Keceriaan dalam Islam: Meneladani Senyum dan Semangat Hidup Nabi Muhammad SAW

Stylesphere – Tak sedikit orang menjalani hidup dengan wajah murung dan hati yang dipenuhi kesedihan. Mereka terjebak dalam anggapan bahwa kehidupan yang serius dan suram adalah bentuk ketakwaan. Padahal, dalam Islam, keceriaan adalah bagian dari akhlak seorang mukmin sejati.

Hidup dengan semangat dan senyuman bukan berarti mengabaikan masalah. Sebaliknya, itu mencerminkan kemampuan seorang Muslim untuk berdamai dengan ujian, serta menghadapi kehidupan dengan optimisme dan tawakal. Kesedihan bukan satu-satunya wujud ketundukan kepada Allah SWT.

Dalam ajaran Islam, keseimbangan antara iman dan kebahagiaan sangat ditekankan. Seorang Muslim justru dianjurkan untuk tampil ramah, menyebarkan senyum tulus, dan menunjukkan semangat hidup dalam keseharian. Inilah cerminan akhlak Rasulullah SAW—sosok yang dikenal penuh kelembutan, wajah berseri, dan hati yang lapang.

Pendakwah asal Blitar, KH Yahya Zainul Ma’arif, atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya, pernah menyampaikan dalam salah satu ceramahnya kepada Anugerahslot islamic bahwa umat Islam seharusnya meneladani kepribadian Nabi Muhammad SAW dalam hal keceriaan.

“Jangan biasakan wajah murung. Nabi itu orang yang paling banyak tersenyum kepada sahabat-sahabatnya,” ujar Buya Yahya, menekankan bahwa wajah cerah dan perilaku ramah adalah sunnah yang sangat mulia.

Lebih dari sekadar ekspresi wajah, senyum dan keceriaan adalah bentuk sedekah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi)

Dalam konteks sosial, sikap positif ini membawa dampak luar biasa. Ia menyebarkan energi kebaikan, menguatkan hubungan antarsesama, dan menciptakan suasana kehidupan yang lebih damai.

Buya Yahya pun mengajak umat Islam untuk tidak membiarkan beban hidup merenggut cahaya iman dari wajah mereka. Senyum bukan tanda lemahnya iman, tapi tanda kuatnya harapan dan keyakinan kepada takdir Allah.

Buya Yahya: Nabi Muhammad SAW Adalah Teladan Hidup Ceria, Bukan Wajah Muram

Dalam salah satu tayangan ceramah di kanal YouTube @albahjah-tv yang dikutip Ahad (6/7/2025), Buya Yahya menjelaskan bahwa gaya hidup Rasulullah SAW adalah penuh keceriaan. Ia menyebut bahwa Nabi memiliki sifat “basam”—yakni pribadi yang senantiasa tersenyum dan memancarkan wajah cerah, bukan sosok yang muram dan membuat orang lain ikut bersedih.

Buya Yahya mencontohkan bahwa meski Nabi Muhammad SAW pernah menangis, seperti saat ditinggal wafat putranya Sayyidina Ibrahim, kesedihan beliau tidak menetap lama. Setelah momen tangis yang manusiawi itu, Rasulullah kembali tampil ceria, meneruskan dakwahnya dengan semangat dan optimisme.

“Keceriaan bukan sesuatu yang dangkal dalam Islam,” tegas Buya Yahya.
“Senyum dan semangat hidup justru menunjukkan kuatnya iman dan kedewasaan jiwa.”

Menurutnya, seorang mukmin sejati adalah mereka yang mampu menyimpan kesedihan dengan bijak, lalu menampilkan akhlak mulia dan ketenangan kepada orang lain. Bukan berarti memendam luka sendirian, tetapi mengelola kesedihan agar tidak melukai dan membebani sekitar.

Kesedihan Bukan Identitas Seorang Mukmin

Buya Yahya mengingatkan bahwa kesedihan adalah bagian dari ujian hidup yang pasti dialami setiap insan—baik itu dalam bentuk musibah, kehilangan, maupun kekecewaan. Namun, kesedihan tidak boleh dibiarkan membentuk karakter dan kepribadian.

Jika kesedihan terus dipelihara, ia bisa menjadi racun yang merusak akal sehat, melemahkan semangat, dan melahirkan prasangka buruk, bukan hanya terhadap diri sendiri tapi juga terhadap takdir Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW, lanjut Buya Yahya, tidak menjadikan duka sebagai identitas pribadinya. Meski penuh ujian berat selama hidupnya, beliau tetap mampu tersenyum, menyapa sahabat dengan hangat, dan menyebarkan Islam dengan keteduhan jiwa.

“Kesedihan itu ada, tapi tidak perlu dipamerkan,” kata Buya Yahya.
“Senyummu bisa menjadi penguat bagi orang lain, dan itu termasuk bentuk sedekah.”

Buya Yahya: Wajah Ceria Adalah Cermin Kekuatan Iman

Buya Yahya menegaskan bahwa hidup yang baik bukan ditandai dengan wajah muram, tetapi dengan senyuman yang tulus dan hati yang lapang. Menurut beliau, wajah yang berseri bukan sekadar ekspresi luar, melainkan pancaran iman dan energi positif yang mampu menguatkan orang di sekitar.

Dalam ceramahnya, Buya Yahya mengingatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Senyumanmu kepada saudaramu adalah sedekah”. Artinya, tersenyum bukan hal sepele, tetapi ibadah ringan yang berdampak besar.

Senyum yang Menyemangati dan Menguatkan

Orang yang menjalani hidup dengan ceria lebih mudah diterima, dicintai, dan dipercaya. Keceriaan menciptakan ikatan sosial yang sehat dan harmonis. Senyum menjadi jembatan kehangatan dalam keluarga, pertemanan, bahkan dalam dakwah.

Islam bukan agama yang mengajarkan kesuraman, sebaliknya—Islam mengajarkan kegembiraan sebagai wujud kekuatan spiritual. Dalam menghadapi musibah, ujian, atau kesulitan, senyum menjadi perisai yang melindungi jiwa agar tidak larut dalam kesedihan.

Teladan Rasulullah SAW

Buya Yahya menyampaikan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang selalu menebar salam, menyambut orang dengan senyum, dan memancarkan ketenangan di tengah masyarakat yang penuh gejolak. Meski mengalami banyak cobaan, beliau tidak membiarkan duka menguasai dirinya.

Senyum Nabi adalah lambang ketegaran, bukan kepura-puraan. Itu bentuk keikhlasan dan bukti keyakinan bahwa “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS Al-Insyirah: 6)

Belajar dari Luka, Menjadi Lebih Kuat

Hidup ceria bukan berarti hidup tanpa luka. Justru dari luka-luka itulah manusia belajar bertumbuh dan menguat. Buya Yahya mengajak umat Islam untuk meneladani Rasulullah dalam hal ini—yakni menjadikan keceriaan sebagai bentuk syukur dan semangat sebagai bekal perjuangan di jalan Allah.

Bagi siapa pun yang tengah diuji, tetaplah hadirkan wajah ceria. Bukan untuk menipu diri, tapi sebagai wujud kesabaran dan keyakinan bahwa setiap gelap akan digantikan cahaya oleh Allah SWT.

Buya Yahya: Kesuksesan dan Kekayaan Hakiki Harus Dimulai dengan Sandaran kepada Allah

Stylesphere – Keinginan untuk hidup sukses dan memiliki kekayaan adalah harapan yang dimiliki oleh hampir setiap orang. Namun dalam pandangan Islam, kekayaan bukan hanya diukur dari jumlah harta, melainkan juga dari cara memperolehnya serta bagaimana harta tersebut dimanfaatkan.

Dalam ceramah terbarunya, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) memberikan nasihat mendalam tentang bagaimana meraih kesuksesan dan kekayaan yang hakiki menurut Islam. Ceramah ini disampaikan melalui tayangan video di kanal YouTube @buyayahyaofficial dan dikutip Anugerahslot pada Ahad (29 Juni 2025).

Sandarkan Usaha kepada Allah

Menurut Buya Yahya, setiap aktivitas—terutama dalam urusan mencari nafkah—harus diawali dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT. Ia menekankan pentingnya menjadikan hubungan spiritual dengan Allah sebagai fondasi utama dalam membangun usaha dan mencapai kesuksesan.

“Yang dibangun tidak dengan Allah, maka susah menghantarkan kepada Allah,” ujar Buya Yahya.

Beliau menyoroti bahwa hanya sedikit orang yang benar-benar memulai usahanya dengan langkah spiritual, seperti berwudhu, berdoa, atau melaksanakan salat sebelum membuka toko atau memulai bisnis.

Dua Amalan Sunnah Sebelum Memulai Usaha

Buya Yahya mengingatkan bahwa dalam riwayat hadits Nabi Muhammad SAW, terdapat dua amalan sunnah yang sangat dianjurkan sebelum memulai aktivitas atau usaha:

  1. Berwudhu – sebagai bentuk penyucian diri dan persiapan spiritual
  2. Berdoa atau melaksanakan salat sunnah – untuk memohon pertolongan dan keberkahan dari Allah

Kedua amalan ini, meskipun ringan, diyakini memiliki pengaruh besar dalam menarik keberkahan dan menjauhkan usaha dari kesulitan yang tidak terlihat.

Dengan menjadikan Allah sebagai pusat niat dan awal dari setiap ikhtiar, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk menyelaraskan usaha dunia dengan tujuan akhirat. Karena pada akhirnya, kesuksesan yang sejati adalah ketika harta yang dimiliki membawa manfaat dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Buya Yahya: Rezeki Tanpa Sandaran kepada Allah Akan Terasa Berat

Dalam sebuah ceramahnya yang dikutip dari kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Ahad (29 Juni 2025), KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) mengingatkan pentingnya mengawali usaha dan aktivitas duniawi dengan langkah spiritual. Menurutnya, banyak orang lupa bahwa rezeki sejati bukan hanya soal strategi, melainkan soal sandaran hati kepada Allah SWT.

Dua Amalan Sunnah Sebelum Memulai Usaha

Buya Yahya menyampaikan bahwa Rasulullah SAW telah memberi tuntunan dua bentuk amalan sunnah sebelum memulai aktivitas penting, termasuk saat hendak membuka usaha:

  1. Berwudhu lalu berdoa
  2. Berwudhu lalu melaksanakan dua rakaat salat sunnah, kemudian berdoa

Amalan ini adalah bentuk permohonan pertolongan kepada Allah yang seringkali terlupakan. Buya Yahya menegaskan dengan pertanyaan retoris:

“Siapa di antara kita yang saat membuka toko melakukannya?”

Spiritualitas yang Sering Terpinggirkan

Menurut Buya, banyak orang saat hendak memulai bisnis hanya fokus pada perhitungan duniawi—seperti strategi pemasaran, target keuntungan, dan penguasaan pasar. Padahal, dimensi spiritual seharusnya menjadi fondasi utama.

Ia mengakui bahwa seseorang bisa saja menjadi kaya tanpa mengenal Allah, namun kekayaan semacam itu akan berbeda nilainya dan dampaknya dibandingkan dengan kekayaan yang disertai kesadaran spiritual.

“Kekayaan yang tidak dibarengi dengan rasa syukur dan kesadaran kepada Allah, justru bisa menjadi beban,” ujar Buya Yahya.

Kekayaan: Alat, Bukan Tujuan

Buya Yahya mengingatkan bahwa kekayaan bukanlah tujuan akhir dalam hidup, melainkan alat untuk meraih ridha Allah SWT. Orang yang kaya tapi tetap bersandar kepada Allah akan lebih ringan dalam berzakat, bersedekah, dan membantu sesama, karena hatinya terpaut pada nilai-nilai akhirat.

Sebaliknya, rezeki yang dicari hanya dengan mengandalkan akal dan strategi duniawi, tanpa ruh spiritual, sering terasa berat dijalani. Bahkan jika jumlahnya besar, tidak sedikit yang tetap diliputi kegelisahan dan ketidaktenangan.

Dengan penekanan ini, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk membangun usaha dengan mengintegrasikan aspek spiritual. Karena rezeki yang penuh berkah bukan sekadar banyaknya angka, tapi ketenangan hati dan kebermanfaatan harta di jalan Allah.

Buya Yahya: Kunci Sukses dan Kekayaan Sejati Ada pada Kedekatan dengan Allah

Buya Yahya menegaskan bahwa rezeki yang disertai niat ikhlas dan orientasi ibadah kepada Allah SWT, meskipun terlihat kecil secara materi, akan membawa ketenangan dan keberkahan dalam hidup. Sebaliknya, harta yang besar tanpa keikhlasan dan sandaran kepada Allah, bisa menjadi sumber kegelisahan.

Dalam ceramahnya, Buya Yahya mengingatkan umat Islam agar tidak melupakan rasa syukur dan senantiasa memohon pertolongan Allah dalam setiap usaha dan pekerjaan yang dijalani. Ia menekankan pentingnya memulai aktivitas dengan hubungan yang kuat kepada Allah, karena dari situlah jalan kesuksesan dan kekayaan akan terasa lebih mudah dan diberkahi.

“Rezeki adalah titipan dari Allah. Maka, tempatkan ia sesuai dengan kehendak-Nya dan manfaatkan dalam koridor syariat,” ujar Buya Yahya.

Menurutnya, kesuksesan hakiki bukan hanya soal kerja keras dan strategi bisnis, tetapi juga soal kedekatan dengan Allah, ketulusan niat, serta kesadaran untuk menjaga amanah harta yang diberikan.

Buya Yahya menutup pesannya dengan ajakan reflektif: di tengah gemuruh dunia bisnis modern yang kerap menomorsatukan logika dan materi, unsur spiritualitas tetap menjadi fondasi utama. Bagi siapa pun yang ingin mencapai keberhasilan sejati, hubungan dengan Sang Pemberi Rezeki tak boleh diabaikan.

Buya Yahya: Sifat Pelit Bisa Menular Seperti Penyakit

Stylesphere – Pelit bukan sekadar sifat buruk yang merusak hubungan sosial, tetapi juga bisa menular layaknya penyakit. Hal ini disampaikan oleh pendakwah ternama KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya dalam sebuah kajian terbaru yang mengangkat persoalan kehidupan sehari-hari.

Dalam ceramahnya, Buya Yahya menekankan bahwa sifat pelit tidak boleh dianggap sepele. Menurutnya, seseorang yang terlalu sering bergaul dengan orang-orang pelit dapat tertular kebiasaan buruk tersebut tanpa disadari.

“Kalau duduk sama orang pelit, pasti menular,” ujarnya tegas.

Buya Yahya mencontohkan, pada awalnya seseorang mungkin merasa janggal ketika melihat temannya enggan berbagi makanan. Namun, jika hal itu terus berulang, rasa heran akan berubah menjadi kebiasaan, hingga akhirnya ia pun ikut-ikutan tidak berbagi. Proses ini disebutnya sebagai bentuk pembiasaan yang pelan-pelan mampu mengikis nilai-nilai kebaikan dalam diri seseorang.

Ia menambahkan bahwa ketika seseorang terbiasa dengan sikap tidak peduli dan enggan berbagi, maka rasa empati dan kepedulian pun akan memudar. Hal ini menjadi pengingat bahwa karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya.

Dalam tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Selasa (17/06/2025), Buya Yahya mengajak umat untuk lebih selektif dalam memilih lingkungan dan menekankan pentingnya keteladanan dalam membentuk karakter. Menurutnya, lingkungan yang dipenuhi sikap pelit dapat meredupkan semangat berbagi dan kepedulian sosial.

Buya Yahya: Sifat Pelit Dekat dengan Setan, Dermawan Membawa Rahmat

Dalam sebuah ceramah yang disiarkan melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Selasa (17/06/2025), Buya Yahya menggambarkan bagaimana sikap pelit dapat memengaruhi seseorang secara perlahan. Ia mencontohkan situasi sederhana yang sering terjadi di lingkungan kerja: seseorang duduk bersama rekan yang enggan berbagi makanan.

“Awalnya merasa aneh, keterlaluan amat ya. Tapi setelah ketemu lagi dan lagi, akhirnya dia sendiri enggak nawarin makanan juga,” ujar Buya Yahya.

Menurutnya, pelit bukan sekadar perilaku negatif dalam hubungan sosial, tetapi juga memiliki dimensi spiritual. Ia menyatakan dengan tegas bahwa sifat pelit dekat dengan setan, dan setan dekat dengan neraka. Karena itu, pelit adalah karakter yang membahayakan tidak hanya secara sosial, tetapi juga dalam kehidupan beragama.

Sebaliknya, Buya menjelaskan bahwa bergaul dengan orang-orang dermawan akan menumbuhkan semangat berbagi. “Dekat orang dermawan, nular juga. Ingin berbuat baik, ingin ikut senang berbagi,” tuturnya.

Sifat dermawan, menurut Buya Yahya, adalah karakter luhur yang sangat dihargai dalam ajaran Islam. Orang yang gemar memberi tidak hanya mendapatkan keberkahan, tetapi juga mampu menginspirasi orang lain di sekitarnya untuk melakukan hal serupa. Berbagi bukan hanya soal materi, tetapi juga soal nilai dan keteladanan.

Meski begitu, Buya mengingatkan agar berbagi dilakukan dengan bijak. Ia mencontohkan pendidikan kepada anak-anak yang perlu diarahkan agar tidak asal membagikan uang milik orang tua tanpa tujuan jelas.

“Berbaginya jangan ngacau, jangan sampai uang orang tua habis karena dibagi-bagi sembarangan. Harus ada ilmunya,” pesannya.

Buya Yahya menekankan bahwa semangat berbagi harus dilandasi ilmu dan tanggung jawab. Dengan begitu, kebaikan yang dilakukan benar-benar membawa manfaat dan menjadi amal saleh yang diridhai Allah.

Buya Yahya: Didik Anak Agar Tidak Pelit dan Tidak Boros, Ini Kunci Karakter Seimbang

Dalam nasihatnya yang penuh makna, Buya Yahya menekankan pentingnya mendidik anak untuk tidak bersifat pelit sekaligus tidak boros. Menurutnya, keseimbangan adalah fondasi utama dalam membentuk kepribadian yang sehat, baik secara sosial maupun spiritual.

Buya menjelaskan bahwa lingkungan memiliki peran besar dalam pembentukan karakter seseorang. Karena itu, memilih lingkungan yang positif dan berteman dengan orang-orang dermawan adalah langkah penting agar tidak terjerumus dalam sifat-sifat tercela.

Ia juga menyoroti fenomena sosial di tengah masyarakat modern, di mana banyak anak dibesarkan tanpa dibiasakan untuk peduli kepada sesama. Padahal, menurut Buya, sikap berbagi harus ditanamkan sejak dini—meski hanya dengan hal-hal kecil seperti menawarkan makanan.

“Kalau enggak dibiasakan dari kecil, nanti dewasa jadi orang pelit yang keras hati. Susah menolong, susah memberi,” tegas Buya Yahya.

Dalam konteks kehidupan yang kian individualistis, pesan ini terasa semakin relevan. Banyak orang terlalu fokus pada urusan pribadi hingga melupakan pentingnya kepedulian sosial.

Buya juga mengingatkan bahwa sifat baik maupun buruk sangat mudah menular, tergantung dengan siapa seseorang bergaul setiap hari. Karena itu, ia mengajak umat Islam untuk lebih berhati-hati dalam memilih lingkungan pergaulan.

Kebiasaan berbagi, lanjut Buya, dapat dimulai dari hal-hal sederhana. Dari sekadar menawarkan makanan, seseorang bisa belajar menumbuhkan empati dan kasih sayang. Perlahan, sikap ini akan membentuk pribadi yang dermawan dan peduli terhadap sesama.

Pada akhirnya, Buya Yahya menegaskan bahwa melatih diri dan anak untuk tidak pelit adalah bagian dari upaya meniti jalan kebaikan. Sebab, sifat pelit bukan hanya menyusahkan orang lain, tetapi juga merugikan diri sendiri.

Pesan ini menjadi pengingat bahwa dalam Islam, kebaikan tidak hanya diukur dari hubungan dengan Allah, tetapi juga dari kepedulian terhadap sesama manusia. Nilai-nilai sosial seperti tolong-menolong, berbagi, dan empati adalah bagian penting dari ajaran Islam yang harus terus dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Amalan Utama Menyambut Datangnya Tahun Baru Dalam Kalender Hijriyah

Amalan Utama Menyambut Datangnya Tahun Baru Dalam Kalender Hijriyah

Stylesphere – Umat Islam akan segera menyambut datangnya tahun baru dalam kalender hijriyah, meninggalkan tahun 1446 H dan memasuki 1 Muharram 1447 H. Momen pergantian tahun ini bukan sekadar penanda berlalunya waktu, tetapi juga menjadi kesempatan berharga untuk melakukan introspeksi diri dan memperbaiki kualitas ibadah kepada Allah SWT.

Dalam budaya Jawa, 1 Muharram lebih dikenal dengan sebutan malam 1 Suro. Meskipun berbeda dalam istilah, keduanya merujuk pada hal yang sama: awal tahun baru Islam, yang dimulai saat matahari tenggelam dan bulan baru terlihat di langit.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah menetapkan bahwa 1 Muharram 1447 Hijriyah jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Hari tersebut juga ditetapkan sebagai hari libur nasional keagamaan. Berikut rangkuman lengkap dari Anugerahslot.

Pergantian tahun hijriyah ini merupakan waktu yang sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah. Dalam ajaran Islam, malam 1 Muharram atau malam 1 Suro dipandang sebagai waktu istimewa yang penuh keberkahan. Ada berbagai amalan yang bisa dilakukan untuk menyambutnya, baik dalam bentuk ibadah vertikal kepada Allah maupun interaksi sosial yang baik dengan sesama manusia.

Amalan-amalan tersebut bukan hanya memperkuat hubungan spiritual, tetapi juga menjadi sarana untuk memperdalam makna hijrah—yakni berpindah dari keburukan menuju kebaikan, dari kelalaian menuju kesadaran diri sebagai hamba-Nya.

Momen ini menjadi pengingat bahwa setiap pergantian waktu adalah peluang untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bersyukur, dan lebih dekat dengan Tuhan.

Perbanyak Doa Kepada Allah SWT

KH Yahya Zainul Ma’arif, atau yang akrab disapa Buya Yahya, seorang pendakwah yang bermukim di Cirebon, dalam berbagai pengajiannya menekankan bahwa malam 1 Muharram adalah saat yang sangat bernilai untuk memperbarui niat dan memperbanyak doa kepada Allah SWT.

Buya Yahya menganjurkan agar umat Islam memanfaatkan momen ini untuk bermuhasabah—mengevaluasi diri atas perbuatan selama setahun terakhir—serta memperbanyak ibadah. Salah satu amalan yang dianjurkan adalah membaca doa akhir tahun, yang dibaca sebelum waktu Maghrib pada tanggal 30 Dzulhijjah. Doa ini sebagai bentuk taubat dan permohonan ampun atas kesalahan yang telah dilakukan selama tahun yang akan berlalu.

Bacaan doa akhir tahun yang dikenal luas berbunyi:

اللّٰهُمَّ مَا عَمِلْتُ مِنْ عَمَلٍ فِي هٰذِهِ السَّنَةِ…
Allahumma ma ‘amiltu min ‘amalin fî hadzihi sanati…
Artinya: “Ya Allah, apa pun perbuatan yang kulakukan di tahun ini yang Engkau larang namun belum sempat kutobati…”

Setelah memasuki waktu Maghrib, yang menandai awal tahun baru hijriyah, umat Islam dianjurkan membaca doa awal tahun. Doa ini merupakan permohonan kepada Allah agar diberikan perlindungan dari godaan setan, hawa nafsu, dan dilimpahkan keberkahan di tahun yang baru.

Doa awal tahun berbunyi:

اَللّٰهُمَّ أَنْتَ الأَبَدِيُّ القَدِيمُ الأَوَّلُ…
Allâhumma antal abadiyyul qadîmul awwal…
Artinya: “Ya Allah, Engkau-lah yang Abadi, Qadim, dan yang Awal. Tahun baru ini telah datang. Aku berlindung kepada-Mu dari bujukan Iblis…”

Buya Yahya menegaskan bahwa memperbanyak doa dan memperbaiki niat di malam 1 Muharram adalah bentuk kesungguhan dalam memulai tahun baru dengan penuh kebaikan dan harapan akan ampunan serta keberkahan dari Allah SWT

Amalan Penting Lainnya

Dikutip dari kanal YouTube @Al-Bahjah, umat Islam dapat dengan mudah mengikuti panduan pembacaan doa akhir tahun dan awal tahun hijriyah lengkap dengan pelafalan dan artinya. Panduan ini sangat bermanfaat sebagai rujukan dalam menyambut malam 1 Muharram.

Selain membaca doa, ada beberapa amalan sunnah lain yang sangat dianjurkan untuk dilakukan saat malam pergantian tahun Islam:

1. Memotong Kuku dan Merapikan Diri

Buya Yahya menekankan pentingnya menjaga kebersihan lahir dan batin, termasuk memotong kuku dan merapikan diri. Rasulullah SAW menyebut perbuatan ini sebagai bagian dari fitrah, bentuk penyucian diri sebagai persiapan menyambut tahun baru dengan niat yang bersih.

2. Berpuasa

Puasa pada hari pertama bulan Muharram sangat dianjurkan. Bila mampu, disarankan juga untuk melanjutkannya hingga tanggal 10 Muharram atau Hari Asyura, yang dikenal memiliki keutamaan besar sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadits shahih.

3. Bersedekah

Malam 1 Muharram juga menjadi waktu yang tepat untuk bersedekah, baik dalam bentuk uang, makanan, pakaian, atau bantuan lainnya kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan. Ini adalah bentuk solidaritas sosial yang bernilai ibadah tinggi.

4. Memperbanyak Dzikir dan Doa

Amalan lainnya adalah memperbanyak dzikir dan doa. Di malam pergantian tahun ini, dianjurkan memanjatkan permohonan kebaikan, perlindungan, dan keberkahan untuk hari-hari di tahun yang akan datang.

5. Membaca Al-Qur’an

Malam yang penuh berkah ini juga bisa diisi dengan membaca Al-Qur’an. Surat-surat pendek seperti Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas menjadi pilihan yang baik untuk dibaca dan diamalkan.

6. Menjalin dan Menyambung Silaturahmi

Salah satu amalan yang sangat ditekankan adalah silaturahmi. Malam 1 Muharram bisa dijadikan momen untuk mengunjungi keluarga, memperbaiki hubungan, dan saling memaafkan. Dalam Hadits Qudsi, Allah menjanjikan akan menyambung rahmat-Nya kepada siapa pun yang menyambung tali persaudaraan.

Malam 1 Muharram adalah waktu penuh makna, bukan sekadar pergantian tahun, melainkan momen untuk memperbarui niat dan meningkatkan kualitas ibadah. Dengan semangat hijrah sebagai ruh tahun baru Islam, mari kita jadikan kesempatan ini untuk berpindah dari kesalahan menuju perbaikan, dari lalai menuju sadar, dan dari dosa menuju ampunan.

Semoga tahun baru 1447 Hijriyah membawa keberkahan, keselamatan, dan kebaikan bagi kita semua.

Pernikahan dalam Islam: Rukun, Hukum, dan Pandangan Tentang Hari Baik

Pernikahan dalam Islam: Rukun, Hukum, dan Pandangan Tentang Hari Baik

Stylesphere – Pernikahan merupakan ikatan suci antara dua insan yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis dan diridhai Allah SWT. Dalam ajaran Islam, perintah untuk menikah secara tegas tercantum dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS An-Nur: 32)

Agar sebuah pernikahan dianggap sah secara syariat, harus terpenuhi lima rukun nikah. Hal ini dijelaskan oleh Imam Zakaria al-Anshari kepada anugerahslot dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab:

“Rukun-rukun nikah ada lima: mempelai pria, mempelai wanita, wali, dua orang saksi, dan shighat (akad nikah).”

Kelima rukun ini menjadi landasan utama sahnya sebuah pernikahan dalam Islam.

Menikah di Hari Baik: Perlukah?

Dalam praktiknya, sebagian masyarakat Indonesia masih mempertimbangkan waktu pelaksanaan pernikahan berdasarkan hari atau bulan yang diyakini membawa keberuntungan. Tradisi memilih “hari baik” ini kerap dihubungkan dengan keyakinan akan keberkahan dan keharmonisan rumah tangga yang akan dibangun.

Menanggapi hal ini, Pengasuh LPD Al-Bahjah, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya), memberikan penjelasan penting. Menurut beliau, Islam tidak menentukan hari atau bulan tertentu sebagai waktu terbaik atau sebaliknya dalam melangsungkan pernikahan. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa menikah di bulan tertentu akan membawa sial atau sebaliknya membawa keberuntungan.

Buya Yahya menegaskan bahwa yang terpenting dalam pernikahan adalah niat yang tulus karena Allah, kesiapan lahir dan batin, serta pemenuhan syarat dan rukun nikah. Selama semua itu terpenuhi, maka pernikahan sah dan insyaAllah mendapat keberkahan.

Dengan demikian, umat Islam tidak perlu terikat pada anggapan tertentu tentang hari baik atau buruk dalam menikah. Yang lebih utama adalah mempersiapkan diri dan menjaga niat ibadah dalam membangun rumah tangga.

Buya Yahya: Semua Hari adalah Baik untuk Menikah, Jangan Terjebak Keyakinan yang Salah

Buya Yahya, Pengasuh LPD Al-Bahjah, menegaskan bahwa dalam Islam tidak ada larangan mengenai waktu tertentu untuk melangsungkan pernikahan. Menurut beliau, semua waktu adalah baik untuk melakukan kebaikan, termasuk pernikahan, selama tidak ada larangan khusus dari Allah SWT dan Rasulullah SAW.

“Seperti pernikahan, boleh dilakukan kapan saja. Bahkan pernah suatu ketika kita mengakadkan nikah pada pukul 12 malam. Saat itu kami baru datang dari tempat jauh, dan karena keluarga sudah sepakat serta senang, akhirnya langsung dinikahkan. Tidak ada masalah,” ujar Buya Yahya, dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV, Rabu (11/6/2025).

Beliau juga menjelaskan bahwa memilih hari tertentu untuk melangsungkan pernikahan tidak dilarang, selama alasannya bersifat praktis, bukan karena kepercayaan terhadap mitos atau takhayul.

“Kalau ada yang memilih untuk tidak menikah di hari Rebo Legi karena alasan itu hari pasaran dan orang sibuk, maka itu sah-sah saja. Tapi jangan sampai diyakini bahwa Rebo Legi adalah hari nahas untuk pernikahan. Itu yang salah dan perlu diluruskan,” tegas Buya Yahya.

Buya Yahya mengajak umat Islam untuk meyakini bahwa semua hari adalah baik. Tidak ada satu hari pun dalam Islam yang dianggap sial, termasuk dalam urusan menikah. Justru, beliau menganjurkan agar pernikahan dilakukan segera jika semua syarat sudah terpenuhi, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan secara syar’i.

“Jika sudah ada kesiapan dan keinginan kuat untuk menikah, menundanya tanpa alasan yang kuat justru bisa mendekati perbuatan yang dilarang, apalagi jika sudah muncul dorongan syahwat. Maka, semakin cepat menikah, semakin baik,” pungkasnya.

Dengan demikian, umat Islam diajak untuk meninggalkan kepercayaan terhadap hari sial atau bulan nahas dalam pernikahan, dan lebih fokus kepada kesiapan, niat yang lurus, serta kelengkapan syarat dan rukun nikah yang sesuai syariat.

Ubah Keyakinan Keliru dengan Bijak, Meneladani Dakwah Rasulullah dan Walisongo

Untuk meluruskan keyakinan yang keliru tentang hari atau bulan “sial” dalam pernikahan, diperlukan pendekatan yang bijak dan lembut, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam berdakwah. Metode dakwah yang penuh kelembutan ini kemudian dilanjutkan oleh para ulama dan wali Allah, termasuk para Walisongo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.

“Walisongo dalam merubah keyakinan masyarakat tidak pernah bersikap frontal atau membuat orang terkejut. Mereka menggunakan cara yang halus dan penuh hikmah,” tutur Buya Yahya.

Terkait pemilihan hari pernikahan, Buya Yahya menambahkan bahwa sah-sah saja jika seseorang memilih hari tertentu dengan pertimbangan praktis, misalnya agar lebih banyak keluarga atau kerabat yang dapat hadir.

“Jika mempelai tidak dalam kondisi mendesak, memilih hari yang memungkinkan lebih banyak keluarga dan tamu hadir tentu boleh. Tapi jangan sampai ada keyakinan bahwa hari tertentu membawa sial, itu yang perlu diluruskan,” pungkasnya.

Wallahu a’lam.