama yang menghubungkan Mesir dengan wilayah utara, termasuk kerajaan-kerajaan besar pada zamannya. Peradaban Yunani, Hasmonean, dan Romawi membangun kota-kota besar di sekitar danau ini, seperti Gadara, Hippos, dan Tiberias.

Sejarawan Romawi abad pertama, Flavius Yosefus, menyebut wilayah ini sebagai “Ambisi Alam” karena kekayaan alam dan potensi ekonominya. Ia juga mencatat bahwa pada masanya, danau ini memiliki industri perikanan yang sangat maju, dengan sekitar 230 kapal yang aktif beroperasi. Pada 1986, arkeolog menemukan perahu kayu kuno dari abad pertama Masehi, yang kemudian dikenal sebagai “Perahu Yesus”, karena diyakini berasal dari masa yang sama dengan kehidupan Nabi Isa (Yesus) di wilayah tersebut.

Ekosistem yang Kaya

Danau Galilea juga dikenal akan kekayaan hayatinya. Perairan hangatnya menjadi rumah bagi berbagai jenis flora dan fauna air, seperti fitoplankton, zooplankton, benthos, dan berbagai jenis ikan, termasuk Tilapia yang populer di masyarakat lokal.

Menariknya, beberapa laporan terkini menyebutkan bahwa spesies Platanistoidea (kelompok mamalia air) yang sempat menghilang selama hampir 40 tahun, kini mulai kembali terlihat di perairan danau tersebut, menandakan ekosistem yang mulai pulih.

Tanda Akhir Zaman dalam Islam

Dalam Islam, Danau Galilea memiliki peran yang sangat penting dalam nubuatan akhir zaman. Berdasarkan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, danau ini diyakini sebagai Danau Thabariyah, tempat di mana Ya’juj dan Ma’juj akan muncul menjelang hari kiamat. Disebutkan bahwa makhluk-makhluk perusak ini akan meminum habis air danau tersebut sebagai salah satu tanda bahwa akhir zaman telah dekat dan akan muncul pula fitnah besar seperti Dajjal.

“Kemudian Allah SWT mengeluarkan Ya’juj dan Ma’juj… lalu gerombolan pertama dari mereka melewati Danau Tiberias dan meminum habis air dalam danau tersebut.”
(HR Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Karenanya, kondisi air Danau Galilea yang mulai menyusut kerap dikaitkan oleh sebagian umat dengan tanda-tanda besar menjelang kiamat.

Danau Galilea adalah tempat di mana sejarah, keindahan alam, dan kepercayaan agama bertemu. Ia bukan hanya sumber kehidupan bagi wilayah sekitarnya, tetapi juga simbol dari banyak narasi besar tentang masa lalu dan masa depan.

Turisme sebagai Nadi Ekonomi di Sekitar Danau Galilea

Aktivitas ekonomi utama di wilayah Danau Galilea bertumpu pada sektor pariwisata. Setiap tahunnya, kawasan ini menjadi magnet bagi jutaan pengunjung, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Kota Tiberias, yang terletak di tepi danau, menjadi pusat kegiatan wisata, terutama yang berkaitan dengan sejarah, budaya, dan ziarah keagamaan.

Sebagai wilayah yang kaya dengan nilai religius, khususnya dalam tradisi Kristen, Galilea menjadi tujuan utama para peziarah. Pada bulan April 2011, pemerintah Israel meresmikan “Jesus Trail” atau “Jejak Yesus”, sebuah jalur hiking sepanjang 64 kilometer yang dirancang khusus untuk para peziarah Kristen. Jalur ini tidak hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki, tetapi juga tersedia untuk sepeda dan kendaraan, menghubungkan berbagai lokasi penting dalam kehidupan Yesus dan murid-murid-Nya. Rute ini berakhir di Kapernaum, sebuah kota kecil di tepi Danau Galilea yang dipercaya sebagai salah satu tempat di mana Yesus mengajar.

Tak hanya wisata religi, danau ini juga menjadi pusat berbagai kegiatan rekreasi. Salah satu acara paling populer adalah “The Kinneret Crossing”, yaitu lomba renang air terbuka yang digelar setiap tahun pada bulan September dan diikuti oleh peserta dari berbagai penjuru.

Selain itu, terdapat juga aktivitas unik bernama “Rafsodia” di Pantai Lavnun, di mana pengunjung dari segala usia dapat merancang dan membuat rakit buatan tangan secara berkelompok. Setelah jadi, rakit tersebut digunakan untuk berlayar melintasi danau, menciptakan pengalaman wisata yang tak hanya menyenangkan, tetapi juga membangun kekompakan dan kreativitas.

Danau Galilea bukan sekadar lokasi bersejarah, tetapi juga kawasan yang hidup dan dinamis, di mana keindahan alam, spiritualitas, dan aktivitas rekreasi berpadu dalam harmoni.