Paus dan Khalifah: Dua Wajah Kepemimpinan Agama dalam Sejarah Umat Manusia

Stylesphere – Dunia baru saja menyaksikan momen bersejarah dalam Gereja Katolik dengan terpilihnya Paus Leo XIV, seorang kardinal asal Amerika Serikat, sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik pada Kamis malam (9/5/2025), waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus baru ini menandai simbol kuat kepemimpinan agama yang serupa dengan peran kekhalifahan dalam Islam pada masanya.

Meskipun Paus dan Khalifah memiliki bentuk serta sejarah yang berbeda, keduanya memiliki kedudukan sebagai simbol tertinggi kepemimpinan umat, dengan peran yang melampaui sekadar urusan keagamaan. Kepemimpinan ini bukan hanya berbicara tentang ajaran agama, tetapi juga tentang identitas, kekuasaan, warisan peradaban, dan arahan masa depan umat manusia.

Untuk memahami lebih jauh, mari kita telaah dua wajah kepemimpinan agama terbesar dalam sejarah umat manusia, dengan tinjauan dari perspektif sejarah, teologi, sosiologi, dan struktur kekuasaan yang melingkupinya.

Dua Pilar Kepemimpinan Agama Dalam Sejarah

Kepemimpinan spiritual dalam dua agama besar dunia, Katolik dan Islam, memiliki akar sejarah dan peran yang kuat membentuk peradaban. Kepausan dan kekhalifahan masing-masing menjadi simbol utama otoritas agama, meski berkembang dalam konteks yang berbeda.

Asal-usul Kepemimpinan

Dalam tradisi Katolik, kepausan berakar dari keyakinan bahwa Rasul Petrus, murid utama Yesus Kristus, ditunjuk sebagai pemimpin Gereja pertama. Konsep Penerus Petrus menjadi dasar keberadaan Paus sebagai otoritas tertinggi dalam Gereja Katolik Roma.

Di sisi lain, kekhalifahan muncul pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW pada 632 Masehi. Karena Nabi tidak meninggalkan wasiat eksplisit tentang pengganti, para sahabat sepakat memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama. Inilah awal dari masa Khulafaur Rasyidin, dan fondasi sistem kepemimpinan umat Islam untuk meneruskan fungsi politik dan administratif Nabi.

Peran Sosial dan Politik

Paus, di luar peran rohani, juga pernah menjadi tokoh politik berpengaruh. Dalam sejarah Eropa abad pertengahan, Paus kerap menjadi penentu dalam urusan kerajaan, perang salib, hingga konflik antarnegara.

Khalifah, sebaliknya, memegang kekuasaan menyeluruh: politik, agama, hingga militer. Pada masa Abbasiyah atau Utsmaniyah, khalifah bukan sekadar pemimpin spiritual, melainkan kepala negara yang memimpin peradaban besar dengan kontribusi luas dalam ilmu pengetahuan, budaya, dan hukum Islam.

Struktur dan Organisasi

Gereja Katolik memiliki struktur hierarkis yang sangat terpusat. Paus memegang kendali tertinggi, diikuti para Uskup, Imam, dan Diakon yang tersebar di seluruh dunia dengan sistem yang seragam.

Berbeda dengan itu, kekhalifahan bersifat lebih dinamis dan adaptif terhadap zamannya. Awalnya bersifat musyawarah, kemudian berubah menjadi sistem dinasti seperti Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Masing-masing menerapkan model pemerintahan dengan tingkat sentralisasi dan birokrasi yang berbeda-beda, bergantung pada wilayah dan kebutuhan geopolitik saat itu.

Dengan dua tradisi besar ini, jelas bahwa baik kepausan maupun kekhalifahan memainkan peran penting dalam membentuk wajah dunia—bukan hanya secara spiritual, tetapi juga secara sosial, budaya, dan politik. Apakah kamu tertarik dengan perbandingan aspek lainnya, seperti peran pendidikan atau hubungan antaragama?

Akhir Kekhalifahan dan Keberlangsungan Kepausan

Kekhalifahan Islam secara resmi dibubarkan pada tahun 1924 oleh Kemal Atatürk, sebagai bagian dari agenda sekularisasi dan modernisasi di Turki. Dengan penghapusan lembaga ini, berakhir pula satu-satunya institusi yang secara historis mengklaim kepemimpinan atas seluruh umat Islam.

Meskipun demikian, kerinduan terhadap kekhalifahan masih kerap muncul dalam diskusi-diskusi keislaman kontemporer. Wacana ini menunjukkan adanya kebutuhan sebagian umat untuk melihat representasi politik dari identitas keagamaan mereka, meski tidak lagi dalam bentuk struktural seperti masa lalu.

Sebaliknya, kepausan sebagai lembaga kepemimpinan spiritual umat Katolik tetap bertahan hingga hari ini. Vatikan, sebagai negara merdeka terkecil di dunia, menjadi pusat otoritas keagamaan bagi lebih dari satu miliar umat Katolik di seluruh dunia.

Kesimpulan

Baik Paus maupun Khalifah mencerminkan dua model kepemimpinan religius yang menunjukkan bagaimana agama pernah—dan masih—terintegrasi ke dalam struktur sosial dan politik. Meskipun berbeda dari segi konsep, peran, dan sejarah, keduanya memperlihatkan bahwa kepemimpinan agama memiliki daya pengaruh besar dalam membentuk arah dan wajah peradaban.

Memahami dua institusi ini tidak hanya memperkaya pengetahuan sejarah, tetapi juga memberi wawasan lebih luas tentang interaksi antara agama, kekuasaan, dan budaya dalam konteks global.

Makna Mendalam Raya Idul Fitri Versi Gus Baha

StylesphereKH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), ulama ahli Al-Qur’an sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3iA Rembang, Jawa Tengah, menjelaskan makna mendalam dari Idul Fitri.

Murid kinasih Mbah Moen ini menerangkan bahwa Idul Fitri bermakna kembali ke fitrah, yakni keadaan manusia yang suci. Kembali di sini berarti kembali seperti asal mula manusia, yaitu ber-KTP surga, sebagaimana Nabi Adam dan istrinya yang awalnya tinggal di surga.

“Di Indonesia, Syawalan identik dengan minta maaf,” ujar Gus Baha dalam tayangan YouTube Short @emrofhak_chanel, Rabu (26/03/2025).

Ia juga menambahkan bahwa kata Ied berasal dari kosakata audun, yang berarti kembali.

KTP Surga

Gus Baha menjelaskan bahwa Idul Fitri menandai kembalinya manusia ke fitrah setelah dosa-dosanya dihapus selama bulan Ramadhan melalui puasa dan ibadah lainnya.

“Setelah kita puasa satu bulan, Insyaallah kita ber-KTP surga lagi,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa Idul Fitri berkaitan erat dengan sejarah Nabi Adam AS, yang awalnya tinggal di surga. “Dulu Nabi Adam di surga, beberapa anaknya juga lahir di surga. Jadi, sebenarnya KTP kita itu KTP surga, alamat tetap kita adalah surga,” jelasnya.

Namun, kehidupan dunia yang penuh kekhilafan membuat status itu seolah kabur. “Karena kita di dunia agak kacau, cara Jawa bilang agak bedigasan, status itu jadi samar. Semoga tidak hilang sepenuhnya,” tambahnya.

Menurut Gus Baha, bulan Ramadhan adalah kesempatan untuk mengembalikan status tersebut. “Banyak ulama mengatakan al-‘ied minal ‘audi, artinya kembali. Kita yang dulu penduduk surga, Insyaallah dengan barokah Ramadhan, status itu bisa kembali,” paparnya.

Ia menutup dengan menegaskan bahwa Idul Fitri adalah momentum kembali ke fitrah dan status kehambaan yang benar. “Disebut minal ‘aidin, kita kembali ke fitrah dan menjadi ahli surga,” tandasnya.

Pendosa Yang Diampuni

Ramadhan dikenal sebagai syahru maghfirah, bulan yang penuh ampunan. Segala amalan seperti shalat, puasa, sedekah, i’tikaf, dan zakat menjadi sarana penghapus dosa.

Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 133:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”

Puasa bertujuan menjadikan seseorang bertakwa. Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah mereka yang bersyukur. Dalam hidup, yang terpenting adalah merasa cukup. Sedekah, baik dalam kelapangan maupun kesempitan, adalah ujian sejauh mana kita mengingat Allah SWT.

Ciri-Ciri Orang yang Diampuni Dosanya

  1. Rajin menafkahkan hartanya di jalan Allah.
  2. Mampu mengendalikan amarah.
  3. Suka memaafkan kesalahan orang lain.
  4. Gemar berbuat baik.
  5. Memohon ampun kepada Allah saat berbuat dosa.

Dengan menjalankan amalan-amalan ini, seseorang dapat memperoleh ampunan dan kembali ke fitrah sebagai hamba yang bertakwa.