Jejak Kesabaran dan Syukur: Makam Nabi Nuh AS di Yordania

Jejak Kesabaran dan Syukur: Makam Nabi Nuh AS di Yordania

Stylesphere – Di sebuah sudut sunyi di Yordania, terdapat sebuah kawasan yang menyimpan jejak salah satu manusia paling penuh syukur dan sabar dalam sejarah umat manusia. Sosok itu adalah Nabi Nuh AS — bukan hanya seorang nabi, tetapi juga lambang keteguhan hati, kesabaran, dan keikhlasan dalam menjalankan amanah dari Allah SWT.

Nabi Nuh dikenal karena ketekunannya dalam berdakwah kepada kaumnya. Ia diutus jauh sebelum datangnya bencana besar berupa banjir dahsyat yang melanda bumi. Menurut berbagai riwayat, masa dakwah beliau berlangsung hampir seratus tahun. Namun, dari perjalanan panjang tersebut, hanya sekitar 80 orang yang menjadi pengikutnya. Fakta ini menjadi cerminan ujian luar biasa yang dihadapi oleh Nabi Nuh serta kesabarannya yang tak tergoyahkan.

Al-Qur’an menyebut Nabi Nuh sebagai seorang “hamba yang bersyukur”. Nama “Nuh” sendiri diyakini berasal dari kebiasaannya yang sering menangis — sebagai wujud penyesalan dan doa atas dosa-dosa kaumnya, seraya memohon ampunan kepada Allah SWT.

Dilansir dari tayangan video di kanal YouTube @harypurnama849 pada Jumat (2 Mei 2025), makam Nabi Nuh berada di kota Karak, tepatnya di wilayah Krak, sebuah kawasan pinggiran kota Karak di bagian selatan Yordania.

Makam tersebut terletak di dalam sebuah kompleks pemakaman sederhana dengan luas bangunan sekitar 57 meter persegi. Bangunannya terbuat dari batu dan tanah liat berwarna hijau yang khas, menambah kesan damai dan sakral pada tempat peristirahatan terakhir sang nabi.

Lokasi Makam Nabi Nuh AS di Karak, Yordania

Kementerian Pariwisata dan Antik Yordania telah menetapkan sejumlah lokasi bersejarah, termasuk makam Nabi Nuh AS di Karak, sebagai situs ziarah religi yang terbuka bagi wisatawan Muslim dari seluruh penjuru dunia.

Lokasi makam ini cukup strategis dan mudah dijangkau, baik dari ibu kota Amman maupun dari Petra—salah satu destinasi wisata paling terkenal di Yordania. Aksesibilitas yang baik ini menjadikan makam Nabi Nuh sebagai salah satu tujuan ziarah spiritual yang semakin populer.

Para peziarah yang datang ke tempat ini kerap merasakan ketenangan batin yang mendalam. Lingkungan sekitar yang hening, hembusan angin padang pasir yang menyejukkan, serta bangunan kuno yang terawat memberikan nuansa spiritual yang khas dan menyentuh.

Sebagian warga setempat meyakini bahwa kawasan di sekitar makam membawa aura yang berbeda—seakan menyimpan pelajaran luhur tentang keimanan, ketekunan, dan kesabaran yang diajarkan oleh Nabi Nuh.

Makam ini tak hanya menjadi tempat untuk berziarah, tetapi juga berfungsi sebagai sarana edukatif. Ia mengingatkan kembali kepada pengunjung tentang nilai-nilai keteladanan dari Nabi Nuh AS yang relevan sepanjang zaman.

Dalam Islam, ziarah ke makam para nabi bukanlah bentuk pemujaan, melainkan sebagai wujud penghormatan dan refleksi terhadap perjuangan mereka dalam menegakkan kebenaran dan membimbing umat. Kunjungan semacam ini menjadi momen untuk memperkuat keimanan dan meneladani sifat-sifat mulia yang mereka miliki.

Kisah hidup Nabi Nuh memberikan pesan yang abadi—bahwa dalam menghadapi cobaan dan rintangan hidup, kesabaran dan rasa syukur adalah kunci utama untuk meraih ridha Allah SWT. Melalui ziarah ke makam beliau, umat Islam diingatkan untuk terus menanamkan dua nilai agung tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Simbol Kesakralan dan Sejarah di Tengah Padang Yordania

Di bagian tengah kompleks pemakaman Nabi Nuh AS, berdiri sebuah kubah sederhana yang menjadi penanda utama makam beliau. Meskipun bentuknya tidak megah, kubah tersebut memancarkan aura sakral dan nuansa historis yang kuat, menjadikannya titik sentral yang khusyuk bagi para peziarah.

Baik warga lokal maupun pengunjung dari berbagai negara menganggap tempat ini sebagai lokasi yang penuh keberkahan. Banyak di antara mereka yang datang untuk berdoa, merenung, dan mengenang kembali perjalanan hidup seorang nabi yang dikenal karena ketulusan dan ketabahannya.

Menurut catatan sejarah lokal, Nabi Nuh wafat dalam usia sekitar 150 tahun. Usia yang luar biasa panjang ini dipercaya sebagai bentuk rahmat dan karunia dari Allah SWT, sebagai balasan atas dedikasi beliau dalam menyampaikan wahyu-Nya dengan penuh keikhlasan.

Keberadaan makam Nabi Nuh AS turut memperkaya khazanah situs bersejarah Islam di Yordania. Negara ini memang dikenal sebagai tanah yang dilalui oleh para nabi dan sahabat Rasulullah SAW, sehingga memiliki nilai penting dalam peta sejarah Islam.

Setidaknya terdapat 27 situs bersejarah Islam di wilayah Yordania. Selain makam Nabi Nuh, terdapat pula makam para nabi lainnya seperti Nabi Sulaiman, Nabi Harun, Nabi Syuaib, Nabi Daud, dan Nabi Luth—semuanya menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang kenabian dan penyebaran risalah ilahi.

Gunung Thur: Saksi Bisu Dialog Langsung antara Nabi Musa dan Allah

Gunung Thur: Saksi Bisu Dialog Langsung antara Nabi Musa dan Allah

Stylesphere – Saat itu, suasana begitu sunyi. Keheningan menyelimuti sekitar, seolah seluruh alam tunduk dalam kekhusyukan. Di tengah keheningan suci itulah, Nabi Musa Alaihissalam memusatkan seluruh jiwa dan raganya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dunia ia tinggalkan sejenak, demi menyambut langsung wahyu dari Sang Pencipta.

Selama 40 hari penuh munajat di atas Gunung Thur, Nabi Musa mengalami momen spiritual yang sangat agung. Ketika masa itu usai dan beliau turun dari gunung, wajahnya memancarkan cahaya terang—aura keagungan yang bersumber dari kedekatannya dengan Allah. Meskipun beliau tidak melihat Allah dalam bentuk fisik, pancaran kebesaran-Nya begitu nyata terpahat di wajah sang nabi.

Cahaya itu bukan sembarang cahaya. Dalam beberapa tafsir disebutkan bahwa sinar tersebut begitu kuat hingga membuat kaum Bani Israil tak sanggup menatap wajah Nabi Musa secara langsung. Itu adalah bukti nyata betapa dalam dan mulianya pengalaman spiritual yang beliau alami.

Gunung Thur pun diabadikan sebagai tempat yang diberkahi. Allah secara khusus memilihnya sebagai lokasi turunnya wahyu, menjadikannya salah satu titik sakral dalam sejarah kenabian. Kesucian gunung ini tidak hanya berakhir pada masa Nabi Musa, tapi juga berlanjut hingga masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Dalam kisah perjalanan Isra Mikraj, Rasulullah SAW dikisahkan sempat singgah di Gunung Sinai. Beliau menunaikan salat dua rakaat di sana, sebagai bentuk penghormatan terhadap kemuliaan tempat tersebut.

Kisah ini menjadi penegas bahwa tempat-tempat yang pernah disinggahi oleh para nabi bukanlah lokasi biasa. Mereka adalah titik-titik spiritual yang Allah pilih sebagai saksi dalam perjalanan besar pewahyuan-Nya kepada umat manusia.

Lembah Suci Tempat Nabi Musa Berdialog dengan Allah

Dalam lintasan sejarah kenabian, terdapat sebuah tempat yang begitu agung dan sarat makna spiritual. Di sanalah Nabi Musa Alaihissalam pernah berbicara langsung dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala—sebuah peristiwa luar biasa yang menjadi salah satu kisah paling monumental dalam sejarah umat manusia.

Tempat tersebut dikenal sebagai Wadwa, atau yang lebih populer disebut Lembah Suci. Lokasinya berada di sisi kanan Gunung Thur (Jabal At-Tur), yang terletak di wilayah gurun Sinai, Mesir. Kawasan ini diyakini sebagai tempat turunnya wahyu dan berlangsungnya komunikasi langsung antara Nabi Musa dengan Sang Pencipta.

Kisah ini tidak hanya termuat dalam kitab-kitab sejarah Islam, namun juga tercantum dalam Al-Qur’an. Gunung Sinai disebutkan sebanyak sembilan kali, menunjukkan betapa penting dan sucinya tempat ini dalam konteks kenabian dan wahyu Ilahi.

Dalam sebuah tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @islamitumenakjubkan pada Kamis (01/05/2025), dijelaskan bahwa tempat tersebut masih diyakini memancarkan kekuatan spiritual hingga hari ini. Setiap tahunnya, banyak peziarah dari berbagai penjuru dunia datang untuk merasakan keagungan dan ketenangan yang dipancarkan dari kawasan ini.

Diceritakan pula bahwa Nabi Musa AS menghabiskan waktu selama 40 hari dan 40 malam di atas Gunung Thur. Selama masa tersebut, beliau berpuasa, bermunajat, dan berdialog secara langsung dengan Allah SWT—sebuah pengalaman spiritual yang luar biasa dan menjadi inspirasi sepanjang zaman.

Gunung Thur: Jejak Wahyu di Tanah Sinai

Gunung Sinai, yang dikenal juga sebagai Gunung Thur, terletak sekitar 450 kilometer dari pusat Kota Kairo, Mesir. Untuk mencapainya, para peziarah harus menempuh perjalanan darat melewati jalur gurun yang berat dan menantang. Meski terpencil dan dikelilingi medan yang tandus, gunung ini tak pernah sepi dari langkah-langkah mereka yang ingin menapak tilas jejak para nabi.

Bagi umat Islam, Gunung Thur adalah lebih dari sekadar situs sejarah. Ia adalah tempat yang menyimpan gema wahyu Ilahi, di mana Nabi Musa Alaihissalam berdialog langsung dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para peziarah yang mendakinya sering kali melaporkan perasaan damai yang luar biasa, seolah mereka sedang berdiri di tanah yang dekat dengan langit.

Gunung ini bukan hanya dihormati oleh umat Islam. Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, Gunung Sinai juga dipandang suci sebagai tempat di mana wahyu Tuhan diturunkan. Namun, dalam Islam, keistimewaannya bertambah karena tempat ini turut disinggahi oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam peristiwa agung Isra Mikraj. Di sana, beliau menunaikan salat sebagai bentuk penghormatan terhadap kesucian tempat tersebut.

Penyebutan Gunung Thur dalam Al-Qur’an tidak hanya sebagai referensi geografis, melainkan sebagai simbol spiritual. Ia menjadi pengingat bahwa di tempat inilah, seorang manusia pernah berdiri sangat dekat dengan Rabb-nya, mendengar langsung firman-Nya, dan membawa pulang wahyu yang menjadi petunjuk bagi umat.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa tempat-tempat yang diberkahi tidak hanya menyimpan sejarah, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual yang hidup hingga hari ini. Semoga Allah SWT memberikan kita kesempatan untuk mengunjungi tempat mulia ini, meresapi kekhusyukan yang pernah dialami para nabi, dan memperkuat iman serta kecintaan kita kepada mereka.

Dengan memahami perjalanan agung ini, kita tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga merenungkan bagaimana wahyu itu terus hidup dalam kehidupan kita hari ini.

Emas dalam Sejarah, Al-Qur’an, dan Investasi Modern

Emas dalam Sejarah, Al-Qur’an, dan Investasi Modern

Stylesphere – Tahun 2025 menjadi saksi lonjakan harga emas yang mencolok, bahkan melampaui prediksi para analis. Meski sempat mengalami fluktuasi, tren kenaikan harga emas terus bertahan. Hal ini mendorong emas kembali jadi perbincangan hangat, bukan hanya sebagai aset investasi, tapi juga sebagai simbol nilai yang telah melekat sejak ribuan tahun lalu.

Sejak zaman kuno, emas telah menjadi harta yang diburu. Ia bukan sekadar perhiasan, tapi juga digunakan sebagai alat tukar, perlengkapan adat, dan lambang status sosial. Dalam tradisi Islam, emas dikenal sebagai alat tukar sekaligus bentuk tabungan yang memiliki nilai tetap karena statusnya sebagai logam mulia.

Emas pun disebut dalam Al-Qur’an, seperti dalam Surah Al-Kahfi ayat 31. Ayat ini menggambarkan penghuni surga yang diberi gelang emas sebagai bentuk kemuliaan:

“…Mereka diberi hiasan gelang emas dan memakai pakaian hijau dari sutra halus dan tebal, duduk bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang indah.” (QS Al-Kahfi: 31)

Dalam Surah Az-Zukhruf ayat 53, emas kembali disebut sebagai lambang kekayaan duniawi. Ini menunjukkan bahwa sejak dahulu, emas telah dimaknai sebagai simbol kemewahan dan penghargaan.

Kini, seiring tren kenaikan harga, emas makin populer sebagai instrumen investasi, baik jangka pendek maupun panjang. Namun, bagi umat Islam, penting untuk tidak hanya mengejar keuntungan, tapi juga memastikan bahwa investasi emas dilakukan dengan cara yang halal dan tidak melanggar syariat.

Seperti yang dijelaskan oleh Heni Verawati, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Intan Lampung, dalam wawancara di laman NU Lampung, investasi emas yang sesuai syariat harus memenuhi prinsip keadilan, kejelasan akad, dan menghindari unsur riba.

Investasi Emas dalam Perspektif Syariah

Emas telah lama dianggap sebagai aset yang stabil dan bernilai, dan dalam ekonomi Islam, ia memenuhi kriteria sebagai aset syariah. Namun, praktik investasi emas tetap harus memperhatikan ketentuan hukum Islam agar terhindar dari unsur riba dan ketidakadilan.

1. Larangan Riba dalam Transaksi Emas

Dalam Islam, emas termasuk dalam kategori barang ribawi. Transaksi terhadapnya harus dilakukan secara tunai dan nilainya setara. Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Said Al-Khudri, di mana Rasulullah SAW bersabda:

“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama nilainya, dan jangan melebihkan sebagian atas sebagian lainnya. Jangan menjual yang hadir dengan yang ghaib.” (HR Muslim)

Artinya, jual beli emas secara kredit atau dengan perbedaan timbangan/nilai tidak dibenarkan. Emas harus diperdagangkan secara langsung, tunai, dan adil.

2. Keamanan dan Keberlanjutan sebagai Aset Syariah

Salah satu alasan mengapa emas dianggap sebagai investasi syariah adalah stabilitas dan risikonya yang relatif rendah. Emas juga tahan terhadap inflasi dan gejolak ekonomi. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang menganjurkan keamanan harta dan menolak spekulasi berlebihan (gharar).

3. Kewajiban Zakat atas Emas

Islam mewajibkan zakat atas emas jika telah mencapai nisab dan disimpan selama satu tahun. Nisab emas adalah 85 gram, dan zakat yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5%.

Hal ini ditegaskan dalam Surah At-Taubah ayat 34:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukan kepada mereka siksa yang pedih.” (QS At-Taubah: 34)

Ini menunjukkan bahwa emas bukan hanya aset untuk keuntungan pribadi, tapi juga harus dimanfaatkan untuk kepentingan sosial.

Catatan Tambahan:

  • Perhiasan emas yang dipakai wanita tidak wajib dizakati selama tidak berlebihan.
  • Emas atau perak yang dipakai laki-laki (kecuali cincin perak) atau dijadikan wadah wajib dizakati jika mencapai nisab.
  • Zakat juga berlaku pada emas batangan, logam, bejana, ukiran, atau bentuk emas lainnya yang dimiliki sebagai simpanan.

4. Praktik Investasi Emas Syariah

Investasi emas dalam Islam dapat dilakukan melalui beberapa cara yang sesuai syariah:

  • Emas fisik: berupa koin, perhiasan, atau batangan.
  • Tabungan emas: disimpan dalam lembaga keuangan syariah yang menjamin transaksi fisik dan kepemilikan jelas.
  • Emas digital: diperbolehkan selama akad, kepemilikan, dan pembayarannya dilakukan sesuai prinsip syariah (tanpa riba dan gharar).

Kesimpulan:
Investasi emas dalam Islam bukan sekadar mencari keuntungan, tapi juga menjaga nilai, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Dengan memahami syarat-syarat syariah dalam jual beli dan zakat emas, umat Islam bisa berinvestasi secara aman dan sesuai ajaran agama.

Panduan Praktik Investasi Emas Sesuai Syariah

Investasi emas telah menjadi pilihan banyak orang karena sifatnya yang stabil dan tahan terhadap inflasi. Dalam perspektif Islam, emas juga termasuk aset yang diakui syariah, asalkan praktik investasinya mengikuti prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Berikut beberapa bentuk investasi emas yang sesuai dengan ketentuan syariah:

1. Pembelian Emas Fisik

Investasi emas secara tradisional dilakukan dengan membeli emas fisik, seperti koin atau perhiasan. Dalam Islam, transaksi emas harus dilakukan secara tunai dan langsung untuk menghindari riba. Emas fisik bisa disimpan sebagai aset jangka panjang dan menjadi cadangan kekayaan saat kondisi ekonomi tidak stabil.

2. Tabungan Emas Syariah

Saat ini, banyak lembaga keuangan syariah yang menawarkan produk tabungan emas. Nasabah menabung dalam bentuk uang yang kemudian dikonversikan menjadi gram emas. Prinsip utamanya tetap sama: transaksi harus nyata dan bebas riba. Tabungan emas syariah menjadi solusi bagi masyarakat yang ingin memiliki emas secara bertahap dengan cara yang lebih terjangkau.

3. Emas Digital

Emas digital adalah bentuk investasi emas yang ditransaksikan secara elektronik. Dalam ekonomi Islam, emas digital diperbolehkan asalkan emas yang ditransaksikan benar-benar ada secara fisik, tersimpan dengan aman, dan setiap transaksi dilakukan tunai serta sesuai nilai tukar yang berlaku. Transparansi dan kejelasan kepemilikan menjadi kunci sahnya transaksi ini dalam pandangan syariah.

Emas: Aset Bernilai, Amanah Bermakna

Dalam Islam, emas tidak hanya dilihat sebagai simbol kekayaan, tetapi juga memiliki nilai spiritual dan sosial. Sebagai aset syariah, emas dianggap aman dan stabil, sekaligus menjadi sarana untuk menjaga kekayaan, menghindari riba, dan menunaikan kewajiban zakat.

Islam mengajarkan bahwa setiap harta, termasuk emas, adalah amanah yang harus dimanfaatkan secara bijak. Dengan memahami prinsip-prinsip syariah, umat Islam dapat menjadikan emas sebagai investasi yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga mendatangkan keberkahan.

Kisah Nabi Isa Al Masih Disalib Menurut Al-Qur’an

Kisah Nabi Isa Al Masih Disalib Menurut Al-Qur’an

Stylesphere – Dalam ajaran Islam, perjalanan hidup Nabi Isa Al Masih mengandung banyak pelajaran tentang mukjizat, ujian, dan akhir kehidupan yang tak seperti manusia pada umumnya. Ia adalah nabi mulia yang bukan hanya dikenal oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat Nasrani. Namun, pandangan Islam mengenai kisah hidup beliau memiliki perbedaan yang mendasar dari keyakinan agama lain.

Salah satu momen paling penting dalam hidup Nabi Isa Al Masih menurut Al-Qur’an adalah ketika Allah SWT mengangkat beliau ke langit dalam keadaan hidup. Ini menjadi bukti pertolongan Allah yang luar biasa di tengah ancaman dan penolakan dari kaumnya.

Pandangan ini bertolak belakang dengan keyakinan sebagian umat Nasrani yang menyebut bahwa Nabi Isa disalib dan wafat di kayu gantung. Islam menolak narasi tersebut, dan menegaskan bahwa beliau tidak dibunuh dan tidak disalib, melainkan diselamatkan secara langsung oleh Allah.

Peristiwa ini tidak hanya membantah klaim musuh-musuh kenabian pada masa itu, tetapi juga menjadi pengingat bagi umat Islam bahwa pertolongan Allah selalu hadir, bahkan dalam bentuk yang di luar nalar manusia.

Kisah Isa Al Masih Diangkat Menurut Al-Qur’an

Mengutip dari laman menara.baznas.go.id, kisah diangkatnya Nabi Isa AS ke langit diabadikan dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam Surah Ali Imran ayat 55. Allah SWT berfirman:

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ
Artinya: “(Ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa, sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku.'”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa gangguan dari kaum Yahudi terhadap Nabi Isa AS terus berlanjut hingga mereka mengadukan beliau kepada Raja Dimasyq. Raja ini dikenal sebagai penyembah bintang, bagian dari golongan penganut ajaran Yunani kuno.

Kaum Yahudi memberikan laporan palsu, menuduh bahwa di Baitul Maqdis ada seseorang yang menghasut masyarakat, menyesatkan mereka, dan mengajak pemberontakan terhadap kekuasaan. Raja pun murka, lalu memerintahkan gubernurnya di Baitul Maqdis untuk menangkap dan menyalib orang yang dimaksud, bahkan memerintahkan agar kepalanya dipasangi mahkota duri sebagai bentuk penghinaan.

Setelah menerima perintah, gubernur segera bertindak dan berangkat bersama sekelompok orang Yahudi menuju sebuah rumah tempat Nabi Isa AS berada bersama para pengikutnya. Jumlah sahabat yang menyertainya diperkirakan antara 12 hingga 17 orang, menurut beberapa riwayat.

Kejadian itu berlangsung pada hari Jumat, menjelang malam Sabtu, atau setelah waktu Asar. Saat itu, rumah Nabi Isa dikepung oleh mereka yang ingin menangkapnya. Peristiwa inilah yang menjadi awal dari kisah penyelamatan Nabi Isa oleh Allah SWT dengan cara diangkat ke langit, sebelum mereka berhasil menangkap atau menyakitinya.

Nabi Isa Tidak Pernah Disalib dan Akan Turun Kembali

Kaum Yahudi merasa bangga karena mengklaim telah berhasil menyalib dan membunuh Nabi Isa AS. Namun, klaim ini dibantah secara tegas oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an.

Allah berfirman:

{وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ}
“Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 157)

Artinya, yang mereka tangkap dan bunuh bukanlah Nabi Isa, tetapi seseorang yang wajahnya diserupakan dengannya. Karena itu, mereka hanya menduga bahwa yang mereka salib adalah Nabi Isa.

Lanjut Allah SWT dalam firman-Nya:

{وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلا اتِّبَاعَ الظَّنِّ}
“Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa benar-benar dalam keragu-raguan. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka.” (QS. An-Nisa: 157)

Dengan kata lain, mereka tidak yakin siapa sebenarnya yang telah mereka bunuh. Semuanya hanya berdasarkan prasangka.

Sementara itu, Allah justru menyelamatkan Nabi Isa dan mengangkatnya ke langit:

{بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا}
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa: 158)

Menurut Al-Hasan, Allah mengangkat Nabi Isa AS ke langit dan kelak akan menurunkannya kembali menjelang hari kiamat. Saat itu, semua manusia—baik yang beriman maupun yang durhaka—akan mengakui kerasulannya.

Ibnu Zaid menambahkan bahwa ketika Isa bin Maryam turun kembali ke bumi, ia akan membunuh Dajjal. Setelah itu, tidak akan ada satu pun orang Yahudi yang tidak beriman kepadanya.

Rasulullah SAW bersabda:
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya akan turun di tengah kalian Isa putra Maryam sebagai hakim yang adil. Ia akan menghancurkan salib, membunuh babi, dan menghapus jizyah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa turunnya Nabi Isa adalah bagian dari tanda besar menjelang hari kiamat dan bentuk keadilan Allah dalam menetapkan kebenaran.