Penulisan “Iduladha” yang Benar: Antara Bahasa, Makna, dan Keteladanan

Stylesphere – Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan dua momen agung yang sarat makna, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Kedua hari raya ini bukan sekadar tradisi keagamaan, melainkan juga momentum spiritual dan sosial yang mendalam. Iduladha, secara khusus, menjadi pengingat akan nilai pengorbanan, ketaatan, dan keikhlasan, seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS.

Namun, di tengah gegap gempita perayaannya, terdapat satu aspek yang sering terabaikan: penulisan istilah “Iduladha” yang benar dalam bahasa Indonesia. Tak jarang kita menjumpai variasi penulisan seperti “Idul Adha”, bahkan di media massa dan dokumen resmi. Pertanyaannya: mana yang tepat secara kaidah bahasa?

Penulisan yang Benar: “Iduladha”

Berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) dan referensi dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), penulisan yang benar dan baku adalah Iduladha, ditulis serangkai tanpa spasi.

Hal ini serupa dengan penulisan istilah lain seperti:

  • Idulfitri (bukan Idul Fitri)
  • Ramadhan (bukan Ramadan, jika mengikuti transliterasi Indonesia)

Kata “Iduladha” berasal dari bahasa Arab ‘Īd al-Aḍḥā (عيد الأضحى), yang secara harfiah berarti “Hari Raya Kurban”. Dalam proses penyerapan ke bahasa Indonesia, unsur fonetik disesuaikan, dan kata depan (Idul) digabungkan dengan kata berikutnya (adha) untuk membentuk satu kesatuan istilah.

Mengapa Ini Penting?

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, memahami penulisan istilah religius seperti ini bukan sekadar soal teknis. Ini juga merupakan bentuk kepedulian terhadap pelestarian bahasa nasional, serta menghormati makna sakral dari istilah tersebut.

Ketika kita menulis dengan benar, kita:

  • Menunjukkan kesadaran literasi bahasa
  • Menghargai struktur dan sejarah bahasa serapan
  • Memberikan contoh baik dalam komunikasi publik, terutama di ruang media dan pendidikan

Kesimpulan: Bahasa adalah Cerminan Keteladanan

Iduladha mengajarkan kita arti ketaatan yang murni dan pengorbanan yang tulus. Dalam konteks bahasa, ketaatan bisa dimaknai sebagai kedisiplinan dalam berbahasa, termasuk dalam menulis istilah keagamaan dengan benar. Mulai dari hal kecil seperti penulisan “Iduladha”, kita turut menjaga integritas bahasa sebagai sarana dakwah, komunikasi, dan peradaban.

Iduladha atau Idul Adha? Ini Penulisan yang Benar Menurut KBBI

Dalam praktik sehari-hari, penulisan istilah hari raya umat Islam ini memang kerap bervariasi. Sebagian orang menulis “Idul Adha” dengan spasi, sementara lainnya memilih bentuk “Iduladha” tanpa spasi. Lalu, yang manakah yang benar secara kaidah bahasa Indonesia?

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi VI yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, penulisan yang baku dan benar adalah “Iduladha”, ditulis dalam satu kata tanpa spasi.

Jika Anda mencoba mencari entri “Idul Adha” secara terpisah di situs resmi KBBI, tidak akan ditemukan hasil pencarian. Sebaliknya, ketika mengetik “Iduladha”, akan muncul definisi resmi sebagai berikut:

Iduladha (n): hari raya haji yang jatuh pada tanggal 10–13 Zulhijah, disertai dengan penyembelihan hewan kurban (seperti sapi, kambing, atau unta) bagi yang mampu.

Dengan demikian, “Idul Adha” dikategorikan sebagai bentuk tidak baku, meskipun masih umum ditemukan dalam media, percakapan, maupun tulisan informal.

Hal serupa juga berlaku untuk istilah “Idulfitri”, yang sering salah ditulis menjadi “Idul Fitri”. Menurut kaidah bahasa Indonesia, kedua istilah tersebut merupakan bentuk serapan utuh dari bahasa Arab yang seharusnya ditulis serangkai.

Kesimpulan

Sebagai pengguna bahasa Indonesia yang baik, penting bagi kita untuk membiasakan penulisan yang benar sesuai dengan standar baku. Menggunakan bentuk seperti “Iduladha” dan “Idulfitri” bukan hanya mencerminkan ketepatan berbahasa, tetapi juga menunjukkan kepedulian terhadap kaidah kebahasaan yang benar dan berwibawa.

Asal Usul dan Makna Kata “Iduladha”

Secara etimologis, istilah Iduladha berasal dari bahasa Arab ‘Īd al-Aḍḥā.

  • Kata ‘Īd (عيد) berarti “hari raya” atau “perayaan”.
  • Sementara Aḍḥā (الأضحى) berasal dari kata aḍḥiyah (أضحية), yang berarti “kurban” atau “hewan sembelihan”.

Gabungan kedua kata ini, ‘Īd al-Aḍḥā, secara harfiah bermakna “hari raya kurban” atau “hari raya penyembelihan”.

Dalam sejarah Islam, Iduladha memperingati momen luar biasa ketika Nabi Ibrahim a.s. menunjukkan ketundukannya kepada perintah Allah SWT untuk mengorbankan putranya, Nabi Ismail a.s. Sebuah peristiwa yang menggambarkan ketaatan, keikhlasan, dan pengorbanan total dalam menjalankan kehendak Ilahi.

Istilah Lokal di Indonesia

Di tengah masyarakat Indonesia, Iduladha juga dikenal dengan beberapa nama lain yang mencerminkan kekayaan budaya lokal, antara lain:

  • Lebaran Haji – karena bertepatan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci.
  • Lebaran Besar – merujuk pada perayaannya yang dianggap lebih megah dibandingkan Idulfitri.
  • Hari Raya Kurban atau Idul Kurban – menekankan pada tradisi penyembelihan hewan kurban.

Meski istilah-istilah lokal ini cukup populer dalam penggunaan sehari-hari, hanya bentuk “Iduladha” yang diakui secara baku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Siapa yang Wajib Berkurban? Ini Batas Mampu dalam Ibadah Kurban Menurut Islam

Siapa yang Wajib Berkurban? Ini Batas Mampu dalam Ibadah Kurban Menurut Islam

Stylesphere – Pada bulan Dzulhijjah, terutama saat Hari Raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan ibadah kurban sebagai bentuk ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Anjuran ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah Al-Kautsar ayat 2:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
Artinya: Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).

Meskipun ibadah kurban sangat dianjurkan, Islam tidak mewajibkan setiap orang untuk melaksanakannya. Ajaran Islam sangat memperhatikan kemampuan serta kondisi ekonomi individu, sehingga pelaksanaan ibadah kurban tidak dimaksudkan untuk memberatkan siapa pun.

Namun, sering muncul pemahaman keliru di tengah masyarakat bahwa ibadah kurban hanya ditujukan bagi mereka yang berkecukupan atau orang-orang kaya saja. Padahal, anggapan ini tidak sepenuhnya tepat. Islam memiliki kriteria yang jelas untuk menentukan siapa yang termasuk “mampu” dan karenanya disunnahkan untuk berkurban.

Batas Mampu Berkurban

Menurut penjelasan yang dikutip dari laman NU Online pada Selasa (20/5/2025), seseorang dikatakan mampu berkurban apabila ia memiliki kelebihan harta setelah mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya selama hari raya dan hari tasyrik. Artinya, seseorang tidak perlu menjadi orang kaya untuk bisa berkurban. Asalkan ada dana lebih, meskipun tidak besar, dan tidak mengganggu kebutuhan dasar, maka ia sudah termasuk kategori mampu.

Tidak Ada Paksaan

Bagi yang belum mampu, tidak ada kewajiban untuk memaksakan diri. Islam memberikan kelonggaran dan menilai niat serta kesungguhan hati dalam beribadah. Maka, yang terpenting adalah semangat beribadah dan keikhlasan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kapan Seseorang Dianggap Mampu Berkurban? Ini Penjelasan Imam Ibnu Hajar

Penjelasan mengenai batasan kemampuan dalam berkurban juga ditegaskan oleh ulama besar, Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), dalam karyanya Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj. Menurut beliau, seseorang dikatakan mampu berkurban jika ia memiliki kelebihan rezeki setelah mencukupi kebutuhan pokok diri dan keluarganya—seperti makanan dan pakaian—selama Hari Raya Idul Adha hingga tiga hari tasyrik berikutnya.

Imam Ibnu Hajar menjelaskan, karena kurban merupakan bentuk sedekah, maka seseorang yang ingin melakukannya harus sudah terbebas dari kebutuhan pribadi dan keluarganya terlebih dahulu.

Beliau menulis:

وَلَا بُدَّ أَنْ تَكُونَ فَاضِلَةً عَنْ حَاجَتِهِ وَحَاجَةِ مَنْ يُمَوِّنُهُ لِأَنَّهَا نَوْعُ صَدَقَةٍ

Artinya: “Dan (harta untuk berkurban) harus lebih dari kebutuhannya sendiri dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, karena kurban adalah bagian dari sedekah.” (Tuhfatul Muhtaj, Juz IV, hlm. 47).

Kesimpulan

Berdasarkan pendapat ini, batas mampu berkurban tidaklah diukur dari status ekonomi yang tinggi, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan pokok pribadi dan keluarga. Jika masih ada kelebihan rezeki setelah itu, maka ia termasuk orang yang mampu untuk berkurban. Sebaliknya, jika belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka ia tidak termasuk dalam golongan yang dibebani ibadah kurban.

Wallahu a’lam.

Hari Raya Idul Adha: Makna, Tradisi, dan Ucapan dalam Bahasa Inggris

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha, yang juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban, merupakan salah satu momen penting dalam kalender umat Islam yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan sosial. Perayaan ini memperingati ketaatan dan keteguhan Nabi Ibrahim AS dalam menjalankan perintah Allah SWT untuk mengorbankan putranya tercinta, yang kemudian digantikan oleh Allah dengan seekor domba sebagai wujud rahmat dan kasih sayang-Nya.

Di hari suci ini, umat Muslim di seluruh dunia menggelar salat Idul Adha secara berjamaah, menyembelih hewan kurban, dan membagikan dagingnya kepada keluarga, tetangga, serta mereka yang membutuhkan. Lebih dari sekadar pelaksanaan ibadah, Idul Adha merupakan ajang memperkuat semangat keikhlasan, empati sosial, dan kepedulian terhadap sesama.

Selain berkurban, salah satu cara memperingati Idul Adha yang tak kalah penting adalah dengan menyampaikan ucapan selamat. Memberikan ucapan Hari Raya Idul Adha dalam bahasa Inggris menjadi sarana untuk menebarkan pesan perdamaian, doa, dan kasih sayang yang dapat diterima oleh semua kalangan, tanpa batasan bahasa dan budaya.

Sebagai bentuk apresiasi dan inspirasi, berikut 60 contoh ucapan Idul Adha dalam bahasa Inggris lengkap dengan terjemahannya yang telah dihimpun oleh Stylesphere, Selasa (20/5/2025).

Ucapan Idul Adha Dalam Bahasa Inggris

  1. Eid Mubarak! May your sacrifices be accepted and your prayers answered. Selamat Hari Raya Idul Adha! Semoga pengorbananmu diterima dan doamu dikabulkan.
  2. Wishing you a joyous and peaceful Eid al-Adha! Semoga Idul Adha-mu penuh kebahagiaan dan kedamaian!
  3. Happy Eid al-Adha! May Allah shower His mercy on you and your loved ones. Selamat Idul Adha! Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu dan orang-orang tercintamu.
  4. May this blessed day bring happiness and peace to your heart. Eid Mubarak! Semoga hari yang diberkahi ini membawa kebahagiaan dan kedamaian di hatimu. Selamat Idul Adha!
  5. Eid al-Adha Mubarak! May this day inspire us all to be more compassionate. Selamat Idul Adha! Semoga hari ini menginspirasi kita untuk lebih berbelas kasih.
  6. Eid Mubarak to my dearest family! May our bond grow stronger through faith and sacrifice. Selamat Idul Adha untuk keluarga tercintaku! Semoga ikatan kita semakin kuat melalui iman dan pengorbanan.
  7. Wishing my beloved family a peaceful and blessed Eid al-Adha. Semoga keluarga tercintaku merayakan Idul Adha yang damai dan penuh berkah.
  8. On this sacred day, may our home be filled with warmth and gratitude. Eid Mubarak! Pada hari suci ini, semoga rumah kita dipenuhi kehangatan dan rasa syukur. Selamat Idul Adha!
  9. May Allah accept our Qurbani and strengthen the love in our family. Semoga Allah menerima kurban kita dan mempererat cinta dalam keluarga kita.
  10. Happy Eid to the family that completes me. I am blessed to have you all. Selamat Idul Adha untuk keluarga yang membuat hidupku lengkap. Aku diberkahi memiliki kalian.
  11. Eid Mubarak, my friend! May your day be as bright as your smile. Selamat Idul Adha, temanku! Semoga harimu secerah senyummu.
  12. Wishing you and your family an Eid full of peace and joy. Semoga kamu dan keluargamu merayakan Idul Adha yang penuh kedamaian dan kegembiraan.
  13. On this beautiful occasion, I pray for your success and happiness. Eid Mubarak! Pada kesempatan yang indah ini, aku berdoa untuk kesuksesan dan kebahagiaanmu. Selamat Idul Adha!
  14. Let’s celebrate Eid with a heart full of gratitude and a spirit full of kindness. Mari rayakan Idul Adha dengan hati yang penuh syukur dan semangat kebaikan.
  15. Eid al-Adha Mubarak, bestie! Hope your sacrifice brings immense reward. Selamat Idul Adha, sahabatku! Semoga pengorbananmu membawa pahala besar.

Ucapan idul Adha Sederhana Dalam Bahasa Inggris

  1. Eid Mubarak! Selamat Idul Adha!
  2. Happy Eid al-Adha! Selamat Idul Adha!
  3. Wishing you peace and joy today and always. Semoga kamu selalu dipenuhi kedamaian dan kebahagiaan.
  4. May your Eid be bright and blessed. Semoga Idul Adha-mu penuh cahaya dan berkah.
  5. Joyous Eid wishes to you and your loved ones! Ucapan Idul Adha yang penuh kebahagiaan untukmu dan orang-orang tercinta!
  6. Eid Mubarak, little star! May your smile shine brighter this Eid. Selamat Idul Adha, bintang kecil! Semoga senyummu bersinar lebih terang tahun ini.
  7. Enjoy the sweets, the toys, and the joy of Eid! Nikmati permen, mainan, dan kegembiraan Idul Adha!
  8. Eid al-Adha is more fun when celebrated with kids like you! Idul Adha lebih seru saat dirayakan bersama anak sepertimu!
  9. May this Eid bring lots of gifts and laughter to your day. Semoga Idul Adha ini membawa banyak hadiah dan tawa di harimu.
  10. Happy Eid, my dear child. You’re the reason every celebration is magical. Selamat Idul Adha, anakku tersayang. Kamu adalah alasan setiap perayaan terasa ajaib.
  11. Wishing you and your team a prosperous and peaceful Eid al-Adha. Semoga kamu dan timmu merayakan Idul Adha yang makmur dan damai.
  12. Eid Mubarak! May this holiday bring fresh inspiration to your goals. Selamat Idul Adha! Semoga liburan ini membawa inspirasi baru untuk tujuanmu.
  13. May your hard work be rewarded with blessings this Eid. Semoga kerja kerasmu dibalas dengan berkah di Idul Adha ini.
  14. Sending best wishes of success and peace on this Eid al-Adha. Kirimkan doa terbaik untuk kesuksesan dan kedamaian di Idul Adha ini.
  15. Happy Eid to a valued colleague and friend. Selamat Idul Adha untuk rekan kerja dan sahabat yang berharga.

Ucapan Hari Raya Idul Adha Untuk Pasangan

  1. Eid Mubarak, my love. You are my greatest blessing. Selamat Idul Adha, cintaku. Kamu adalah berkah terbesarku.
  2. May this Eid strengthen our bond and bring us endless happiness. Semoga Idul Adha ini memperkuat ikatan kita dan membawa kebahagiaan tiada henti.
  3. Your love makes every Eid more meaningful. Happy Eid, darling. Cintamu membuat setiap Idul Adha lebih bermakna. Selamat Idul Adha, sayang.
  4. Eid Mubarak to the one who makes my world brighter. Selamat Idul Adha untuk orang yang membuat duniaku lebih bersinar.
  5. Let’s cherish this Eid together and grow stronger in love and faith. Mari rayakan Idul Adha ini bersama dan tumbuh dalam cinta dan iman.
  6. May Allah bless you with health, wealth, and faith. Eid Mubarak! Semoga Allah memberkatimu dengan kesehatan, kekayaan, dan iman. Selamat Idul Adha!
  7. On this holy day, may all your prayers be answered. Di hari yang suci ini, semoga semua doamu dikabulkan.
  8. May your sacrifices bring you closer to Allah and His mercy. Semoga pengorbananmu mendekatkanmu kepada Allah dan rahmat-Nya.
  9. Eid Mubarak! May you always walk on the path of righteousness. Selamat Idul Adha! Semoga kamu selalu berada di jalan yang benar.
  10. Wishing you a heart filled with gratitude and faith this Eid. Semoga hatimu dipenuhi rasa syukur dan iman di Idul Adha ini.
  11. The true meaning of Eid lies in sharing and caring. Happy Eid al-Adha! Makna sejati Idul Adha terletak pada berbagi dan peduli. Selamat Idul Adha!
  12. Celebrate this Eid with a pure heart and open arms. Rayakan Idul Adha ini dengan hati yang tulus dan tangan terbuka.
  13. Eid al-Adha reminds us to give, forgive, and grow. Idul Adha mengingatkan kita untuk memberi, memaafkan, dan berkembang.
  14. May the story of Ibrahim inspire us to obey and trust Allah always. Semoga kisah Nabi Ibrahim menginspirasi kita untuk selalu taat dan percaya kepada Allah.
  15. Let your sacrifices reflect your love for the Creator. Biarlah pengorbananmu mencerminkan cintamu kepada Sang Pencipta.

Memahami Hukum Kurban: Sunnah atau Wajib? Penjelasan Buya Yahya

Stylesphere – Ibadah kurban merupakan salah satu amalan penting dalam Islam yang dilaksanakan setiap Hari Raya Iduladha, termasuk pada perayaan Iduladha 2025 mendatang. Meski demikian, masih banyak umat Muslim yang belum sepenuhnya memahami status hukum kurban, terutama terkait kapan kurban bersifat sunnah dan kapan bisa menjadi wajib.

Kebingungan sering muncul, terutama bagi mereka yang telah berniat untuk berkurban. Dalam ajaran Islam, khususnya menurut Mazhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas ulama (jumhur), hukum kurban pada dasarnya adalah sunnah muakkad. Artinya, kurban sangat dianjurkan tetapi tidak bersifat wajib bagi setiap Muslim.

Namun, ada kondisi tertentu yang dapat mengubah hukum kurban menjadi wajib, salah satunya adalah jika disertai dengan nazar.

Melalui tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @buyayahyaofficial, Minggu (18/05/2025), pendakwah kharismatik KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal dengan Buya Yahya, memberikan penjelasan rinci mengenai hal ini.

Menurut Buya Yahya, jika seseorang dengan tegas menyatakan niat nazar, misalnya dengan mengucapkan, “Aku nazar mau menyembelih kambing sebagai kurban,” maka kurban tersebut otomatis menjadi wajib.

Pernyataan ini dianggap sebagai janji yang mengikat secara syar’i dan tidak boleh diabaikan. Bahkan, Buya Yahya menegaskan bahwa apabila kurban dilakukan sebagai bentuk nazar, maka daging hewan kurban tersebut tidak boleh dimakan oleh orang yang berkurban maupun keluarganya, melainkan harus dibagikan seluruhnya kepada yang berhak menerimanya.

Dengan memahami perbedaan antara kurban yang bersifat sunnah dan yang menjadi wajib karena nazar, umat Muslim diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam berniat dan menjalankan ibadah kurban. Pengetahuan ini juga penting agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanaan dan pembagian kurban.

Bedakan Kurban Sunnah dan Kurban Nazar, Jangan Sampai Ibadah Jadi Beban

Menjelang Iduladha 2025, pemahaman umat Muslim terhadap hukum kurban kembali menjadi perhatian. Salah satu hal penting yang perlu diketahui adalah perbedaan antara kurban yang sunnah dan kurban yang wajib karena nazar. Hal ini disampaikan oleh pendakwah ternama Buya Yahya, melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial, Minggu (18/05/2025).

Menurut Buya Yahya, jika tidak ada niat nazar yang diucapkan secara jelas, maka ibadah kurban tetap berstatus sebagai sunnah muakkad. Dalam hal ini, orang yang berkurban boleh memakan sebagian daging kurbannya, serta membagikannya kepada tetangga, kerabat, dan fakir miskin.

“Selagi kurban itu sunnah, bukan nazar, maka orang yang berkurban boleh memakan dagingnya. Jangan sampai kurban yang seharusnya menjadi ibadah penuh berkah malah berubah menjadi beban,” tegas Buya Yahya.

Namun, berbeda halnya jika seseorang telah menyatakan nazar—misalnya dengan berkata “Saya nazar akan menyembelih kambing untuk kurban”—maka kurban tersebut menjadi wajib, dan ada konsekuensi yang harus ditanggung.

Dalam konteks ini, Buya Yahya mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati dalam mengucapkan niat nazar, karena nazar adalah janji kepada Allah yang harus ditepati. Sekali diucapkan, ia tidak bisa dicabut, dan pelaksanaannya memiliki aturan yang berbeda dengan kurban sunnah.

Jika kurban dilakukan sebagai nazar, maka seluruh bagian daging kurban wajib diberikan kepada fakir miskin. Orang yang berkurban maupun keluarganya tidak diperbolehkan mengonsumsinya, karena daging tersebut menjadi bentuk pemenuhan janji kepada Allah, bukan lagi sebagai ibadah sunnah yang bersifat fleksibel.

“Ini yang sering kali tidak dipahami oleh masyarakat, sehingga terjebak dalam anggapan bahwa kurban selalu wajib,” ujar Buya Yahya.

Dengan memahami perbedaan mendasar ini, umat Muslim diharapkan dapat menjalankan ibadah kurban dengan lebih tepat, tenang, dan penuh keberkahan, tanpa terbebani oleh kesalahpahaman dalam niat maupun pelaksanaannya.

Buya Yahya: Kurban Adalah Ibadah Berbagi, Bukan Beban

Buya Yahya kembali menegaskan pentingnya bijak dalam bernazar, terutama terkait ibadah kurban yang akan dijalankan umat Islam pada Iduladha 2025. Ia mengingatkan bahwa kebiasaan sebagian masyarakat yang mudah mengucapkan nazar tanpa pertimbangan matang dapat menimbulkan kewajiban berat yang justru membebani diri sendiri.

“Jangan mudah-mudah bernazar. Nazar itu janji kepada Allah. Sekali terucap, wajib ditunaikan,” kata Buya Yahya melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial.

Lebih lanjut, Buya menjelaskan bahwa kurban yang dilakukan tanpa nazar tetap berstatus sunnah muakkad, yakni ibadah yang sangat dianjurkan tetapi tidak wajib. Dalam kondisi ini, orang yang berkurban berhak menikmati sebagian daging kurban, serta membagikannya kepada tetangga, kerabat, dan fakir miskin. Hal ini menjadi sarana berbagi kebahagiaan dan mempererat tali persaudaraan antarwarga.

Terkait pembagian daging, Buya Yahya menyarankan agar fakir miskin tetap menjadi prioritas utama. Namun, menurutnya, tidak ada larangan bagi orang mampu menerima daging kurban, selama tujuannya adalah menjaga kebersamaan dan keharmonisan sosial.

“Kurban jangan sampai menjadi ibadah yang penuh tekanan. Selama tidak dinazarkan, tetaplah pada status sunnah. Jalani dengan ringan, ikhlas, dan gembira,” ujar Buya.

Ia juga menekankan bahwa inti dari kurban adalah niat ikhlas untuk berbagi, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Oleh karena itu, umat Islam diimbau untuk memahami hukum dan aturan seputar kurban, terutama terkait nazar, agar bisa melaksanakan ibadah ini dengan tenang dan penuh keberkahan.

Dengan penjelasan tersebut, Buya Yahya berharap masyarakat dapat menjalani ibadah kurban secara bijak, sadar, dan tidak terburu-buru dalam bernazar, sehingga kurban tetap menjadi ibadah yang membawa manfaat lahir dan batin.

Jangan Tergesa Nazar, Kurban Harus Dilakukan dengan Niat Tulus

Menjelang Hari Raya Idul adha 2025, pendakwah ternama Buya Yahya kembali menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam menjalankan ibadah kurban. Ia memperingatkan agar umat Islam tidak tergesa-gesa melafalkan nazar tanpa mempertimbangkan konsekuensinya secara matang.

“Nazar itu ikatan serius dengan Allah. Jika sudah terucap, maka wajib ditepati. Jangan sampai niat baik berubah menjadi beban hanya karena tidak paham hukum kurban,” ujar Buya Yahya dalam video yang tayang di kanal YouTube @buyayahyaofficial.

Menurut Buya, banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara kurban sunnah dan kurban yang menjadi wajib karena nazar. Kurban sunnah bersifat sangat dianjurkan namun tidak mengikat, sehingga pelaksananya boleh menikmati daging kurban dan membaginya kepada sesama. Sementara jika sudah dinazarkan, maka seluruh daging kurban wajib disedekahkan kepada fakir miskin, dan orang yang berkurban tidak boleh memakannya.

Di akhir penjelasannya, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk menjadikan kurban sebagai momen kebersamaan dan berbagi, bukan sumber perdebatan atau tekanan. Ia mengingatkan bahwa perbedaan pendapat soal hukum kurban tidak seharusnya menimbulkan perselisihan di tengah masyarakat.

“Kurban adalah simbol pengorbanan dan ketulusan. Laksanakanlah dengan hati yang lapang, niat yang murni, dan semangat berbagi,” pesannya.

Dengan pemahaman yang tepat mengenai hukum kurban, termasuk konsekuensi dari nazar, Buya Yahya berharap umat Islam bisa menjalani ibadah ini dengan lebih ikhlas, sadar, dan penuh keberkahan.

Semoga penjelasan ini menjadi pencerahan bagi masyarakat agar tidak lagi salah paham dan mampu melaksanakan kurban sesuai tuntunan agama, dengan niat tulus dan semangat persaudaraan.

Sejarah Idul Adha Dalam Agama Islam

Stylesphere – Kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS, merupakan inti dari Idul Adha. Allah SWT menguji keimanan Nabi Ibrahim AS dengan memerintahkannya untuk mengorbankan putranya yang sangat dicintainya. Nabi Ibrahim AS, dengan penuh ketaatan dan keikhlasan, siap melaksanakan perintah tersebut.

Keikhlasan Nabi Ismail AS yang rela dikorbankan juga merupakan teladan yang luar biasa. Kisah ini menunjukkan betapa pentingnya ketaatan dan kepasrahan kepada Allah SWT, bahkan dalam menghadapi cobaan yang sangat berat.

Pada saat Nabi Ibrahim AS hendak menyembelih Nabi Ismail AS, Allah SWT mengganti Nabi Ismail AS dengan seekor domba sebagai pengganti kurban. Peristiwa ini menunjukkan kasih sayang dan rahmat Allah SWT yang tak terhingga.

Pengujian keimanan Nabi Ibrahim AS dan keikhlasan Nabi Ismail AS mengajarkan kita tentang arti sebenarnya dari pengorbanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Kisah ini menjadi landasan utama dari syariat kurban dalam Islam.

Awal Mula Syariat Kurban dalam Islam

Syariat kurban dalam Islam berakar dari kisah Nabi Ibrahim AS. Allah SWT telah menurunkan perintah untuk berkurban dalam Al-Qur’an, seperti yang tercantum dalam QS Al Hajj ayat 34:

 وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Wa likulli ummatin ja’alnaa mansakan liyazkuruu ismallaahi ‘alaa maa razaqahum min bahiimati al-‘an’aami fa ilaahukum ilaahun waahidun fala hu aslimuu wa basysyiril mukhibtiin.

Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”

Rasulullah SAW juga melaksanakan ibadah kurban dan mengajarkannya kepada umatnya. Tradisi kurban kemudian berkembang dari masa ke masa, menjadi bagian integral dari perayaan Idul Adha.

Memahami Makna Idul Adha: Ibadah, Pengorbanan, dan Kepedulian Sosial

Idul Adha, salah satu hari raya besar dalam Islam, diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah dalam kalender Hijriah. Momen suci ini tidak hanya menandai puncaknya ibadah haji di Tanah Suci Mekkah, tetapi juga menjadi peringatan atas kisah penuh keimanan dan pengorbanan dari Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS.

Dalam sejarahnya, Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah SWT untuk mengorbankan putra tercintanya sebagai bentuk ketaatan total. Namun, sebelum pengorbanan itu terlaksana, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai bentuk rahmat dan ujian keimanan. Peristiwa ini menjadi simbol penting tentang ketaatan, keikhlasan, dan pengorbanan dalam ajaran Islam.

Lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan kurban, Idul Adha mengajarkan nilai-nilai luhur yang mencakup kepedulian sosial dan semangat berbagi. Daging hewan kurban yang disembelih tidak hanya untuk keluarga sendiri, melainkan dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Tradisi ini menumbuhkan solidaritas dan mempererat ikatan sosial dalam masyarakat.

Idul Adha juga menjadi momentum reflektif bagi umat Muslim untuk menumbuhkan keimanan dan memperkuat hubungan dengan sesama. Di tengah suasana perayaan, umat diajak untuk merenungi makna sejati dari pengorbanan—yakni mendahulukan perintah Allah dan kepentingan orang lain di atas keinginan pribadi.

Sebagai perayaan yang menyatukan umat Muslim di seluruh dunia, Idul Adha adalah saat yang tepat untuk mempererat silaturahmi, memperkuat rasa syukur, dan menumbuhkan empati terhadap sesama. Hari raya ini tidak hanya menjadi bentuk ibadah vertikal kepada Allah, tetapi juga ibadah horizontal yang menumbuhkan cinta kasih dan kepedulian sosial di tengah kehidupan bermasyarakat.

Dengan memahami makna mendalam dari Idul Adha, semoga kita semua dapat menghayati nilai-nilainya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari—menjadi pribadi yang lebih taat, ikhlas, dan peduli terhadap sesama.

Idul Adha: Makna, Asal Usul, dan Nilai Spiritual di Baliknya

Idul Adha merupakan salah satu hari raya terbesar dalam Islam yang sarat makna spiritual dan sosial. Kata “Idul Adha” berasal dari bahasa Arab, di mana ‘Id’ berarti “perayaan” atau “kembali”, dan ‘Adha’ berarti “kurban” atau “sembelihan”. Secara harfiah, Idul Adha berarti Hari Raya Kurban, merujuk pada peristiwa besar dalam sejarah Islam: pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang bersedia menyembelih putranya, Nabi Ismail AS, demi menjalankan perintah Allah SWT.

Dalam masyarakat Muslim, Idul Adha juga dikenal dengan sebutan Hari Raya Kurban, Lebaran Haji, atau Idul Kubra (hari raya besar), yang membedakannya dari Idul Fitri yang disebut sebagai Idul Shughra (hari raya kecil). Perbedaan ini mencerminkan karakteristik dan nilai utama dari masing-masing hari raya.

Idul Fitri menandai kemenangan spiritual setelah sebulan penuh berpuasa, lebih bersifat personal dan introspektif. Sementara itu, Idul Adha menekankan aspek pengorbanan dan ketaatan kepada Allah SWT, serta kepedulian sosial melalui penyembelihan hewan kurban dan pembagian daging kepada mereka yang membutuhkan.

Momentum Idul Adha tidak hanya memperingati pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail AS, tetapi juga mengajak umat Islam untuk merefleksikan nilai-nilai pengorbanan, keikhlasan, dan ketaatan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks modern, pesan ini tetap relevan: sering kali kita harus membuat keputusan sulit yang menuntut kerelaan untuk melepaskan sesuatu demi kebaikan yang lebih besar, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

Ritual penyembelihan hewan kurban bukan hanya bentuk ibadah simbolik, tetapi juga ekspresi konkret dari rasa syukur dan kepatuhan kepada Allah SWT. Melalui ibadah ini, umat Muslim diingatkan untuk berbagi rezeki dan menjalin solidaritas sosial, memperkuat ikatan antar sesama, serta menyebarkan semangat kebaikan.

Idul Adha, dengan segala makna yang terkandung di dalamnya, menjadi momen penting untuk mempertegas komitmen spiritual dan sosial umat Muslim. Semoga kita bisa terus menghidupkan nilai-nilai luhur dari perayaan ini dalam kehidupan kita, tak hanya saat hari raya, tetapi juga sepanjang tahun.

Pelaksanaan Idul Adha dalam Ajaran Islam

Rangkaian ibadah Idul Adha diawali dengan salat Idul Adha yang dilaksanakan pada pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah. Setelah salat, dibacakan khutbah yang biasanya berisi pesan-pesan moral dan ajaran agama.

Takbir dan tahmid dikumandangkan sejak malam Idul Adha hingga hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah). Penyembelihan hewan kurban dilakukan setelah salat Idul Adha atau pada hari-hari tasyrik.

Hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah) merupakan hari-hari yang dianjurkan untuk memperbanyak takbir dan berdoa. Pembagian daging kurban juga dilakukan pada hari-hari tersebut.

Hukum berkurban adalah sunnah muakkadah (sunnah yang dianjurkan). Hewan yang boleh dikurbankan adalah unta, sapi, kambing, atau domba yang memenuhi syarat tertentu.

Syarat hewan kurban antara lain sehat, tidak cacat, dan telah mencapai usia tertentu. Waktu penyembelihan hewan kurban adalah pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.

Daging kurban dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk keluarga yang berkurban, sepertiga untuk kerabat dan tetangga, dan sepertiga untuk fakir miskin. Ada larangan bagi orang yang berkurban untuk memakan daging kurbannya sebelum dibagikan kepada yang berhak menerimanya.

Menjelang Dzulhijjah: Saatnya Perbanyak Ibadah dan Pahami Keutamaan Kurban

Stylesphere – Tak terasa, bulan Dzulhijjah akan segera tiba—salah satu dari asyhurul hurum, yaitu bulan-bulan mulia dalam kalender Hijriah yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Di bulan-bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah karena nilai pahalanya sangat besar di sisi Allah SWT.

Dzulhijjah memiliki keistimewaan tersendiri, salah satunya adalah waktu dilaksanakannya ibadah haji. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang hukumnya wajib bagi setiap muslim yang mampu secara fisik, finansial, dan aman dalam perjalanannya.

Selain ibadah haji, Dzulhijjah juga menjadi momen utama pelaksanaan ibadah kurban, yang sangat dianjurkan bagi muslim yang memiliki kelapangan rezeki. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 34:

“Bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) agar mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang dianugerahkan-Nya kepada mereka. Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa. Maka, berserah dirilah kepada-Nya. Sampaikanlah (Nabi Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang rendah hati lagi taat (kepada Allah).”

Ibadah kurban memang memiliki kemiripan dengan aqiqah dalam hal penyembelihan hewan, namun keduanya memiliki tujuan dan hukum yang berbeda. Seperti dijelaskan oleh Pengasuh LPD Al Bahjah, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya), kurban merupakan ibadah tahunan yang disunnahkan bagi umat Islam pada Hari Raya Iduladha dan hari-hari tasyrik, sedangkan aqiqah adalah ibadah yang berkaitan dengan kelahiran anak dan dilakukan satu kali seumur hidup.

Memasuki bulan Dzulhijjah, mari mempersiapkan diri dengan memperbanyak amal saleh, memperdalam pemahaman tentang ibadah kurban, dan menyambut bulan suci ini dengan hati yang bersih serta penuh ketaatan kepada Allah SWT.

Perbedaan Aqiqah dan Kurban: Penjelasan Buya Yahya

Buya Yahya, Pengasuh LPD Al Bahjah, menjelaskan secara rinci perbedaan antara aqiqah dan kurban yang sering kali disalahpahami oleh sebagian umat Islam.

Menurut beliau, aqiqah adalah ibadah yang disunnahkan bagi orang tua terhadap anaknya—selama anak tersebut belum baligh. Artinya, ketika seseorang memiliki anak, ia dianjurkan untuk menyembelih hewan aqiqah sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak tersebut.

“Aqiqah itu disunnahkan bukan untuk dirimu, tetapi untuk anakmu. Bukan juga untuk orang tuamu. Jadi kalau kita punya anak, maka kita disunnahkan untuk melakukan aqiqah,” terang Buya Yahya dalam ceramahnya yang disiarkan YouTube Al Bahjah TV, Rabu (14/5/2025).

Sementara itu, kurban adalah ibadah sunnah yang ditujukan untuk diri sendiri dan dianjurkan dilakukan setiap kali menjumpai Hari Raya Iduladha, bukan hanya sekali seumur hidup.

“Ada yang mengira kurban hanya sekali seumur hidup. Itu keliru. Kurban itu, selama masih hidup dan bertemu Iduladha, maka disunnahkan berkurban. Kalau umurnya seribu tahun, ya seribu kali disunnahkan berkurban,” tegas beliau.

Terkait aqiqah bagi orang yang sudah dewasa dan belum diaqiqahi waktu kecil, Buya Yahya menjelaskan bahwa tetap dianjurkan untuk melakukan aqiqah meski sudah dewasa, sebagai bentuk penyempurnaan ibadah yang belum sempat dilakukan.

“Boleh seseorang mengaqiqahi dirinya sendiri. Misalnya orang tua belum mampu waktu kecil, lalu ketika dewasa—bahkan umur 40 tahun—baru punya rezeki, tetap dianjurkan,” jelas Buya.

Namun, apabila seseorang dihadapkan pada pilihan untuk menyembelih hewan antara aqiqah dirinya sendiri atau anaknya, maka lebih diutamakan untuk mengaqiqahi anaknya, karena kesunnahan itu berlaku atas dirinya sebagai orang tua.

“Kalau istri melahirkan dan kamu belum diaqiqahi, mana yang lebih utama? Aqiqahi anakmu. Karena kesunnahan aqiqah itu ada atas dirimu sebagai ayah,” pungkas Buya Yahya.

Dengan penjelasan ini, umat Islam diharapkan bisa lebih memahami perbedaan mendasar antara dua ibadah penyembelihan ini, sehingga dapat menjalankannya dengan benar dan sesuai tuntunan.

Kurban Atau Aqiqah duluan?

Jika seorang muslim dihadapkan pada pilihan antara melaksanakan kurban atau aqiqah, Buya Yahya menganjurkan untuk mendahulukan kurban untuk diri sendiri.

“Jadi dahulukan kurban untuk dirinya sendiri. Kemudian setelah itu kalau ingin kurban untuk orang lain, aqiqah untuk orang lain, ini babnya nanti, ya sah-sah saja pada akhirnya,” jelas Buya Yahya.

Artinya, dalam kondisi keterbatasan finansial atau situasi di mana hanya satu ibadah yang bisa dilakukan, ibadah kurban lebih utama untuk dilaksanakan lebih dahulu. Hal ini karena kurban merupakan ibadah tahunan yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mampu, sedangkan aqiqah adalah kesunnahan yang berkaitan dengan kelahiran anak, dan tanggung jawab utamanya ada pada orang tua.

Setelah kurban untuk diri sendiri dilaksanakan, barulah seseorang dapat melaksanakan aqiqah untuk anaknya, atau bahkan mengaqiqahi dirinya sendiri jika sebelumnya belum diaqiqahi, selama ada kemampuan.

Dengan panduan ini, umat Islam bisa lebih bijak dalam menentukan prioritas ibadah, terutama ketika hanya memiliki kemampuan untuk memilih salah satu dari dua amalan tersebut.

Makna dan Tata Cara Sholat Idul Adha: Ibadah Penuh Keutamaan

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu momen penting dalam Islam yang dirayakan penuh suka cita oleh umat Muslim di seluruh dunia. Selain dikenal sebagai hari penyembelihan hewan kurban sebagai bentuk kepedulian sosial dan ketaatan kepada Allah SWT, Idul Adha juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri secara spiritual kepada Sang Pencipta.

Sebagai pembuka dari rangkaian ibadah Idul Adha, umat Islam dianjurkan melaksanakan sholat Idul Adha. Ibadah ini memiliki status sunah muakkad, yakni sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan. Rasulullah SAW beserta para sahabatnya secara konsisten melaksanakan sholat ini, menjadikannya sebagai bagian penting dari syiar Islam dan simbol kuatnya persaudaraan antarumat.

Meskipun tidak bersifat wajib, meninggalkan sholat Idul Adha tanpa alasan yang jelas dianggap sebagai kehilangan besar, karena ibadah ini membawa keutamaan dan pahala yang luar biasa.

Sholat Idul Adha umumnya dilaksanakan secara berjamaah, baik di lapangan terbuka, masjid, maupun di rumah jika kondisi tidak memungkinkan. Mengetahui niat dan tata cara pelaksanaan sholat Idul Adha secara benar menjadi penting agar ibadah tidak hanya dilakukan sebagai rutinitas tahunan, tetapi juga benar-benar mengandung nilai spiritual yang mendalam.

Artikel ini akan mengulas secara lengkap bacaan niat serta langkah-langkah pelaksanaan sholat Idul Adha, agar setiap umat Muslim dapat mengamalkannya dengan baik dan khusyuk.

Bacaan Niat Sholat Idul Adha

Dalam setiap pelaksanaan sholat, niat merupakan hal pertama yang harus dilakukan. Begitu pula dengan sholat Idul Adha, niat menjadi pembuka yang membedakan ibadah ini dari ibadah lainnya. Niat tidak perlu diucapkan dengan suara, melainkan cukup dilafalkan di dalam hati sesaat sebelum takbiratul ihram.

Berikut bacaan niat sholat Idul Adha untuk imam dan makmum:

Niat Sholat Idul Adha Sebagai Imam

Lafal Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ إِمَامًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati imaaman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai imam karena Allah ta’ala.”

Niat Sholat Idul Adha Sebagai Makmum

Lafal Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati makmuman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah ta’ala.”

🕌 Panduan Lengkap Niat dan Tata Cara Sholat Idul Adha

Hari Raya Idul Adha merupakan momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Selain memperingati kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS, hari raya ini juga menjadi ajang mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah kurban dan sholat Idul Adha.

Sholat Idul Adha menjadi pembuka rangkaian ibadah di hari raya ini. Meski hukumnya sunnah muakkad (sangat dianjurkan), Rasulullah SAW dan para sahabat selalu melaksanakannya sebagai bentuk pengagungan kepada Allah dan syiar Islam.

🌙 Hukum dan Keutamaan Sholat Idul Adha

Sholat Idul Adha dikerjakan dua rakaat secara berjamaah, biasanya di lapangan terbuka atau masjid. Jika kondisi tidak memungkinkan, bisa dilakukan di rumah. Ibadah ini membawa banyak keutamaan, mulai dari memperkuat ukhuwah Islamiyah hingga meraih pahala besar dari Allah SWT.

🙏 Niat Sholat Idul Adha

Niat dilakukan dalam hati sebelum takbiratul ihram. Berikut adalah bacaannya:

Untuk Imam

Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ إِمَامًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati imaaman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai imam karena Allah Ta’ala.”

Untuk Makmum

Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati makmuman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah Ta’ala.”

🧎 Tata Cara Sholat Idul Adha

Sholat ini terdiri dari dua rakaat, dengan tambahan takbir sebagai ciri khasnya:

Rakaat Pertama:

  1. Niat
  2. Takbiratul ihram
  3. Doa iftitah
  4. 7 takbir tambahan
  5. Bacaan dzikir di sela takbir
  6. Surah Al-Fatihah
  7. Surah Al-A’la
  8. Rukuk, i’tidal, sujud, duduk, sujud lagi

Rakaat Kedua:

  1. Berdiri
  2. 5 takbir tambahan
  3. Dzikir di sela takbir
  4. Surah Al-Fatihah
  5. Surah Al-Ghasyiyah
  6. Rukuk, i’tidal, sujud, duduk, sujud
  7. Salam

Setelah Sholat:

Jamaah tetap duduk untuk menyimak khutbah Idul Adha, yang disampaikan dalam dua bagian oleh khatib, berbeda dengan khutbah Jumat yang dilakukan sebelum sholat.

🕌 Waktu dan Sunnah Sebelum Sholat Idul Adha, Ini yang Perlu Diketahui

Sholat Idul Adha merupakan bagian penting dari rangkaian ibadah Hari Raya Kurban. Waktu pelaksanaannya dimulai ketika matahari telah terbit setinggi tombak—sekitar pukul 06.00 hingga 06.30 WIB—dan berakhir sebelum masuk waktu Zuhur. Dianjurkan untuk melaksanakannya lebih awal agar umat Muslim memiliki cukup waktu untuk melaksanakan penyembelihan hewan kurban setelahnya.

🌟 Sunnah Sebelum Sholat Idul Adha

Untuk menyempurnakan ibadah, berikut beberapa amalan sunnah yang dianjurkan sebelum melaksanakan sholat Idul Adha:

  • Mandi sunnah sebelum berangkat ke tempat sholat.
  • Memakai pakaian terbaik—tidak harus baru, yang penting bersih dan rapi.
  • Menggunakan wewangian untuk menyegarkan diri.
  • Tidak makan terlebih dahulu, berbeda dengan Idul Fitri di mana dianjurkan makan sebelum sholat.
  • Berjalan kaki menuju lokasi sholat jika memungkinkan, sebagai bentuk kesederhanaan dan sunnah Rasul.
  • Memperbanyak takbir sejak malam Idul Adha hingga waktu sholat, sebagai bentuk pengagungan kepada Allah SWT.

Sholat Idul Adha idealnya dilakukan secara berjamaah di tempat terbuka, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Namun, bila kondisi tidak memungkinkan, seperti cuaca buruk atau keadaan darurat, sholat dapat dilakukan di masjid atau bahkan di rumah.

Benarkah Hewan Qurban Akan Menjadi Kendaraan di Akhirat?

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha identik dengan penyembelihan hewan qurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, setiap tahunnya, muncul pertanyaan menarik yang ramai dibicarakan di tengah umat: apakah benar hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya di akhirat?

Pertanyaan ini mencuat kembali menjelang Idul Adha 2025. Dalam sebuah majelis ilmu, seorang jamaah menyampaikan rasa penasarannya secara langsung kepada Ustadz Adi Hidayat (UAH), seorang pendakwah muda yang dikenal luas berkat penjelasannya yang sistematis dan berbasis dalil.

“Saya pernah mendengar bahwa hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi orang yang berqurban di akhirat. Benarkah itu, Ustadz?” tanya jamaah tersebut dengan penuh keingintahuan.

Pertanyaan itu dijawab langsung oleh UAH dalam sebuah forum terbuka, sebagaimana dilansir Stylesphere, Selasa (6/5/2025), dari tayangan video di kanal YouTube @sejuksunnahislam.

UAH menjelaskan bahwa memang terdapat riwayat yang sering dikaitkan dengan anjuran untuk memilih hewan qurban terbaik. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa hewan tersebut akan kembali kepada pemiliknya di akhirat kelak. Oleh karena itu, semakin baik kualitas hewan qurban, maka semakin besar pula keutamaan yang akan diperoleh.

Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai “kendaraan” dalam banyak riwayat shahih, konsep bahwa amalan qurban akan memberikan manfaat di akhirat memiliki landasan kuat dalam ajaran Islam. Salah satunya adalah motivasi untuk memperindah qurban sebagai bentuk ibadah terbaik kepada Allah SWT.

Dengan demikian, meskipun istilah “kendaraan” lebih bersifat simbolik, semangat yang mendasarinya tetap sahih: bahwa ibadah qurban bukan hanya berdampak di dunia, tetapi juga menjadi bekal di akhirat.

Penjelasan Ustadz Adi Hidayat

Dalam sebuah majelis ilmu, Ustadz Adi Hidayat (UAH) membahas salah satu pertanyaan yang kerap muncul menjelang Hari Raya Idul Adha: benarkah hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya di akhirat?

UAH menjawab bahwa ia pun pernah mendengar dan membaca referensi yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya adalah sebuah riwayat yang menyandarkan sabda Nabi Muhammad SAW: “Gemukkanlah dan baguskanlah hewan-hewan sembelihan kalian.”

Menurut UAH, dalam riwayat itu dijelaskan bahwa perintah untuk memperindah hewan qurban bukanlah tanpa alasan. Salah satu makna pentingnya adalah karena hewan tersebut akan hadir kembali pada hari kiamat dan berperan sebagai kendaraan sang pemilik saat melewati Shirath—jembatan akhirat yang sangat tipis dan tajam, yang harus dilalui setiap manusia.

“Jembatan Shirath hanya bisa dilewati oleh orang-orang dengan amal baik. Maka, jika qurban kita bagus dan bernilai tinggi, pahala dari amalan itu akan membantu kita di sana,” jelas UAH dalam tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @sejuksunnahislam, seperti dikutip dari Stylesphere, Selasa (6/5/2025).

Lebih lanjut, UAH menegaskan bahwa memperindah hewan qurban bukan sekadar soal fisik atau penampilan. Hal tersebut mencerminkan niat dan kesungguhan dalam beribadah. Semakin baik kualitas hewan yang dikurbankan, semakin besar pula pahala yang akan didapat.

“Jadi, kalau kita mampu mencari hewan qurban yang terbaik, maka sangat dimungkinkan bahwa pahalanya juga semakin besar. Dan pahala itulah yang bisa membantu kita nanti di akhirat, terutama saat melewati Shirath,” pungkasnya.

UAH: Hewan Qurban Bukan Kendaraan Fisik, Tapi Simbol Kemudahan di Akhirat

Menjelang Idul Adha, muncul kembali perbincangan mengenai keyakinan bahwa hewan qurban akan menjadi kendaraan pemiliknya di akhirat. Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan penjelasan bahwa pemahaman ini tidak bersifat harfiah, melainkan simbolis.

“Ini bukan berarti seseorang secara fisik akan menaiki hewan qurbannya seperti menunggang kuda. Maknanya adalah bahwa amalan qurban itu akan memberikan kemudahan di akhirat,” jelas UAH dalam kajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @sejuksunnahislam, dikutip Selasa (6/5/2025).

Menurut UAH, pahala dari berqurban—terutama jika dilakukan dengan niat ikhlas dan sesuai syariat—dapat menjadi sebab kemudahan seseorang dalam menghadapi berbagai fase di akhirat, termasuk saat melewati jembatan Shirath.

Lebih jauh, UAH menekankan pentingnya memperhatikan kualitas hewan qurban. Mulai dari kondisi kesehatan, usia yang sesuai ketentuan syariat, hingga tidak cacat, semua itu mencerminkan kesungguhan dalam menjalankan ibadah.

“Ibadah qurban bukan sekadar menyembelih. Tapi juga wujud ketulusan, kepatuhan, dan kepedulian sosial,” ujarnya. Daging qurban yang dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan juga menjadi ladang pahala sosial yang besar.

UAH pun mengimbau agar umat Islam tidak sembarangan dalam memilih hewan qurban. Jika memiliki kemampuan lebih, sebaiknya memilih hewan yang sehat, besar, dan memenuhi standar ibadah qurban yang diridhai Allah SWT.

Ia menutup penjelasannya dengan mengingatkan bahwa keikhlasan dan kesungguhan dalam berqurban akan selalu dibalas Allah, baik dalam bentuk kemudahan di akhirat maupun keberkahan di dunia.

“Jadikan Idul Adha bukan hanya perayaan menyembelih, tapi juga momen memperkuat niat dan meningkatkan kualitas ibadah kita,” pesan UAH.

Lebih Baik Hewan Jantan Atau Betina Ketika Berqurban?

Stylesphere – Dalam memilih hewan qurban, banyak umat Islam bingung antara memilih hewan jantan atau betina. Di masyarakat, hewan jantan sering dianggap lebih utama. Namun, harganya biasanya lebih mahal dibandingkan hewan betina, yang bisa menjadi pertimbangan tersendiri.

Pada kenyataannya, menurut para ulama, ukuran tubuh dan manfaat daging lebih penting daripada jenis kelamin hewan. Prinsip ini ditegaskan oleh pendakwah KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) dalam salah satu kajiannya.

Dikutip Jumat (26/04/2025) dari kanal YouTube @AlMadani_Channel, Buya Yahya menjelaskan bahwa inti dari qurban adalah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi umat. Karena itu, fokus utama dalam memilih hewan qurban adalah pada besarnya manfaat daging, bukan pada bulu, tanduk, atau kondisi fisik lainnya.

Buya Yahya menekankan, semakin besar dan banyak daging hewan, semakin baik untuk dijadikan qurban. Jika hewan jantan lebih besar, maka ia lebih utama. Namun jika ada betina yang lebih besar dibanding jantan, maka betina tersebut lebih layak dipilih.

Islam Lebih Mengutamakan Substansi

Dalam ibadah qurban, tujuan utamanya adalah memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada orang lain, bukan sekadar memilih hewan berdasarkan jenis kelamin.

Terkait warna hewan qurban, Buya Yahya menjelaskan bahwa tidak ada ketentuan khusus dalam syariat. Memang, ada riwayat yang menyebut Nabi Muhammad SAW pernah menyembelih hewan berwarna putih. Namun, jika harus memilih antara hewan putih yang kurus dan hewan hitam yang gemuk, maka sebaiknya memilih yang gemuk, meskipun warnanya hitam.

Ini menunjukkan bahwa Islam lebih menekankan substansi dan manfaat dibanding tampilan fisik.

Buya Yahya juga mengingatkan agar umat tidak terjebak pada simbol-simbol lahiriah. Esensi qurban adalah ketulusan hati: mempersembahkan yang terbaik untuk Allah dan membagi kebahagiaan dengan sesama.

Hewan Qurban Harus Memenuhi Syariat

Ketulusan dalam memilih hewan qurban yang terbaik — dari segi ukuran dan manfaat — mencerminkan keikhlasan seorang hamba dalam menaati perintah Allah.

Buya Yahya mengingatkan bahwa hewan qurban harus memenuhi syarat syariat: sehat, cukup umur, dan bebas cacat. Setelah itu, fokus utama adalah memilih hewan yang memberi manfaat terbesar bagi penerima daging qurban.

Ukuran besar yang dimaksud bukan hanya soal fisik, tetapi juga kualitas daging yang bisa dinikmati banyak orang.

Semangat berqurban bukan sekadar menunaikan kewajiban tahunan, melainkan juga mempererat kasih sayang dan persaudaraan antarumat.

Dalam berqurban, keutamaan tidak terletak pada jenis kelamin atau warna hewan, melainkan pada seberapa besar manfaat yang bisa disebarkan.

Pesan ini menjadi pengingat bagi seluruh umat Islam untuk lebih bijaksana dalam berqurban, demi meraih pahala dan keberkahan yang lebih luas.

Bolehkah Berhubungan Suami Istri di Malam Takbiran Idul Adha?

Stylesphere – Malam takbiran menjelang Idul Adha merupakan momen yang sangat istimewa dan sarat dengan nilai spiritual bagi umat Islam. Suasana penuh kekhidmatan terasa ketika gema takbir berkumandang dari masjid ke masjid, mengagungkan nama Allah SWT dan menyambut datangnya hari raya yang penuh makna.

Dalam nuansa religius tersebut, muncul berbagai pertanyaan dari umat, salah satunya terkait aktivitas dalam rumah tangga: “Apakah boleh berhubungan suami istri di malam takbiran Idul Adha?” Pertanyaan ini cukup sering ditanyakan, karena malam takbiran dipandang sebagai waktu mulia yang hendaknya dijalani dengan penuh rasa hormat dan ibadah.

Dari sudut pandang fikih, tidak ada larangan syariat yang secara eksplisit melarang hubungan suami istri di malam takbiran, baik menjelang Idul Adha maupun Idul Fitri. Artinya, selama dilakukan dengan adab dan niat yang baik, hubungan suami istri tetap diperbolehkan dalam Islam, termasuk pada malam-malam yang mulia seperti ini.

Namun demikian, sebagian ulama menganjurkan agar malam takbiran diisi dengan ibadah dan memperbanyak dzikir, termasuk takbir, tahmid, dan doa, sebagai bentuk penyambutan terhadap hari raya yang agung. Oleh karena itu, pasangan suami istri disarankan untuk tetap menjaga keseimbangan antara memenuhi hak pasangan dan memanfaatkan waktu yang mulia dengan amalan-amalan spiritual.

Kesimpulannya, berhubungan suami istri di malam takbiran bukanlah hal yang dilarang dalam Islam, tetapi sebaiknya dilakukan dengan bijak dan tidak mengabaikan nilai-nilai keutamaan malam tersebut.

Hukum Berhubungan Suami Istri di Malam Takbiran Idul Adha

Malam takbiran menjelang Idul Adha merupakan malam yang penuh keutamaan dan kemuliaan. Dalam berbagai riwayat, malam hari raya termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa, serta dianjurkan untuk memperbanyak takbir, tahmid, dan tahlil sebagai bentuk pengagungan kepada Allah SWT.

Karena nilai spiritual malam ini begitu tinggi, umat Islam sangat dianjurkan untuk mengisinya dengan berbagai bentuk ibadah. Namun, pertanyaan yang kerap muncul di kalangan pasangan Muslim adalah: “Apakah boleh berhubungan suami istri di malam takbiran?”

Secara hukum, tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkan hubungan suami istri pada malam takbiran. Islam sebagai agama yang penuh keseimbangan dan realistis, tidak memberatkan umatnya dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam urusan rumah tangga.

Oleh karena itu, penting untuk memahami perbedaan antara hal yang dianjurkan (sunnah) dan yang dilarang (haram). Mengisi malam takbiran dengan ibadah adalah amalan yang sangat dianjurkan, namun bukan berarti aktivitas duniawi seperti hubungan suami istri menjadi sesuatu yang terlarang, selama tidak melalaikan kewajiban lain seperti salat atau mengabaikan nilai-nilai spiritual malam tersebut.

Kesimpulannya, berhubungan suami istri di malam takbiran tetap diperbolehkan, asalkan dilakukan dengan bijaksana dan tetap menjaga kekhusyukan malam raya yang penuh berkah itu.

Pendapat Ulama

Tidak terdapat dalil yang secara eksplisit melarang hubungan suami istri pada malam Hari Raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Aktivitas tersebut termasuk perkara yang mubah atau dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan cara yang sesuai dengan syariat.

Mengutip penjelasan dari NU Online Jawa Barat, hubungan suami istri pada malam hari raya diperbolehkan karena tidak ada larangan syar’i yang mengatur sebaliknya. Bahkan, jika dilakukan dengan niat untuk menjaga keharmonisan rumah tangga dan mempererat hubungan pasangan, hal itu dapat bernilai ibadah.

Meski demikian, para ulama mengingatkan agar malam hari raya tidak dihabiskan hanya untuk kesenangan duniawi. Umat Islam tetap dianjurkan untuk memperbanyak amalan seperti melantunkan takbir, berdoa, dan merenungkan makna hari raya—khususnya pada Idul Adha, yang sarat nilai pengorbanan dan kepatuhan, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS.

Dengan keseimbangan antara hak pribadi dan ibadah, malam hari raya bisa menjadi momentum spiritual sekaligus perekat hubungan dalam rumah tangga.

Etika Islam dalam Menyambut Malam Hari Raya

Meski secara hukum berhubungan suami istri diperbolehkan pada malam Hari Raya, Islam tetap mengajarkan pentingnya menjaga adab, memperhatikan waktu, suasana, dan memprioritaskan ibadah. Jika malam tersebut diwarnai dengan gema takbir bersama keluarga atau masyarakat sekitar, maka sebaiknya umat Islam turut serta terlebih dahulu dalam menyemarakkan syiar tersebut.

Melaksanakan salat Isya berjamaah, memperbanyak zikir, dan menyimak lantunan takbir akan memperkuat rasa syukur serta kekhusyukan dalam menyambut datangnya Idul Adha. Setelah aktivitas ibadah tersebut, hubungan suami istri tetap diperbolehkan, selama tidak mengganggu suasana sakral dan tetap menjaga kesucian malam yang penuh berkah itu.

Dengan menjaga adab dan keharmonisan antara ibadah serta kehidupan rumah tangga, setiap aktivitas akan memiliki nilai yang lebih mendalam. Hubungan suami istri tidak hanya mempererat ikatan jasmani, tetapi juga dapat menjadi sarana memperoleh keridaan Ilahi.

Inilah cerminan rumah tangga Islami yang ideal—seimbang dalam menjalani kehidupan duniawi dan ukhrawi, serta harmonis dalam cinta dan ketaatan kepada Allah SWT.