Doa yang Dianjurkan Saat Mendengar Adzan, Menjaga Sunnah dan Mendekatkan Diri pada Allah

Stylesphere – Lima kali dalam sehari, suara adzan berkumandang dari menara masjid hingga perangkat digital di rumah-rumah kaum Muslimin. Panggilan suci ini bukan sekadar penanda waktu salat, tetapi sebuah ajakan penuh makna untuk meninggalkan kesibukan dunia dan menghadap Allah SWT.

Adzan bukan hanya seruan yang didengar, tapi juga panggilan yang seharusnya disambut dengan hati dan lisan. Rasulullah SAW mencontohkan agar umat Islam tidak melewatkan adzan begitu saja, melainkan menjawabnya dengan doa-doa yang dianjurkan, sebagai bentuk penghormatan dan penghayatan terhadap panggilan Ilahi.

Kebiasaan ini bukan hanya memperkuat kedekatan spiritual, tetapi juga merupakan cara untuk menjaga sunnah Nabi serta menanamkan nilai-nilai Islam dalam rutinitas sehari-hari.

Mengutip laman Anugerahslot Online Jabar, Sabtu (14 Juni 2025), berikut adalah kumpulan doa yang dianjurkan saat mendengar adzan, sebagaimana tercantum dalam kitab al-Du’a:

  1. Menjawab lafaz adzan sesuai yang dikumandangkan muadzin, kecuali pada kalimat Hayya ‘ala al-shalah dan Hayya ‘ala al-falah, di mana kita dianjurkan menjawab dengan: “Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.”
  2. Setelah adzan selesai, membaca: “Allāhumma rabbā hāzihid-da‘watit-tāmmati waṣ-ṣalātil-qā’imah, ātِi Muḥammadan al-wasīlata wal-faḍīlah, wab‘ath-hu maqāman maḥmūdan allażī wa‘adtah.”
    (Artinya: Ya Allah, Tuhan panggilan yang sempurna ini dan salat yang akan didirikan, berikanlah kepada Muhammad al-Wasilah dan al-Fadhilah, dan bangkitkanlah dia pada kedudukan terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya.)

Doa-doa ini menjadi bagian kecil namun bermakna besar dalam memperkuat hubungan kita dengan Allah SWT. Menjawab adzan dengan sepenuh hati dan lisan adalah bentuk kesiapan kita memenuhi seruan-Nya, dan bukti cinta kepada sunnah Rasulullah SAW.

Doa Menyambut Adzan Maghrib: Warisan Rasulullah untuk Memohon Ampunan

Adzan maghrib menandai pergantian dari siang menuju malam—sebuah momen spiritual yang sarat makna dalam kehidupan seorang Muslim. Di waktu inilah Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada umatnya sebuah doa yang penuh ketundukan dan harapan akan ampunan dari Allah SWT.

Ummu Salamah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ secara langsung mengajarkannya untuk membaca doa berikut ketika mendengar adzan maghrib:

اللَّهُمَّ هَذَا إِقْبَالُ لَيْلِكَ وَإِدْبَارُ نَهَارِكَ وَأَصْوَاتُ دُعَاتِكَ فَاغْفِرْ لِي
“Allahumma hadzâ iqbâlu lailika wa idbâru nahârika wa ashwâtu du’âtika faghfir lî.”
(Ya Allah, inilah malam-Mu yang datang, siang-Mu yang pergi, dan lantunan suara para pemanggil-Mu, maka ampunilah aku.)

Doa ini diriwayatkan oleh beberapa ulama besar seperti Imam al-Hakim, Imam Abu Dawud, dan Imam al-Baihaqi. Dalam Kitâb al-Du’â karya Imam Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabrâniy (2007, hlm. 162), doa tersebut tercantum sebagai bentuk ibadah yang dianjurkan untuk diamalkan saat malam mulai menyapa.

Selain menjadi refleksi pergantian waktu, doa ini juga menunjukkan kedalaman spiritual dalam menyambut malam—bukan hanya dengan istirahat, tetapi juga dengan introspeksi dan permohonan ampunan kepada Allah SWT. Ia merupakan bagian dari warisan sunnah yang mengajarkan kita untuk terus menjaga hubungan vertikal dengan Allah, bahkan dalam momen-momen yang mungkin kita anggap biasa.

Menjadikan doa ini sebagai kebiasaan dapat menjadi salah satu cara memperhalus jiwa dan memperkuat keimanan, terutama di saat-saat sakral seperti waktu maghrib. Mari kita hidupkan kembali amalan ini dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ kepada para sahabat dan keluarganya.

Doa yang Diampuni Dosanya Saat Mendengar Adzan

Adzan bukan sekadar panggilan shalat. Ia adalah panggilan langit yang menggema di bumi, mengajak hati-hati yang beriman untuk kembali kepada Sang Pencipta. Di balik lantunan adzan, ternyata terdapat doa yang apabila dibaca oleh seorang Muslim, akan menjadi sebab ampunan dari Allah SWT.

Diriwayatkan dalam Kitâb al-Du’â karya Imam Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabrâniy (Kairo: Dar al-Hadis, 2007, hlm. 160), Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ قَال حين يَسْمَع الأذان: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وحده لَا شَرِيْكَ لَه، رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، غفر له

“Barangsiapa yang berucap ketika mendengar adzan: ‘Asyhadu allâ ilâha illallâh wahdahu lâ syarîka lah, radlîtu billâhi rabba wa bil-islâmi dîna wa bi-muhammadin nabiyya’ (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai nabiku), maka akan diampuni dosanya.”

Hadis ini mengajarkan bahwa menjawab adzan tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga menjadi pintu ampunan. Lafal yang singkat namun sarat makna ini mencerminkan kesaksian tauhid, keridhaan kepada Allah dan Islam, serta kecintaan kepada Rasulullah ﷺ.

Membiasakan diri membaca doa ini setiap kali mendengar adzan adalah amalan ringan yang penuh keberkahan. Di tengah kesibukan dunia, mari kita latih hati dan lisan kita untuk selalu terhubung dengan Allah, meski hanya lewat kalimat-kalimat singkat yang mendalam seperti ini.

Doa Saat Adzan Maghrib yang Diajarkan Rasulullah kepada Ummu Salamah

Adzan Maghrib menandai pergantian waktu dari siang ke malam. Dalam momen sakral ini, Rasulullah ﷺ mengajarkan sebuah doa indah yang penuh makna kepada Ummu Salamah, salah satu istri beliau. Doa ini menjadi pengingat bahwa waktu senja adalah waktu untuk merenung, kembali kepada Allah, dan memohon ampunan-Nya.

Dalam riwayat yang tercatat dalam Kitâb al-Du’â karya Imam Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabrâniy (2007, hlm. 162), Ummu Salamah berkata:

عن أم سلمة قالت: علمني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أقول عند أذان المغرب:

اَللَّهُمَّ هَذَا إِقْبَالُ لَيْلِكَ وَإِدْبَارُ نَهَارِكَ وَأَصْوَاتُ دُعَاتِكَ فَاغْفِرْ لِي

“Ya Allah, inilah datangnya malam-Mu, telah berlalu siang-Mu, dan terdengarlah lantunan doa dari para penyeru-Mu, maka ampunilah aku.”

Doa ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Hakim, Imam Abu Dawud, dan Imam Baihaqi. Kandungan doa tersebut mencerminkan kerendahan hati dan kesadaran seorang hamba akan pergantian waktu sebagai tanda kekuasaan Allah, sekaligus momentum untuk mendekatkan diri dan memohon ampunan-Nya.

Menjadikan doa ini sebagai amalan rutin saat mendengar adzan Maghrib bukan hanya menjaga sunnah Nabi ﷺ, tetapi juga bentuk introspeksi diri di akhir hari—sebuah kebiasaan yang sarat nilai spiritual.

Pandangan tentang Tanggung Jawab Dosa dalam Keluarga

Pandangan tentang Tanggung Jawab Dosa dalam Keluarga

Stylesphere – Pandangan bahwa dosa istri dan anak akan otomatis ditanggung oleh suami atau ayah masih sering ditemukan di tengah masyarakat. Banyak yang merasa aman dengan keyakinan ini, seolah-olah ada “penanggung” bagi setiap kesalahan mereka. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar dan tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam.

Dalam Islam, setiap individu bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri. Tidak ada yang bisa memindahkan dosa secara otomatis kepada orang lain tanpa sebab yang jelas. Pemahaman keliru ini coba diluruskan oleh KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya dalam sebuah kajian yang tayang di kanal YouTube @albahjah-tv pada Selasa, 22 April 2025.

Dalam sesi tanya-jawab bersama jamaah, Buya Yahya menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal konsep tanggung dosa sepenuhnya oleh pihak lain dalam keluarga. Dosa istri bukan tanggung jawab penuh suami, dan dosa anak bukan sepenuhnya beban sang ayah. Namun, jika suami atau ayah memiliki peran dalam terjadinya dosa itu—karena kelalaian, pembiaran, atau bahkan mendorong perbuatan maksiat—maka ia akan ikut menanggung dosa tersebut.

Sebagai contoh, Buya Yahya mengungkapkan situasi ketika seorang ayah memberikan alat elektronik kepada anaknya tanpa memberikan arahan atau pengawasan. Jika alat tersebut kemudian digunakan untuk perbuatan maksiat, maka sang ayah ikut bertanggung jawab, meskipun ia sedang berada di tanah suci untuk umroh atau tengah melaksanakan tahajud.

Intinya, tanggung jawab dalam keluarga tidak bersifat otomatis dan mutlak. Ada batas yang jelas antara tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab moral yang muncul karena keterlibatan atau kelalaian dalam mendidik dan membimbing anggota keluarga. Islam mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, termasuk dalam urusan spiritual dan moral di rumah tangga.

Tanggung Jawab Dosa dalam Keluarga: Penjelasan Tegas Buya Yahya

Pemahaman bahwa dosa anggota keluarga, seperti istri atau anak, otomatis ditanggung oleh kepala keluarga masih sering beredar di masyarakat. Buya Yahya, dai kharismatik yang dikenal luas, menanggapi pandangan ini dengan tegas dalam sebuah kajian yang ditayangkan di kanal YouTube @albahjah-tv pada 22 April 2025.

Menurut Buya Yahya, dosa muncul karena adanya kelalaian, terutama dalam hal pendidikan dan pengawasan. Orang tua yang membiarkan anak tumbuh tanpa bimbingan, atau tidak memberikan pendidikan yang layak, tetap memikul tanggung jawab atas akibat dari kelalaian tersebut. Namun, jika orang tua sudah berusaha maksimal dalam mendidik, menasihati, dan mengarahkan anak ke jalan yang benar, lalu anak tersebut tetap memilih melakukan kesalahan, maka orang tua tidak menanggung dosanya.

Hal serupa juga berlaku dalam hubungan suami istri. Buya Yahya menolak anggapan bahwa semua dosa istri otomatis menjadi beban suami. Ia menyebut pandangan itu sebagai pemahaman keliru yang kadang dijadikan tameng oleh sebagian orang untuk berbuat maksiat tanpa merasa bersalah.

Menurutnya, setiap dosa adalah tanggung jawab pribadi. Istri tidak bisa berlindung di balik status suami sebagai pemimpin rumah tangga untuk membenarkan perilaku salah. Suami hanya akan ikut berdosa jika ia mengetahui kesalahan istrinya namun memilih diam dan tidak mengambil tindakan. Sebaliknya, jika suami sudah menasihati dan memperingatkan secara sungguh-sungguh, namun istrinya tetap melakukan perbuatan dosa, maka tanggung jawab itu gugur. Suami sudah menjalankan perannya sebagai pemimpin rumah tangga.

Buya Yahya mengilustrasikan hal ini dengan hubungan antara guru dan santri. Seorang guru yang membimbing banyak santri tidak otomatis menanggung dosa-dosa mereka. Namun, jika ia membiarkan pelanggaran terjadi tanpa menegur atau memberikan sanksi, maka ia turut bersalah. Karena itu, di pondok pesantren, diterapkan aturan dan hukuman agar setiap santri belajar bertanggung jawab atas perbuatannya tanpa membebani gurunya.

Penjelasan ini menegaskan bahwa dalam Islam, tanggung jawab moral dan spiritual bersifat personal, kecuali jika ada kelalaian atau pembiaran yang jelas dari pihak yang seharusnya membimbing.