Stylesphere – Ukhuwah wathaniyah merupakan manifestasi nyata dari semangat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang menghargai keberagaman sebagai anugerah, bukan ancaman. Dalam kehidupan berbangsa yang penuh warna, ukhuwah ini menjadi fondasi moral dan spiritual untuk membangun harmoni sosial dan keutuhan nasional.
Menghidupkan ukhuwah wathaniyah berarti menumbuhkan sikap saling menghargai, bekerja sama, dan bertanggung jawab atas nasib bangsa secara kolektif. Ini adalah bentuk ibadah sosial yang tak kalah mulia, karena menjaga persaudaraan sebangsa juga bagian dari menjaga amanah Allah dalam memakmurkan bumi.
Dalam bingkai ukhuwah wathaniyah di Anugerahslot, kita diajak untuk tidak terjebak dalam sekat-sekat primordial. Tetapi justru menjadikan perbedaan sebagai sumber kekuatan dan inspirasi membangun masa depan bangsa.
Semoga nilai-nilai luhur ini terus hidup dalam hati setiap warga negara, menjadikan Indonesia tidak hanya kuat secara politik dan ekonomi, tetapi juga kokoh dalam semangat persaudaraan dan kemanusiaan.
Menjaga Ukhuwah Wathaniyah: Amanah Ilahi
Ukhuwah wathaniyah bukan hanya warisan nilai, tapi juga tanggung jawab bersama yang menuntut kesadaran, kebijaksanaan, dan komitmen nyata. Rasulullah SAW telah memberi teladan lewat Piagam Madinah, sebuah dokumen visioner yang mengukuhkan bahwa hidup berdampingan secara damai dan adil dalam keberagaman adalah mungkin — dan harus diusahakan.
Dalam konteks Indonesia, nilai itu menemukan gaungnya dalam Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan tidak melemahkan, tapi justru memperkaya jika dikelola dalam semangat persaudaraan. Ayat-ayat Al-Qur’an pun mengajarkan bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak Allah, dan manusia ditantang untuk berlomba dalam kebaikan, bukan saling meniadakan.
Tantangan memang tidak sedikit: polarisasi, prasangka, dan intoleransi kerap menguji keteguhan kita dalam menjaga ukhuwah. Namun, di sinilah pentingnya merawat empati, membuka ruang dialog, dan memperkuat narasi persatuan. Karena ukhuwah wathaniyah bukan sekadar wacana — ia adalah ikhtiar aktif menjaga rumah bersama bernama Indonesia.
Semoga kita semua termasuk dalam barisan orang-orang yang menjawab amanah ukhuwah ini, dengan cinta, akal sehat, dan ketulusan. Sebab dari ukhuwah inilah, damai menjadi mungkin, dan masa depan bangsa dapat terus menyala.
Ukhuwah Wathaniyah: Pilar Kokoh Persatuan Bangsa
Di tengah keberagaman yang menjadi ciri khas Indonesia, ukhuwah wathaniyah hadir sebagai fondasi kokoh untuk menyatukan semua elemen bangsa. Bukan untuk menyeragamkan, melainkan untuk merangkul perbedaan dalam semangat saling memahami dan saling menghormati.
Mewujudkannya memang bukan perkara mudah, apalagi di era digital yang penuh distraksi dan polarisasi. Namun, melalui pendidikan, dialog, empati, dan gotong royong, nilai luhur ini dapat ditanamkan, dirawat, dan diwariskan lintas generasi. Ukhuwah wathaniyah adalah bukti bahwa cinta tanah air tidak cukup hanya dengan simbol, tapi harus diwujudkan dalam kepedulian nyata terhadap sesama warga negara, apa pun keyakinan dan budayanya.
Tidak ada bangsa yang kuat tanpa persatuan. Dan tidak ada persatuan tanpa kesadaran bahwa kita memang ditakdirkan berbeda — untuk saling mengenal, bukan saling mengabaikan apalagi memusuhi.
Semoga semangat ukhuwah wathaniyah terus hidup dalam hati kita semua, menjadi cahaya penuntun dalam membangun Indonesia yang adil, damai, dan bermartabat. Karena bangsa yang besar bukan hanya karena jumlah penduduknya, tapi karena kukuhnya persaudaraan warganya.
Stylesphere – Momentum Idul Adha tidak hanya tentang menyembelih hewan kurban, tetapi juga menjadi kesempatan emas untuk memperbanyak doa dan penghambaan kepada Allah SWT. Dalam prosesi kurban, tersimpan nilai-nilai spiritual yang dalam—jauh melampaui aspek teknis penyembelihan itu sendiri.
Sayangnya, banyak masyarakat yang hanya berfokus pada sisi pelaksanaan, seperti waktu, lokasi, dan jumlah hewan yang disembelih, tanpa menyadari bahwa momen penyembelihan adalah salah satu waktu paling mustajab untuk berdoa.
Pendakwah Muhammadiyah, Ustadz Adi Hidayat (UAH), dalam sebuah kajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @seroja_art pada Sabtu (31/05/2025), mengingatkan bahwa keluarga yang berkurban sebaiknya tidak hanya menyaksikan, tetapi mengisi waktu penyembelihan dengan doa dan niat yang tulus. Berikut rangkuman lengkap Anugerahslot kepada anda.
“Saat kurban kita disembelih, bukan hanya hewannya yang kita persembahkan. Hati kita pun seharusnya tunduk dan khusyuk dalam doa,” jelas UAH.
UAH menyarankan agar mereka yang mengetahui waktu penyembelihan hewan kurbannya bersiap secara ruhani. Ketika waktu itu tiba, sangat dianjurkan untuk menghadap kiblat dan membaca bagian dari doa iftitah, yaitu:
“Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samaawaati wal ardha haniifan musliman wa maa anaa minal musyrikiin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil ‘aalamiin.”
Doa ini sejalan dengan semangat tawakal dan totalitas penghambaan kepada Allah yang menjadi inti dari ibadah kurban. Bacaan tersebut mengandung makna penyerahan diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta, bahwa hidup, mati, salat, dan sembelihan kita adalah semata untuk Allah Rabbul ‘Alamin.
“Jadikan momen itu bukan sekadar ritual tahunan, tapi momentum perjumpaan spiritual dengan Allah. Kurban adalah bahasa cinta kepada Tuhan,” tutur UAH.
Dengan demikian, kurban bukan hanya menyampaikan daging kepada yang membutuhkan, tetapi juga menyampaikan hati kepada Allah dengan penuh ketulusan. Dan pada saat penyembelihan berlangsung, itulah saat di mana langit sangat dekat dengan bumi, dan doa-doa dilangitkan dalam kesungguhan yang paling murni.
Doa Saat Penyembelihan: Saat Langit Terbuka dan Hati Tertambat kepada Allah
Bacaan yang disarankan oleh Ustadz Adi Hidayat, yakni bagian dari doa iftitah yang dimulai dengan “Innii wajjahtu wajhiya…”, dapat digunakan sebagai pengganti versi lain yang biasa dibaca saat salat. Bagi yang terbiasa membaca “wajjahtu wajhiya”, cukup menambahkan kata “inni” di awal bacaan agar sesuai dengan redaksi sunnah yang lengkap.
Setelah membacanya, seseorang dianjurkan langsung berdoa dengan khusyuk, menghadirkan hati sepenuhnya kepada Allah.
“Doanya tidak perlu panjang,” ujar UAH, “tapi isinya harus menyentuh hal-hal penting dalam hidup kita—ampunan atas dosa, kelapangan rezeki, dan akhir hidup yang baik.”
Ustadz Adi mengingatkan bahwa kesempatan seperti ini hanya datang sekali dalam setahun, saat hewan kurban yang kita niatkan disembelih atas nama Allah. Maka, jangan disia-siakan. Waktu itu bisa menjadi saat terkabulnya doa, momen di mana langit sangat dekat dengan harapan manusia.
Berdoa saat penyembelihan bukan hanya menambah keberkahan kurban, tetapi juga memperkuat ikatan spiritual antara pengurban dan Penciptanya. Ada nilai pengorbanan yang jauh lebih dalam daripada sekadar menyerahkan kambing atau sapi.
UAH juga menekankan bahwa doa ini adalah wujud keikhlasan dan kesungguhan dalam meneladani Nabi Ibrahim AS, yang siap mengorbankan apa yang paling dicintainya demi menjalankan perintah Allah.
“Itulah hakikat kurban,” tuturnya. “Mengalahkan ego, merelakan yang berharga, dan menggantungkan seluruh harap hanya kepada Allah.”
Menjadikan Kurban Sebagai Titik Temu Hati dan Pengabdian
Seorang Muslim sebaiknya tidak sekadar menyerahkan urusan kurban kepada panitia masjid lalu merasa cukup. Tanpa keterlibatan batin, kurban bisa kehilangan makna terdalamnya. Ustadz Adi Hidayat mengajak umat Islam untuk ikut terhubung secara spiritual, meski secara teknis tidak menyembelih langsung. Menghadap kiblat, membaca doa, dan menyaksikan penyembelihan dengan kesadaran penuh akan menjadikan ibadah ini lebih bermakna.
Lebih dari itu, momen penyembelihan kurban adalah waktu yang sangat mustajab untuk berdoa. Tak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk keluarga, kerabat, dan bahkan seluruh umat Islam. Sebab, doa adalah senjata orang beriman, dan Hari Raya Iduladha adalah waktu di mana langit seperti terbuka bagi permohonan tulus dari hamba-hamba-Nya.
Iduladha bukan sekadar seremonial tahunan. Ia adalah panggilan untuk menyucikan jiwa dan memurnikan niat. Penyembelihan hewan kurban menjadi simbol nyata ketaatan dan keikhlasan, sementara doa yang menyertainya adalah penguat hubungan antara hamba dan Tuhannya.
Dengan kesadaran ini, umat Islam diharapkan tidak lagi memaknai kurban hanya sebagai aktivitas fisik, tetapi juga sebagai jalan spiritual untuk mendekat kepada Allah. Sebuah sarana tazkiyatun nafs—penyucian jiwa—yang mampu meninggikan derajat keimanan.
“Minta sungguh-sungguh kepada Allah di saat itu. Jangan dianggap ringan. Setahun sekali itu, maka mohonlah sebanyak-banyaknya,” tegas Ustadz Adi Hidayat.
Pesan ini menggugah kita semua untuk tidak menyia-nyiakan waktu mustajab yang sangat langka. Dengan niat yang ikhlas, doa yang sungguh-sungguh, dan hati yang hadir, semoga kurban yang kita tunaikan menjadi jalan terbuka menuju ridha dan kedekatan dengan Allah SWT.
Stylesphere – Hari Raya Idul Adha menjadi momen istimewa bagi umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah kurban. Ibadah ini merupakan refleksi dari ketaatan Nabi Ibrahim AS yang bersedia mengorbankan putranya, Ismail AS, sebelum Allah menggantinya dengan seekor hewan sembelihan.
Di tengah semangat berkurban, muncul pertanyaan yang sering terdengar di masyarakat: Apakah satu ekor kambing yang dikurbankan dapat mewakili seluruh anggota keluarga? Dan apakah pahala kurban itu mengalir kepada setiap orang dalam keluarga tersebut?
Berikut penjelasannya melansir dari laman Anugerahslot, pada Jumat (30/5/2025).
Kurban Kambing untuk Satu Orang
Dalam syariat Islam, satu ekor kambing hanya sah untuk satu orang yang berkurban. Hal ini didasarkan pada berbagai riwayat dan praktik Nabi Muhammad SAW yang menyembelih satu kambing atas nama beliau sendiri. Namun, pahala kurban tersebut dapat diniatkan untuk seluruh anggota keluarga, sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW.
Dalam hadis riwayat Tirmidzi, disebutkan bahwa Rasulullah SAW menyembelih hewan kurban dan berkata:
“Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.”
Dari sini, para ulama menyimpulkan bahwa niat pahala bisa mencakup seluruh keluarga, meskipun secara teknis kurban kambing hanya mewakili satu orang.
Ketentuan Kurban Berjamaah
Berbeda halnya dengan hewan besar seperti sapi atau unta, yang bisa dibagi hingga tujuh orang. Kurban kolektif seperti ini memungkinkan satu ekor hewan menyertakan beberapa nama dengan niat dan syarat tertentu.
Namun untuk kambing, tidak diperbolehkan berkurban atas nama kolektif (misalnya satu kambing untuk lima orang) dalam konteks fikih. Jika keluarga ingin semua anggotanya ikut dalam kurban secara nama dan sah sebagai pelaksana, maka masing-masing harus memiliki kurban tersendiri.
Kesimpulan
Satu ekor kambing hanya sah sebagai kurban untuk satu orang, tetapi niat berbuat baik dan pahala ibadah dapat dihadiahkan kepada anggota keluarga lainnya. Artinya, meski secara fikih hanya satu orang yang diwakili, semangat pengorbanan dan kebaikan tetap bisa menyentuh seluruh keluarga.
Bolehkah Satu Kambing untuk Satu Keluarga? Ini Penjelasan Ulama
Berkurban merupakan ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam, khususnya pada Hari Raya Idul Adha. Salah satu pertanyaan yang sering muncul di masyarakat adalah: Apakah boleh satu ekor kambing dikurbankan atas nama seluruh anggota keluarga?
Jawabannya adalah boleh, namun terdapat perbedaan pendapat ulama terkait batasan dan ketentuan yang menyertainya.
Pendapat Ulama dan Dalil Hadis
Sebagian ulama, khususnya dari Mazhab Maliki, memperbolehkan satu ekor kambing dikurbankan atas nama satu keluarga, dengan syarat-syarat tertentu. Mereka menetapkan tiga syarat agar kurban itu sah mewakili keluarga, yaitu:
Tinggal bersama dalam satu rumah,
Memiliki hubungan kekerabatan (nasab),
Memiliki satu sumber nafkah dari kepala keluarga yang sama.
Jika tiga syarat ini terpenuhi, maka satu kambing dapat menjadi kurban atas nama seluruh keluarga, dan pahala kurban mencakup semuanya, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab At-Taj wa al-Iklil (4:364), salah satu rujukan utama dalam Mazhab Maliki.
Dalil dari Hadis Nabi SAW
Pendapat ini juga diperkuat dengan hadis dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:
“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seseorang menyembelih seekor kambing sebagai kurban untuk dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi, dinilai shahih)
Hadis ini menunjukkan bahwa praktik berkurban seekor kambing untuk seluruh keluarga telah dilakukan sejak zaman Nabi SAW dan dianggap sah secara syariat.
Kesimpulan
Meskipun secara hukum satu ekor kambing hanya sah untuk satu orang, namun pahala dan niat kebaikan dapat mencakup seluruh keluarga, apalagi jika memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas. Pendapat ini memberi kelonggaran bagi keluarga besar yang ingin tetap menjalankan ibadah kurban meski secara ekonomi terbatas.
Namun, jika ingin setiap anggota keluarga tercatat sebagai shohibul qurban (orang yang berkurban) secara individual, maka masing-masing harus memiliki hewan kurban sendiri.
Satu Kambing untuk 22 Anggota Keluarga, Apakah Sah?
Pertanyaan mengenai keabsahan berkurban satu ekor kambing untuk satu keluarga besar seringkali muncul menjelang Hari Raya Idul Adha. Salah satu kasus menarik yang pernah diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Daimah (Komite Fatwa Tetap Arab Saudi) adalah tentang sebuah keluarga beranggotakan 22 orang, semuanya tinggal dalam satu rumah dan hidup dari satu sumber nafkah.
Pertanyaan:
“Apakah sah jika keluarga tersebut hanya menyembelih satu ekor kambing untuk berkurban, ataukah mereka harus menyembelih dua ekor kambing atau lebih agar seluruh anggota keluarga mendapatkan pahala kurban?”
Jawaban Ulama Al-Lajnah Ad-Daimah:
Para ulama menjawab bahwa:
“Jika anggota keluarga tinggal bersama dalam satu rumah, masih memiliki hubungan kekerabatan, dan ditanggung nafkahnya oleh satu kepala keluarga, maka diperbolehkan berkurban dengan satu ekor kambing atas nama seluruh keluarga.”
Mereka menambahkan, berkurban lebih dari satu hewan tetap lebih utama (afdhal), terutama jika mampu secara finansial. Namun, dari sisi keabsahan syariat, satu ekor kambing sudah mencukupi dan setiap anggota keluarga yang memenuhi syarat tetap akan mendapatkan pahala.
Fatwa ini menunjukkan adanya kelonggaran syariat dalam pelaksanaan kurban bagi keluarga besar, selama syarat-syarat seperti:
Satu rumah tinggal,
Satu hubungan keluarga (nasab), dan
Satu penanggung nafkah telah terpenuhi.
Kesimpulan
Berangkat dari fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah dan beberapa hadis yang mendukung, maka satu ekor kambing dapat menjadi kurban sah untuk satu keluarga, meskipun jumlahnya banyak. Namun, jika keluarga tersebut mampu, memperbanyak jumlah hewan kurban tentu lebih utama dan mendatangkan lebih banyak manfaat serta pahala.
Wallahu a’lam bish shawab – Allah-lah yang Maha Mengetahui kebenaran yang hakiki.
Stylesphere – Haji merupakan rukun Islam kelima yang menjadi impian bagi setiap Muslim di seluruh dunia. Di Indonesia, pelaksanaan ibadah haji telah berjalan dengan baik, mulai dari proses pemberangkatan hingga seluruh rangkaian ibadah di Tanah Suci. Namun demikian, masih ada satu aspek penting dalam tradisi haji yang kerap diabaikan oleh sebagian masyarakat Indonesia, termasuk pada musim haji tahun 2025 ini.
Hal ini disampaikan oleh ulama terkemuka asal Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha. Dalam sebuah pengajian yang tayang di kanal YouTube@logikagusbaha dan dikutip pada Kamis (29/05/2025), Gus Baha mengungkapkan bahwa masih banyak umat Muslim yang belum memahami secara tepat pelaksanaan haji bagi orang yang sudah uzur secara fisik.
Menurut Gus Baha, apabila seseorang mengalami kondisi fisik yang parah dan bersifat permanen—seperti terkena stroke—namun masih hidup dan sadar, maka seyogianya orang tersebut segera dihajikan. Dalam Islam, praktik ini dikenal sebagai hajjul ma’dub atau haji badal, yakni pelaksanaan haji yang dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang yang sudah tidak mampu secara fisik untuk menunaikannya sendiri.
Sayangnya, tradisi penting ini masih belum menjadi perhatian serius di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak yang baru melakukan haji badal setelah seseorang wafat, padahal menurut Gus Baha, hal itu seharusnya dilakukan selagi orang tersebut masih hidup dan memiliki kesadaran.
Melalui penjelasan tersebut, Gus Baha mengingatkan umat Muslim untuk lebih memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh, termasuk dalam hal pelaksanaan haji bagi orang yang uzur. Dengan demikian, ibadah haji dapat benar-benar menjadi bentuk penyempurnaan rukun Islam yang kelima, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan tanggung jawab sosial.
Gus Baha: Haji untuk Orang Sakit Harus Dilakukan Selagi Masih Hidup
Sebagai murid kesayangan KH Maimoen Zubair, Gus Baha menyoroti kekeliruan yang masih lazim terjadi di masyarakat terkait pelaksanaan haji bagi orang yang uzur. Ia menyayangkan bahwa banyak keluarga baru berinisiatif menghajikan seseorang setelah orang tersebut meninggal dunia, padahal Islam telah memberikan solusi bagi mereka yang masih hidup namun tidak lagi mampu secara fisik.
“Kalau seseorang sudah stroke, tidak bisa berjalan, sudah sulit secara lahiriah tapi masih sadar, bahkan masih tahu harta bendanya, maka sudah seharusnya dihajikan,” ujar Gus Baha dalam pengajiannya.
Ia menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti itu, meskipun seseorang tidak dapat secara fisik menjalankan ibadah haji, selama kesadaran dan niatnya masih ada, maka ia tetap dapat memperoleh pahala yang setara dengan orang yang berhaji langsung. Hal ini dikarenakan niat dan kesadaran masih menjadi faktor penting dalam pelaksanaan haji, termasuk dalam penentuan penggunaan harta untuk biaya berhaji.
Karena itu, peran keluarga sangat krusial. Keluarga seharusnya tidak menunggu hingga anggota keluarga yang sakit itu wafat, melainkan segera mengambil langkah untuk menghajikannya selama ia masih hidup dan sadar. Ini menjadi wujud kepedulian terhadap hak orang tersebut dalam menunaikan rukun Islam kelima.
Lebih lanjut, Gus Baha menegaskan bahwa dalam ilmu fikih, tradisi menghajikan orang yang masih hidup namun uzur secara fisik merupakan bagian penting dari menjaga dan memenuhi kewajiban agama. Ini bukan sekadar bentuk ibadah pengganti, tetapi bagian dari tanggung jawab bersama agar tidak ada hak beragama yang terabaikan.
Gus Baha Soroti Tradisi Haji Niabah yang Sering Terlupakan di Indonesia
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang menjadi impian setiap Muslim. Di Indonesia, tradisi pelaksanaan haji telah berkembang dengan baik, mulai dari persiapan, keberangkatan, hingga prosesi di Tanah Suci. Namun demikian, masih ada satu aspek penting yang kerap terabaikan oleh masyarakat, yaitu pelaksanaan haji niabah—haji pengganti bagi orang yang uzur secara fisik namun masih hidup.
Hal ini disampaikan oleh ulama kharismatik asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, yang juga merupakan murid kinasih dari KH Maimoen Zubair. Dalam sebuah pengajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @logikagusbaha dan dikutip pada Kamis (29/05/2025), Gus Baha menegaskan pentingnya membiasakan tradisi menghajikan orang yang sakit parah namun masih memiliki kesadaran penuh.
“Kalau seseorang sudah stroke, tidak bisa berjalan, sudah sulit secara lahiriah tapi masih sadar, bahkan masih tahu harta bendanya, maka sudah seharusnya dihajikan,” ujar Gus Baha.
Menurutnya, Islam mengenal istilah hajjul ma’dub atau haji niabah, yaitu ibadah haji yang dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang yang sudah tidak mampu secara fisik, namun masih hidup. Hal ini berbeda dari haji pengganti bagi orang yang telah wafat. Meski keduanya sah menurut syariat, Gus Baha menekankan bahwa pelaksanaannya berbeda, terutama dalam hal niat dan keikutsertaan batin dari orang yang bersangkutan.
“Kalau nunggu meninggal dulu, orang yang sakit itu jadi tidak ikut serta dalam kesadarannya. Padahal pahala haji itu bisa lebih kuat kalau disertai niat dan restu langsung dari pemilik harta,” tambahnya.
Gus Baha juga menjelaskan bahwa dalam fikih Islam, tradisi menghajikan orang yang uzur namun masih hidup sangat ditekankan. Ini merupakan bagian dari menjaga hak individu dalam menunaikan rukun Islam. Selama orang tersebut masih sadar dan mampu memberikan izin penggunaan hartanya, ia tetap berhak meraih pahala haji sebagaimana orang yang menunaikannya langsung.
Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat Muslim Indonesia untuk lebih peduli terhadap anggota keluarga yang mengalami sakit permanen. Jangan menunggu hingga ajal menjemput untuk menghajikan mereka. Langkah ini bukan hanya wujud kepedulian, tapi juga bentuk tanggung jawab moral dan spiritual agar setiap Muslim tetap bisa menunaikan kewajibannya.
Gus Baha berharap edukasi mengenai haji niabah bagi orang sakit dapat tersebar luas. Ia menekankan pentingnya pemahaman agama yang utuh agar umat Islam tidak kehilangan hak-hak ibadahnya hanya karena kurangnya informasi atau kesadaran.
“Selama orang itu masih sadar dan tahu hartanya bisa digunakan, maka itu harus dihajikan. Itu keutamaan besar dan sangat dianjurkan dalam syariat,” pungkas Gus Baha.
Stylesphere – Jawabannya: boleh, tetapi dengan syarat tertentu.
Menurut penjelasan dari para ahli gizi dan praktisi kesehatan:
Mencuci daging kurban setelah disembelih dan sebelum dimasak boleh dilakukan, terutama jika ada kotoran yang menempel secara fisik, seperti tanah, debu, atau darah beku.
Namun, jangan mencuci daging sebelum disimpan di dalam kulkas atau freezer. Ini karena air yang digunakan untuk mencuci bisa meninggalkan kelembapan berlebih pada daging yang kemudian menjadi media pertumbuhan bakteri, sehingga mempercepat pembusukan.
🥩 Cara Menangani Daging Kurban dengan Benar
Setelah diterima:
Bersihkan daging dari kotoran kasar dengan lap bersih atau tisu dapur.
Jika sangat kotor, boleh dibilas cepat dengan air mengalir, lalu dikeringkan dengan tisu atau kain bersih.
Penyimpanan:
Simpan daging dalam potongan kecil sesuai kebutuhan masak.
Bungkus rapat dengan plastik atau wadah kedap udara.
Masukkan ke dalam kulkas (untuk konsumsi dalam 1–2 hari) atau freezer (untuk penyimpanan lebih lama).
Sebelum dimasak:
Keluarkan daging dari freezer dan cairkan dengan metode thawing yang benar (misalnya di dalam kulkas, bukan di suhu ruang).
Setelah daging mencair, baru boleh dicuci dengan air mengalir, lalu dikeringkan sebelum dimasak.
🚫 Risiko Mencuci Daging Sebelum Disimpan
Air cucian bisa membawa kuman ke permukaan daging dan mempercepat kerusakan.
Air yang tidak steril juga bisa menjadi sumber kontaminasi silang jika peralatan dan tempat cuci tidak bersih.
💡 Kesimpulan:
Daging kurban boleh dicuci, tetapi hanya saat akan dimasak. Hindari mencuci daging sebelum penyimpanan agar kualitas dan keamanannya tetap terjaga. Penanganan yang benar bukan hanya menjaga cita rasa daging, tetapi juga mencegah penyakit akibat bakteri berbahaya.
Semoga informasi ini bisa membantu menjawab keraguan Anda dalam menangani daging kurban dengan lebih aman dan sesuai syariat maupun ilmu kesehatan.
🔬 Mengapa Daging Tidak Dianjurkan untuk Dicuci Sebelum Disimpan?
📌 Risiko Kontaminasi Silang
Air cucian daging bisa menyebarkan bakteri berbahaya (seperti Salmonella dan E. coli) ke permukaan dapur, talenan, wastafel, dan peralatan masak lainnya.
CDC menekankan bahwa cipratan dari air cucian adalah salah satu penyebab utama kontaminasi silang di dapur.
📉 Penurunan Kualitas Daging
Air dapat meresap ke dalam serat daging dan mempercepat pembusukan.
Pencucian justru bisa mempercepat pertumbuhan mikroba bila daging tidak langsung dimasak.
❌ Kehilangan Nutrisi
Air cucian bisa membawa keluar sebagian kecil kandungan nutrisi larut air, seperti vitamin B.
Meskipun tidak signifikan dalam satu kali proses, praktik ini bisa berpengaruh bila dilakukan berulang-ulang atau dalam jumlah besar.
✅ Apa yang Sebaiknya Dilakukan?
Langsung potong dan simpan daging kurban dalam kondisi bersih dan segar tanpa dicuci.
Gunakan plastik wrap atau wadah kedap udara untuk mencegah kontaminasi selama penyimpanan.
Jika daging ingin dimasak, baru dicuci tepat sebelum diolah, dan pastikan alat dan permukaan sekitar tetap bersih setelah mencuci.
💬 Kesimpulan Ahli:
“Daging segar dari hewan yang disembelih sesuai syariat tidak memerlukan pencucian jika akan disimpan. Fokus utamanya adalah menjaga sanitasi dapur dan prosedur penyimpanan yang benar. Pencucian daging yang tidak tepat justru menambah risiko, bukan mengurangi.” — Ahli Gizi dan Keamanan Pangan, dikutip dari pedoman CDC dan WHO
🌟 Penanganan Ideal Daging Kurban:
Potong sesuai kebutuhan.
Jangan dicuci jika akan disimpan.
Simpan di suhu dingin (kulkas < 4°C atau freezer < -18°C).
Saat hendak dimasak, cairkan, cuci sebentar jika perlu, lalu langsung dimasak.
Dengan memahami alasan ilmiah di balik larangan mencuci daging sebelum penyimpanan, masyarakat dapat menangani daging kurban dengan lebih aman dan efisien, tanpa perlu ragu atau khawatir melanggar syariat ataupun prinsip kesehatan.
Kapan Daging Kurban Boleh Dicuci?
Saat Akan Langsung Dimasak
Daging yang terlihat kotor karena tercampur darah, pasir, debu, atau jeroan saat penyembelihan atau distribusi boleh dicuci.
Pastikan pencucian hanya dilakukan tepat sebelum dimasak, bukan sebelum disimpan.
Saat Daging Terlihat Kotor
Bila hanya ada sedikit kotoran, cukup bersihkan dengan tisu bersih atau kain steril.
Ini lebih aman daripada mencuci karena menghindari cipratan air yang membawa kontaminasi.
🧼 Tips Mencuci Daging dengan Aman
Gunakan air bersih mengalir (jangan rendam).
Jangan gunakan sabun, cuka, atau larutan kimia.
Segera masak setelah dicuci, jangan diamkan terlalu lama.
Jangan cuci di dekat makanan lain, alat makan, atau sayuran segar.
🧽 Setelah Mencuci Daging: Bersihkan Area Dapur
Jika Anda memutuskan untuk mencuci daging, jangan abaikan sanitasi dapur:
Bersihkan wastafel, talenan, dan permukaan dapur dengan sabun atau disinfektan.
Cuci tangan dengan sabun setelah memegang daging mentah.
Gunakan alat masak yang berbeda untuk daging mentah dan makanan matang.
💬 Kesimpulan Praktis
“Jika daging kurban kotor karena proses distribusi, maka mencucinya diperbolehkan asal dilakukan dengan benar dan langsung dimasak. Namun jika hanya akan disimpan, hindari pencucian untuk menjaga kualitas dan keamanan.” — Panduan UGM & Fatayat NU DIY
Praktik ini bisa menjadi jalan tengah antara panduan ilmiah dan realita di lapangan, di mana kondisi distribusi daging kadang membuat daging terkena kotoran. Dengan edukasi yang tepat, masyarakat bisa tetap menjaga kesucian ibadah kurban sekaligus keamanan pangan dalam pengolahan dagingnya.
📌 Mengapa Daging Kurban Tidak Perlu Dicuci?
1. 🔥 Suhu Tinggi Saat Memasak Membunuh Bakteri
Memasak daging hingga suhu internal ≥75°C cukup untuk membunuh bakteri berbahaya seperti Salmonella, E. coli, dan Listeria.
Tidak perlu mencuci daging jika akan dimasak dengan benar.
2. 🧪 Pencucian Bisa Mengurangi Nutrisi
Vitamin B kompleks dan beberapa mineral bersifat larut air.
Mencuci daging dengan air dalam jumlah banyak bisa mengurangi kandungan gizinya.
3. 🚿 Risiko Kontaminasi Silang
Air cucian bisa menyebarkan bakteri ke permukaan dapur, alat masak, dan bahan makanan lain.
Lebih aman untuk tidak mencuci, lalu langsung simpan atau olah.
4. 🧬 Tubuh Kita Siap Melawan Mikroba
Asam lambung bersifat sangat asam (pH < 2), cukup kuat untuk membunuh bakteri makanan normal.
Sistem imun juga menangani mikroorganisme yang tidak berbahaya jika masuk dalam jumlah kecil.
5. 🕒 Lebih Efisien dan Praktis
Menangani daging kurban dalam jumlah besar jauh lebih efisien tanpa pencucian.
Menghemat waktu, air, dan tenaga saat memasak atau menyimpannya.
✅ Kapan Mencuci Daging Diperbolehkan?
Hanya bila kotor secara fisik (darah berlebihan, pasir, debu) dan akan langsung dimasak.
🚫 Jangan Dilakukan Jika Akan Disimpan:
Mencuci sebelum masuk freezer membuat es kristal terbentuk dari air, yang merusak serat daging.
Air sisa dapat mempercepat pembusukan atau memicu jamur di lemari es.
Dengan pengetahuan ini, masyarakat bisa lebih tenang dan bijak dalam menangani daging kurban, serta ikut menjaga kualitas gizi, kebersihan dapur, dan efektivitas waktu selama momen Idul Adha.
Tips Menyimpan Daging Kurban
Penyimpanan daging kurban yang tepat sangat penting untuk mempertahankan kualitas dan keamanan pangan. Berdasarkan panduan dari Universitas Gadjah Mada, berikut adalah langkah-langkah yang harus diikuti untuk menyimpan daging kurban dengan benar:
1. Langkah pertama adalah jangan mencuci daging kurban yang akan disimpan. Daging yang kering lebih tahan lama dan tidak mudah rusak dibandingkan daging yang basah. Kelembaban berlebih dapat mempercepat pertumbuhan bakteri dan menyebabkan daging cepat busuk.
2. Proses pengemasan juga harus dilakukan dengan cermat. Potong atau giling daging sesuai dengan porsi yang dibutuhkan untuk sekali masak, kemudian kemas dalam kantong plastik khusus makanan atau vacuum sealer jika tersedia. Pengemasan vakum adalah pilihan terbaik karena dapat menghilangkan udara yang dapat mempercepat oksidasi dan pembusukan.
3. Sebelum memasukkan ke freezer, simpan daging di chiller (suhu 0-4°C) selama beberapa jam untuk proses pendinginan awal. Hal ini membantu daging beradaptasi dengan suhu dingin secara bertahap dan mencegah pembentukan kristal es yang besar yang dapat merusak tekstur daging.
Langkah-langkah Menyimpan Daging Kurban:
Persiapan: Jangan mencuci daging kurban
Pemotongan: Potong daging sesuai porsi kebutuhan masak
Pemilahan: Pisahkan berdasarkan jenis potongan dan ukuran
Pengemasan: Masukkan ke kantong plastik atau vacuum seal
Pendinginan awal: Simpan di chiller 2-3 jam
Penyimpanan: Pindahkan ke freezer untuk penyimpanan jangka Panjang
Stylesphere – Menjelang Hari Raya Idul Adha, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amalan ibadah. Salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan adalah puasa sunnah. Setidaknya, ada tiga jenis puasa sunnah yang biasa dilakukan pada hari-hari sebelum Idul Adha, yaitu puasa Dzulhijjah, puasa Tarwiyah, dan puasa Arafah. Masing-masing memiliki keutamaan yang luar biasa sebagaimana dijelaskan dalam berbagai hadits.
1. Puasa Dzulhijjah (1–7 Dzulhijjah)
Puasa ini dilaksanakan pada tujuh hari pertama di bulan Dzulhijjah, dari tanggal 1 hingga 7 Dzulhijjah. Keutamaannya dijelaskan dalam hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal saleh di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari-hari sepuluh (sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” (HR. Ahmad – dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)
Puasa pada hari-hari ini menjadi salah satu bentuk amalan yang sangat dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2. Puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah)
Puasa ini dikerjakan pada hari ke-8 Dzulhijjah, sehari sebelum hari Arafah. Keutamaannya disebutkan dalam hadits sebagai berikut:
“Barang siapa berpuasa sepuluh hari (pertama Dzulhijjah), maka setiap harinya seperti puasa sebulan. Puasa pada hari Tarwiyah seperti puasa setahun, dan puasa Arafah seperti puasa dua tahun.” (HR. Ali Al-Muairi, At-Thibbi, Abu Sholeh, dan Ibnu Abbas)
3. Puasa Arafah (9 Dzulhijjah)
Puasa Arafah dikerjakan pada tanggal 9 Dzulhijjah, yaitu sehari sebelum Idul Adha. Ini adalah puasa sunnah paling utama di antara tiga jenis puasa tersebut, terutama bagi yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Puasa Arafah dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Puasa Asyura (10 Muharram) menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)
🕌 Niat Puasa Sunnah Jelang Idul Adha
Sebagaimana puasa sunnah lainnya, niat dilakukan sejak malam hari hingga sebelum terbit fajar. Berikut adalah lafal niat puasa Tarwiyah dan Arafah:
Nawaitu shauma yaumi at-tarwiyati sunnatan lillāhi ta‘ālā. Artinya: “Saya niat puasa sunnah Tarwiyah karena Allah Ta’ala.”
✨ Keutamaan Puasa 2 Hari Sebelum Idul Adha
Hari-hari ini termasuk dalam 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, yang disebut-sebut oleh Nabi Muhammad SAW sebagai hari-hari terbaik untuk beramal saleh.
Puasa di tanggal 8 Dzulhijjah (Tarwiyah) dan 9 Dzulhijjah (Arafah) sangat dianjurkan bagi umat Islam yang tidak sedang berhaji, dengan pahala besar yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih.
Melakukan puasa sunnah ini tidak hanya membawa pahala, tetapi juga menjadi wujud kesiapan ruhani menyambut hari raya kurban. Jika kamu ingin, saya juga bisa bantu rangkum infografis niat puasa dan waktunya agar lebih mudah diingat. Mau saya bantu buatkan?
Keutamaan Puasa Tarwiyah dan Arafah
Puasa sunnah pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) dan Arafah (9 Dzulhijjah) memiliki nilai yang sangat tinggi dalam Islam. Di antara berbagai amalan yang dianjurkan di bulan Dzulhijjah, dua puasa ini menempati posisi istimewa. Keutamaan yang terkandung di dalamnya telah diriwayatkan dalam banyak hadits, mencakup pengampunan dosa, terkabulnya doa, hingga peluang terbebas dari siksa neraka.
1. Menghapus Dosa Selama Dua Tahun
Salah satu keutamaan terbesar dari puasa Arafah adalah janji Allah SWT untuk menghapus dosa-dosa hamba-Nya yang berpuasa pada hari tersebut. Dalam sebuah hadits dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Tirmidzi)
Riwayat ini dikuatkan pula dalam hadits shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim:
“Aku berharap kepada Allah supaya puasa di hari Arafah menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.” (HR. Muslim)
2. Momen Mustajab untuk Berdoa
Puasa Arafah bertepatan dengan ibadah wukuf di Padang Arafah yang dilakukan oleh jamaah haji. Pada hari yang sangat mulia ini, umat Islam yang tidak menunaikan haji dianjurkan untuk memperbanyak doa karena diyakini sebagai waktu mustajab.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Doa terbaik adalah doa pada hari Arafah. Dan ucapan terbaik yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah: ‘Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadiir’. (Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan dan segala pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi)
3. Kesempatan Bebas dari Api Neraka
Keutamaan lainnya dari puasa Arafah adalah janji Allah untuk membebaskan banyak hamba-Nya dari siksa api neraka. Ini menunjukkan betapa besar rahmat dan ampunan Allah SWT pada hari tersebut.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak ada hari di mana Allah lebih banyak membebaskan hamba dari api neraka selain hari Arafah.” (HR. Muslim)
Kesimpulan
Puasa Tarwiyah dan Arafah bukan sekadar ibadah sunnah biasa. Ia menyimpan segudang keutamaan yang sangat sayang untuk dilewatkan, mulai dari penghapusan dosa, kesempatan terkabulnya doa, hingga harapan terbebas dari siksa neraka. Maka dari itu, menjelang Idul Adha, mari manfaatkan momen istimewa ini untuk memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Tata Cara Menjalankan Puasa Tarwiyah dan Arafah Menjelang Idul Adha
Menjelang Hari Raya Idul Adha, umat Islam sangat dianjurkan untuk melaksanakan dua puasa sunnah yang penuh keutamaan, yaitu puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah) dan puasa Arafah (9 Dzulhijjah). Kedua puasa ini tidak hanya menjanjikan pahala besar, tetapi juga menjadi momen penting untuk memperkuat iman dan meningkatkan ketakwaan. Agar ibadah ini terlaksana secara benar dan sesuai syariat, berikut panduan lengkapnya:
1. Niat Puasa: Awali dengan Kesadaran dan Keikhlasan
Setiap ibadah dimulai dengan niat, termasuk puasa Tarwiyah dan Arafah. Niat ini cukup dihadirkan di dalam hati—tidak wajib dilafalkan, namun boleh jika diucapkan sebagai bentuk keyakinan.
Untuk puasa sunnah, niat tidak harus dilakukan pada malam hari seperti puasa wajib. Seseorang boleh berniat di pagi atau siang hari, selama belum makan, minum, atau melakukan hal yang membatalkan puasa sejak fajar. Kemudahan ini memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin ikut berpuasa meski baru memutuskan di tengah hari.
2. Menghidupkan Sunnah Sahur
Meski bukan syarat sah puasa, sahur sangat dianjurkan dan menjadi bagian dari sunnah Rasulullah ﷺ. Sahur memberikan kekuatan fisik selama berpuasa dan juga membawa keberkahan.
Tak perlu makanan berat, bahkan hanya dengan segelas air putih atau sebutir kurma sudah cukup untuk mendapatkan pahala sahur. Yang penting adalah niat dan pelaksanaannya dilakukan sebelum terbit fajar.
3. Menjaga Puasa dari Hal yang Membatalkan dan Merusak Pahala
Selama menjalankan puasa, umat Islam wajib menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan hubungan suami istri dari terbit fajar hingga matahari terbenam.
Lebih dari itu, menjaga kualitas puasa juga penting—menahan lisan dari berkata kasar, menahan amarah, menghindari ghibah, dan menjauhi perilaku buruk lain yang bisa mengurangi nilai pahala. Puasa sejati bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga menyucikan jiwa dan memperbaiki akhlak.
4. Perbanyak Amal dan Doa
Waktu berpuasa adalah kesempatan emas untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Gunakan waktu siang hari dengan memperbanyak tilawah Al-Qur’an, dzikir, sedekah, dan tentunya doa.
Khusus pada hari Arafah, disunnahkan untuk memperbanyak doa karena termasuk waktu yang sangat mustajab. Ini adalah momen di mana doa-doa banyak diangkat dan dikabulkan oleh Allah SWT.
5. Menyegerakan Berbuka dengan Doa
Saat waktu Maghrib tiba, disunnahkan untuk segera berbuka puasa. Rasulullah ﷺ menyukai umatnya yang tidak menunda berbuka karena di dalamnya terdapat keberkahan. Mulailah berbuka dengan kurma atau air putih, lalu lanjutkan dengan makanan utama.
Jangan lupa membaca doa berbuka puasa untuk menyempurnakan ibadah:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ “Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa, dengan-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”
Penutup
Melaksanakan puasa Tarwiyah dan Arafah adalah bentuk kesungguhan dalam menyambut kemuliaan Idul Adha. Dengan memahami tata cara pelaksanaannya dan mengamalkannya dengan penuh keikhlasan, semoga setiap ibadah kita menjadi jalan menuju ampunan, keberkahan, dan ridha Allah SWT.
Stylesphere – Ketika Iduladha tiba, gema takbir membahana, dan hewan-hewan kurban mulai disiapkan. Namun, di tengah semangat pengorbanan ini, tak sedikit umat Islam yang secara finansial mampu justru memilih untuk tidak berkurban. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah tindakan tersebut sah menurut syariat? Apa hukumnya tidak berkurban padahal mampu, dan adakah konsekuensi dari sikap tersebut?
Pertanyaan ini bukan untuk menghakimi, tetapi untuk mengajak merenungi makna dan urgensi kurban dalam kehidupan seorang Muslim.
Hukum Kurban dalam Pandangan Ulama
Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali sepakat bahwa berkurban termasuk sunnah muakkadah—amalan sunnah yang sangat dianjurkan, terutama bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial. Dalam pandangan ini, meninggalkan kurban meski mampu memang tidak menimbulkan dosa, tetapi berarti seseorang telah melewatkan kesempatan mengerjakan ibadah yang sangat mulia.
Berbeda dengan itu, mazhab Hanafi memandang ibadah kurban sebagai wajib bagi setiap Muslim yang memiliki kelapangan rezeki, mirip dengan syarat yang berlaku dalam kewajiban zakat. Maka dalam perspektif ini, tidak berkurban padahal mampu bisa berimplikasi pada dosa.
Hadis Rasulullah SAW sebagai Landasan
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang memiliki kelapangan (harta) tetapi tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Hadis ini sering dijadikan dalil oleh para ulama untuk menunjukkan betapa pentingnya ibadah kurban, khususnya bagi mereka yang mampu. Walaupun para ulama berbeda pendapat mengenai status hukum kurban, mereka sepakat bahwa ibadah ini memiliki nilai spiritual, sosial, dan kemanusiaan yang sangat tinggi.
Kesimpulan
Bagi seorang Muslim yang mampu, berkurban bukan sekadar menyembelih hewan, tetapi bentuk nyata dari ketakwaan, kepedulian sosial, dan pengamalan ajaran Islam. Meski tidak selalu berstatus wajib dalam semua mazhab, semangat dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya patut untuk dijadikan prioritas.
Meninggalkan kurban tanpa uzur syar’i berarti mengabaikan kesempatan besar untuk mendekatkan diri kepada Allah serta berbagi dengan sesama. Maka, Iduladha adalah momen reflektif: sejauh mana kita menjadikan ibadah sebagai wujud syukur atas nikmat yang telah Allah berikan?
Mampu Berkurban: Ukuran yang Realistis, Bukan Kaya Raya
Dalam ajaran Islam, seseorang dianggap mampu berkurban apabila pada hari-hari Iduladha ia memiliki kelebihan harta yang melebihi kebutuhan pokok diri dan tanggungannya. Artinya, kriteria “mampu” ini tidak menuntut seseorang menjadi kaya raya, tetapi cukup memiliki keuangan yang stabil serta bebas dari utang mendesak.
Maka dari itu, seorang pegawai tetap, pengusaha, pedagang, atau siapa pun yang memiliki pendapatan tetap dan tidak sedang dalam kesulitan ekonomi serius, sejatinya tergolong mampu. Sayangnya, masih banyak yang memilih untuk tidak berkurban, padahal syarat kemampuan telah terpenuhi.
Apa yang Dilewatkan Jika Tidak Berkurban?
Meninggalkan kurban bukan sekadar melewatkan ritual tahunan. Ada banyak nilai yang ikut terlewatkan, di antaranya:
🌟 Kesempatan meraih pahala besar
🐏 Keteladanan dari Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW
💞 Momen berbagi dengan kaum duafa dan masyarakat sekitar
🙏 Bentuk nyata rasa syukur atas nikmat rezeki dari Allah
Lebih dari itu, bagi yang mampu tetapi enggan berkurban, ada bahaya sikap bakhil (kikir) yang sangat dibenci dalam Islam. Sifat ini bukan hanya menghambat pahala, tapi juga dapat menyeret seseorang ke dalam kehidupan yang penuh kesempitan.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Lail ayat 8–10:
“Dan barang siapa yang kikir, dan merasa dirinya cukup (tidak butuh), serta mendustakan yang terbaik (agama), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesulitan.”
Refleksi Iduladha: Antara Rezeki dan Kepedulian
Ibadah kurban adalah wujud ketakwaan dan kepedulian sosial. Ini adalah bentuk nyata dari pengorbanan, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga menaklukkan ego dan sifat individualis. Kurban adalah panggilan untuk berbagi, bersyukur, dan mendekat kepada Allah SWT.
Maka, jika kita tergolong mampu namun masih ragu untuk berkurban, mungkin saatnya kita bertanya: Apakah ini karena keterbatasan harta, atau karena kelalaian hati?
Kurban: Ibadah yang Menguatkan Diri dan Menyentuh Sesama
Ibadah kurban bukan sekadar ritual individu. Ia adalah ibadah sosial, bentuk nyata kepedulian dan solidaritas umat. Dengan berkurban, kita membantu masyarakat miskin, daerah pelosok, serta mereka yang jarang sekali mendapatkan akses gizi layak. Ini adalah distribusi kekayaan yang adil, bagian dari semangat Islam yang merangkul dan membagi, bukan menimbun dan melupakan.
Tak heran jika Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya ibadah kurban. Meski secara hukum bukan wajib mutlak, kurban adalah sunnah muakkadah—amalan yang sangat dianjurkan dan ditekankan dalam syariat. Rasulullah SAW sendiri selalu berkurban setiap tahun, tidak pernah meninggalkannya selama hidupnya, sebagai bentuk keteladanan bagi umatnya.
Lebih dari Sekadar Pahala
Jika seseorang mampu namun memilih tidak berkurban, bisa jadi itu cerminan keringnya semangat ibadah atau hilangnya empati sosial. Padahal, Iduladha adalah momen melembutkan hati, menyadarkan diri bahwa semua yang kita miliki adalah titipan Allah yang harus dipertanggungjawabkan.
Berkurban bukan hanya tentang pahala atau hukum, tapi juga tentang siapa kita di hadapan Allah dan sesama manusia. Ini adalah bentuk syukur atas rezeki, latihan melepaskan keterikatan dunia, dan bukti bahwa hati kita masih hidup dengan keimanan.
Jangan Tunda, Saatnya Berkurban
Jika tahun ini Allah beri kelapangan rezeki, jangan tunda untuk berkurban. Jadikan ini sebagai momentum untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjangkau saudara-saudara kita yang jarang menikmati daging setahun sekali pun.
Bersama Dompet Dhuafa, salurkan kurbanmu ke tempat-tempat yang benar-benar membutuhkan. Biarkan hewan kurbanmu menjadi sumber keberkahan, kebaikan, dan senyum harapan bagi mereka yang jarang tersentuh.
Karena kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi tentang menyembelih ego, memurnikan niat, dan memperkuat tali kemanusiaan.
Stylesphere – Gaya berhijab kini semakin variatif, dan salah satu tren yang kembali mencuri perhatian adalah baju kodok atau overall, terutama model rok. Dikenal praktis dan stylish, overall rok menjadi pilihan tepat bagi hijabers yang ingin tampil modis namun tetap nyaman dalam berbagai aktivitas, terutama saat akhir pekan.
🔄 Dari Pakaian Kerja ke Fashion Hijab Modern
Menilik sejarahnya, overall pertama kali muncul pada tahun 1870 sebagai pakaian kerja yang dirancang untuk perlindungan tubuh para tukang, mekanik, hingga petani. Namun seiring perkembangan zaman, fungsi overall mengalami pergeseran. Kini, outfit yang dulunya identik dengan pekerjaan berat justru tampil sebagai item fashion populer, baik dalam bentuk celana maupun rok.
👗 Kombinasi Overall Rok dan Hijab: Simpel Tapi Berkelas
Tidak mengherankan jika kini banyak wanita berhijab tertarik mengeksplorasi gaya mix and match dengan overall rok. Selain memberikan kesan kasual dan feminin, outfit ini juga mudah dipadukan dengan berbagai item seperti inner berwarna netral, kemeja polos, atau blouse bermotif lembut.
Warna-warna seperti cokelat susu, dusty pink, hitam, atau biru denim menjadi favorit karena mudah dipadukan dan tetap memberikan kesan elegan. Tambahkan hijab dengan warna senada atau kontras lembut untuk menciptakan tampilan akhir yang harmonis.
🌿 Nyaman untuk Akhir Pekan, Tetap Modis
Bagi Anda yang ingin tampil santai tapi tetap modis di akhir pekan, overall rok bisa menjadi pilihan tepat. Outfit ini nyaman dikenakan untuk hangout, ke taman, kafe, bahkan acara semi-formal seperti arisan atau kunjungan keluarga.
5 Inspirasi OOTD Hijab dengan Overall Rok, Manis & Modis untuk Berbagai Aktivitas
1. Overall Rok + Kemeja Lengan Balon Ingin tampil segar dan girly? Padukan overall berbentuk Y dengan kemeja berlengan balon. Pilihan warna hijau pada rok kodok menambah kesan enerjik, sementara detail tali kecil yang bisa diatur menambah sentuhan manis pada keseluruhan outfit.
2. Baju Kodok Warna Peach Nuansa feminin bisa kamu dapatkan dengan memilih overall berwarna peach, dipadukan dengan kemeja biru muda sebagai inner. Desain tali bahu berpola pengait kancing serta tambahan strap di pinggang memberi efek ramping. Jahitan dekoratif di beberapa bagian juga membuat penampilan lebih menarik.
3. Look Monokrom dengan Overall Abu-Hitam Untuk kamu yang menyukai tampilan simpel tapi tetap modis, coba kombinasi overall abu-abu dengan blouse hitam. Tambahkan hijab pashmina abu-abu senada dan aksesoris seperti kalung tipis atau bros kecil. Gaya ini cocok untuk acara santai hingga semi formal.
4. Kasual Santai dengan Kaos Polos Gaya yang satu ini cocok untuk hangout bareng teman. Gunakan kaos merah bata sebagai atasan dan padukan dengan overall abu muda. Hijab dengan warna senada akan membuat look semakin seimbang. Untuk alas kaki, pilih flat shoes abu-abu agar nyaman namun tetap stylish.
5. Overall Bermotif Garis Vertikal Buat kamu yang ingin tampil lebih tinggi, pilih baju kodok dengan motif garis vertikal. Kombinasikan dengan kemeja putih polos agar tampak bersih dan elegan. Detail saku besar di samping menambah kesan praktis—cocok untuk kamu yang aktif tapi tetap ingin tampil rapi.
Inspirasi OOTD Hijab dengan Overall Rok, Simpel & Stylish
6. Gaya Kampus dengan Rok Kodok Earth Tone Tampil kasual ke kampus bisa tetap kece dengan overall berbahan katun berwarna earth tone seperti cokelat susu atau beige. Padukan dengan inner basic, sneakers, dan tote bag favoritmu. Outfit ini nyaman dipakai seharian dan tetap terlihat rapi serta modis.
7. Denim Rok Kodok + Pashmina Cerah Untuk tampilan santai dan ringan, overall rok berbahan denim bisa jadi pilihan tepat. Padukan dengan inner warna cerah seperti putih atau pastel dan pashmina berbahan ringan untuk kesan segar. Lengkapi dengan sneakers putih agar tetap nyaman beraktivitas seharian.
Stylesphere – Bulan Dzulqa’dah 1446 H akan segera berakhir, menandakan datangnya bulan mulia Dzulhijjah 1446 H, yang bertepatan dengan Dzulhijjah 2025 dalam kalender Masehi. Sebagai salah satu dari empat bulan haram yang dimuliakan Allah SWT, Dzulhijjah menjadi waktu istimewa bagi umat Islam untuk memperbanyak ibadah dan amal saleh.
Salah satu ibadah yang dianjurkan di awal bulan ini adalah puasa sunnah. Puasa Dzulhijjah memiliki keutamaan besar dan merupakan bentuk kecintaan kepada Allah SWT, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Terdapat tiga jenis puasa sunnah yang bisa diamalkan sebelum Hari Raya Idul Adha, yaitu:
Puasa Awal Dzulhijjah (1–7 Dzulhijjah) Dianjurkan untuk berpuasa sejak hari pertama Dzulhijjah sebagai bentuk amal saleh yang dicintai Allah.
Puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah) Puasa ini memiliki nilai keutamaan tersendiri dan merupakan bagian dari tradisi umat Islam menyambut momen Arafah.
Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) Puasa Arafah merupakan yang paling utama. Bagi yang tidak menunaikan haji, puasa ini dapat menghapus dosa dua tahun, satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang (HR. Muslim).
Niat Puasa Dzulhijjah
Niat puasa bisa diucapkan dalam hati atau secara lisan sebelum fajar, contohnya:
“Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i sunnati Dzulhijjah lillāhi ta‘ālā.” Artinya: Saya niat berpuasa sunnah Dzulhijjah esok hari karena Allah Ta‘ala.
Jadwal Puasa Dzulhijjah 2025
Bergantung pada hasil rukyatul hilal, estimasi awal Dzulhijjah 1446 H kemungkinan jatuh pada Selasa, 30 Juni 2025. Maka, berikut perkiraan jadwalnya:
1–7 Dzulhijjah 1446 H: 30 Juni – 6 Juli 2025
Puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah): 7 Juli 2025
Puasa Arafah (9 Dzulhijjah): 8 Juli 2025
Idul Adha (10 Dzulhijjah): 9 Juli 2025
Penutup
Menghidupkan awal Dzulhijjah dengan puasa sunnah adalah amalan yang sangat dianjurkan, terlebih karena pahala amal di bulan ini dilipatgandakan. Mari manfaatkan momen mulia ini untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meraih keberkahan menjelang Idul Adha.
Niat dan Waktu Pelaksanaan Puasa Sunnah Dzulhijjah
Puasa sunnah di bulan Dzulhijjah dikerjakan seperti puasa-puasa lainnya, yaitu dimulai sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Kapan Niat Puasa Dzulhijjah Dilakukan?
Berbeda dengan puasa wajib (seperti Ramadan) yang harus diniatkan pada malam hari, puasa sunnah seperti puasa Dzulhijjah memiliki kelonggaran dalam niat. Jika lupa berniat di malam hari, niat masih bisa dilakukan hingga sebelum zawâl (tergelincirnya matahari atau masuk waktu Zuhur), selama belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar.
Lafal Niat Puasa Sunnah Dzulhijjah
Berikut adalah niat-niat puasa sunnah yang biasa dilakukan pada awal bulan Dzulhijjah:
Artinya: “Saya niat puasa sunnah Arafah karena Allah Ta‘âlâ.”
Dengan melaksanakan puasa-puasa sunnah ini, umat Islam dapat meraih berbagai keutamaan dan pahala yang besar, khususnya pada hari-hari terbaik sepanjang tahun, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Tidak ada hari-hari yang amal saleh lebih dicintai Allah daripada sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. Bukhari)
Jika Anda ingin, saya juga bisa bantu buatkan kalender puasa Dzulhijjah 1446 H dalam format visual. Mau saya bantu buatkan?
Keutamaan Puasa Awal Dzulhijjah dan Puasa Arafah
🌙 Puasa Awal Dzulhijjah: Ibadah Sunnah dengan Pahala Besar
Puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah ibadah sunnah yang sangat dianjurkan. Keutamaannya sangat besar karena hari-hari ini termasuk waktu paling dicintai oleh Allah untuk beramal saleh.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Imam At-Tirmidzi, Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبَّ إِلَى اللّٰهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيْهَا مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ يَعْدِلُ صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ “Tidak ada hari-hari yang lebih Allah sukai untuk beribadah selain sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Satu hari berpuasa di dalamnya setara dengan satu tahun berpuasa, dan satu malam mendirikan shalat malam setara dengan shalat pada malam Lailatul Qadar.” (HR. At-Tirmidzi)
🕋 Keutamaan Khusus Puasa Arafah (9 Dzulhijjah)
Dari seluruh hari di awal Dzulhijjah, puasa pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) memiliki keutamaan paling besar. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa puasa Arafah dapat menghapus dosa selama dua tahun, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ… “Puasa Arafah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang…” (HR. Muslim)
📌 Kesimpulan
Berikut ringkasan keutamaan puasa di awal Dzulhijjah:
Hari Puasa
Keutamaan
Tanggal 1–7 Dzulhijjah
Setiap hari puasa setara pahala dengan satu tahun puasa
Malam-malamnya
Setiap malam ibadah setara malam Lailatul Qadar
Hari Arafah (9 Dzulhijjah)
Menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya
Melaksanakan puasa-puasa ini adalah kesempatan besar meraih pahala berlimpah, khususnya menjelang Hari Raya Idul Adha.
Jika Anda ingin, saya juga bisa bantu buatkan infografik sederhana tentang keutamaan puasa Dzulhijjah. Ingin dibuatkan?
Stylesphere – Menjelang Hari Raya Idul Adha, masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, mulai bersiap menyambut momen istimewa ini dengan berbagai hidangan lezat. Daging kurban yang melimpah menjadi bahan utama dalam berbagai olahan kuliner khas Idul Adha.
Salah satu pilihan olahan favorit yang praktis adalah daging cincang. Tak heran, menjelang hari raya, resep-resep daging cincang menjadi incaran banyak orang. Selain mudah diolah, daging cincang juga sangat fleksibel. Mulai dari ditumis sederhana, dijadikan isian makanan, hingga menjadi bahan dasar sup atau semur, semuanya bisa dilakukan dengan cepat dan tetap nikmat.
Keunggulan utama daging cincang terletak pada proses memasaknya yang relatif singkat. Ini menjadikannya solusi tepat bagi keluarga yang ingin menyajikan hidangan istimewa namun tidak memiliki banyak waktu di dapur. Ragam resep daging cincang pun sangat beragam, mulai dari rasa pedas menggigit, gurih yang renyah, hingga manis dan kaya rempah.
Bagi Anda yang sedang mencari ide resep daging cincang untuk memeriahkan suasana Idul Adha, pilihan kreasi kuliner ini bisa menjadi referensi menarik. Stylesphere telah merangkum sejumlah inspirasi masakan daging cincang dari berbagai sumber, Sabtu (24/5/2025), yang cocok disajikan untuk keluarga tercinta saat hari raya.
Daging Cincang Saus Lada Hitam
Ingin hidangan spesial saat berkumpul keluarga? Resep daging cincang saus lada hitam ini bisa jadi pilihan tepat. Untuk hasil maksimal, tumis lada hitam bersama bawang bombay terlebih dahulu agar aromanya keluar. Cita rasa pedas dan hangatnya lada hitam akan membuat hidangan ini semakin istimewa.
Bahan:
300 gr daging sapi cincang
½ buah bawang bombay, iris
3 siung bawang putih, cincang
1 sdm lada hitam kasar
2 sdm saus tiram
1 sdm kecap asin
½ sdt gula
Garam secukupnya
Cara membuat:
Tumis bawang bombay dan bawang putih hingga harum.
Tambahkan lada hitam, aduk rata.
Masukkan daging cincang, aduk hingga matang.
Tambahkan saus tiram, kecap asin, dan gula.
Masak hingga bumbu meresap.
Semur Daging Cincang
Semur daging cincang adalah pilihan lembut dan manis dari kumpulan resep daging cincang keluarga. Gunakan kecap manis berkualitas dan tambahkan pala bubuk untuk aroma yang khas. Hidangan ini cocok dinikmati bersama keluarga tercinta di momen Idul Adha.
Bahan:
300 gr daging cincang
5 siung bawang merah
3 siung bawang putih
2 sdm kecap manis
1 sdt pala bubuk
1 sdt merica
300 ml air
Garam dan gula secukupnya
Cara membuat:
Tumis bawang merah dan putih hingga harum.
Masukkan daging cincang, aduk rata.
Tambahkan air, kecap, pala, dan bumbu lainnya.
Masak hingga kuah mengental dan daging empuk.
Daging Cincang Bumbu Bali
Resep daging cincang bumbu Bali adalah hidangan khas Nusantara yang digemari karena kelezatannya. Rebus daging cincang sebentar agar tidak amis saat ditumis dengan bumbu bali yang kaya rempah. Sajikan dengan nasi hangat untuk pengalaman kuliner yang tak terlupakan.
Bahan:
300 gr daging sapi cincang
6 siung bawang merah
4 siung bawang putih
5 buah cabai merah besar
2 lembar daun salam
2 sdm gula merah
Garam dan penyedap secukupnya
Cara membuat:
Haluskan bawang, cabai, dan tumis hingga harum.
Tambahkan daun salam dan daging cincang.
Masak hingga bumbu meresap dan air menyusut.
Tambahkan gula merah dan garam, aduk rata.
Daging Cincang Tumis Pedas Manis
Ingin hidangan cepat saji yang nikmat? Resep daging cincang tumis pedas manis ini jawabannya. Gunakan daging sapi segar yang dicincang halus agar cepat matang dan bumbu meresap sempurna. Resep ini sangat ideal untuk Anda yang mencari resep daging cincang dengan cita rasa lokal yang praktis.
Bahan:
300 gr daging sapi cincang
5 siung bawang putih, cincang
6 siung bawang merah, iris
5 buah cabai merah keriting
2 sdm saus tiram
1 sdm kecap manis
½ sdt lada bubuk
Garam dan gula secukupnya
Minyak goreng secukupnya
Cara membuat:
Tumis bawang putih dan bawang merah hingga harum.
Masukkan cabai merah, tumis sebentar.
Tambahkan daging cincang, aduk hingga berubah warna.
Masukkan saus tiram, kecap, lada, garam, dan gula.
Masak hingga bumbu meresap dan daging matang.
Daging Cincang Tumis Kemangi
Bagi pecinta masakan wangi, resep daging cincang tumis kemangi ini akan menggugah selera. Masukkan daun kemangi terakhir agar tidak layu berlebihan dan aromanya tetap segar. Sajikan dengan nasi hangat untuk hidangan yang sederhana namun memuaskan.