Emas dalam Sejarah, Al-Qur’an, dan Investasi Modern

Stylesphere – Tahun 2025 menjadi saksi lonjakan harga emas yang mencolok, bahkan melampaui prediksi para analis. Meski sempat mengalami fluktuasi, tren kenaikan harga emas terus bertahan. Hal ini mendorong emas kembali jadi perbincangan hangat, bukan hanya sebagai aset investasi, tapi juga sebagai simbol nilai yang telah melekat sejak ribuan tahun lalu.

Sejak zaman kuno, emas telah menjadi harta yang diburu. Ia bukan sekadar perhiasan, tapi juga digunakan sebagai alat tukar, perlengkapan adat, dan lambang status sosial. Dalam tradisi Islam, emas dikenal sebagai alat tukar sekaligus bentuk tabungan yang memiliki nilai tetap karena statusnya sebagai logam mulia.

Emas pun disebut dalam Al-Qur’an, seperti dalam Surah Al-Kahfi ayat 31. Ayat ini menggambarkan penghuni surga yang diberi gelang emas sebagai bentuk kemuliaan:

“…Mereka diberi hiasan gelang emas dan memakai pakaian hijau dari sutra halus dan tebal, duduk bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang indah.” (QS Al-Kahfi: 31)

Dalam Surah Az-Zukhruf ayat 53, emas kembali disebut sebagai lambang kekayaan duniawi. Ini menunjukkan bahwa sejak dahulu, emas telah dimaknai sebagai simbol kemewahan dan penghargaan.

Kini, seiring tren kenaikan harga, emas makin populer sebagai instrumen investasi, baik jangka pendek maupun panjang. Namun, bagi umat Islam, penting untuk tidak hanya mengejar keuntungan, tapi juga memastikan bahwa investasi emas dilakukan dengan cara yang halal dan tidak melanggar syariat.

Seperti yang dijelaskan oleh Heni Verawati, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Intan Lampung, dalam wawancara di laman NU Lampung, investasi emas yang sesuai syariat harus memenuhi prinsip keadilan, kejelasan akad, dan menghindari unsur riba.

Investasi Emas dalam Perspektif Syariah

Emas telah lama dianggap sebagai aset yang stabil dan bernilai, dan dalam ekonomi Islam, ia memenuhi kriteria sebagai aset syariah. Namun, praktik investasi emas tetap harus memperhatikan ketentuan hukum Islam agar terhindar dari unsur riba dan ketidakadilan.

1. Larangan Riba dalam Transaksi Emas

Dalam Islam, emas termasuk dalam kategori barang ribawi. Transaksi terhadapnya harus dilakukan secara tunai dan nilainya setara. Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Said Al-Khudri, di mana Rasulullah SAW bersabda:

“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama nilainya, dan jangan melebihkan sebagian atas sebagian lainnya. Jangan menjual yang hadir dengan yang ghaib.” (HR Muslim)

Artinya, jual beli emas secara kredit atau dengan perbedaan timbangan/nilai tidak dibenarkan. Emas harus diperdagangkan secara langsung, tunai, dan adil.

2. Keamanan dan Keberlanjutan sebagai Aset Syariah

Salah satu alasan mengapa emas dianggap sebagai investasi syariah adalah stabilitas dan risikonya yang relatif rendah. Emas juga tahan terhadap inflasi dan gejolak ekonomi. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang menganjurkan keamanan harta dan menolak spekulasi berlebihan (gharar).

3. Kewajiban Zakat atas Emas

Islam mewajibkan zakat atas emas jika telah mencapai nisab dan disimpan selama satu tahun. Nisab emas adalah 85 gram, dan zakat yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5%.

Hal ini ditegaskan dalam Surah At-Taubah ayat 34:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukan kepada mereka siksa yang pedih.” (QS At-Taubah: 34)

Ini menunjukkan bahwa emas bukan hanya aset untuk keuntungan pribadi, tapi juga harus dimanfaatkan untuk kepentingan sosial.

Catatan Tambahan:

  • Perhiasan emas yang dipakai wanita tidak wajib dizakati selama tidak berlebihan.
  • Emas atau perak yang dipakai laki-laki (kecuali cincin perak) atau dijadikan wadah wajib dizakati jika mencapai nisab.
  • Zakat juga berlaku pada emas batangan, logam, bejana, ukiran, atau bentuk emas lainnya yang dimiliki sebagai simpanan.

4. Praktik Investasi Emas Syariah

Investasi emas dalam Islam dapat dilakukan melalui beberapa cara yang sesuai syariah:

  • Emas fisik: berupa koin, perhiasan, atau batangan.
  • Tabungan emas: disimpan dalam lembaga keuangan syariah yang menjamin transaksi fisik dan kepemilikan jelas.
  • Emas digital: diperbolehkan selama akad, kepemilikan, dan pembayarannya dilakukan sesuai prinsip syariah (tanpa riba dan gharar).

Kesimpulan:
Investasi emas dalam Islam bukan sekadar mencari keuntungan, tapi juga menjaga nilai, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Dengan memahami syarat-syarat syariah dalam jual beli dan zakat emas, umat Islam bisa berinvestasi secara aman dan sesuai ajaran agama.

Panduan Praktik Investasi Emas Sesuai Syariah

Investasi emas telah menjadi pilihan banyak orang karena sifatnya yang stabil dan tahan terhadap inflasi. Dalam perspektif Islam, emas juga termasuk aset yang diakui syariah, asalkan praktik investasinya mengikuti prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Berikut beberapa bentuk investasi emas yang sesuai dengan ketentuan syariah:

1. Pembelian Emas Fisik

Investasi emas secara tradisional dilakukan dengan membeli emas fisik, seperti koin atau perhiasan. Dalam Islam, transaksi emas harus dilakukan secara tunai dan langsung untuk menghindari riba. Emas fisik bisa disimpan sebagai aset jangka panjang dan menjadi cadangan kekayaan saat kondisi ekonomi tidak stabil.

2. Tabungan Emas Syariah

Saat ini, banyak lembaga keuangan syariah yang menawarkan produk tabungan emas. Nasabah menabung dalam bentuk uang yang kemudian dikonversikan menjadi gram emas. Prinsip utamanya tetap sama: transaksi harus nyata dan bebas riba. Tabungan emas syariah menjadi solusi bagi masyarakat yang ingin memiliki emas secara bertahap dengan cara yang lebih terjangkau.

3. Emas Digital

Emas digital adalah bentuk investasi emas yang ditransaksikan secara elektronik. Dalam ekonomi Islam, emas digital diperbolehkan asalkan emas yang ditransaksikan benar-benar ada secara fisik, tersimpan dengan aman, dan setiap transaksi dilakukan tunai serta sesuai nilai tukar yang berlaku. Transparansi dan kejelasan kepemilikan menjadi kunci sahnya transaksi ini dalam pandangan syariah.

Emas: Aset Bernilai, Amanah Bermakna

Dalam Islam, emas tidak hanya dilihat sebagai simbol kekayaan, tetapi juga memiliki nilai spiritual dan sosial. Sebagai aset syariah, emas dianggap aman dan stabil, sekaligus menjadi sarana untuk menjaga kekayaan, menghindari riba, dan menunaikan kewajiban zakat.

Islam mengajarkan bahwa setiap harta, termasuk emas, adalah amanah yang harus dimanfaatkan secara bijak. Dengan memahami prinsip-prinsip syariah, umat Islam dapat menjadikan emas sebagai investasi yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga mendatangkan keberkahan.

Makna Haji Mabrur: Lebih dari Sekadar Sah secara Syariat

Stylesphere – Ibadah haji sering disebut sebagai puncak perjalanan spiritual seorang Muslim. Salah satu istilah yang menjadi dambaan jamaah, termasuk pada musim haji 2025 ini, adalah “Haji Mabrur”.

Secara umum, Haji Mabrur dipahami sebagai haji yang diterima oleh Allah. Namun, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar sah secara syariat. Menurut dai muda Ustadz Adi Hidayat (UAH), Haji Mabrur adalah perubahan diri yang nyata setelah menunaikan semua rukun dan kewajiban haji.

Definisi resmi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut Haji Mabrur sebagai ibadah haji yang sah dan sempurna, dengan seluruh syarat dan rukun yang terpenuhi dengan baik.

Dalam tayangan video di kanal YouTube @nafassubuhtv yang dikutip Jumat (26/04/2025), Ustadz Adi Hidayat menjelaskan lebih dalam: Haji disebut mabrur ketika di Arafah, jamaah beristighfar, menyadari keburukan dirinya, dan bertekad kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Proses ini menjadi titik awal transformasi akhlak yang sejati.

Melawan Sifat Buruk dalam Diri

Di Muzdalifah, jamaah haji mengumpulkan batu sebagai persiapan untuk melontar jumrah, sebuah ritual penting dalam rangkaian ibadah haji. Sebelum berangkat, dianjurkan bagi jamaah untuk terlebih dahulu mencatat dan mengenali sifat buruk yang ada dalam diri sendiri melalui introspeksi, tanpa perlu bertanya kepada orang lain.

Melontar jumrah sejatinya bukan sekadar melempar batu ke sebuah tugu, melainkan simbol perlawanan terhadap sifat-sifat buruk dalam diri. Setiap lemparan mencerminkan usaha melawan hawa nafsu yang menghalangi kebaikan.

Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa pada saat yang sama, di tempat lain, umat Islam juga melakukan penyembelihan hewan kurban. Kalimat yang diucapkan saat melontar jumrah maupun menyembelih hewan adalah serupa, yakni “Bismillah Allahu Akbar.”

Batu yang dilempar dalam jumrah merepresentasikan sifat-sifat hewani dalam diri manusia, sedangkan hewan yang disembelih melambangkan upaya menundukkan hawa nafsu. Sifat hewani ini berasal dari kata “basyar,” yang merujuk pada dorongan naluriah dalam manusia yang harus dikendalikan demi mencapai kemuliaan akhlak.

Makna Mendalam di Balik Haji Mabrur

Saat seseorang berhasil melontar seluruh sifat buruknya dalam ibadah haji, ia kembali dalam keadaan bersih, membawa hanya kebaikan. Inilah yang disebut dengan Haji Mabrur—sebuah predikat bagi mereka yang mampu menepiskan keburukan dan menumbuhkan karakter mulia secara berkelanjutan.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa setelah menunaikan haji, seorang Muslim tidak boleh lagi mengotori dirinya dengan perbuatan maksiat. Semua pengorbanan—fisik, harta, tenaga, dan waktu—yang telah dicurahkan harus dijaga dengan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai keimanan.

Allah menjanjikan surga bagi haji yang mabrur. Karena itu, penting untuk terus menjaga buah kebaikan dari haji dengan amal nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Ustadz Adi Hidayat menegaskan bahwa perubahan ini harus tercermin dalam sikap, tutur kata, serta perbuatan. Haji bukan sekadar gelar sosial atau kebanggaan, melainkan komitmen seumur hidup untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah.

Dengan demikian, hakikat Haji Mabrur bukan hanya terletak pada kesempurnaan ritual, melainkan pada kesungguhan untuk terus istiqamah dalam kebaikan.

Gus Baha Soroti Standar Ganda dalam Menilai Praktik Tawasul

Stylesphere – Ulama asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha, kembali menyampaikan pandangannya secara tajam terkait polemik seputar praktik tawasul. Ia menyoroti adanya standar ganda dalam cara sebagian orang memandang tawasul dibandingkan dengan ketergantungan terhadap dokter atau obat.

Dalam sebuah pengajian yang dikutip dari kanal YouTube @takmiralmukmin pada Jumat (25/04/2025), Gus Baha mempertanyakan logika yang menyebut bertawasul kepada Nabi atau wali sebagai tindakan syirik, sementara bergantung pada dokter atau obat tidak pernah dianggap bermasalah.

“Kalau tawasul ke Nabi dianggap syirik, tawasul ke kuburan dianggap syirik, padahal orang yang bertawasul itu hanya merasa tidak layak langsung kepada Allah, sehingga menggunakan wasilah atau perantara,” ujar Gus Baha dalam ceramahnya.

Ia menegaskan bahwa dalam konsep tawasul, tidak ada keyakinan bahwa sosok yang dijadikan perantara tersebut mampu mengabulkan doa atau memberikan kesembuhan. Semua tetap dikembalikan kepada kehendak Allah SWT.

“Bertawasul itu bukan berarti meminta langsung kepada wali, tetapi menjadikan wali sebagai pintu permohonan karena merasa tidak pantas langsung memohon kepada Allah,” tegasnya.

Dalam ceramah yang menjadi viral tersebut, Gus Baha juga mengkritik keras sikap sebagian kalangan yang mudah melabeli pelaku tawasul sebagai musyrik atau kafir, sembari membiarkan ketergantungan penuh masyarakat pada dokter dan obat tanpa persoalan serupa.

Gus Baha Tegaskan Pentingnya Konsistensi Berpikir dalam Memahami Tawasul

Dalam ceramah terbarunya, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menyindir keras ketidakkonsistenan sebagian pihak dalam memahami praktik tawasul.

“Kok bisa ya, orang sholeh dijadikan wasilah dibilang kafir, tapi ketika sembuh lalu bilang, dokter menyembuhkan saya, obat menyembuhkan saya, itu nggak dibilang kafir?” sindir Gus Baha di hadapan jamaah.

Menurutnya, sikap seperti itu menunjukkan ketidakjujuran dalam memahami tauhid. Gus Baha menekankan bahwa segala sesuatu di dunia ini hanyalah sebab (perantara), bukan pelaku utama atas kejadian-kejadian yang terjadi.

“Kalau pelantara dianggap syirik, kenapa obat dan dokter tidak dihukumi sama? Padahal logikanya sama. Mereka itu juga perantara,” lanjutnya.

Ia menegaskan bahwa yang memberikan kesembuhan tetaplah Allah SWT, baik itu melalui orang sholeh, obat, maupun dokter. Karena itu, tidak adil jika hanya bentuk perantara tertentu yang dianggap menyimpang, sementara yang lain diterima tanpa masalah.

“Ini bukan soal teologi tinggi, ini soal kejujuran berpikir,” tegas Gus Baha, yang disambut anggukan setuju dari para jamaah.

Dalam banyak kajiannya, Gus Baha memang dikenal konsisten membela praktik-praktik tradisi ulama Ahlussunnah wal Jamaah, seperti tawasul dan ziarah kubur. Ia juga mengingatkan bahwa banyak doa yang diajarkan ulama terdahulu menyertakan nama Nabi Muhammad SAW sebagai wasilah — bukan untuk disembah, melainkan untuk dimuliakan dan dijadikan perantara dalam memohon kepada Allah.

Gus Baha: Tauhid Butuh Pemahaman yang Jernih dan Adil

Dalam ceramahnya, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menegaskan bahwa tidak ada unsur syirik dalam praktik tawasul.

“Di mana letak syiriknya? Semua doa tetap bermuara ke Allah. Nabi dan wali itu cuma pengantar,” ujarnya.

Gus Baha juga menyayangkan sikap sebagian kelompok yang terlalu mudah menyesatkan amalan-amalan yang telah ratusan tahun dipraktikkan umat Islam, bahkan diajarkan oleh para ulama besar dunia.

Ia mengingatkan, justru lebih berbahaya jika seseorang menyandarkan kesembuhan hanya kepada dokter atau obat tanpa mengingat peran Allah SWT, dibandingkan dengan orang yang bertawasul namun tetap menyandarkan segalanya kepada Allah.

“Kalian bilang, ‘Alhamdulillah cocok sama dokter kemarin.’ Ya itu logika sama kayak tawasul. Tapi kenapa kalian nggak nuduh itu syirik?” sindir Gus Baha.

Di penghujung ceramah, Gus Baha mengajak umat Islam untuk lebih bijak dan adil dalam memahami konsep tauhid dan peran wasilah. Ia berharap tuduhan syirik tidak lagi mudah dilontarkan hanya karena perbedaan cara dalam mendekatkan diri kepada Allah.

“Tauhid itu bukan sekadar slogan, tapi cara berpikir yang jernih dan adil,” pungkasnya.

Masjid Ghamamah: Saksi Mukjizat Turunnya Hujan di Tengah Gurun Madinah

Stylesphere – Di tengah tanah Arab yang mayoritas berupa gurun gersang, hujan adalah anugerah langka dan berharga. Hingga kini, pada tahun 2025, peristiwa turunnya hujan tetap menjadi momen yang disambut dengan suka cita. Di kota suci Madinah, berdiri sebuah masjid yang menyimpan sejarah luar biasa terkait salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW—Masjid Ghamamah.

Masjid ini memang tidak sepopuler Masjid Nabawi, namun nilai spiritual dan historisnya sangat tinggi. Letaknya pun tak jauh dari Masjid Nabawi, menjadikannya salah satu lokasi ziarah yang penting bagi jamaah umrah dan haji yang ingin menyusuri jejak kehidupan Rasulullah SAW.

Nama “Ghamamah” berasal dari bahasa Arab yang berarti awan atau mendung. Nama itu berkaitan langsung dengan peristiwa luar biasa yang pernah terjadi di lokasi tersebut. Suatu waktu, kota Madinah dilanda kekeringan hebat. Tanah mengering dan retak, tanaman mati, dan kehidupan warga pun mulai terganggu.

Melihat kondisi itu, masyarakat Madinah memohon kepada Nabi Muhammad SAW untuk berdoa kepada Allah agar hujan diturunkan. Rasulullah pun mengajak mereka menuju sebuah lapangan terbuka—yang kelak menjadi tempat berdirinya Masjid Ghamamah. Di sana, beliau memimpin shalat istisqa, shalat sunnah khusus yang dilakukan untuk memohon turunnya hujan.

Usai shalat, Rasulullah mengangkat tangan, memanjatkan doa-doa penuh harap. Suasana saat itu sangat khusyuk, para penduduk ikut menengadahkan tangan mereka, meneteskan air mata, dan berseru dalam harapan yang sama. Tak lama setelah itu, awan mendung mulai menggantung di langit Madinah, dan hujan pun turun dengan deras, menyiram tanah yang kering dan menghidupkan kembali harapan seluruh warga.

Masjid Ghamamah kini menjadi pengingat atas mukjizat tersebut—bahwa di tengah kegersangan sekalipun, rahmat Allah bisa turun melalui doa yang tulus dan penuh keyakinan.

Masjid Ghamamah: Saksi Bisu Mukjizat Hujan

Tak lama setelah lantunan doa Rasulullah SAW dan umat Madinah menggema di lapangan terbuka, tanda-tanda keajaiban mulai tampak di langit. Awan-awan perlahan berkumpul di atas kota yang semula cerah. Dari kejauhan terdengar gemuruh lembut, disertai hembusan angin sejuk yang menyapu Madinah, membawa harapan di tengah kekeringan panjang.

Langit yang tadinya cerah berubah menjadi kelabu. Awan mendung menebal, lalu hujan deras pun turun dengan derasnya, menyiram tanah Madinah yang kering. Air hujan itu menjadi berkah yang dinanti-nantikan, menjawab doa penuh harap yang dipanjatkan oleh Rasulullah SAW dan para penduduk kota.

Peristiwa tersebut meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Islam. Dari situlah nama Ghamamah, yang berarti awan, melekat pada tempat tersebut. Nama itu diabadikan sebagai pengingat mukjizat turunnya hujan sebagai jawaban atas doa sang Nabi.

Namun, keistimewaan Masjid Ghamamah tidak berhenti di situ. Masjid ini juga menjadi tempat Rasulullah SAW pertama kali memimpin shalat Idul Fitri di kota Madinah setelah hijrah dari Makkah. Dua momen besar ini—shalat istisqa dan shalat Id—menjadikan Masjid Ghamamah sebagai tempat penuh makna dalam perjalanan dakwah Rasulullah.

Kini, Masjid Ghamamah berdiri megah meski telah melalui berbagai tahap renovasi. Bangunannya tetap memancarkan nuansa sakral dan spiritual yang kuat. Siapa pun yang datang ke sana akan merasakan kedamaian, seakan diajak untuk kembali merenungi sejarah dan memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.

Mengenal Egg Freezing Yang Dilakukan Luna Maya, Apakah Halal Dalam Islam?

Stylesphere – Kehidupan pribadi para selebritas kerap menjadi perhatian publik. Tak hanya urusan karier atau asmara, keputusan pribadi yang menyangkut masa depan pun tak luput dari sorotan.

Salah satu contohnya datang dari aktris ternama Luna Maya, yang saat ini diketahui bertunangan dengan aktor Maxime Bouttier. Dalam sebuah video di kanal YouTube pribadinya, Luna Maya mengungkapkan bahwa ia telah menjalani prosedur egg freezing atau pembekuan sel telur, bahkan jauh sebelum memiliki rencana konkret untuk menikah.

Langkah yang diambil Luna ini sontak menjadi perbincangan hangat. Di satu sisi, banyak yang memuji keputusan tersebut sebagai bentuk kesadaran dan perencanaan masa depan yang matang, terutama terkait faktor biologis perempuan. Namun, di sisi lain, muncul pula pro dan kontra, khususnya jika dilihat dari sudut pandang etika, budaya, dan agama.

Prosedur egg freezing kini memang semakin umum di kalangan perempuan modern, terutama mereka yang ingin fokus membangun karier atau belum menemukan pasangan yang tepat di usia subur. Di beberapa negara, praktik ini telah menjadi hal yang lumrah, bahkan mendapat dukungan dari perusahaan-perusahaan besar.

Namun, di Indonesia — yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam — langkah ini masih memunculkan banyak pertanyaan, terutama mengenai hukum dan penerimaannya dalam syariat Islam. Apakah tindakan membekukan sel telur sebelum menikah diperbolehkan dalam ajaran Islam? Jika ya, apa saja batasan dan ketentuannya?

Pertanyaan ini pernah disampaikan dalam salah satu kajian yang dipimpin oleh Buya Yahya, seorang ulama terkemuka di Indonesia. Dalam penjelasannya, Buya Yahya menyampaikan bahwa kemajuan di bidang medis tentu patut diapresiasi, selama tetap berada dalam koridor yang dibenarkan oleh agama.

“Yang jelas, perkembangan medis harus kita hargai, tapi tentu harus ada rambu-rambunya. Kita bangga dengan perkembangan medis karena tujuannya adalah untuk kesehatan, untuk menolong banyak orang,” ujar beliau.

Penjelasan tersebut mengisyaratkan bahwa Islam tidak menutup mata terhadap kemajuan teknologi dan medis, termasuk prosedur seperti egg freezing. Namun, tetap diperlukan pedoman dan batasan yang jelas agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.

Dengan semakin terbukanya diskusi tentang topik-topik seperti ini, masyarakat diharapkan bisa lebih bijak dalam menilai serta memahami setiap langkah yang diambil individu, termasuk selebritas, dalam merancang masa depan mereka—baik dari sisi kesehatan, sosial, maupun spiritual.

Pandangan Buya Yahya Terhadap Egg Freezing

Dalam menanggapi maraknya pembahasan mengenai prosedur egg freezing atau pembekuan sel telur, terutama setelah aktris Luna Maya mengungkapkan bahwa dirinya telah menjalani prosedur ini sebelum menikah, Buya Yahya memberikan pandangan dari sudut syariat Islam. Pengasuh LPD dan Pondok Pesantren Al-Bahjah ini menyampaikan beberapa poin penting terkait hukum dan etika prosedur medis tersebut.

Buya Yahya memulai penjelasannya dengan menegaskan bahwa status hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembuahan merupakan hal yang sangat krusial. Ia menekankan bahwa pembuahan di luar ikatan pernikahan yang sah, ataupun melibatkan pasangan yang sudah meninggal, secara jelas tidak diperbolehkan dalam Islam.

“Jadi kalau meninggal salah satunya, meninggal dua-duanya, enggak boleh. Atau bukan suami istri, jelas pasti nggak boleh,” tegas beliau.

Selanjutnya, Buya Yahya mengajak jamaah untuk memikirkan proses pembuahan ini secara lebih mendalam, baik dari segi teknis medis maupun syariat Islam. Ia menjelaskan bahwa secara dzhohir (lahiriah), jika sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami istri yang sah dan embrio tersebut ditanamkan ke dalam rahim sang istri, maka dari segi fikih, hal itu dapat dibolehkan.

“Kalau secara dzhohir hukumnya kan begini, asalkan spermanya laki dan perempuan dimasukkan ke rahim perempuan istrinya, itu kan dzhohir fikihnya sederhana banget—ya sah-sah saja,” jelasnya.

Namun, beliau mengingatkan bahwa praktik ini tidak sesederhana penjelasan hukum fikih di permukaan. Proses medis tersebut melibatkan tindakan yang cukup kompleks, termasuk pembukaan aurat dalam skala besar dan prosedur pengambilan sel telur serta sperma yang tidak bisa dianggap sepele. Di sinilah letak pentingnya kehati-hatian, baik dari sisi pasien maupun tenaga medis yang menjalankan prosedur.

Buya Yahya juga menekankan perlunya mempertimbangkan aspek integritas dan kejujuran para tenaga medis. Meskipun para dokter telah mengucap sumpah profesi, tetap ada ruang untuk potensi penyimpangan sehingga kehati-hatian menjadi hal yang tidak bisa diabaikan.

“Kalau kita lihat dari permasalahannya yang banyak ini, maka kami lebih senang memberikan anjuran. Sebab, sering ada yang mengatakan fatwa boleh, selagi itu suami sama istri,” pungkasnya.

Dengan demikian, meskipun dalam kerangka fikih Islam terdapat ruang yang membolehkan prosedur seperti egg freezing, Buya Yahya mengajak umat untuk tetap berhati-hati dan mempertimbangkan segala aspeknya dengan bijak. Tidak semua hal yang “boleh” secara hukum agama lantas menjadi pilihan terbaik, terutama jika melibatkan banyak risiko dan potensi mudarat.

Pesan Buya Yahya

Beliau kemudian menyampaikan nasihat yang sangat menyentuh dan relevan bagi mereka yang tengah diuji dengan kesulitan memiliki keturunan. Buya Yahya mengajak umat untuk kembali pada cara pandang syariat bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Allah, dan surga bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki anak.

“Nasihat saja, jadi kalau kalau bisa seperti halnya tadi keharamannya kita ambil dari yang pertama ketidakbolehannya, maka kita akan ambil yang paling aman dari awal jika memang ada seseorang secara dzohir tidak bisa membuahi atau tidak bisa dibuahi, seorang laki-laki tidak bisa membuahi atau seorang wanita tidak bisa dibuahi dalam bahasa lain mandul maka ketahuilah bahwa untuk masuk surga tidak harus dengan anak,” pesanya.

“Dan bagi yang punya anak, semua yang menyaksikan acara ini semoga anaknya menjadi anak penyebab masuk surga, selesai,” harapnya.

Lebih lanjut, beliau menekankan bahwa keikhlasan dan penerimaan terhadap takdir adalah kunci ketenangan hati. Ia memberikan anjuran amal baik lainnya bagi mereka yang belum memiliki keturunan.

“Ini nasihat dari awal artinya kalau ternyata Anda tergolong orang yang susah untuk punya anak, sudahlah, serahkan kepada Allah ambil anaknya orang, biaya itu santri, pesantren, selesai. Anda dapat pahala terus,” tuturnya.

Namun, beliau juga memahami bahwa tidak semua orang bisa langsung menerima kondisi tersebut. Ada kalanya rasa rindu dan harapan untuk memiliki keturunan. Dalam hal ini, jika seseorang mempertimbangkan untuk mencoba program ini, Buya Yahya mengingatkan pentingnya menjaga niat dan tetap memperbanyak istighfar.

“Kenapa? karena pasti mau tidak mau ada aurat besar istri Anda yang akan dibongkar, maka harus banyak istighfar artinya ada nilai kesalahan sebab punya anak tidak darurat. Ini bukan orang mati dioperasi, bukan. Orang enggak punya anak, enggak ada, banyak, ngga ada masalah orang, hanya masalah rasa saja, kepuasan hidup saja di dunia,” pungkasnya.

Bolehkah Berhubungan Suami Istri di Malam Takbiran Idul Adha?

Stylesphere – Malam takbiran menjelang Idul Adha merupakan momen yang sangat istimewa dan sarat dengan nilai spiritual bagi umat Islam. Suasana penuh kekhidmatan terasa ketika gema takbir berkumandang dari masjid ke masjid, mengagungkan nama Allah SWT dan menyambut datangnya hari raya yang penuh makna.

Dalam nuansa religius tersebut, muncul berbagai pertanyaan dari umat, salah satunya terkait aktivitas dalam rumah tangga: “Apakah boleh berhubungan suami istri di malam takbiran Idul Adha?” Pertanyaan ini cukup sering ditanyakan, karena malam takbiran dipandang sebagai waktu mulia yang hendaknya dijalani dengan penuh rasa hormat dan ibadah.

Dari sudut pandang fikih, tidak ada larangan syariat yang secara eksplisit melarang hubungan suami istri di malam takbiran, baik menjelang Idul Adha maupun Idul Fitri. Artinya, selama dilakukan dengan adab dan niat yang baik, hubungan suami istri tetap diperbolehkan dalam Islam, termasuk pada malam-malam yang mulia seperti ini.

Namun demikian, sebagian ulama menganjurkan agar malam takbiran diisi dengan ibadah dan memperbanyak dzikir, termasuk takbir, tahmid, dan doa, sebagai bentuk penyambutan terhadap hari raya yang agung. Oleh karena itu, pasangan suami istri disarankan untuk tetap menjaga keseimbangan antara memenuhi hak pasangan dan memanfaatkan waktu yang mulia dengan amalan-amalan spiritual.

Kesimpulannya, berhubungan suami istri di malam takbiran bukanlah hal yang dilarang dalam Islam, tetapi sebaiknya dilakukan dengan bijak dan tidak mengabaikan nilai-nilai keutamaan malam tersebut.

Hukum Berhubungan Suami Istri di Malam Takbiran Idul Adha

Malam takbiran menjelang Idul Adha merupakan malam yang penuh keutamaan dan kemuliaan. Dalam berbagai riwayat, malam hari raya termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa, serta dianjurkan untuk memperbanyak takbir, tahmid, dan tahlil sebagai bentuk pengagungan kepada Allah SWT.

Karena nilai spiritual malam ini begitu tinggi, umat Islam sangat dianjurkan untuk mengisinya dengan berbagai bentuk ibadah. Namun, pertanyaan yang kerap muncul di kalangan pasangan Muslim adalah: “Apakah boleh berhubungan suami istri di malam takbiran?”

Secara hukum, tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkan hubungan suami istri pada malam takbiran. Islam sebagai agama yang penuh keseimbangan dan realistis, tidak memberatkan umatnya dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam urusan rumah tangga.

Oleh karena itu, penting untuk memahami perbedaan antara hal yang dianjurkan (sunnah) dan yang dilarang (haram). Mengisi malam takbiran dengan ibadah adalah amalan yang sangat dianjurkan, namun bukan berarti aktivitas duniawi seperti hubungan suami istri menjadi sesuatu yang terlarang, selama tidak melalaikan kewajiban lain seperti salat atau mengabaikan nilai-nilai spiritual malam tersebut.

Kesimpulannya, berhubungan suami istri di malam takbiran tetap diperbolehkan, asalkan dilakukan dengan bijaksana dan tetap menjaga kekhusyukan malam raya yang penuh berkah itu.

Pendapat Ulama

Tidak terdapat dalil yang secara eksplisit melarang hubungan suami istri pada malam Hari Raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Aktivitas tersebut termasuk perkara yang mubah atau dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan cara yang sesuai dengan syariat.

Mengutip penjelasan dari NU Online Jawa Barat, hubungan suami istri pada malam hari raya diperbolehkan karena tidak ada larangan syar’i yang mengatur sebaliknya. Bahkan, jika dilakukan dengan niat untuk menjaga keharmonisan rumah tangga dan mempererat hubungan pasangan, hal itu dapat bernilai ibadah.

Meski demikian, para ulama mengingatkan agar malam hari raya tidak dihabiskan hanya untuk kesenangan duniawi. Umat Islam tetap dianjurkan untuk memperbanyak amalan seperti melantunkan takbir, berdoa, dan merenungkan makna hari raya—khususnya pada Idul Adha, yang sarat nilai pengorbanan dan kepatuhan, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS.

Dengan keseimbangan antara hak pribadi dan ibadah, malam hari raya bisa menjadi momentum spiritual sekaligus perekat hubungan dalam rumah tangga.

Etika Islam dalam Menyambut Malam Hari Raya

Meski secara hukum berhubungan suami istri diperbolehkan pada malam Hari Raya, Islam tetap mengajarkan pentingnya menjaga adab, memperhatikan waktu, suasana, dan memprioritaskan ibadah. Jika malam tersebut diwarnai dengan gema takbir bersama keluarga atau masyarakat sekitar, maka sebaiknya umat Islam turut serta terlebih dahulu dalam menyemarakkan syiar tersebut.

Melaksanakan salat Isya berjamaah, memperbanyak zikir, dan menyimak lantunan takbir akan memperkuat rasa syukur serta kekhusyukan dalam menyambut datangnya Idul Adha. Setelah aktivitas ibadah tersebut, hubungan suami istri tetap diperbolehkan, selama tidak mengganggu suasana sakral dan tetap menjaga kesucian malam yang penuh berkah itu.

Dengan menjaga adab dan keharmonisan antara ibadah serta kehidupan rumah tangga, setiap aktivitas akan memiliki nilai yang lebih mendalam. Hubungan suami istri tidak hanya mempererat ikatan jasmani, tetapi juga dapat menjadi sarana memperoleh keridaan Ilahi.

Inilah cerminan rumah tangga Islami yang ideal—seimbang dalam menjalani kehidupan duniawi dan ukhrawi, serta harmonis dalam cinta dan ketaatan kepada Allah SWT.

Pandangan tentang Tanggung Jawab Dosa dalam Keluarga

Stylesphere – Pandangan bahwa dosa istri dan anak akan otomatis ditanggung oleh suami atau ayah masih sering ditemukan di tengah masyarakat. Banyak yang merasa aman dengan keyakinan ini, seolah-olah ada “penanggung” bagi setiap kesalahan mereka. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar dan tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam.

Dalam Islam, setiap individu bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri. Tidak ada yang bisa memindahkan dosa secara otomatis kepada orang lain tanpa sebab yang jelas. Pemahaman keliru ini coba diluruskan oleh KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya dalam sebuah kajian yang tayang di kanal YouTube @albahjah-tv pada Selasa, 22 April 2025.

Dalam sesi tanya-jawab bersama jamaah, Buya Yahya menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal konsep tanggung dosa sepenuhnya oleh pihak lain dalam keluarga. Dosa istri bukan tanggung jawab penuh suami, dan dosa anak bukan sepenuhnya beban sang ayah. Namun, jika suami atau ayah memiliki peran dalam terjadinya dosa itu—karena kelalaian, pembiaran, atau bahkan mendorong perbuatan maksiat—maka ia akan ikut menanggung dosa tersebut.

Sebagai contoh, Buya Yahya mengungkapkan situasi ketika seorang ayah memberikan alat elektronik kepada anaknya tanpa memberikan arahan atau pengawasan. Jika alat tersebut kemudian digunakan untuk perbuatan maksiat, maka sang ayah ikut bertanggung jawab, meskipun ia sedang berada di tanah suci untuk umroh atau tengah melaksanakan tahajud.

Intinya, tanggung jawab dalam keluarga tidak bersifat otomatis dan mutlak. Ada batas yang jelas antara tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab moral yang muncul karena keterlibatan atau kelalaian dalam mendidik dan membimbing anggota keluarga. Islam mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, termasuk dalam urusan spiritual dan moral di rumah tangga.

Tanggung Jawab Dosa dalam Keluarga: Penjelasan Tegas Buya Yahya

Pemahaman bahwa dosa anggota keluarga, seperti istri atau anak, otomatis ditanggung oleh kepala keluarga masih sering beredar di masyarakat. Buya Yahya, dai kharismatik yang dikenal luas, menanggapi pandangan ini dengan tegas dalam sebuah kajian yang ditayangkan di kanal YouTube @albahjah-tv pada 22 April 2025.

Menurut Buya Yahya, dosa muncul karena adanya kelalaian, terutama dalam hal pendidikan dan pengawasan. Orang tua yang membiarkan anak tumbuh tanpa bimbingan, atau tidak memberikan pendidikan yang layak, tetap memikul tanggung jawab atas akibat dari kelalaian tersebut. Namun, jika orang tua sudah berusaha maksimal dalam mendidik, menasihati, dan mengarahkan anak ke jalan yang benar, lalu anak tersebut tetap memilih melakukan kesalahan, maka orang tua tidak menanggung dosanya.

Hal serupa juga berlaku dalam hubungan suami istri. Buya Yahya menolak anggapan bahwa semua dosa istri otomatis menjadi beban suami. Ia menyebut pandangan itu sebagai pemahaman keliru yang kadang dijadikan tameng oleh sebagian orang untuk berbuat maksiat tanpa merasa bersalah.

Menurutnya, setiap dosa adalah tanggung jawab pribadi. Istri tidak bisa berlindung di balik status suami sebagai pemimpin rumah tangga untuk membenarkan perilaku salah. Suami hanya akan ikut berdosa jika ia mengetahui kesalahan istrinya namun memilih diam dan tidak mengambil tindakan. Sebaliknya, jika suami sudah menasihati dan memperingatkan secara sungguh-sungguh, namun istrinya tetap melakukan perbuatan dosa, maka tanggung jawab itu gugur. Suami sudah menjalankan perannya sebagai pemimpin rumah tangga.

Buya Yahya mengilustrasikan hal ini dengan hubungan antara guru dan santri. Seorang guru yang membimbing banyak santri tidak otomatis menanggung dosa-dosa mereka. Namun, jika ia membiarkan pelanggaran terjadi tanpa menegur atau memberikan sanksi, maka ia turut bersalah. Karena itu, di pondok pesantren, diterapkan aturan dan hukuman agar setiap santri belajar bertanggung jawab atas perbuatannya tanpa membebani gurunya.

Penjelasan ini menegaskan bahwa dalam Islam, tanggung jawab moral dan spiritual bersifat personal, kecuali jika ada kelalaian atau pembiaran yang jelas dari pihak yang seharusnya membimbing.

Hal Yang Perlu Diketahui Umat Muslim Menjelang Puasa Idul Adha

Stylesphere – Menjelang Idul Adha, umat Islam dianjurkan untuk menunaikan dua puasa sunnah yang sangat utama, yaitu puasa Tarwiyah dan Arafah. Puasa ini dilakukan pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah, menjelang hari raya kurban. Meskipun tidak wajib, kedua puasa ini mengandung keutamaan besar, termasuk pengampunan dosa selama dua tahun untuk puasa Arafah.

Namun, keutamaan tersebut hanya bisa diraih jika disertai dengan niat yang benar sesuai ketentuan syariat. Membaca niat adalah bagian penting dalam menjalankan ibadah puasa. Niat bisa dibaca di malam hari atau sebelum fajar, dan harus dilakukan dengan kesadaran serta keikhlasan.

Sebenarnya, puasa di bulan Dzulhijjah bisa dimulai sejak tanggal 1, namun yang paling dianjurkan adalah tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah, yaitu saat puasa Tarwiyah dan Arafah.

Arti Puasa Tarwiyah

Puasa Tarwiyah dilakukan pada 8 Dzulhijjah dan menjadi awal dari dua hari penting menjelang Idul Adha. Istilah “Tarwiyah” berasal dari kata “rawa” yang berarti berpikir atau merenung. Hari ini mengingatkan umat Islam pada saat Nabi Ibrahim AS merenungkan mimpi yang berisi perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismail AS.

Melalui puasa Tarwiyah, umat Islam diajak untuk meneladani keteguhan dan ketaatan Nabi Ibrahim. Ini adalah waktu untuk memperdalam makna pengorbanan, keikhlasan, dan kepatuhan dalam menjalankan perintah Allah SWT. Meski hanya satu hari, puasa ini memiliki nilai spiritual yang tinggi dan dapat memperkuat iman.

Berikut lafal niat untuk melaksanakan puasa Tarwiyah:

نَوَيْتُ صَوْمَ تَرْوِيَةَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma tarwiyata sunnatan lillâhi ta‘âlâ.
Artinya: “Saya niat puasa sunnah Tarwiyah karena Allah ta’ala.”

Penjelasan Puasa Arafah

Tanggal 9 Dzulhijjah dikenal sebagai Hari Arafah, yaitu hari puncak ibadah haji saat jamaah wukuf di Padang Arafah. Bagi umat Islam yang tidak sedang menunaikan haji, sangat dianjurkan untuk menjalankan puasa Arafah.

Keutamaan puasa ini sangat besar: diampuni dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Namun, bagi jamaah haji yang sedang wukuf, puasa ini tidak disunnahkan, bahkan dimakruhkan. Sementara bagi yang tidak berhaji, ini menjadi peluang besar untuk meraih ampunan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Berikut niat puasa Arafah:

نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى

“Nawaitu shauma arafata sunnatan lillâhi ta‘âlâ.”

Artinya: “Saya niat puasa sunnah Arafah karena Allah ta’ala.”

Cara Membaca Doa Niat Puasa Tarwiyah

Niat puasa sunnah, seperti puasa Tarwiyah dan Arafah, idealnya dibaca sejak malam hari setelah Maghrib hingga sebelum fajar. Namun, karena statusnya sunnah, niat tetap sah bila dilakukan di pagi hari—selama belum makan, minum, atau melakukan hal yang membatalkan puasa.

Hal ini sejalan dengan praktik Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis, beliau pernah berniat puasa sunnah di pagi hari setelah memastikan belum makan dan minum. Ini menunjukkan bahwa puasa sunnah lebih fleksibel dibandingkan puasa wajib.

Berikut panduan waktu niat:

  • Malam hari (sebelum tidur): Waktu paling utama dan dianjurkan.
  • Pagi hari (sebelum Dzuhur): Masih diperbolehkan jika belum melakukan hal yang membatalkan puasa.

Niat bisa dibaca dalam hati atau dilafalkan lirih. Yang penting, ada kesadaran dan kehendak untuk berpuasa karena Allah SWT.

Persiapan Menjelang Idul Adha

Menjelang Idul Adha, puasa Tarwiyah dan Arafah menjadi momentum penting untuk menyiapkan jiwa. Ini bukan sekadar ibadah sunnah, tapi latihan batin untuk merendahkan ego, membersihkan diri dari dosa, dan menyambut hari raya dengan kesadaran penuh.

Puasa ini mengajarkan bahwa pengorbanan bukan hanya soal hewan kurban, tapi juga tentang menundukkan keinginan pribadi demi nilai yang lebih besar. Ia menyiapkan hati agar lebih bersyukur, lebih lapang, dan lebih sadar akan makna hidup yang sesungguhnya.

Menjalankannya dua hari penuh—8 dan 9 Dzulhijjah—menjadi bentuk keseriusan spiritual. Tapi yang membuatnya bernilai bukan durasinya, melainkan niat. Tanpa niat yang jernih, puasa hanya menjadi rutinitas. Dengan niat yang lurus, ia menjadi jalan mendekat kepada Allah.

Bagaimana Hukum Walimatus Safar? Apakah Termasuk Bid’ah?

Stylesphere – Calon jemaah haji Indonesia tahun 2025 tengah bersiap menunaikan rukun Islam kelima. Berdasarkan jadwal Kementerian Agama (Kemenag), keberangkatan gelombang pertama dijadwalkan mulai 2 Mei 2025.

Haji merupakan ibadah wajib bagi umat Islam yang mampu secara finansial, fisik, dan kesehatan. Perintah ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, surah Ali Imran ayat 97:

“Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran: 97)

Di Indonesia, tradisi yang biasa dilakukan menjelang keberangkatan haji adalah menggelar walimatus safar atau acara pamitan. Tujuannya adalah memohon doa dari keluarga dan masyarakat agar calon jemaah diberi kelancaran dan keselamatan selama menjalankan ibadah, serta pulang dengan membawa predikat haji mabrur.

Lalu, bagaimana hukum walimatus safar? Apakah termasuk bid’ah?

Pertanyaan ini pernah dibahas dalam kajian oleh KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya). Ia menegaskan bahwa walimatus safar bukanlah bid’ah. Tradisi ini diperbolehkan karena termasuk bentuk silaturahmi dan permohonan doa, selama tidak mengandung unsur kemaksiatan atau berlebihan. Buya Yahya menyebut, yang tidak dibenarkan adalah ketika acara tersebut diisi dengan hal-hal yang bertentangan dengan syariat.

Jadi, walimatus safar sah-sah saja dilakukan sebagai bagian dari budaya yang mendukung nilai-nilai Islam, selama tetap dalam batas syariat.

Buya Yahya Menjelaskan

Buya Yahya menjelaskan bahwa walimatus safar adalah bentuk tasyakuran bagi calon jemaah haji, mirip dengan walimatul khitan untuk anak yang dikhitan atau walimatul ursy dalam pernikahan. Acara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesempatan menunaikan ibadah haji.

Walimah safar itu artinya seseorang bersyukur karena urusannya lancar untuk berangkat haji, lalu dia mengadakan syukuran. Hukumnya boleh, tidak masalah, dan bukan termasuk bid’ah. Apalagi isinya berbagi rezeki, memberi makan orang,” ujar Buya Yahya, dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV, Ahad (20/4/2025).

Namun, ia mengingatkan bahwa acara ini tidak wajib. Jika calon jemaah tidak mampu, tak perlu memaksakan diri karena bisa membebani secara finansial.

“Yang tidak boleh adalah memaksakan diri. Kadang biaya untuk walimah safar justru lebih besar daripada biaya hajinya sendiri. Itu bisa menyiksa,” tambahnya.

Buya Yahya menekankan agar tradisi walimah safar tidak menjadi beban atau kewajiban sosial yang memaksa. Tradisi ini hanya baik jika dilakukan dalam batas kemampuan dan tanpa memberatkan pihak yang bersangkutan.

Pesan Buya Yahya

Buya Yahya mengimbau agar acara walimatus safar bukan menjadi sarana untuk menyombongkan diri bahwa ia akan berangkat haji. Ia mewanti-wanti jangan sampai ibadah hajinya tercoreng karena sikap tercelanya.

“Kalau masalah sedekah untuk tolak bala agar selamat di perjalanan, oke, atau mensyukuri nikmat Allah karena sudah dipanggil Allah sebagai tamu Allah, tapi kalau sudah masuk  wilayah maksain, masuk wilayah sombong, ini bermasalah. Dua saja ini yang perlu diantisipasi,” tuturnya.

Buya Yahya menyimpulkan, acara walimatus safar boleh saja digelar dan bukan perkara bid’ah. Hanya saja niatnya harus benar, bukan ingin sombong mau haji. Jika tidak dilaksanakan pun tidak apa-apa, terlebih lagi jika tak punya biaya lebih untuk haji.

Kisah Nabi Isa Al Masih Disalib Menurut Al-Qur’an

Stylesphere – Dalam ajaran Islam, perjalanan hidup Nabi Isa Al Masih mengandung banyak pelajaran tentang mukjizat, ujian, dan akhir kehidupan yang tak seperti manusia pada umumnya. Ia adalah nabi mulia yang bukan hanya dikenal oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat Nasrani. Namun, pandangan Islam mengenai kisah hidup beliau memiliki perbedaan yang mendasar dari keyakinan agama lain.

Salah satu momen paling penting dalam hidup Nabi Isa Al Masih menurut Al-Qur’an adalah ketika Allah SWT mengangkat beliau ke langit dalam keadaan hidup. Ini menjadi bukti pertolongan Allah yang luar biasa di tengah ancaman dan penolakan dari kaumnya.

Pandangan ini bertolak belakang dengan keyakinan sebagian umat Nasrani yang menyebut bahwa Nabi Isa disalib dan wafat di kayu gantung. Islam menolak narasi tersebut, dan menegaskan bahwa beliau tidak dibunuh dan tidak disalib, melainkan diselamatkan secara langsung oleh Allah.

Peristiwa ini tidak hanya membantah klaim musuh-musuh kenabian pada masa itu, tetapi juga menjadi pengingat bagi umat Islam bahwa pertolongan Allah selalu hadir, bahkan dalam bentuk yang di luar nalar manusia.

Kisah Isa Al Masih Diangkat Menurut Al-Qur’an

Mengutip dari laman menara.baznas.go.id, kisah diangkatnya Nabi Isa AS ke langit diabadikan dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam Surah Ali Imran ayat 55. Allah SWT berfirman:

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ
Artinya: “(Ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa, sesungguhnya Aku akan mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku.'”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa gangguan dari kaum Yahudi terhadap Nabi Isa AS terus berlanjut hingga mereka mengadukan beliau kepada Raja Dimasyq. Raja ini dikenal sebagai penyembah bintang, bagian dari golongan penganut ajaran Yunani kuno.

Kaum Yahudi memberikan laporan palsu, menuduh bahwa di Baitul Maqdis ada seseorang yang menghasut masyarakat, menyesatkan mereka, dan mengajak pemberontakan terhadap kekuasaan. Raja pun murka, lalu memerintahkan gubernurnya di Baitul Maqdis untuk menangkap dan menyalib orang yang dimaksud, bahkan memerintahkan agar kepalanya dipasangi mahkota duri sebagai bentuk penghinaan.

Setelah menerima perintah, gubernur segera bertindak dan berangkat bersama sekelompok orang Yahudi menuju sebuah rumah tempat Nabi Isa AS berada bersama para pengikutnya. Jumlah sahabat yang menyertainya diperkirakan antara 12 hingga 17 orang, menurut beberapa riwayat.

Kejadian itu berlangsung pada hari Jumat, menjelang malam Sabtu, atau setelah waktu Asar. Saat itu, rumah Nabi Isa dikepung oleh mereka yang ingin menangkapnya. Peristiwa inilah yang menjadi awal dari kisah penyelamatan Nabi Isa oleh Allah SWT dengan cara diangkat ke langit, sebelum mereka berhasil menangkap atau menyakitinya.

Nabi Isa Tidak Pernah Disalib dan Akan Turun Kembali

Kaum Yahudi merasa bangga karena mengklaim telah berhasil menyalib dan membunuh Nabi Isa AS. Namun, klaim ini dibantah secara tegas oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an.

Allah berfirman:

{وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ}
“Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 157)

Artinya, yang mereka tangkap dan bunuh bukanlah Nabi Isa, tetapi seseorang yang wajahnya diserupakan dengannya. Karena itu, mereka hanya menduga bahwa yang mereka salib adalah Nabi Isa.

Lanjut Allah SWT dalam firman-Nya:

{وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلا اتِّبَاعَ الظَّنِّ}
“Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa benar-benar dalam keragu-raguan. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka.” (QS. An-Nisa: 157)

Dengan kata lain, mereka tidak yakin siapa sebenarnya yang telah mereka bunuh. Semuanya hanya berdasarkan prasangka.

Sementara itu, Allah justru menyelamatkan Nabi Isa dan mengangkatnya ke langit:

{بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا}
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa: 158)

Menurut Al-Hasan, Allah mengangkat Nabi Isa AS ke langit dan kelak akan menurunkannya kembali menjelang hari kiamat. Saat itu, semua manusia—baik yang beriman maupun yang durhaka—akan mengakui kerasulannya.

Ibnu Zaid menambahkan bahwa ketika Isa bin Maryam turun kembali ke bumi, ia akan membunuh Dajjal. Setelah itu, tidak akan ada satu pun orang Yahudi yang tidak beriman kepadanya.

Rasulullah SAW bersabda:
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya akan turun di tengah kalian Isa putra Maryam sebagai hakim yang adil. Ia akan menghancurkan salib, membunuh babi, dan menghapus jizyah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa turunnya Nabi Isa adalah bagian dari tanda besar menjelang hari kiamat dan bentuk keadilan Allah dalam menetapkan kebenaran.