Mengenal Egg Freezing Yang Dilakukan Luna Maya, Apakah Halal Dalam Islam?

Stylesphere – Kehidupan pribadi para selebritas kerap menjadi perhatian publik. Tak hanya urusan karier atau asmara, keputusan pribadi yang menyangkut masa depan pun tak luput dari sorotan.

Salah satu contohnya datang dari aktris ternama Luna Maya, yang saat ini diketahui bertunangan dengan aktor Maxime Bouttier. Dalam sebuah video di kanal YouTube pribadinya, Luna Maya mengungkapkan bahwa ia telah menjalani prosedur egg freezing atau pembekuan sel telur, bahkan jauh sebelum memiliki rencana konkret untuk menikah.

Langkah yang diambil Luna ini sontak menjadi perbincangan hangat. Di satu sisi, banyak yang memuji keputusan tersebut sebagai bentuk kesadaran dan perencanaan masa depan yang matang, terutama terkait faktor biologis perempuan. Namun, di sisi lain, muncul pula pro dan kontra, khususnya jika dilihat dari sudut pandang etika, budaya, dan agama.

Prosedur egg freezing kini memang semakin umum di kalangan perempuan modern, terutama mereka yang ingin fokus membangun karier atau belum menemukan pasangan yang tepat di usia subur. Di beberapa negara, praktik ini telah menjadi hal yang lumrah, bahkan mendapat dukungan dari perusahaan-perusahaan besar.

Namun, di Indonesia — yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam — langkah ini masih memunculkan banyak pertanyaan, terutama mengenai hukum dan penerimaannya dalam syariat Islam. Apakah tindakan membekukan sel telur sebelum menikah diperbolehkan dalam ajaran Islam? Jika ya, apa saja batasan dan ketentuannya?

Pertanyaan ini pernah disampaikan dalam salah satu kajian yang dipimpin oleh Buya Yahya, seorang ulama terkemuka di Indonesia. Dalam penjelasannya, Buya Yahya menyampaikan bahwa kemajuan di bidang medis tentu patut diapresiasi, selama tetap berada dalam koridor yang dibenarkan oleh agama.

“Yang jelas, perkembangan medis harus kita hargai, tapi tentu harus ada rambu-rambunya. Kita bangga dengan perkembangan medis karena tujuannya adalah untuk kesehatan, untuk menolong banyak orang,” ujar beliau.

Penjelasan tersebut mengisyaratkan bahwa Islam tidak menutup mata terhadap kemajuan teknologi dan medis, termasuk prosedur seperti egg freezing. Namun, tetap diperlukan pedoman dan batasan yang jelas agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.

Dengan semakin terbukanya diskusi tentang topik-topik seperti ini, masyarakat diharapkan bisa lebih bijak dalam menilai serta memahami setiap langkah yang diambil individu, termasuk selebritas, dalam merancang masa depan mereka—baik dari sisi kesehatan, sosial, maupun spiritual.

Pandangan Buya Yahya Terhadap Egg Freezing

Dalam menanggapi maraknya pembahasan mengenai prosedur egg freezing atau pembekuan sel telur, terutama setelah aktris Luna Maya mengungkapkan bahwa dirinya telah menjalani prosedur ini sebelum menikah, Buya Yahya memberikan pandangan dari sudut syariat Islam. Pengasuh LPD dan Pondok Pesantren Al-Bahjah ini menyampaikan beberapa poin penting terkait hukum dan etika prosedur medis tersebut.

Buya Yahya memulai penjelasannya dengan menegaskan bahwa status hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembuahan merupakan hal yang sangat krusial. Ia menekankan bahwa pembuahan di luar ikatan pernikahan yang sah, ataupun melibatkan pasangan yang sudah meninggal, secara jelas tidak diperbolehkan dalam Islam.

“Jadi kalau meninggal salah satunya, meninggal dua-duanya, enggak boleh. Atau bukan suami istri, jelas pasti nggak boleh,” tegas beliau.

Selanjutnya, Buya Yahya mengajak jamaah untuk memikirkan proses pembuahan ini secara lebih mendalam, baik dari segi teknis medis maupun syariat Islam. Ia menjelaskan bahwa secara dzhohir (lahiriah), jika sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami istri yang sah dan embrio tersebut ditanamkan ke dalam rahim sang istri, maka dari segi fikih, hal itu dapat dibolehkan.

“Kalau secara dzhohir hukumnya kan begini, asalkan spermanya laki dan perempuan dimasukkan ke rahim perempuan istrinya, itu kan dzhohir fikihnya sederhana banget—ya sah-sah saja,” jelasnya.

Namun, beliau mengingatkan bahwa praktik ini tidak sesederhana penjelasan hukum fikih di permukaan. Proses medis tersebut melibatkan tindakan yang cukup kompleks, termasuk pembukaan aurat dalam skala besar dan prosedur pengambilan sel telur serta sperma yang tidak bisa dianggap sepele. Di sinilah letak pentingnya kehati-hatian, baik dari sisi pasien maupun tenaga medis yang menjalankan prosedur.

Buya Yahya juga menekankan perlunya mempertimbangkan aspek integritas dan kejujuran para tenaga medis. Meskipun para dokter telah mengucap sumpah profesi, tetap ada ruang untuk potensi penyimpangan sehingga kehati-hatian menjadi hal yang tidak bisa diabaikan.

“Kalau kita lihat dari permasalahannya yang banyak ini, maka kami lebih senang memberikan anjuran. Sebab, sering ada yang mengatakan fatwa boleh, selagi itu suami sama istri,” pungkasnya.

Dengan demikian, meskipun dalam kerangka fikih Islam terdapat ruang yang membolehkan prosedur seperti egg freezing, Buya Yahya mengajak umat untuk tetap berhati-hati dan mempertimbangkan segala aspeknya dengan bijak. Tidak semua hal yang “boleh” secara hukum agama lantas menjadi pilihan terbaik, terutama jika melibatkan banyak risiko dan potensi mudarat.

Pesan Buya Yahya

Beliau kemudian menyampaikan nasihat yang sangat menyentuh dan relevan bagi mereka yang tengah diuji dengan kesulitan memiliki keturunan. Buya Yahya mengajak umat untuk kembali pada cara pandang syariat bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Allah, dan surga bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki anak.

“Nasihat saja, jadi kalau kalau bisa seperti halnya tadi keharamannya kita ambil dari yang pertama ketidakbolehannya, maka kita akan ambil yang paling aman dari awal jika memang ada seseorang secara dzohir tidak bisa membuahi atau tidak bisa dibuahi, seorang laki-laki tidak bisa membuahi atau seorang wanita tidak bisa dibuahi dalam bahasa lain mandul maka ketahuilah bahwa untuk masuk surga tidak harus dengan anak,” pesanya.

“Dan bagi yang punya anak, semua yang menyaksikan acara ini semoga anaknya menjadi anak penyebab masuk surga, selesai,” harapnya.

Lebih lanjut, beliau menekankan bahwa keikhlasan dan penerimaan terhadap takdir adalah kunci ketenangan hati. Ia memberikan anjuran amal baik lainnya bagi mereka yang belum memiliki keturunan.

“Ini nasihat dari awal artinya kalau ternyata Anda tergolong orang yang susah untuk punya anak, sudahlah, serahkan kepada Allah ambil anaknya orang, biaya itu santri, pesantren, selesai. Anda dapat pahala terus,” tuturnya.

Namun, beliau juga memahami bahwa tidak semua orang bisa langsung menerima kondisi tersebut. Ada kalanya rasa rindu dan harapan untuk memiliki keturunan. Dalam hal ini, jika seseorang mempertimbangkan untuk mencoba program ini, Buya Yahya mengingatkan pentingnya menjaga niat dan tetap memperbanyak istighfar.

“Kenapa? karena pasti mau tidak mau ada aurat besar istri Anda yang akan dibongkar, maka harus banyak istighfar artinya ada nilai kesalahan sebab punya anak tidak darurat. Ini bukan orang mati dioperasi, bukan. Orang enggak punya anak, enggak ada, banyak, ngga ada masalah orang, hanya masalah rasa saja, kepuasan hidup saja di dunia,” pungkasnya.

Pandangan tentang Tanggung Jawab Dosa dalam Keluarga

Stylesphere – Pandangan bahwa dosa istri dan anak akan otomatis ditanggung oleh suami atau ayah masih sering ditemukan di tengah masyarakat. Banyak yang merasa aman dengan keyakinan ini, seolah-olah ada “penanggung” bagi setiap kesalahan mereka. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar dan tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam.

Dalam Islam, setiap individu bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri. Tidak ada yang bisa memindahkan dosa secara otomatis kepada orang lain tanpa sebab yang jelas. Pemahaman keliru ini coba diluruskan oleh KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya dalam sebuah kajian yang tayang di kanal YouTube @albahjah-tv pada Selasa, 22 April 2025.

Dalam sesi tanya-jawab bersama jamaah, Buya Yahya menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal konsep tanggung dosa sepenuhnya oleh pihak lain dalam keluarga. Dosa istri bukan tanggung jawab penuh suami, dan dosa anak bukan sepenuhnya beban sang ayah. Namun, jika suami atau ayah memiliki peran dalam terjadinya dosa itu—karena kelalaian, pembiaran, atau bahkan mendorong perbuatan maksiat—maka ia akan ikut menanggung dosa tersebut.

Sebagai contoh, Buya Yahya mengungkapkan situasi ketika seorang ayah memberikan alat elektronik kepada anaknya tanpa memberikan arahan atau pengawasan. Jika alat tersebut kemudian digunakan untuk perbuatan maksiat, maka sang ayah ikut bertanggung jawab, meskipun ia sedang berada di tanah suci untuk umroh atau tengah melaksanakan tahajud.

Intinya, tanggung jawab dalam keluarga tidak bersifat otomatis dan mutlak. Ada batas yang jelas antara tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab moral yang muncul karena keterlibatan atau kelalaian dalam mendidik dan membimbing anggota keluarga. Islam mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, termasuk dalam urusan spiritual dan moral di rumah tangga.

Tanggung Jawab Dosa dalam Keluarga: Penjelasan Tegas Buya Yahya

Pemahaman bahwa dosa anggota keluarga, seperti istri atau anak, otomatis ditanggung oleh kepala keluarga masih sering beredar di masyarakat. Buya Yahya, dai kharismatik yang dikenal luas, menanggapi pandangan ini dengan tegas dalam sebuah kajian yang ditayangkan di kanal YouTube @albahjah-tv pada 22 April 2025.

Menurut Buya Yahya, dosa muncul karena adanya kelalaian, terutama dalam hal pendidikan dan pengawasan. Orang tua yang membiarkan anak tumbuh tanpa bimbingan, atau tidak memberikan pendidikan yang layak, tetap memikul tanggung jawab atas akibat dari kelalaian tersebut. Namun, jika orang tua sudah berusaha maksimal dalam mendidik, menasihati, dan mengarahkan anak ke jalan yang benar, lalu anak tersebut tetap memilih melakukan kesalahan, maka orang tua tidak menanggung dosanya.

Hal serupa juga berlaku dalam hubungan suami istri. Buya Yahya menolak anggapan bahwa semua dosa istri otomatis menjadi beban suami. Ia menyebut pandangan itu sebagai pemahaman keliru yang kadang dijadikan tameng oleh sebagian orang untuk berbuat maksiat tanpa merasa bersalah.

Menurutnya, setiap dosa adalah tanggung jawab pribadi. Istri tidak bisa berlindung di balik status suami sebagai pemimpin rumah tangga untuk membenarkan perilaku salah. Suami hanya akan ikut berdosa jika ia mengetahui kesalahan istrinya namun memilih diam dan tidak mengambil tindakan. Sebaliknya, jika suami sudah menasihati dan memperingatkan secara sungguh-sungguh, namun istrinya tetap melakukan perbuatan dosa, maka tanggung jawab itu gugur. Suami sudah menjalankan perannya sebagai pemimpin rumah tangga.

Buya Yahya mengilustrasikan hal ini dengan hubungan antara guru dan santri. Seorang guru yang membimbing banyak santri tidak otomatis menanggung dosa-dosa mereka. Namun, jika ia membiarkan pelanggaran terjadi tanpa menegur atau memberikan sanksi, maka ia turut bersalah. Karena itu, di pondok pesantren, diterapkan aturan dan hukuman agar setiap santri belajar bertanggung jawab atas perbuatannya tanpa membebani gurunya.

Penjelasan ini menegaskan bahwa dalam Islam, tanggung jawab moral dan spiritual bersifat personal, kecuali jika ada kelalaian atau pembiaran yang jelas dari pihak yang seharusnya membimbing.

Bagaimana Hukum Walimatus Safar? Apakah Termasuk Bid’ah?

Stylesphere – Calon jemaah haji Indonesia tahun 2025 tengah bersiap menunaikan rukun Islam kelima. Berdasarkan jadwal Kementerian Agama (Kemenag), keberangkatan gelombang pertama dijadwalkan mulai 2 Mei 2025.

Haji merupakan ibadah wajib bagi umat Islam yang mampu secara finansial, fisik, dan kesehatan. Perintah ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, surah Ali Imran ayat 97:

“Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran: 97)

Di Indonesia, tradisi yang biasa dilakukan menjelang keberangkatan haji adalah menggelar walimatus safar atau acara pamitan. Tujuannya adalah memohon doa dari keluarga dan masyarakat agar calon jemaah diberi kelancaran dan keselamatan selama menjalankan ibadah, serta pulang dengan membawa predikat haji mabrur.

Lalu, bagaimana hukum walimatus safar? Apakah termasuk bid’ah?

Pertanyaan ini pernah dibahas dalam kajian oleh KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya). Ia menegaskan bahwa walimatus safar bukanlah bid’ah. Tradisi ini diperbolehkan karena termasuk bentuk silaturahmi dan permohonan doa, selama tidak mengandung unsur kemaksiatan atau berlebihan. Buya Yahya menyebut, yang tidak dibenarkan adalah ketika acara tersebut diisi dengan hal-hal yang bertentangan dengan syariat.

Jadi, walimatus safar sah-sah saja dilakukan sebagai bagian dari budaya yang mendukung nilai-nilai Islam, selama tetap dalam batas syariat.

Buya Yahya Menjelaskan

Buya Yahya menjelaskan bahwa walimatus safar adalah bentuk tasyakuran bagi calon jemaah haji, mirip dengan walimatul khitan untuk anak yang dikhitan atau walimatul ursy dalam pernikahan. Acara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesempatan menunaikan ibadah haji.

Walimah safar itu artinya seseorang bersyukur karena urusannya lancar untuk berangkat haji, lalu dia mengadakan syukuran. Hukumnya boleh, tidak masalah, dan bukan termasuk bid’ah. Apalagi isinya berbagi rezeki, memberi makan orang,” ujar Buya Yahya, dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV, Ahad (20/4/2025).

Namun, ia mengingatkan bahwa acara ini tidak wajib. Jika calon jemaah tidak mampu, tak perlu memaksakan diri karena bisa membebani secara finansial.

“Yang tidak boleh adalah memaksakan diri. Kadang biaya untuk walimah safar justru lebih besar daripada biaya hajinya sendiri. Itu bisa menyiksa,” tambahnya.

Buya Yahya menekankan agar tradisi walimah safar tidak menjadi beban atau kewajiban sosial yang memaksa. Tradisi ini hanya baik jika dilakukan dalam batas kemampuan dan tanpa memberatkan pihak yang bersangkutan.

Pesan Buya Yahya

Buya Yahya mengimbau agar acara walimatus safar bukan menjadi sarana untuk menyombongkan diri bahwa ia akan berangkat haji. Ia mewanti-wanti jangan sampai ibadah hajinya tercoreng karena sikap tercelanya.

“Kalau masalah sedekah untuk tolak bala agar selamat di perjalanan, oke, atau mensyukuri nikmat Allah karena sudah dipanggil Allah sebagai tamu Allah, tapi kalau sudah masuk  wilayah maksain, masuk wilayah sombong, ini bermasalah. Dua saja ini yang perlu diantisipasi,” tuturnya.

Buya Yahya menyimpulkan, acara walimatus safar boleh saja digelar dan bukan perkara bid’ah. Hanya saja niatnya harus benar, bukan ingin sombong mau haji. Jika tidak dilaksanakan pun tidak apa-apa, terlebih lagi jika tak punya biaya lebih untuk haji.

Ingin Panjang Umur? Ikuti Cara Bersedekah Buya Yahya Berikut Ini

Stylesphere – Keinginan untuk hidup panjang dan memberi manfaat adalah harapan banyak orang. Dalam Islam, ada panduan spiritual yang diyakini dapat memperpanjang umur, salah satunya adalah sedekah.

KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) menyampaikan bahwa sedekah yang dilakukan dengan ikhlas memiliki keutamaan besar, termasuk dalam hal memperpanjang usia seseorang. Pernyataan ini disampaikannya dalam salah satu ceramah di kanal YouTube @albahjah-tv, dikutip pada Rabu (16/04/2025).

Buya Yahya menjelaskan bahwa para ulama memiliki perbedaan pandangan soal makna “panjang umur” dalam hadis Nabi. Salah satu pendapat menyatakan bahwa umur seseorang memang benar-benar bisa ditambah oleh Allah karena kebiasaan bersedekah. Pendapat ini didasarkan pada pemahaman tekstual dari sabda Rasulullah.

Dengan kata lain, dalam pandangan sebagian ulama, sedekah yang ikhlas tak hanya mendatangkan berkah dalam hidup, tapi juga dapat memperpanjang jangka waktu kehidupan seseorang sesuai dengan kehendak Allah.

Pengertian Umur Panjang

Pendapat kedua terkait makna “panjang umur” dalam hadis menyebut bahwa yang dimaksud bukan penambahan usia secara fisik, melainkan keberkahan dalam hidup itu sendiri. Artinya, meskipun seseorang hidup dalam waktu yang singkat, amal dan manfaatnya tetap terasa panjang dan terus berlanjut.

Buya Yahya memberi contoh, seseorang yang membangun pondok pesantren atau lembaga pendidikan akan tetap menuai pahala meski telah meninggal dunia. Selama tempat itu digunakan untuk kebaikan, amalnya terus mengalir. Inilah yang disebut sebagai umur yang panjang—kisah hidup dan kebaikannya terus dibicarakan dan memberi manfaat bagi banyak orang.

Selain itu, sedekah juga diyakini sebagai penangkal maksiat. Orang yang rajin bersedekah biasanya memiliki hati yang lebih lembut dan penuh kasih sayang. Sifat ini membuatnya lebih dekat dengan sesama dan lebih dekat pula kepada rahmat Allah.

Menurut Buya Yahya, hati yang lembut karena kebiasaan bersedekah akan mendatangkan kasih sayang Allah, bahkan di saat-saat sulit seperti sakaratul maut.

Sedekah Untuk Bahagia di Akhirat

Bagi orang yang ikhlas dalam bersedekah, Allah akan memudahkan jalan menuju husnul khatimah, atau akhir hidup yang baik.

Sedekah yang diberikan dengan tulus kepada sesama makhluk akan membuat seseorang lebih rendah hati dan terhindar dari sifat sombong.

Orang yang ikhlas memberi tidak akan mudah membanggakan diri atas apa yang dimilikinya, karena ia sadar bahwa semua itu hanya titipan dari Allah.

Buya Yahya menekankan pentingnya menjadikan sedekah sebagai amalan rutin, tidak hanya ketika sedang lapang, tetapi juga saat sempit.

Hal ini karena manfaat sedekah tidak hanya dirasakan oleh penerima, tetapi jauh lebih besar dirasakan oleh yang memberi.

Panjang umur tidak hanya dimaknai dari sisi biologis, tetapi juga dari sisi spiritual dan sosial yang memberikan dampak luas kepada kehidupan orang lain.

Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memiliki umur yang panjang dan bermanfaat, sebaiknya memulai kebiasaan bersedekah sejak hari ini.

Kisah hidup yang panjang dan penuh berkah dapat dibentuk dari tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan dengan niat yang lurus kepada Allah.

Buya Yahya pun mengajak umat Islam untuk menjadikan sedekah sebagai jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat yang hakiki.

Dengan sedekah, tidak hanya panjang umur yang diraih, tetapi juga ketenangan jiwa, keberkahan harta, serta kemuliaan saat kembali kepada Sang Pencipta.

Hukum Haji dengan Uang Pinjaman Menurut Buya Yahya

Stylesphere – Haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib bagi umat Muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Namun, sebagian orang yang belum mampu secara ekonomi tetap berusaha keras untuk berangkat haji, termasuk dengan cara berutang.

Menanggapi hal ini, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) menjelaskan bahwa secara fikih, ibadah haji yang dilakukan dengan dana hasil pinjaman tetap sah, asalkan semua syarat dan rukunnya terpenuhi. Artinya, ibadah tersebut tetap diterima secara hukum agama.

Meski begitu, Buya Yahya menegaskan bahwa berutang demi berhaji bukan langkah yang dianjurkan. Haji hanya wajib bagi mereka yang benar-benar mampu. Karena itu, tidak perlu memaksakan diri dengan mengambil utang jika kondisi keuangan belum memungkinkan. Niat baik untuk berhaji memang penting, tetapi harus tetap disesuaikan dengan kemampuan agar tidak menimbulkan beban baru.

Berhaji Yang Benar Menurut Buya Yahya

Buya Yahya mengingatkan umat Islam agar tidak memaksakan diri untuk berhaji atau berumrah dengan cara berutang, apalagi jika utangnya mengandung riba.

“Masalahnya jadi lebih berat saat kita belum mampu melunasi utang, sementara kita sudah naik haji. Rasa malu bisa muncul, dan dari situlah kadang seseorang terdorong untuk mencari uang dengan cara yang tidak benar,” ujar Buya Yahya.

Ia menegaskan bahwa tidak semua praktik pinjam-meminjam sesuai syariat Islam. Banyak yang justru melibatkan sistem bunga, yang dalam Islam termasuk riba dan hukumnya haram.

“Kalau berangkat haji dengan pinjaman berbunga, itu bisa menunjukkan ibadah dilakukan bukan karena Allah. Padahal, tidak berhaji karena belum mampu itu tidak berdosa. Tapi kalau haji dengan cara yang haram, justru menambah dosa,” jelasnya.

Buya Yahya juga mengakui bahwa ada pinjaman yang halal, tanpa bunga, dan sesuai syariat. Namun, ia tetap mengimbau agar umat Islam tidak memaksakan diri berutang demi beribadah.

“Haji dan umrah adalah ibadah seumur hidup sekali. Jangan biasakan beribadah dengan berutang, karena utang wajib dibayar,” ujarnya.

Ia menutup pesannya dengan menegaskan bahwa ibadah haji dan umrah tetap sah secara hukum, tetapi jika dilakukan dengan uang haram, yang patut diragukan adalah ketulusannya.

Amalan Setara Naik Haji

1. Salat Subuh Berjamaah

Salat Subuh berjamaah memiliki keutamaan yang sangat besar. Seseorang yang salat Subuh berjamaah, kemudian duduk berzikir kepada Allah Swt. hingga matahari terbit, lalu salat dua rakaat (salat isyraq), akan mendapatkan pahala yang setara dengan haji dan umroh yang sempurna.

Seperti riwayat dari Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda:

من صلى الغداة في جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس، ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة 

Artinya: “Siapa yang mengerjakan salat subuh berjemaah, kemudian dia tetap duduk sambil zikir sampai terbit matahari dan setelah itu mengerjakan salat dua rakaat, maka akan diberikan pahala haji dan umrah.” (HR. At-Tirmidzi)

2. Berbuat Baik kepada Orang Tua

Berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Pahala berbakti kepada orang tua bisa menyamai pahala haji dan umroh, karena rida Allah Swt. tergantung pada rida orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.

Sebagaimana Anas r.a. berkata:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : أَتَى رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنِّى أَشْتَهِى الْجِهَادَ وَلَا أَقْدِرُ عَلَيْهِ. قَالَ : هَلْ بَقِيَ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ؟ قَالَ : أُمِّي. قَالَ : فَأَبْلِ اللهَ فِى بِرِّهَا. فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَأَنْتَ حَاجٌّ وَمُعْتَمِرٌ وَمُجَاهِدٌ. فَإِذَا رَضِيَتْ عَنْكَ أُمُّكَ فَاتَّقِ اللهَ وَبِرَّهَا

Artinya: “Dari Anas, ia berkata, ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. kemudian berkata “Sesungguhnya aku ingin berjihad namun aku tidak mampu” 

Rasulullah saw. bersabda: “Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih ada?” Laki-laki itu menjawab: “Ibuku” 

Rasulullah saw. bersabda: “Perbaikilah hubunganmu dengan Allah Swt. dengan berbakti kepada ibumu. Ketika kamu telah melakukannya maka kamu adalah orang yang berhaji, umrah dan jihad. Ketika ibumu rida kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan berbaktilah kepada ibumu”. (Abu Ya’la Al-Maushuli, Musnad Abu Ya’la Al-Maushuli, [Damaskus: Dar al-Ma’mun Lit Turats, 1989], Jilid V, halaman 150).

3. Pergi ke Masjid dengan Niat untuk Menuntut Ilmu

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Seseorang yang pergi ke masjid untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah Swt. sampai ia kembali. Pahala menuntut ilmu juga bisa setara dengan pahala haji dan umroh. Seperti dari Abu Umamah bahwa Rasul bersabda:

 من غدا إلى المسجد لايريد إلا أن يتعلم خيرا أو يعلمه، كان له كأجر حاج تاما حجته 

Artinya, “Siapa yang berangkat ke masjid hanya untuk belajar kebaikan atau mengajarkannya, diberikan pahala seperti pahala ibadah haji yang sempurna hajinya” (HR. At-Thabarani)

Penjelasa Alam Barzakh Menurut Agama Islam

Stylesphere – Dalam ajaran Islam, ketika seseorang meninggal dunia, ia berpindah dari alam dunia ke alam barzakh. Sementara jasadnya tetap di alam kubur, ruhnya masuk ke alam barzakh, yaitu fase transisi antara dunia dan akhirat. Alam ini menjadi tempat persinggahan sebelum memasuki kehidupan akhirat sepenuhnya. Sejak zaman Nabi Adam hingga sekarang, jumlah penghuni barzakh terus bertambah.

KH Nurul Irfan menjelaskan bahwa manusia yang telah berada di alam barzakh bisa melihat alam dunia sekaligus akhirat. Ia menggambarkan barzakh sebagai sebuah sekat, di mana para penghuni kubur memiliki pandangan terhadap dua alam tersebut. “Mereka berada di satu tempat yang namanya barzakh, bisa melihat dunia dan akhirat,” ujarnya seperti dikutip dari situs Majelis Ulama Indonesia, Senin (7/4/2025).

Terkait hal ini, seorang jemaah Al Bahjah pernah menanyakan kepada KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya), apakah memungkinkan seseorang di alam barzakh bertemu dengan kerabatnya yang telah meninggal lebih dulu.

Alam Barzakh Menurut Buya Yahya

Buya Yahya menjelaskan bahwa kerabat yang telah berada di alam barzakh memungkinkan untuk saling berkunjung. Namun, tidak semua orang memiliki kesempatan tersebut. Hanya mereka yang termasuk dalam golongan ahli rahmat—yakni orang-orang yang telah mendapat ampunan dari Allah—yang dapat saling bertemu dengan mudah.

Menurut Buya Yahya, mereka yang selama hidupnya tidak berada di jalan yang benar tidak akan bisa bertemu dengan orang-orang saleh di alam barzakh. Hal ini disebabkan tidak adanya ikatan kebaikan atau kenangan amal saleh yang bisa mempertemukan mereka.

“Sesama ahli barzakh bisa saja saling berkunjung. Wallahu a’lam bagaimana caranya, karena alam tersebut tidak terikat oleh materi. Semoga kelak kita dapat saling berkunjung dengan orang-orang saleh,” kata Buya Yahya dalam tayangan YouTube Al Bahjah TV, Senin (7/4/2025).

Penjelasan dari KH Ahmad Ishomuddin

Pertanyaan tentang apakah ruh orang yang telah meninggal bisa bertemu dengan ruh orang yang masih hidup mendapat penjelasan dari KH Ahmad Ishomuddin, kiai muda dari Nahdlatul Ulama Provinsi Lampung. Ia mengatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah terdiri dari jasad dan ruh. Ketika keduanya berpisah, itulah yang disebut kematian.

“Mati adalah peristiwa ketika ruh berpisah dari jasad,” ujar Gus Ishom, sapaan akrabnya, dikutip dari NU Online.

Mengutip penjelasan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Gus Ishom menyebut bahwa ruh terbagi menjadi dua jenis. Pertama, ruh yang mendapat nikmat dari Allah, yang tidak dibelenggu dan diberi kebebasan, sehingga bisa saling bertemu dan mengingat peristiwa-peristiwa dunia. Kedua, ruh yang sedang disiksa dan sibuk dengan penderitaan yang dialaminya, sehingga tidak bisa bertemu atau berkunjung ke ruh lain.

Gus Ishom menambahkan, pertemuan antara ruh orang yang telah meninggal dan ruh orang yang masih hidup bisa terjadi ketika seseorang sedang tidur. Hal ini karena mimpi terdiri dari tiga jenis, dan salah satunya memungkinkan terjadinya pertemuan antara kedua ruh tersebut.

Tanda Anda Mendapatkan Lailatul Qadar

Stylesphere – Setiap Muslim tentu menginginkan kebaikan, termasuk meraih Lailatul Qadar di sepertiga akhir Ramadhan. Siapa yang tidak ingin mendapatkan malam yang lebih baik daripada seribu bulan?

Lailatul Qadar adalah malam istimewa dalam Islam. Dalam surah Al-Qadr, Allah menyebutkan bahwa malam ini lebih utama dari seribu bulan. Artinya, ibadah yang dilakukan pada malam tersebut setara dengan beribadah selama minimal 83 tahun 4 bulan.

Keistimewaan Malam Ganjil di Sepuluh Hari Terakhir Ramadan

Malam penuh berkah dan ampunan ini dapat diraih dengan ikhtiar, salah satunya dengan meningkatkan ibadah di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Beruntunglah mereka yang berhasil mendapatkannya.

Lalu, bagaimana tanda seseorang telah meraih Lailatul Qadar? Simak penjelasan Pengasuh LPD Al Bahjah, KH Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya.

Penjelasan Buya Yahya

Menurut Buya Yahya, tanda seseorang mendapatkan kemuliaan Lailatul Qadar dapat dilihat dari perubahan dirinya setelah malam itu.

“Jika hari esok lebih baik dari hari kemarin, itulah tanda seseorang mendapatkan Lailatul Qadar,” ujar Buya Yahya, dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, Sabtu (22/3/2025).

Sebaliknya, jika seseorang tetap berperilaku buruk setelah malam itu—misalnya masih durhaka kepada orang tua—maka sejatinya ia belum benar-benar meraih Lailatul Qadar.

“Tanda paling jelas adalah perubahan ke arah yang lebih baik, semakin dekat kepada Allah di hari-hari dan tahun-tahun berikutnya,” tambahnya.

Karena itu, Buya Yahya berpesan agar di malam-malam terakhir Ramadhan, umat Islam memperbanyak amal baik dan berusaha memperbaiki diri keesokan harinya.

“Kalau keesokan harinya lebih baik, kemungkinan kita mendapat Lailatul Qadar. Tapi kalau masih terus bermaksiat, berarti kita jauh darinya. Sederhana sekali,” tuturnya.

Menelan Ludah Pada Saat Puasa Apakah Batal?

Menelan Ludah Pada Saat Puasa Apakah Batal?

Stylesphere – Bulan Ramadan merupakan waktu yang penuh berkah, di mana umat Muslim diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Dalam pelaksanaannya, terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar puasa menjadi sah.

Selama berpuasa, kita diwajibkan menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang dapat membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah mengenai hukum menelan ludah, karena hal ini merupakan tindakan alami yang sulit dihindari.

Menanggapi hal ini, Buya Yahya, seorang ulama terkemuka yang sering memberikan penjelasan seputar fiqih, menyampaikan bahwa menelan ludah tidak membatalkan puasa. Namun, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar tidak mengganggu keabsahan puasa.

Meski tampak sepele, pemahaman yang tepat mengenai aturan-aturan puasa sangat penting agar ibadah yang kita jalankan sah dan diterima oleh Allah SWT.

Inilah Syarat Menelan Ludah Agar Tetap Sah Berpuasa

Sebagian besar umat Muslim mungkin belum mengetahui bahwa menelan ludah sendiri tidak membatalkan puasa, asalkan memenuhi syarat tertentu. Hal ini dijelaskan oleh Buya Yahya dalam salah satu ceramahnya.

“Syarat pertama adalah ludah itu berasal dari diri sendiri. Mungkin terdengar aneh, tapi ada saja yang bertanya soal ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Buya Yahya menjelaskan dengan contoh, “Misalnya, dalam momen harmonis rumah tangga, seorang suami mencium istrinya lalu tanpa sengaja menelan ludah pasangannya. Dalam kasus seperti ini, puasanya batal karena yang ditelan bukan ludahnya sendiri,” katanya, dikutip dari YouTube Al-Bahjah TV.

Karena itu, penting untuk memahami bahwa yang dimaksud dengan menelan ludah yang tidak membatalkan puasa adalah ludah yang berasal dari diri sendiri.

Syarat kedua agar menelan ludah tidak membatalkan puasa adalah ludah tersebut masih berada di dalam mulut. Jika seseorang mengumpulkan ludah di dalam mulutnya hingga cukup banyak lalu menelannya, hal itu tetap tidak membatalkan puasa.

“Ludah yang masih berada di tempatnya, yaitu di dalam mulut, tidak membatalkan puasa. Para ulama bahkan menjelaskan bahwa jika seseorang mengumpulkan ludah hingga banyak lalu menelannya, puasanya tetap sah karena ludah tersebut masih berada di dalam mulut,” jelas Buya Yahya, ulama asal Blitar, Jawa Timur.

Syarat ketiga yang harus dipenuhi adalah bahwa ludah tersebut harus murni, tidak bercampur dengan zat lain.

“Menelan ludah tidak membatalkan puasa selama ludah tersebut masih murni, belum bercampur dengan sesuatu seperti permen atau makanan. Jika sudah bercampur, maka puasanya batal,” tambahnya.

Buya Yahya menegaskan bahwa sebagian besar ludah yang ditelan saat puasa adalah ludah yang aman. “Jika saya menelan ludah sendiri di siang hari Ramadan, itu tidak membatalkan puasa,” ujarnya.

Dengan memahami tiga syarat ini, kita dapat menjalani puasa dengan lebih tenang tanpa khawatir berlebihan mengenai hal-hal yang sebenarnya tidak membatalkan puasa.