Tradisi Penting dalam Ibadah Haji yang Sering Terlewat, Menurut Gus Baha

Tradisi Penting dalam Ibadah Haji yang Sering Terlewat, Menurut Gus Baha

Stylesphere – Haji merupakan rukun Islam kelima yang menjadi impian bagi setiap Muslim di seluruh dunia. Di Indonesia, pelaksanaan ibadah haji telah berjalan dengan baik, mulai dari proses pemberangkatan hingga seluruh rangkaian ibadah di Tanah Suci. Namun demikian, masih ada satu aspek penting dalam tradisi haji yang kerap diabaikan oleh sebagian masyarakat Indonesia, termasuk pada musim haji tahun 2025 ini.

Hal ini disampaikan oleh ulama terkemuka asal Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha. Dalam sebuah pengajian yang tayang di kanal YouTube @logikagusbaha dan dikutip pada Kamis (29/05/2025), Gus Baha mengungkapkan bahwa masih banyak umat Muslim yang belum memahami secara tepat pelaksanaan haji bagi orang yang sudah uzur secara fisik.

Menurut Gus Baha, apabila seseorang mengalami kondisi fisik yang parah dan bersifat permanen—seperti terkena stroke—namun masih hidup dan sadar, maka seyogianya orang tersebut segera dihajikan. Dalam Islam, praktik ini dikenal sebagai hajjul ma’dub atau haji badal, yakni pelaksanaan haji yang dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang yang sudah tidak mampu secara fisik untuk menunaikannya sendiri.

Sayangnya, tradisi penting ini masih belum menjadi perhatian serius di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak yang baru melakukan haji badal setelah seseorang wafat, padahal menurut Gus Baha, hal itu seharusnya dilakukan selagi orang tersebut masih hidup dan memiliki kesadaran.

Melalui penjelasan tersebut, Gus Baha mengingatkan umat Muslim untuk lebih memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh, termasuk dalam hal pelaksanaan haji bagi orang yang uzur. Dengan demikian, ibadah haji dapat benar-benar menjadi bentuk penyempurnaan rukun Islam yang kelima, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan tanggung jawab sosial.

Gus Baha: Haji untuk Orang Sakit Harus Dilakukan Selagi Masih Hidup

Sebagai murid kesayangan KH Maimoen Zubair, Gus Baha menyoroti kekeliruan yang masih lazim terjadi di masyarakat terkait pelaksanaan haji bagi orang yang uzur. Ia menyayangkan bahwa banyak keluarga baru berinisiatif menghajikan seseorang setelah orang tersebut meninggal dunia, padahal Islam telah memberikan solusi bagi mereka yang masih hidup namun tidak lagi mampu secara fisik.

“Kalau seseorang sudah stroke, tidak bisa berjalan, sudah sulit secara lahiriah tapi masih sadar, bahkan masih tahu harta bendanya, maka sudah seharusnya dihajikan,” ujar Gus Baha dalam pengajiannya.

Ia menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti itu, meskipun seseorang tidak dapat secara fisik menjalankan ibadah haji, selama kesadaran dan niatnya masih ada, maka ia tetap dapat memperoleh pahala yang setara dengan orang yang berhaji langsung. Hal ini dikarenakan niat dan kesadaran masih menjadi faktor penting dalam pelaksanaan haji, termasuk dalam penentuan penggunaan harta untuk biaya berhaji.

Karena itu, peran keluarga sangat krusial. Keluarga seharusnya tidak menunggu hingga anggota keluarga yang sakit itu wafat, melainkan segera mengambil langkah untuk menghajikannya selama ia masih hidup dan sadar. Ini menjadi wujud kepedulian terhadap hak orang tersebut dalam menunaikan rukun Islam kelima.

Lebih lanjut, Gus Baha menegaskan bahwa dalam ilmu fikih, tradisi menghajikan orang yang masih hidup namun uzur secara fisik merupakan bagian penting dari menjaga dan memenuhi kewajiban agama. Ini bukan sekadar bentuk ibadah pengganti, tetapi bagian dari tanggung jawab bersama agar tidak ada hak beragama yang terabaikan.

Gus Baha Soroti Tradisi Haji Niabah yang Sering Terlupakan di Indonesia

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang menjadi impian setiap Muslim. Di Indonesia, tradisi pelaksanaan haji telah berkembang dengan baik, mulai dari persiapan, keberangkatan, hingga prosesi di Tanah Suci. Namun demikian, masih ada satu aspek penting yang kerap terabaikan oleh masyarakat, yaitu pelaksanaan haji niabah—haji pengganti bagi orang yang uzur secara fisik namun masih hidup.

Hal ini disampaikan oleh ulama kharismatik asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, yang juga merupakan murid kinasih dari KH Maimoen Zubair. Dalam sebuah pengajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @logikagusbaha dan dikutip pada Kamis (29/05/2025), Gus Baha menegaskan pentingnya membiasakan tradisi menghajikan orang yang sakit parah namun masih memiliki kesadaran penuh.

“Kalau seseorang sudah stroke, tidak bisa berjalan, sudah sulit secara lahiriah tapi masih sadar, bahkan masih tahu harta bendanya, maka sudah seharusnya dihajikan,” ujar Gus Baha.

Menurutnya, Islam mengenal istilah hajjul ma’dub atau haji niabah, yaitu ibadah haji yang dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang yang sudah tidak mampu secara fisik, namun masih hidup. Hal ini berbeda dari haji pengganti bagi orang yang telah wafat. Meski keduanya sah menurut syariat, Gus Baha menekankan bahwa pelaksanaannya berbeda, terutama dalam hal niat dan keikutsertaan batin dari orang yang bersangkutan.

“Kalau nunggu meninggal dulu, orang yang sakit itu jadi tidak ikut serta dalam kesadarannya. Padahal pahala haji itu bisa lebih kuat kalau disertai niat dan restu langsung dari pemilik harta,” tambahnya.

Gus Baha juga menjelaskan bahwa dalam fikih Islam, tradisi menghajikan orang yang uzur namun masih hidup sangat ditekankan. Ini merupakan bagian dari menjaga hak individu dalam menunaikan rukun Islam. Selama orang tersebut masih sadar dan mampu memberikan izin penggunaan hartanya, ia tetap berhak meraih pahala haji sebagaimana orang yang menunaikannya langsung.

Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat Muslim Indonesia untuk lebih peduli terhadap anggota keluarga yang mengalami sakit permanen. Jangan menunggu hingga ajal menjemput untuk menghajikan mereka. Langkah ini bukan hanya wujud kepedulian, tapi juga bentuk tanggung jawab moral dan spiritual agar setiap Muslim tetap bisa menunaikan kewajibannya.

Gus Baha berharap edukasi mengenai haji niabah bagi orang sakit dapat tersebar luas. Ia menekankan pentingnya pemahaman agama yang utuh agar umat Islam tidak kehilangan hak-hak ibadahnya hanya karena kurangnya informasi atau kesadaran.

“Selama orang itu masih sadar dan tahu hartanya bisa digunakan, maka itu harus dihajikan. Itu keutamaan besar dan sangat dianjurkan dalam syariat,” pungkas Gus Baha.

Gus Baha Soroti Standar Ganda dalam Menilai Praktik Tawasul

Gus Baha Soroti Standar Ganda dalam Menilai Praktik Tawasul

Stylesphere – Ulama asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha, kembali menyampaikan pandangannya secara tajam terkait polemik seputar praktik tawasul. Ia menyoroti adanya standar ganda dalam cara sebagian orang memandang tawasul dibandingkan dengan ketergantungan terhadap dokter atau obat.

Dalam sebuah pengajian yang dikutip dari kanal YouTube @takmiralmukmin pada Jumat (25/04/2025), Gus Baha mempertanyakan logika yang menyebut bertawasul kepada Nabi atau wali sebagai tindakan syirik, sementara bergantung pada dokter atau obat tidak pernah dianggap bermasalah.

“Kalau tawasul ke Nabi dianggap syirik, tawasul ke kuburan dianggap syirik, padahal orang yang bertawasul itu hanya merasa tidak layak langsung kepada Allah, sehingga menggunakan wasilah atau perantara,” ujar Gus Baha dalam ceramahnya.

Ia menegaskan bahwa dalam konsep tawasul, tidak ada keyakinan bahwa sosok yang dijadikan perantara tersebut mampu mengabulkan doa atau memberikan kesembuhan. Semua tetap dikembalikan kepada kehendak Allah SWT.

“Bertawasul itu bukan berarti meminta langsung kepada wali, tetapi menjadikan wali sebagai pintu permohonan karena merasa tidak pantas langsung memohon kepada Allah,” tegasnya.

Dalam ceramah yang menjadi viral tersebut, Gus Baha juga mengkritik keras sikap sebagian kalangan yang mudah melabeli pelaku tawasul sebagai musyrik atau kafir, sembari membiarkan ketergantungan penuh masyarakat pada dokter dan obat tanpa persoalan serupa.

Gus Baha Tegaskan Pentingnya Konsistensi Berpikir dalam Memahami Tawasul

Dalam ceramah terbarunya, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menyindir keras ketidakkonsistenan sebagian pihak dalam memahami praktik tawasul.

“Kok bisa ya, orang sholeh dijadikan wasilah dibilang kafir, tapi ketika sembuh lalu bilang, dokter menyembuhkan saya, obat menyembuhkan saya, itu nggak dibilang kafir?” sindir Gus Baha di hadapan jamaah.

Menurutnya, sikap seperti itu menunjukkan ketidakjujuran dalam memahami tauhid. Gus Baha menekankan bahwa segala sesuatu di dunia ini hanyalah sebab (perantara), bukan pelaku utama atas kejadian-kejadian yang terjadi.

“Kalau pelantara dianggap syirik, kenapa obat dan dokter tidak dihukumi sama? Padahal logikanya sama. Mereka itu juga perantara,” lanjutnya.

Ia menegaskan bahwa yang memberikan kesembuhan tetaplah Allah SWT, baik itu melalui orang sholeh, obat, maupun dokter. Karena itu, tidak adil jika hanya bentuk perantara tertentu yang dianggap menyimpang, sementara yang lain diterima tanpa masalah.

“Ini bukan soal teologi tinggi, ini soal kejujuran berpikir,” tegas Gus Baha, yang disambut anggukan setuju dari para jamaah.

Dalam banyak kajiannya, Gus Baha memang dikenal konsisten membela praktik-praktik tradisi ulama Ahlussunnah wal Jamaah, seperti tawasul dan ziarah kubur. Ia juga mengingatkan bahwa banyak doa yang diajarkan ulama terdahulu menyertakan nama Nabi Muhammad SAW sebagai wasilah — bukan untuk disembah, melainkan untuk dimuliakan dan dijadikan perantara dalam memohon kepada Allah.

Gus Baha: Tauhid Butuh Pemahaman yang Jernih dan Adil

Dalam ceramahnya, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menegaskan bahwa tidak ada unsur syirik dalam praktik tawasul.

“Di mana letak syiriknya? Semua doa tetap bermuara ke Allah. Nabi dan wali itu cuma pengantar,” ujarnya.

Gus Baha juga menyayangkan sikap sebagian kelompok yang terlalu mudah menyesatkan amalan-amalan yang telah ratusan tahun dipraktikkan umat Islam, bahkan diajarkan oleh para ulama besar dunia.

Ia mengingatkan, justru lebih berbahaya jika seseorang menyandarkan kesembuhan hanya kepada dokter atau obat tanpa mengingat peran Allah SWT, dibandingkan dengan orang yang bertawasul namun tetap menyandarkan segalanya kepada Allah.

“Kalian bilang, ‘Alhamdulillah cocok sama dokter kemarin.’ Ya itu logika sama kayak tawasul. Tapi kenapa kalian nggak nuduh itu syirik?” sindir Gus Baha.

Di penghujung ceramah, Gus Baha mengajak umat Islam untuk lebih bijak dan adil dalam memahami konsep tauhid dan peran wasilah. Ia berharap tuduhan syirik tidak lagi mudah dilontarkan hanya karena perbedaan cara dalam mendekatkan diri kepada Allah.

“Tauhid itu bukan sekadar slogan, tapi cara berpikir yang jernih dan adil,” pungkasnya.

Kebenaran Islam Akan Bertahan Hingga Kiamat

Kebenaran Islam Akan Bertahan Hingga Kiamat

Stylesphere – Manusia selalu mencari jawaban atas pertanyaan besar dalam hidup. Namun, kebenaran sejati—yang berbasis ilmu, logika, dan kepastian—akan tetap bertahan hingga akhir zaman. Islam menawarkan konsep ketuhanan yang tidak hanya berbasis keyakinan, tetapi juga logika yang kuat.

Sejak kecil, umat Islam diajarkan sifat-sifat Allah, seperti wujud, qidam, dan baqa, yang berkaitan langsung dengan eksistensi alam semesta. Ulama sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA di Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menegaskan bahwa konsep ketuhanan dalam Islam bersifat mutlak dan tidak akan berubah.

“Ketika kita diajari sifat-sifat Allah, itu bukan sekadar teori agama, tapi juga logika yang bertahan hingga hari kiamat. Masa alam raya yang ada ini muncul begitu saja tanpa sebab? Ketiadaan tidak akan pernah menghasilkan sesuatu,” ujar Gus Baha dalam ceramahnya, dikutip dari kanal YouTube @MuhammadNurBinYusuf.

Menurutnya, kebenaran tidak harus disaksikan langsung agar bisa diterima. Logika tetap berlaku di sepanjang zaman. Sebagai contoh, tidak ada angka baru di luar angka satu, yang menunjukkan adanya prinsip dasar kehidupan yang tidak bisa diubah. Islam menawarkan pemahaman yang selaras dengan logika manusia, sehingga ajarannya tetap relevan dari masa ke masa.

Gus Baha Menjelaskan

Gus Baha mengutip perkataan Imam Al-Amudi yang menjelaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini berawal dari satu kesatuan. Tidak ada angka dua tanpa angka satu, dan segala sesuatu merupakan cabang dari prinsip dasar yang satu.

Prinsip ini juga berlaku dalam memahami keesaan Allah. Keberadaan-Nya tidak memerlukan pembuktian fisik karena keteraturan alam semesta sudah cukup menjadi bukti. Setiap aspek kehidupan menunjukkan adanya desain yang mustahil muncul secara kebetulan.

“Ketika seseorang berpikir secara logis, dia akan menyadari bahwa segala sesuatu pasti memiliki asal. Jika kita melihat keteraturan di alam semesta, pasti ada yang menciptakannya. Ini adalah hukum yang berlaku hingga kiamat,” ujar Gus Baha.

Sebagai contoh, seseorang tidak perlu melihat langsung mukjizat Nabi Musa untuk mempercayai keagungan Allah. Cukup dengan memahami bahwa alam semesta memiliki keteraturan, maka sudah jelas ada Dzat yang mengaturnya.

Gus Baha juga menyinggung bagaimana pemikiran ateis sering kali bertentangan dengan logika mereka sendiri. Seorang ateis yang menolak keberadaan Tuhan tetap harus menerima bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki asal.

Menurutnya, nihilisme—yang beranggapan bahwa segala sesuatu berasal dari ketiadaan—tidak masuk akal. Ketiadaan tidak mungkin menghasilkan keberadaan. Hanya sesuatu yang wujud yang bisa menyebabkan keberadaan lainnya.

Kebenaran semacam ini tidak membutuhkan nabi atau wali untuk menjaganya, karena logika manusia sendiri akan membimbingnya ke arah yang benar. Inilah yang membuat ajaran Islam tetap relevan di sepanjang zaman.

Teori Ilmiah Gus Baha

Gus Baha menegaskan bahwa sejarah membuktikan teori ilmiah yang didasarkan pada logika yang benar akan bertahan, sedangkan teori tanpa dasar kuat akan hilang seiring waktu.

Begitu pula dalam memahami keesaan Allah. Konsep ini tidak berubah sejak dahulu hingga sekarang karena didasarkan pada logika yang tidak bisa disangkal.

“Sehebat apa pun seorang ilmuwan atau filsuf, dia tidak akan bisa menciptakan logika baru yang bertentangan dengan kebenaran dasar ini. Segala sesuatu pasti memiliki asal-usul yang bisa ditelusuri,” ujar Gus Baha.

Karena itu, pemahaman agama yang logis akan tetap bertahan. Orang yang berpikir jernih akan memahami bahwa ajaran Islam tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga ilmiah dan rasional.

Konsep ini juga yang membuat banyak ilmuwan terkemuka akhirnya mengakui keberadaan Tuhan. Semakin dalam mereka meneliti alam semesta, semakin jelas keteraturan yang membuktikan adanya pencipta.

Pada akhirnya, kebenaran sejati tidak akan tergoyahkan oleh zaman. Kebenaran itu bersumber dari Allah dan akan tetap bertahan hingga hari kiamat.

Doa Rasulullah Menurut Gus Baha

Doa Rasulullah Menurut Gus Baha

Stylesphere – Setiap orang memiliki cara pandang berbeda tentang kehidupan. Ada yang melihatnya sebagai perjalanan penuh tantangan, sementara yang lain menganggapnya sebagai ladang untuk menanam kebaikan. Dalam Islam, kehidupan dan kematian memiliki makna mendalam yang harus dipahami dengan bijak.

KH Ahmad Bahauddin Nursalim, atau Gus Baha, seorang ulama kharismatik sekaligus tokoh penting di PBNU, menjelaskan bahwa hidup adalah kesempatan untuk memperbanyak kebaikan. Dalam sebuah doa, Rasulullah SAW bersabda:

“Ya Allah, jadikan kehidupan ini sebagai penambahan saya untuk berbuat baik, dan jadikan kematian sebagai akhir dari semua keburukan saya.”

Menurut Gus Baha, doa ini mengajarkan bahwa hidup seharusnya dimanfaatkan untuk menambah amal saleh. Sebaliknya, kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, melainkan akhir dari segala keburukan yang mungkin dilakukan manusia.

Dalam ceramahnya, yang dirangkum dari kanal YouTube @takmiralmukmin, Gus Baha menekankan bahwa selama hidupnya, manusia memiliki potensi untuk berbuat baik maupun buruk. Islam mengajarkan umatnya untuk menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran dan menjadikan kematian sebagai pengingat untuk selalu memperbaiki diri.

Pertanyaan Terkait meninggalnya Seseorang

Gus Baha mencontohkan bagaimana ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU) menyikapi kematian seseorang, bahkan jika semasa hidupnya dikenal sebagai pelaku maksiat. Mereka tetap berusaha melihat sisi baik dari orang yang telah meninggal.

Dalam sebuah kisah, Gus Baha menyebut bahwa ketika seorang bajingan meninggal, para kiai tetap mencari kebaikan dalam dirinya. Mereka meyakini bahwa kematian telah mengakhiri segala potensi keburukannya, sehingga tidak ada alasan untuk terus menghakimi seseorang yang sudah tiada.

Sikap ini mengajarkan bahwa manusia tidak boleh merasa lebih baik dari orang lain. Setiap individu berpotensi melakukan kesalahan, sehingga yang lebih utama adalah memperbaiki diri selama masih diberi kesempatan hidup.

Islam mengajarkan keseimbangan dalam menghadapi kehidupan dan kematian. Hidup adalah waktu untuk beramal, sementara kematian adalah sesuatu yang pasti dan tidak bisa dihindari.

Menurut Gus Baha, hidup bukanlah tentang siapa yang paling lama bertahan, tetapi siapa yang bisa memanfaatkannya untuk berbuat baik. Oleh karena itu, doa Rasulullah SAW yang menyatakan agar kehidupan menjadi tambahan untuk kebaikan dan kematian sebagai akhir dari keburukan, menjadi pedoman utama dalam menjalani hidup.

Di sisi lain, Islam mengajarkan bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi. Amal baik akan mendapat balasan yang baik, sementara keburukan akan membawa dampak buruk, baik di dunia maupun di akhirat.

Gus Baha menekankan bahwa selama hidup, seseorang harus berusaha menghindari keburukan sejauh mungkin. Jika ajal menjemput, setidaknya ia meninggalkan dunia dalam keadaan yang lebih baik.

Dalam Islam, kematian bukanlah akhir segalanya, melainkan pintu menuju kehidupan yang sesungguhnya di akhirat. Oleh karena itu, manusia harus mempersiapkan bekal yang cukup agar mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT.

Apakah Batal Puasa Mencium Istri Disaat Puasa Ramadhan? Ini Penjelasa Gus Baha

Apakah Batal Puasa Mencium Istri Disaat Puasa Ramadhan? Ini Penjelasa Gus Baha

Stylesphere – Puasa di bulan Ramadan tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah mencium pasangan saat berpuasa dapat membatalkan puasa.

Untuk menjawab hal ini, Gus Baha mengisahkan peran Aisyah dalam menjelaskan sunnah Rasulullah.

Aisyah sering meriwayatkan kebiasaan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri. Oleh karena itu, hukum mencium pasangan saat berpuasa dapat ditemukan dalam riwayat Aisyah.

Pertanyaan mengenai ciuman saat berpuasa di bulan Ramadan kerap menjadi perbincangan. Lantas, apakah hal ini dapat membatalkan puasa?

Sebelum menjawabnya, Gus Baha atau KH Ahmad Bahauddin Nursalim menekankan pentingnya peran Aisyah dalam sejarah Islam. Sebagai istri Rasulullah, Aisyah banyak meriwayatkan hadis yang menjelaskan kebiasaan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri selama Ramadan.

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Maimunah, salah satu istri Rasulullah, mengenai hukum mencium istri saat berpuasa. “Wahai Ummul Mukminin, saya memiliki istri yang cantik. Apakah mencium istri bisa membatalkan puasa?” tanyanya. Kisah ini dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @NUOnlineID.

Maimunah memberikan jawaban yang mengundang tawa. “Jangan tanya aku! Nabi tak pernah menciumku saat puasa. Coba tanyakan kepada Aisyah,” ujarnya. Jawaban ini menarik karena Maimunah adalah istri Rasulullah yang telah berusia lanjut.

Menurut Gus Baha, alasan Maimunah merespons demikian adalah karena Rasulullah lebih mungkin mencium Aisyah yang masih muda. “Entah Maimunah atau siapa, pokoknya istri Nabi yang jarang dicium,” ujar Gus Baha, yang membuat jamaah tertawa.

Apakah Batal Atau Tidak? Berikut Penjelasannya

Karena jawaban Maimunah belum memberikan kepastian, sahabat tersebut kemudian bertanya kepada Aisyah. Ia menegaskan bahwa pertanyaannya adalah perkara haq, sehingga Allah tidak malu untuk membahasnya.

“Apakah mencium istri membatalkan puasa?” tanya sahabat itu kepada Aisyah. Dengan tegas, Aisyah menjawab, “Nabi biasa menciumku saat puasa, tetapi beliau tetap berpuasa.”

Dari jawaban ini, dapat disimpulkan bahwa mencium istri tidak membatalkan puasa, selama tidak menimbulkan syahwat berlebihan hingga menyebabkan keluarnya air mani.

Gus Baha menjelaskan bahwa dalam Islam, ada banyak hal yang tidak membatalkan puasa tetapi tetap perlu dikendalikan agar tidak berlebihan, termasuk ciuman antara suami dan istri.

Selain itu, Gus Baha juga menekankan bahwa Aisyah memiliki peran besar dalam menyampaikan ilmu agama. Banyak hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah, yang bahkan tidak diketahui oleh istri-istri Rasulullah lainnya.

“Betapa banyak ilmu yang kita peroleh dari jalur Aisyah, yang kadang tidak diketahui oleh istri Nabi yang lain,” ujar Gus Baha dalam ceramahnya.

Dalam kajian fiqih, hukum mencium istri saat puasa memang tidak membatalkan puasa. Namun, dianjurkan untuk menahan diri, terutama bagi mereka yang belum mampu mengendalikan syahwatnya.

Bedakan Ciuman Nafsu dan Ciuman Sayang

Para ulama membedakan antara ciuman yang sekadar ungkapan kasih sayang dengan ciuman yang dapat menimbulkan syahwat. Jika yang kedua, maka lebih baik ditinggalkan agar tidak menjerumuskan dalam hal-hal yang bisa membatalkan puasa.

Selain itu, mencium istri saat puasa juga memiliki hikmah lain, yakni menunjukkan bahwa Islam tidak melarang kasih sayang antara suami istri, selama dilakukan dalam batas yang diperbolehkan.

Dalam sejarah Islam, banyak peristiwa yang menunjukkan bagaimana Rasulullah tetap menunjukkan rasa cintanya kepada istri-istrinya, bahkan di bulan Ramadhan.

Namun, bagi yang merasa ciuman bisa berpotensi membangkitkan syahwat secara berlebihan, maka lebih baik menghindarinya. Sebab, puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menjaga hati dan pikiran dari hal-hal yang bisa mengurangi pahala ibadah.

Dengan demikian, jawaban dari pertanyaan ini tidak hanya sekadar boleh atau tidak, tetapi juga mempertimbangkan aspek pengendalian diri dan niat dari masing-masing individu.

Kesimpulannya, mencium istri saat puasa Ramadhan tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah. Namun, bagi yang belum bisa mengendalikan diri, sebaiknya lebih berhati-hati agar tidak sampai menimbulkan hal yang dilarang dalam puasa.Wallahu a’lam.