Emas: Simbol Kekayaan Sejak Zaman Nabi Adam AS

Stylesphere – Sejak zaman dahulu, emas telah menjadi lambang kekayaan, kemuliaan, dan kekuasaan. Nilainya yang stabil, tampilannya yang memukau, serta kelangkaannya menjadikannya berbeda dari logam-logam lain yang ada di muka bumi.

Dalam berbagai kondisi—baik saat ekonomi bergejolak, inflasi meningkat, hingga krisis global—emas tetap menjadi aset andalan yang paling dicari dan dijaga. Bukan tanpa alasan. Di balik kilaunya yang menggoda, emas menyimpan sejarah panjang yang dipercaya telah menyentuh kehidupan manusia sejak masa Nabi Adam AS.

Dalam perjalanannya, logam mulia ini kemudian dibentuk menjadi beragam perhiasan mewah, seperti cincin, gelang, kalung, hingga anting-anting. Daya tariknya tidak pernah pudar, bahkan tetap digemari lintas generasi dari masa ke masa. Perhiasan emas bukan hanya sebagai hiasan, tetapi juga simbol status dan nilai.

Beberapa hadis qudsi bahkan menyebutkan bahwa harga emas tidak akan pernah kehilangan nilainya, bahkan hingga datangnya Hari Kiamat. Hal ini menunjukkan betapa luar biasanya posisi emas dalam sejarah umat manusia, baik secara ekonomi maupun spiritual.

Menariknya, nilai istimewa emas ini juga dikaitkan dengan kisah Nabi Adam AS. Menurut penuturan KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), seorang ulama kharismatik asal Rembang kepada Anugerahslot islamic. keberhargaan emas memiliki kaitan erat dengan peristiwa ketika Nabi Adam AS diusir dari surga ke bumi.

Gus Baha: Emas Itu Makhluk Paling Angkuh, Tak Menangis Saat Nabi Adam Diusir dari Surga

Dalam sebuah kesempatan tausiyah, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha mengungkapkan pandangan menarik tentang emas, logam mulia yang hingga kini tetap bernilai tinggi.

Menurut Gus Baha, emas sudah mahal sejak zaman Nabi Adam AS dan akan terus bernilai hingga Hari Kiamat. Hal ini, kata beliau, didasarkan pada penjelasan dalam hadis-hadis Qudsi.

“Masyhur dalam hadis-hadis Qudsi, emas itu sampai harganya mahal itu sejak zaman Nabi Adam hingga hari kiamat,” ujar Gus Baha sebagaimana dikutip dari tayangan YouTube Shorts @Gusbahaterbaru1, Jumat (25/07/2025).

Lebih jauh, Gus Baha mengungkapkan sebuah narasi mengejutkan namun penuh makna spiritual: bahwa emas adalah makhluk paling angkuh. Ia tidak menunjukkan empati seperti makhluk lain saat Nabi Adam diusir dari surga.

“Karena emas itu paling angkuh. Makhluk paling angkuh itu emas,” lanjutnya.

“Sebab, ketika Nabi Adam diusir dari surga, semua menangis sebab kasihan kepada Nabi Adam AS, kecuali emas,” terang Gus Baha.

Pandangan ini bukan semata untuk merendahkan emas, melainkan sebagai refleksi agar manusia tidak tergoda oleh kilaunya, dan tetap menjadikan nilai kemanusiaan dan spiritual sebagai yang utama dalam hidup. Sebab, di balik kemewahan dan nilai tinggi emas, tersimpan pelajaran tentang kesombongan dan ujian dunia.

Hikmah di Balik Kemuliaan Emas: Kisah Gus Baha tentang Dialog Emas dan Allah

Dalam sebuah ceramah yang penuh makna, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menyampaikan sebuah kisah yang menggambarkan asal mula mengapa emas memiliki nilai dan kedudukan tinggi di mata manusia.

Gus Baha mengisahkan sebuah dialog simbolis antara Allah SWT dan emas, yang terjadi saat Nabi Adam AS diusir dari surga karena melanggar larangan-Nya.

“Emas ditanya Allah, ‘Kenapa kamu tidak menangis, padahal Adam Aku usir dari surga?’” tutur Gus Baha, yang merupakan santri kinasih dari almarhum KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen).

Jawaban emas pada saat itu sungguh mengejutkan sekaligus penuh prinsip. Emas menyatakan bahwa ia tidak sudi menangisi seseorang yang telah durhaka kepada perintah Allah, bahkan jika orang itu adalah Nabi Adam AS, manusia pertama sekaligus makhluk pilihan.

“‘Tidak sudi, Gusti. Aku menangisi orang yang durhaka kepada-Mu,’” jawab emas dengan tegas, sebagaimana dikisahkan Gus Baha.

Sikap tegas dan berprinsip emas itu justru mendapat penghargaan dari Allah SWT. Karena keteguhannya menjaga kebenaran, Allah pun memuliakan emas dan menjadikannya logam yang paling dicintai manusia sepanjang zaman.

“Allah kemudian berkata, ‘Sikapmu itu benar. Aku janji, akan Aku angkat derajatmu,’” lanjut Gus Baha.

“Tidak ada orang di dunia kecuali yang menyukaimu,” pungkasnya, menukil dari riwayat tersebut.

Makna yang Bisa Diambil

Kisah ini bukan sekadar cerita tentang logam mulia, melainkan pelajaran tentang prinsip, ketegasan, dan keistiqamahan dalam membela kebenaran, meski harus berbeda pendapat dengan banyak pihak.

Emas dihormati bukan karena kilaunya semata, melainkan karena komitmennya terhadap kebenaran dan sikapnya yang tidak mudah terpengaruh oleh rasa kasihan atau emosi.

Melalui kisah ini, Gus Baha ingin mengingatkan bahwa kemuliaan dan derajat tinggi di sisi Allah tidak selalu berkaitan dengan posisi sosial atau bentuk fisik, tapi dengan integritas, kejujuran, dan sikap yang kokoh dalam membela yang benar.

Tradisi Penting dalam Ibadah Haji yang Sering Terlewat, Menurut Gus Baha

Tradisi Penting dalam Ibadah Haji yang Sering Terlewat, Menurut Gus Baha

Stylesphere – Haji merupakan rukun Islam kelima yang menjadi impian bagi setiap Muslim di seluruh dunia. Di Indonesia, pelaksanaan ibadah haji telah berjalan dengan baik, mulai dari proses pemberangkatan hingga seluruh rangkaian ibadah di Tanah Suci. Namun demikian, masih ada satu aspek penting dalam tradisi haji yang kerap diabaikan oleh sebagian masyarakat Indonesia, termasuk pada musim haji tahun 2025 ini.

Hal ini disampaikan oleh ulama terkemuka asal Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha. Dalam sebuah pengajian yang tayang di kanal YouTube @logikagusbaha dan dikutip pada Kamis (29/05/2025), Gus Baha mengungkapkan bahwa masih banyak umat Muslim yang belum memahami secara tepat pelaksanaan haji bagi orang yang sudah uzur secara fisik.

Menurut Gus Baha, apabila seseorang mengalami kondisi fisik yang parah dan bersifat permanen—seperti terkena stroke—namun masih hidup dan sadar, maka seyogianya orang tersebut segera dihajikan. Dalam Islam, praktik ini dikenal sebagai hajjul ma’dub atau haji badal, yakni pelaksanaan haji yang dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang yang sudah tidak mampu secara fisik untuk menunaikannya sendiri.

Sayangnya, tradisi penting ini masih belum menjadi perhatian serius di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak yang baru melakukan haji badal setelah seseorang wafat, padahal menurut Gus Baha, hal itu seharusnya dilakukan selagi orang tersebut masih hidup dan memiliki kesadaran.

Melalui penjelasan tersebut, Gus Baha mengingatkan umat Muslim untuk lebih memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh, termasuk dalam hal pelaksanaan haji bagi orang yang uzur. Dengan demikian, ibadah haji dapat benar-benar menjadi bentuk penyempurnaan rukun Islam yang kelima, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan tanggung jawab sosial.

Gus Baha: Haji untuk Orang Sakit Harus Dilakukan Selagi Masih Hidup

Sebagai murid kesayangan KH Maimoen Zubair, Gus Baha menyoroti kekeliruan yang masih lazim terjadi di masyarakat terkait pelaksanaan haji bagi orang yang uzur. Ia menyayangkan bahwa banyak keluarga baru berinisiatif menghajikan seseorang setelah orang tersebut meninggal dunia, padahal Islam telah memberikan solusi bagi mereka yang masih hidup namun tidak lagi mampu secara fisik.

“Kalau seseorang sudah stroke, tidak bisa berjalan, sudah sulit secara lahiriah tapi masih sadar, bahkan masih tahu harta bendanya, maka sudah seharusnya dihajikan,” ujar Gus Baha dalam pengajiannya.

Ia menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti itu, meskipun seseorang tidak dapat secara fisik menjalankan ibadah haji, selama kesadaran dan niatnya masih ada, maka ia tetap dapat memperoleh pahala yang setara dengan orang yang berhaji langsung. Hal ini dikarenakan niat dan kesadaran masih menjadi faktor penting dalam pelaksanaan haji, termasuk dalam penentuan penggunaan harta untuk biaya berhaji.

Karena itu, peran keluarga sangat krusial. Keluarga seharusnya tidak menunggu hingga anggota keluarga yang sakit itu wafat, melainkan segera mengambil langkah untuk menghajikannya selama ia masih hidup dan sadar. Ini menjadi wujud kepedulian terhadap hak orang tersebut dalam menunaikan rukun Islam kelima.

Lebih lanjut, Gus Baha menegaskan bahwa dalam ilmu fikih, tradisi menghajikan orang yang masih hidup namun uzur secara fisik merupakan bagian penting dari menjaga dan memenuhi kewajiban agama. Ini bukan sekadar bentuk ibadah pengganti, tetapi bagian dari tanggung jawab bersama agar tidak ada hak beragama yang terabaikan.

Gus Baha Soroti Tradisi Haji Niabah yang Sering Terlupakan di Indonesia

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang menjadi impian setiap Muslim. Di Indonesia, tradisi pelaksanaan haji telah berkembang dengan baik, mulai dari persiapan, keberangkatan, hingga prosesi di Tanah Suci. Namun demikian, masih ada satu aspek penting yang kerap terabaikan oleh masyarakat, yaitu pelaksanaan haji niabah—haji pengganti bagi orang yang uzur secara fisik namun masih hidup.

Hal ini disampaikan oleh ulama kharismatik asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, yang juga merupakan murid kinasih dari KH Maimoen Zubair. Dalam sebuah pengajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @logikagusbaha dan dikutip pada Kamis (29/05/2025), Gus Baha menegaskan pentingnya membiasakan tradisi menghajikan orang yang sakit parah namun masih memiliki kesadaran penuh.

“Kalau seseorang sudah stroke, tidak bisa berjalan, sudah sulit secara lahiriah tapi masih sadar, bahkan masih tahu harta bendanya, maka sudah seharusnya dihajikan,” ujar Gus Baha.

Menurutnya, Islam mengenal istilah hajjul ma’dub atau haji niabah, yaitu ibadah haji yang dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang yang sudah tidak mampu secara fisik, namun masih hidup. Hal ini berbeda dari haji pengganti bagi orang yang telah wafat. Meski keduanya sah menurut syariat, Gus Baha menekankan bahwa pelaksanaannya berbeda, terutama dalam hal niat dan keikutsertaan batin dari orang yang bersangkutan.

“Kalau nunggu meninggal dulu, orang yang sakit itu jadi tidak ikut serta dalam kesadarannya. Padahal pahala haji itu bisa lebih kuat kalau disertai niat dan restu langsung dari pemilik harta,” tambahnya.

Gus Baha juga menjelaskan bahwa dalam fikih Islam, tradisi menghajikan orang yang uzur namun masih hidup sangat ditekankan. Ini merupakan bagian dari menjaga hak individu dalam menunaikan rukun Islam. Selama orang tersebut masih sadar dan mampu memberikan izin penggunaan hartanya, ia tetap berhak meraih pahala haji sebagaimana orang yang menunaikannya langsung.

Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat Muslim Indonesia untuk lebih peduli terhadap anggota keluarga yang mengalami sakit permanen. Jangan menunggu hingga ajal menjemput untuk menghajikan mereka. Langkah ini bukan hanya wujud kepedulian, tapi juga bentuk tanggung jawab moral dan spiritual agar setiap Muslim tetap bisa menunaikan kewajibannya.

Gus Baha berharap edukasi mengenai haji niabah bagi orang sakit dapat tersebar luas. Ia menekankan pentingnya pemahaman agama yang utuh agar umat Islam tidak kehilangan hak-hak ibadahnya hanya karena kurangnya informasi atau kesadaran.

“Selama orang itu masih sadar dan tahu hartanya bisa digunakan, maka itu harus dihajikan. Itu keutamaan besar dan sangat dianjurkan dalam syariat,” pungkas Gus Baha.