Stylesphere – Setiap muslim yang hendak melaksanakan sholat diwajibkan bersuci terlebih dahulu dari hadas kecil dengan berwudhu. Salah satu rukun penting dalam wudhu adalah membasuh kedua tangan hingga ke siku secara merata dengan air. Tanpa wudhu yang sah, sholat pun tidak dianggap sah di sisi syariat.
Karena itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa semua bagian yang wajib dibasuh benar-benar terkena air. Namun, dalam praktiknya, sering kali ada hal kecil yang terlewatkan—misalnya, kondisi kuku. Kuku yang panjang atau tidak terawat dapat menjadi tempat menumpuknya kotoran. Bila kotoran tersebut keras dan menghalangi air mencapai kulit, maka wudhu dikhawatirkan tidak sah.
Lantas, apakah keberadaan kotoran di bawah kuku bisa membatalkan wudhu?
Mengutip penjelasan dari Anugerahslot Online (Selasa, 17/6/2025), sisa kotoran di bawah kuku tidak secara otomatis membatalkan wudhu, namun bisa menggugurkan keabsahan wudhu bila kotoran tersebut menghalangi air menyentuh kulit atau bagian tubuh yang wajib dibasuh.
Dengan demikian, penting bagi setiap muslim untuk memeriksa kebersihan kuku sebelum berwudhu, terutama jika kuku dalam keadaan panjang atau terdapat bekas kotoran, tanah, atau cat yang menempel.
Menjaga kebersihan kuku bukan hanya mendukung sahnya wudhu, tetapi juga bagian dari akhlak Islam yang menekankan kebersihan sebagai sebagian dari iman.
Pembasuhan Tangan dalam Wudhu: Rukun yang Tegas dalam Al-Qur’an dan Hadis
Rukun wudhu merupakan bagian pokok yang harus dilakukan agar wudhu dianggap sah. Salah satunya adalah membasuh kedua tangan hingga siku. Ketentuan ini secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, tepatnya pada Surah Al-Maidah ayat 6:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu, serta (basuhlah) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Berdasarkan ayat ini, para ulama sepakat bahwa membasuh tangan hingga siku termasuk rukun wudhu yang tidak boleh ditinggalkan. Wudhu tidak sah tanpa membasuh bagian tersebut secara menyeluruh dengan air.
Ketentuan ini tidak hanya bersumber dari Al-Qur’an, tetapi juga dikuatkan oleh hadis Nabi Muhammad SAW. Para sahabat telah meriwayatkan secara detail bagaimana Rasulullah melakukan wudhu. Salah satu riwayat yang terkenal datang dari sahabat Abu Hurairah RA, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim:
“Setelah menyelesaikan wudhu, Abu Hurairah RA berkata, ‘Demikianlah aku melihat Rasulullah SAW berwudhu.’” (HR. Muslim)
Dari keterangan inilah para ulama menyusun kaidah-kaidah fiqih tentang tata cara wudhu, termasuk pentingnya memastikan air membasahi seluruh bagian tangan hingga siku. Wudhu yang benar menjadi syarat utama sahnya shalat, dan karena itu, perhatian terhadap detail-detailnya merupakan bagian dari ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah SWT.
Hukum Membersihkan Kotoran di Bawah Kuku Saat Wudhu Menurut Mazhab Syafi’i
Dalam mazhab Syafi’i, salah satu syarat sahnya wudhu adalah membasuh kedua tangan secara merata hingga siku. Para ulama juga menekankan pentingnya membersihkan segala sesuatu yang bisa menghalangi sampainya air ke kulit, termasuk kotoran yang menempel di tangan dan di bawah kuku.
Hal ini ditegaskan dalam kitab Fathul Mujib al-Qarib karya KH Afifuddin Muhajir. Dalam penjelasannya disebutkan:
“Ketiga, membasuh dua tangan sampai siku. Wajib menghilangkan segala penghalang yang ada di permukaan kedua tangan, seperti kotoran yang menumpuk dari luar, kecuali jika ada uzur (kesulitan) untuk melepaskannya. Adapun sedikit kotoran yang berada di bawah kuku, maka dimaafkan (tidak membatalkan wudhu).” (Fathul Mujib al-Qarib, hlm. 13)
Dengan demikian, jika seseorang sudah berusaha membersihkan tangannya, termasuk bagian kuku, namun masih tersisa sedikit kotoran yang sulit dihilangkan, maka wudhunya tetap dianggap sah. Sebab, sedikit kotoran seperti itu termasuk hal yang ma’fu (dimaafkan) dalam fiqih.
Ini menunjukkan bahwa Islam memberi kelonggaran dalam ibadah, selama seseorang sudah berusaha maksimal untuk melaksanakan syarat-syaratnya. Maka, umat Islam tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap sisa kotoran kecil yang terselip di bawah kuku, asalkan telah berupaya membersihkannya semampunya.
Stylesphere – Lima kali dalam sehari, suara adzan berkumandang dari menara masjid hingga perangkat digital di rumah-rumah kaum Muslimin. Panggilan suci ini bukan sekadar penanda waktu salat, tetapi sebuah ajakan penuh makna untuk meninggalkan kesibukan dunia dan menghadap Allah SWT.
Adzan bukan hanya seruan yang didengar, tapi juga panggilan yang seharusnya disambut dengan hati dan lisan. Rasulullah SAW mencontohkan agar umat Islam tidak melewatkan adzan begitu saja, melainkan menjawabnya dengan doa-doa yang dianjurkan, sebagai bentuk penghormatan dan penghayatan terhadap panggilan Ilahi.
Kebiasaan ini bukan hanya memperkuat kedekatan spiritual, tetapi juga merupakan cara untuk menjaga sunnah Nabi serta menanamkan nilai-nilai Islam dalam rutinitas sehari-hari.
Mengutip laman Anugerahslot Online Jabar, Sabtu (14 Juni 2025), berikut adalah kumpulan doa yang dianjurkan saat mendengar adzan, sebagaimana tercantum dalam kitab al-Du’a:
Menjawab lafaz adzan sesuai yang dikumandangkan muadzin, kecuali pada kalimat Hayya ‘ala al-shalah dan Hayya ‘ala al-falah, di mana kita dianjurkan menjawab dengan: “Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.”
Setelah adzan selesai, membaca: “Allāhumma rabbā hāzihid-da‘watit-tāmmati waṣ-ṣalātil-qā’imah, ātِi Muḥammadan al-wasīlata wal-faḍīlah, wab‘ath-hu maqāman maḥmūdan allażī wa‘adtah.” (Artinya: Ya Allah, Tuhan panggilan yang sempurna ini dan salat yang akan didirikan, berikanlah kepada Muhammad al-Wasilah dan al-Fadhilah, dan bangkitkanlah dia pada kedudukan terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya.)
Doa-doa ini menjadi bagian kecil namun bermakna besar dalam memperkuat hubungan kita dengan Allah SWT. Menjawab adzan dengan sepenuh hati dan lisan adalah bentuk kesiapan kita memenuhi seruan-Nya, dan bukti cinta kepada sunnah Rasulullah SAW.
Doa Menyambut Adzan Maghrib: Warisan Rasulullah untuk Memohon Ampunan
Adzan maghrib menandai pergantian dari siang menuju malam—sebuah momen spiritual yang sarat makna dalam kehidupan seorang Muslim. Di waktu inilah Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada umatnya sebuah doa yang penuh ketundukan dan harapan akan ampunan dari Allah SWT.
Ummu Salamah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ secara langsung mengajarkannya untuk membaca doa berikut ketika mendengar adzan maghrib:
اللَّهُمَّ هَذَا إِقْبَالُ لَيْلِكَ وَإِدْبَارُ نَهَارِكَ وَأَصْوَاتُ دُعَاتِكَ فَاغْفِرْ لِي “Allahumma hadzâ iqbâlu lailika wa idbâru nahârika wa ashwâtu du’âtika faghfir lî.” (Ya Allah, inilah malam-Mu yang datang, siang-Mu yang pergi, dan lantunan suara para pemanggil-Mu, maka ampunilah aku.)
Doa ini diriwayatkan oleh beberapa ulama besar seperti Imam al-Hakim, Imam Abu Dawud, dan Imam al-Baihaqi. Dalam Kitâb al-Du’â karya Imam Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabrâniy (2007, hlm. 162), doa tersebut tercantum sebagai bentuk ibadah yang dianjurkan untuk diamalkan saat malam mulai menyapa.
Selain menjadi refleksi pergantian waktu, doa ini juga menunjukkan kedalaman spiritual dalam menyambut malam—bukan hanya dengan istirahat, tetapi juga dengan introspeksi dan permohonan ampunan kepada Allah SWT. Ia merupakan bagian dari warisan sunnah yang mengajarkan kita untuk terus menjaga hubungan vertikal dengan Allah, bahkan dalam momen-momen yang mungkin kita anggap biasa.
Menjadikan doa ini sebagai kebiasaan dapat menjadi salah satu cara memperhalus jiwa dan memperkuat keimanan, terutama di saat-saat sakral seperti waktu maghrib. Mari kita hidupkan kembali amalan ini dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ kepada para sahabat dan keluarganya.
Doa yang Diampuni Dosanya Saat Mendengar Adzan
Adzan bukan sekadar panggilan shalat. Ia adalah panggilan langit yang menggema di bumi, mengajak hati-hati yang beriman untuk kembali kepada Sang Pencipta. Di balik lantunan adzan, ternyata terdapat doa yang apabila dibaca oleh seorang Muslim, akan menjadi sebab ampunan dari Allah SWT.
Diriwayatkan dalam Kitâb al-Du’â karya Imam Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabrâniy (Kairo: Dar al-Hadis, 2007, hlm. 160), Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ قَال حين يَسْمَع الأذان: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وحده لَا شَرِيْكَ لَه، رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، غفر له
“Barangsiapa yang berucap ketika mendengar adzan: ‘Asyhadu allâ ilâha illallâh wahdahu lâ syarîka lah, radlîtu billâhi rabba wa bil-islâmi dîna wa bi-muhammadin nabiyya’ (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai nabiku), maka akan diampuni dosanya.”
Hadis ini mengajarkan bahwa menjawab adzan tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga menjadi pintu ampunan. Lafal yang singkat namun sarat makna ini mencerminkan kesaksian tauhid, keridhaan kepada Allah dan Islam, serta kecintaan kepada Rasulullah ﷺ.
Membiasakan diri membaca doa ini setiap kali mendengar adzan adalah amalan ringan yang penuh keberkahan. Di tengah kesibukan dunia, mari kita latih hati dan lisan kita untuk selalu terhubung dengan Allah, meski hanya lewat kalimat-kalimat singkat yang mendalam seperti ini.
Doa Saat Adzan Maghrib yang Diajarkan Rasulullah kepada Ummu Salamah
Adzan Maghrib menandai pergantian waktu dari siang ke malam. Dalam momen sakral ini, Rasulullah ﷺ mengajarkan sebuah doa indah yang penuh makna kepada Ummu Salamah, salah satu istri beliau. Doa ini menjadi pengingat bahwa waktu senja adalah waktu untuk merenung, kembali kepada Allah, dan memohon ampunan-Nya.
Dalam riwayat yang tercatat dalam Kitâb al-Du’â karya Imam Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabrâniy (2007, hlm. 162), Ummu Salamah berkata:
عن أم سلمة قالت: علمني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أقول عند أذان المغرب:
“Ya Allah, inilah datangnya malam-Mu, telah berlalu siang-Mu, dan terdengarlah lantunan doa dari para penyeru-Mu, maka ampunilah aku.”
Doa ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Hakim, Imam Abu Dawud, dan Imam Baihaqi. Kandungan doa tersebut mencerminkan kerendahan hati dan kesadaran seorang hamba akan pergantian waktu sebagai tanda kekuasaan Allah, sekaligus momentum untuk mendekatkan diri dan memohon ampunan-Nya.
Menjadikan doa ini sebagai amalan rutin saat mendengar adzan Maghrib bukan hanya menjaga sunnah Nabi ﷺ, tetapi juga bentuk introspeksi diri di akhir hari—sebuah kebiasaan yang sarat nilai spiritual.
Stylesphere – Di antara jutaan langkah yang menapaki Tanah Suci setiap tahunnya, terselip kisah-kisah menakjubkan yang sarat keajaiban dan pelajaran hidup. Dari kerumunan para jemaah yang menjalankan rukun Islam kelima ini, muncul cerita-cerita sederhana namun memiliki dampak luar biasa—bukan hanya bagi satu orang, melainkan hingga ratusan ribu jiwa.
Sering kali, sebuah amalan kecil yang dilakukan dengan keikhlasan dan keyakinan mendalam menjadi sebab turunnya keberkahan yang melimpah. Seolah semesta turut menjadi saksi bahwa setiap amal baik yang dilakukan dengan tulus tidak pernah sia-sia. Bahkan, balasan dari Allah tak hanya menyentuh pelaku amal tersebut, tetapi juga menjalar sebagai kebaikan yang dirasakan oleh banyak orang di sekitarnya.
Salah satu kisah menyentuh ini berasal dari pengalaman seorang hamba Allah yang amalannya menjadi sebab diterimanya haji lebih dari 600 ribu orang. Kisah penuh hikmah ini dimuat oleh Anugerahslot Online pada Sabtu, 14 Juni 2025.
Kisah Diterimanya Haji Ibnu Muwafaq
Setelah ditelusuri lebih lanjut, kata Kiai Taufik, diketahui bahwa Ibnu Muwafaq sebenarnya tidak jadi menunaikan ibadah haji. Ia memilih jalan berbeda—yang ternyata justru jauh lebih mulia di mata Allah. Biaya yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun dari pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu, tidak jadi ia pakai untuk berangkat ke Tanah Suci. Sebaliknya, seluruhnya ia sedekahkan kepada penduduk sebuah kampung miskin yang sangat membutuhkan bantuan.
“Padahal, Ibnu Muwafaq mengumpulkan biaya hajinya dengan susah payah selama tiga dekade,” tutur Kiai Taufik. “Namun karena keikhlasan dan ketulusan amalnya, Allah membalasnya dengan pahala luar biasa—bukan hanya untuk dirinya sendiri. Kemabrurannya menjadi sebab diterimanya haji 600 ribu jamaah saat itu.”
Dalam riwayat lain yang juga disampaikan Kiai Taufik, disebutkan bahwa sebenarnya ada enam orang yang memperoleh derajat haji mabrur. Setiap satu orang dari mereka membawa berkah bagi seratus ribu jamaah lainnya. Dengan kata lain, kemabruran keenam orang ini menjadi sebab diterimanya haji seluruh rombongan.
“Artinya, ada bentuk ibadah yang nilainya bisa lebih agung daripada haji itu sendiri,” ujar Kiai Taufik. “Yaitu kedermawanan, empati, dan simpati yang tulus kepada sesama, terutama kepada mereka yang lemah.”
Keutamaan Ibadah yang Ikhlas
Setelah ditelusuri lebih lanjut, kata Kiai Taufik, diketahui bahwa Ibnu Muwafaq sebenarnya tidak jadi menunaikan ibadah haji. Ia memilih jalan berbeda—yang ternyata justru jauh lebih mulia di mata Allah. Biaya yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun dari pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu, tidak jadi ia pakai untuk berangkat ke Tanah Suci. Sebaliknya, seluruhnya ia sedekahkan kepada penduduk sebuah kampung miskin yang sangat membutuhkan bantuan.
“Padahal, Ibnu Muwafaq mengumpulkan biaya hajinya dengan susah payah selama tiga dekade,” tutur Kiai Taufik. “Namun karena keikhlasan dan ketulusan amalnya, Allah membalasnya dengan pahala luar biasa—bukan hanya untuk dirinya sendiri. Kemabrurannya menjadi sebab diterimanya haji 600 ribu jamaah saat itu.”
Dalam riwayat lain yang juga disampaikan Kiai Taufik, disebutkan bahwa sebenarnya ada enam orang yang memperoleh derajat haji mabrur. Setiap satu orang dari mereka membawa berkah bagi seratus ribu jamaah lainnya. Dengan kata lain, kemabruran keenam orang ini menjadi sebab diterimanya haji seluruh rombongan.
“Artinya, ada bentuk ibadah yang nilainya bisa lebih agung daripada haji itu sendiri,” ujar Kiai Taufik. “Yaitu kedermawanan, empati, dan simpati yang tulus kepada sesama, terutama kepada mereka yang lemah.”
Stylesphere – Pernikahan merupakan salah satu momen paling bersejarah dalam kehidupan seseorang. Hal ini juga dirasakan oleh Gus Azmi, vokalis grup hadrah terkenal, Syubbanul Muslimin, yang baru saja melangsungkan pernikahan.
Gus Azmi resmi menikah dengan Khansa Mariska Firdausi Azizy pada Rabu, 12 Juni 2025. Momen sakral ini langsung menjadi perbincangan hangat di dunia maya dan viral di berbagai platform media sosial. Banyak warganet yang memberikan ucapan selamat, sekaligus penasaran dengan sosok wanita yang berhasil merebut hati sang vokalis.
Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak hanya sekadar penyatuan dua insan, tetapi juga menjadi jalan untuk membangun keluarga yang penuh kedamaian (sakinah), cinta kasih (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Pernikahan menjadi ladang kebaikan yang membawa keberkahan bagi pasangan suami istri, baik di dunia maupun akhirat.
Sementara itu, sosok Khansa Mariska Firdausi Azizy langsung mencuri perhatian publik. Banyak yang ingin tahu lebih jauh tentang perempuan yang kini menjadi istri dari salah satu ikon muda dunia hadrah ini.
Berikut profil singkat Khansa Mariska Firdausi Azizy, perempuan yang berhasil memikat hati Gus Azmi — dirangkum oleh Anugerahslot, Sabtu (14/6/2025).
Mengenal Lebih Dekat Khansa Mariska Firdausi Azizy, Istri Gus Azmi yang Mencuri Perhatian
Khansa Mariska Firdausi Azizy, atau yang akrab disapa Aca, lahir di Surabaya pada 31 Juli 2006. Ia merupakan seorang influencer muda sekaligus konten kreator yang tengah naik daun di kalangan generasi muda.
Aktif di media sosial, Aca sering membagikan berbagai konten seputar Outfit of the Day (OOTD), aktivitas keseharian, hingga kolaborasi endorsement produk-produk kecantikan dan skincare. Gayanya yang simpel namun modis membuatnya mudah diterima dan diidolakan banyak pengikut.
Popularitasnya tidak main-main. Di Instagram, Aca telah mengumpulkan lebih dari 440 ribu pengikut, sementara akun TikTok-nya diikuti oleh lebih dari 291 ribu pengguna aktif. Keaktifannya dalam membuat konten yang relate dengan anak muda membuatnya semakin dikenal luas.
Namun, yang membuat Aca berbeda adalah kemampuannya memadukan gaya hidup modern dengan nilai-nilai religius. Terlahir dari keluarga yang dikenal religius, Aca tetap menampilkan karakter yang santun dan menjunjung nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Inilah yang menjadikan dirinya sosok yang menarik di mata publik—terutama bagi Gus Azmi.
Pernikahan mereka menjadi bukti bahwa cinta bisa tumbuh dari keselarasan nilai dan visi hidup. Tak heran jika pernikahan ini menuai banyak doa dan harapan baik dari para penggemar dan masyarakat luas.
Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga Khansa Mariska, Istri Gus Azmi
Selain dikenal sebagai sosok yang aktif di dunia digital, Khansa Mariska Firdausi Azizy juga memiliki latar pendidikan yang membanggakan. Ia menempuh pendidikan menengah di SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, sebuah sekolah yang dikenal dengan pendekatan pendidikan modern dan religius.
Kini, Aca melanjutkan pendidikannya di Universitas Ciputra Surabaya, mengambil jurusan International Business Management. Di lingkungan kampus, Aca dikenal sebagai mahasiswi yang cerdas, aktif, dan berprestasi, terlibat dalam berbagai kegiatan akademik maupun organisasi kemahasiswaan. Komitmennya terhadap pendidikan membuktikan bahwa ia tak hanya mengandalkan popularitas di media sosial, tetapi juga membangun masa depan dengan fondasi yang kuat.
Dari sisi silsilah keluarga, Aca berasal dari lingkungan yang religius dan terpandang. Ia adalah cucu dari K.H.M. Santoso, seorang ulama besar yang cukup disegani dan memiliki pengaruh luas di wilayah Ngawi, Jawa Timur. Sang kakek dikenal sebagai tokoh agama yang aktif membina umat dan terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah.
Keluarga besar Khansa juga dikenal konsisten dalam kegiatan keagamaan dan menjadi bagian penting dalam pengelolaan Majelis Taklim dan kegiatan keislaman di Masjid Agung Ngawi. Nilai-nilai religius yang ditanamkan sejak kecil inilah yang membentuk karakter Aca menjadi pribadi yang santun, berakhlak, dan tetap membumi meskipun berada di tengah gemerlap dunia digital.
Dengan latar belakang pendidikan yang baik dan lingkungan keluarga yang religius, tak heran jika sosok Aca mampu menarik perhatian Gus Azmi — vokalis hadrah yang juga dikenal karena komitmennya terhadap nilai-nilai Islam.
Stylesphere – Umat Islam akan segera menyambut datangnya tahun baru dalam kalender hijriyah, meninggalkan tahun 1446 H dan memasuki 1 Muharram 1447 H. Momen pergantian tahun ini bukan sekadar penanda berlalunya waktu, tetapi juga menjadi kesempatan berharga untuk melakukan introspeksi diri dan memperbaiki kualitas ibadah kepada Allah SWT.
Dalam budaya Jawa, 1 Muharram lebih dikenal dengan sebutan malam 1 Suro. Meskipun berbeda dalam istilah, keduanya merujuk pada hal yang sama: awal tahun baru Islam, yang dimulai saat matahari tenggelam dan bulan baru terlihat di langit.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah menetapkan bahwa 1 Muharram 1447 Hijriyah jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Hari tersebut juga ditetapkan sebagai hari libur nasional keagamaan. Berikut rangkuman lengkap dari Anugerahslot.
Pergantian tahun hijriyah ini merupakan waktu yang sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah. Dalam ajaran Islam, malam 1 Muharram atau malam 1 Suro dipandang sebagai waktu istimewa yang penuh keberkahan. Ada berbagai amalan yang bisa dilakukan untuk menyambutnya, baik dalam bentuk ibadah vertikal kepada Allah maupun interaksi sosial yang baik dengan sesama manusia.
Amalan-amalan tersebut bukan hanya memperkuat hubungan spiritual, tetapi juga menjadi sarana untuk memperdalam makna hijrah—yakni berpindah dari keburukan menuju kebaikan, dari kelalaian menuju kesadaran diri sebagai hamba-Nya.
Momen ini menjadi pengingat bahwa setiap pergantian waktu adalah peluang untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bersyukur, dan lebih dekat dengan Tuhan.
Perbanyak Doa Kepada Allah SWT
KH Yahya Zainul Ma’arif, atau yang akrab disapa Buya Yahya, seorang pendakwah yang bermukim di Cirebon, dalam berbagai pengajiannya menekankan bahwa malam 1 Muharram adalah saat yang sangat bernilai untuk memperbarui niat dan memperbanyak doa kepada Allah SWT.
Buya Yahya menganjurkan agar umat Islam memanfaatkan momen ini untuk bermuhasabah—mengevaluasi diri atas perbuatan selama setahun terakhir—serta memperbanyak ibadah. Salah satu amalan yang dianjurkan adalah membaca doa akhir tahun, yang dibaca sebelum waktu Maghrib pada tanggal 30 Dzulhijjah. Doa ini sebagai bentuk taubat dan permohonan ampun atas kesalahan yang telah dilakukan selama tahun yang akan berlalu.
Bacaan doa akhir tahun yang dikenal luas berbunyi:
اللّٰهُمَّ مَا عَمِلْتُ مِنْ عَمَلٍ فِي هٰذِهِ السَّنَةِ… Allahumma ma ‘amiltu min ‘amalin fî hadzihi sanati… Artinya: “Ya Allah, apa pun perbuatan yang kulakukan di tahun ini yang Engkau larang namun belum sempat kutobati…”
Setelah memasuki waktu Maghrib, yang menandai awal tahun baru hijriyah, umat Islam dianjurkan membaca doa awal tahun. Doa ini merupakan permohonan kepada Allah agar diberikan perlindungan dari godaan setan, hawa nafsu, dan dilimpahkan keberkahan di tahun yang baru.
Doa awal tahun berbunyi:
اَللّٰهُمَّ أَنْتَ الأَبَدِيُّ القَدِيمُ الأَوَّلُ… Allâhumma antal abadiyyul qadîmul awwal… Artinya: “Ya Allah, Engkau-lah yang Abadi, Qadim, dan yang Awal. Tahun baru ini telah datang. Aku berlindung kepada-Mu dari bujukan Iblis…”
Buya Yahya menegaskan bahwa memperbanyak doa dan memperbaiki niat di malam 1 Muharram adalah bentuk kesungguhan dalam memulai tahun baru dengan penuh kebaikan dan harapan akan ampunan serta keberkahan dari Allah SWT
Amalan Penting Lainnya
Dikutip dari kanal YouTube @Al-Bahjah, umat Islam dapat dengan mudah mengikuti panduan pembacaan doa akhir tahun dan awal tahun hijriyah lengkap dengan pelafalan dan artinya. Panduan ini sangat bermanfaat sebagai rujukan dalam menyambut malam 1 Muharram.
Selain membaca doa, ada beberapa amalan sunnah lain yang sangat dianjurkan untuk dilakukan saat malam pergantian tahun Islam:
1. Memotong Kuku dan Merapikan Diri
Buya Yahya menekankan pentingnya menjaga kebersihan lahir dan batin, termasuk memotong kuku dan merapikan diri. Rasulullah SAW menyebut perbuatan ini sebagai bagian dari fitrah, bentuk penyucian diri sebagai persiapan menyambut tahun baru dengan niat yang bersih.
2. Berpuasa
Puasa pada hari pertama bulan Muharram sangat dianjurkan. Bila mampu, disarankan juga untuk melanjutkannya hingga tanggal 10 Muharram atau Hari Asyura, yang dikenal memiliki keutamaan besar sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadits shahih.
3. Bersedekah
Malam 1 Muharram juga menjadi waktu yang tepat untuk bersedekah, baik dalam bentuk uang, makanan, pakaian, atau bantuan lainnya kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan. Ini adalah bentuk solidaritas sosial yang bernilai ibadah tinggi.
4. Memperbanyak Dzikir dan Doa
Amalan lainnya adalah memperbanyak dzikir dan doa. Di malam pergantian tahun ini, dianjurkan memanjatkan permohonan kebaikan, perlindungan, dan keberkahan untuk hari-hari di tahun yang akan datang.
5. Membaca Al-Qur’an
Malam yang penuh berkah ini juga bisa diisi dengan membaca Al-Qur’an. Surat-surat pendek seperti Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas menjadi pilihan yang baik untuk dibaca dan diamalkan.
6. Menjalin dan Menyambung Silaturahmi
Salah satu amalan yang sangat ditekankan adalah silaturahmi. Malam 1 Muharram bisa dijadikan momen untuk mengunjungi keluarga, memperbaiki hubungan, dan saling memaafkan. Dalam Hadits Qudsi, Allah menjanjikan akan menyambung rahmat-Nya kepada siapa pun yang menyambung tali persaudaraan.
Malam 1 Muharram adalah waktu penuh makna, bukan sekadar pergantian tahun, melainkan momen untuk memperbarui niat dan meningkatkan kualitas ibadah. Dengan semangat hijrah sebagai ruh tahun baru Islam, mari kita jadikan kesempatan ini untuk berpindah dari kesalahan menuju perbaikan, dari lalai menuju sadar, dan dari dosa menuju ampunan.
Semoga tahun baru 1447 Hijriyah membawa keberkahan, keselamatan, dan kebaikan bagi kita semua.
Stylesphere – Pernikahan merupakan ikatan suci antara dua insan yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis dan diridhai Allah SWT. Dalam ajaran Islam, perintah untuk menikah secara tegas tercantum dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nur: 32)
Agar sebuah pernikahan dianggap sah secara syariat, harus terpenuhi lima rukun nikah. Hal ini dijelaskan oleh Imam Zakaria al-Anshari kepada anugerahslot dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab:
“Rukun-rukun nikah ada lima: mempelai pria, mempelai wanita, wali, dua orang saksi, dan shighat (akad nikah).”
Kelima rukun ini menjadi landasan utama sahnya sebuah pernikahan dalam Islam.
Menikah di Hari Baik: Perlukah?
Dalam praktiknya, sebagian masyarakat Indonesia masih mempertimbangkan waktu pelaksanaan pernikahan berdasarkan hari atau bulan yang diyakini membawa keberuntungan. Tradisi memilih “hari baik” ini kerap dihubungkan dengan keyakinan akan keberkahan dan keharmonisan rumah tangga yang akan dibangun.
Menanggapi hal ini, Pengasuh LPD Al-Bahjah, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya), memberikan penjelasan penting. Menurut beliau, Islam tidak menentukan hari atau bulan tertentu sebagai waktu terbaik atau sebaliknya dalam melangsungkan pernikahan. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa menikah di bulan tertentu akan membawa sial atau sebaliknya membawa keberuntungan.
Buya Yahya menegaskan bahwa yang terpenting dalam pernikahan adalah niat yang tulus karena Allah, kesiapan lahir dan batin, serta pemenuhan syarat dan rukun nikah. Selama semua itu terpenuhi, maka pernikahan sah dan insyaAllah mendapat keberkahan.
Dengan demikian, umat Islam tidak perlu terikat pada anggapan tertentu tentang hari baik atau buruk dalam menikah. Yang lebih utama adalah mempersiapkan diri dan menjaga niat ibadah dalam membangun rumah tangga.
Buya Yahya: Semua Hari adalah Baik untuk Menikah, Jangan Terjebak Keyakinan yang Salah
Buya Yahya, Pengasuh LPD Al-Bahjah, menegaskan bahwa dalam Islam tidak ada larangan mengenai waktu tertentu untuk melangsungkan pernikahan. Menurut beliau, semua waktu adalah baik untuk melakukan kebaikan, termasuk pernikahan, selama tidak ada larangan khusus dari Allah SWT dan Rasulullah SAW.
“Seperti pernikahan, boleh dilakukan kapan saja. Bahkan pernah suatu ketika kita mengakadkan nikah pada pukul 12 malam. Saat itu kami baru datang dari tempat jauh, dan karena keluarga sudah sepakat serta senang, akhirnya langsung dinikahkan. Tidak ada masalah,” ujar Buya Yahya, dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV, Rabu (11/6/2025).
Beliau juga menjelaskan bahwa memilih hari tertentu untuk melangsungkan pernikahan tidak dilarang, selama alasannya bersifat praktis, bukan karena kepercayaan terhadap mitos atau takhayul.
“Kalau ada yang memilih untuk tidak menikah di hari Rebo Legi karena alasan itu hari pasaran dan orang sibuk, maka itu sah-sah saja. Tapi jangan sampai diyakini bahwa Rebo Legi adalah hari nahas untuk pernikahan. Itu yang salah dan perlu diluruskan,” tegas Buya Yahya.
Buya Yahya mengajak umat Islam untuk meyakini bahwa semua hari adalah baik. Tidak ada satu hari pun dalam Islam yang dianggap sial, termasuk dalam urusan menikah. Justru, beliau menganjurkan agar pernikahan dilakukan segera jika semua syarat sudah terpenuhi, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan secara syar’i.
“Jika sudah ada kesiapan dan keinginan kuat untuk menikah, menundanya tanpa alasan yang kuat justru bisa mendekati perbuatan yang dilarang, apalagi jika sudah muncul dorongan syahwat. Maka, semakin cepat menikah, semakin baik,” pungkasnya.
Dengan demikian, umat Islam diajak untuk meninggalkan kepercayaan terhadap hari sial atau bulan nahas dalam pernikahan, dan lebih fokus kepada kesiapan, niat yang lurus, serta kelengkapan syarat dan rukun nikah yang sesuai syariat.
Ubah Keyakinan Keliru dengan Bijak, Meneladani Dakwah Rasulullah dan Walisongo
Untuk meluruskan keyakinan yang keliru tentang hari atau bulan “sial” dalam pernikahan, diperlukan pendekatan yang bijak dan lembut, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam berdakwah. Metode dakwah yang penuh kelembutan ini kemudian dilanjutkan oleh para ulama dan wali Allah, termasuk para Walisongo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.
“Walisongo dalam merubah keyakinan masyarakat tidak pernah bersikap frontal atau membuat orang terkejut. Mereka menggunakan cara yang halus dan penuh hikmah,” tutur Buya Yahya.
Terkait pemilihan hari pernikahan, Buya Yahya menambahkan bahwa sah-sah saja jika seseorang memilih hari tertentu dengan pertimbangan praktis, misalnya agar lebih banyak keluarga atau kerabat yang dapat hadir.
“Jika mempelai tidak dalam kondisi mendesak, memilih hari yang memungkinkan lebih banyak keluarga dan tamu hadir tentu boleh. Tapi jangan sampai ada keyakinan bahwa hari tertentu membawa sial, itu yang perlu diluruskan,” pungkasnya.
Stylesphere – Menunaikan ibadah haji merupakan impian mulia bagi setiap Muslim. Setelah melewati serangkaian ibadah yang sarat dengan pengorbanan, keikhlasan, dan kesabaran di Tanah Suci, momen kepulangan jemaah haji ke tanah air menjadi saat yang sangat dinanti dan penuh haru.
Di tengah kegembiraan keluarga dan kerabat yang menyambut dengan suka cita, momen ini sebaiknya juga disertai dengan doa-doa penuh makna. Doa kepulangan dari haji tidak hanya menjadi ungkapan rasa syukur atas keselamatan dan kelancaran perjalanan, tetapi juga merupakan ikhtiar spiritual untuk menjaga kemabruran haji yang telah diperjuangkan.
Dengan doa, seorang haji memohon kepada Allah agar diberikan keistiqamahan dalam beribadah, serta memohon keberkahan bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Doa ini menjadi langkah awal dalam mempertahankan semangat ibadah dan nilai-nilai yang didapat selama berada di Tanah Suci.
Dalam panduan ini, terdapat beberapa doa yang dianjurkan dibaca usai pulang dari ibadah haji, baik untuk diri sendiri maupun oleh para penyambut sebagai bentuk penghormatan dan harapan atas haji yang mabrur.
Berikut adalah rangkaian doa-doa yang dapat diamalkan, sebagaimana dikutip dari laman Anugerahslot Online Lampung, Senin (9/6/2025).
Rangkaian Doa Setelah Pulang Haji: Ucapan Syukur dan Permohonan Keberkahan
Menunaikan ibadah haji adalah puncak spiritualitas bagi seorang Muslim, yang sarat dengan pengorbanan, keikhlasan, dan penguatan iman. Setelah menjalani seluruh rangkaian ibadah di Tanah Suci, kepulangan para jemaah haji ke kampung halaman menjadi momen istimewa yang tak hanya disambut dengan suka cita keluarga, tetapi juga diiringi dengan doa-doa penuh makna.
Doa ketika pulang dari haji bukan sekadar ungkapan syukur atas perjalanan yang selamat, tetapi juga menjadi ikhtiar untuk menjaga kemabruran haji dan memohon agar semangat ibadah terus terjaga dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut ini adalah beberapa doa yang dianjurkan dibaca saat pulang dari haji, baik oleh jemaah haji sendiri maupun oleh keluarga yang menyambut:
Artinya: (Kami) pulang, bertobat, menyembah, bersujud, dan memuji Tuhan kami.
Doa ini dibaca sebagai bentuk syukur atas kembalinya jemaah ke tanah air dengan selamat serta sebagai pengakuan atas ibadah yang telah dijalani dengan penuh keikhlasan.
2. Doa Saat Memasuki Kampung Halaman
بسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إنِّي أسألُكَ خَيْرَها وَخَيْرَ أهلها وَخَيْرَ ما فِيها، وأعُوذُ بِكَ مِنْ شَرّها وَشَرّ أهلها وَشَرّ مَا فِيهَا Bismillâh, allâhumma innî as-aluka khairahâ wa khaira ahlihâ wa khaira mâ fîhâ, wa a‘ûdzubika min syarrihâ wa syarri ahlihâ wa syarri mâ fîhâ.
Artinya: Dengan nama Allah, ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penduduknya, dan kebaikan apa yang ada di dalamnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan kampung ini, keburukan penduduknya, dan keburukan apa yang ada di dalamnya.
Doa ini mencerminkan harapan agar kepulangan membawa kebaikan, serta perlindungan dari potensi keburukan di tempat yang dituju.
Dengan membaca doa-doa ini, diharapkan para jemaah haji tidak hanya kembali secara fisik, tetapi juga membawa pulang ruh spiritual haji ke dalam kehidupan mereka. Doa menjadi jembatan antara ibadah yang telah dijalani dan komitmen untuk terus memperbaiki diri serta memberi manfaat bagi lingkungan sekitar
Semoga haji yang telah dilaksanakan diterima Allah sebagai haji yang mabrur, dan menjadi titik awal kehidupan yang lebih berkah dan bermakna.
Doa-Doa Kepulangan dari Ibadah Haji: Menyambut dengan Syukur dan Harapan
Kepulangan jemaah haji dari Tanah Suci adalah momen penuh haru dan kebahagiaan, tidak hanya bagi para jemaah itu sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat yang menanti. Di tengah suka cita, alangkah baiknya momen ini disertai dengan doa-doa syukur dan harapan, sebagai bentuk penghormatan terhadap ibadah yang telah dijalani, serta untuk menjaga semangat dan kemabruran haji yang diraih.
Berikut adalah rangkaian doa-doa yang dianjurkan untuk dibaca oleh jemaah maupun orang-orang yang menyambut mereka:
Artinya: (Kami) pulang, bertobat, menyembah, bersujud, dan memuji Tuhan kami.
2. Doa Memasuki Kampung Halaman
بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ أَهْلِهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ أَهْلِهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا Bismillâh, allâhumma innî as-aluka khairahâ wa khaira ahlihâ wa khaira mâ fîhâ, wa a‘ûdzubika min syarrihâ wa syarri ahlihâ wa syarri mâ fîhâ.
Artinya: Dengan nama Allah, ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penduduknya, dan kebaikan apa yang ada di dalamnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan kampung ini, keburukan penduduknya, dan keburukan apa yang ada di dalamnya.
Artinya: Kami sungguh memohon pertobatan. Kepada Tuhan kami, kami kembali, tobat yang tidak menyisakan dosa.
4. Doa dari Keluarga dan Penyambut Jemaah
قَبَّلَ اللهُ حَجَّكَ، وَغَفَرَ ذَنْبَكَ، وَأَخْلَفَ نَفَقَتَكَ Qabballallâhu hajjaka, wa ghafara dzanbaka, wa akhlafa nafaqataka.
Artinya: Semoga Allah menerima ibadah hajimu, mengampuni dosamu, dan mengganti pengeluaranmu.
5. Doa dari Riwayat Imam Al-Baihaqi
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْحَاجِّ وَلِمَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُ الحَاجُّ Allâhummaghfir lil hâjj, wa li man istaghfara lahul hâjj.
Artinya: Ya Allah, ampunilah dosa jemaah haji ini dan dosa orang yang dimintakan ampun oleh jemaah haji ini.
Membaca dan mengamalkan doa-doa ini saat menyambut kepulangan dari haji merupakan bentuk penghormatan terhadap perjalanan spiritual yang luar biasa. Semoga doa-doa ini menjadi peneguh bagi jemaah agar senantiasa istiqamah dalam kebaikan, serta menjadi sumber keberkahan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Stylesphere – Puasa Ayyamul Bidh adalah puasa sunnah yang dilakukan pada tiga hari pertengahan bulan Hijriah, yakni tanggal 13, 14, dan 15. Karena 13 Dzulhijjah adalah hari tasyrik, maka untuk bulan ini, puasa Ayyamul Bidh dimulai tanggal:
16 Dzulhijjah 1446 H → Kamis, 12 Juni 2025
14 Dzulhijjah 1446 H → Selasa, 10 Juni 2025
15 Dzulhijjah 1446 H → Rabu, 11 Juni 2025
✨ Keutamaan Puasa Ayyamul Bidh
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Berpuasa tiga hari setiap bulan seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Puasa ini dianjurkan karena:
Mendapat pahala seperti berpuasa sepanjang tahun
Menambah amalan sunnah pasca Iduladha
Menjadi sarana penghapus dosa
📝 Niat Puasa Ayyamul Bidh
Waktu niat: sebelum fajar (waktu Subuh). Namun, jika belum makan dan minum sejak subuh, boleh berniat di siang hari untuk puasa sunnah.
Waktu sahur: Dianjurkan di akhir malam, menjelang Subuh.
Keutamaannya: Mengandung keberkahan dan membedakan puasa umat Islam dari puasa umat lain.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Bersahurlah kalian, karena dalam sahur itu terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Menjalankan Puasa
Waktu puasa: Dari terbit fajar (Subuh) hingga terbenam matahari (Maghrib).
Menahan diri dari:
Makan dan minum
Hubungan suami istri
Perbuatan yang membatalkan puasa
Menjaga pahala puasa dengan menghindari:
Perkataan kotor
Ghibah (menggunjing)
Dosa dan maksiat
4. Berbuka Puasa
Disunnahkan berbuka tepat waktu saat adzan Maghrib berkumandang.
Dianjurkan berbuka dengan kurma, jika tidak ada maka cukup dengan air.
Nabi ﷺ bersabda: “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Benar, puasa Ayyamul Bidh memiliki keutamaan yang sangat besar di sisi Allah ﷻ. Salah satu keutamaannya adalah mendapatkan pahala seperti berpuasa sepanjang tahun, sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih berikut:
✨ Keutamaan Puasa Ayyamul Bidh
“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari, no. 1979)
Hadis ini diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, dan menunjukkan bahwa siapa saja yang rutin melaksanakan puasa tiga hari dalam sebulan — termasuk Ayyamul Bidh — akan mendapatkan pahala seolah-olah berpuasa sepanjang tahun.
📌 Kenapa pahalanya seperti puasa setahun?
Karena dalam Islam, setiap amal kebaikan dibalas sepuluh kali lipat. Maka:
3 hari x 10 = 30 hari → Seperti berpuasa 30 hari, atau satu bulan penuh.
Jika dilakukan setiap bulan, maka:
12 bulan x 1 bulan = 12 bulan → Seperti berpuasa setahun penuh.
📅 Rutinitas Sunnah yang Ringan
Puasa Ayyamul Bidh adalah amalan ringan yang bisa dilakukan siapa saja, namun pahalanya sangat besar. Ini adalah salah satu bentuk amal yang Rasulullah ﷺ rutin lakukan, dan beliau tidak pernah meninggalkannya, bahkan saat safar jika memungkinkan.
Stylesphere – Pembagian daging kurban kepada fakir miskin merupakan bagian penting dalam pelaksanaan ibadah kurban yang tidak boleh diabaikan. Setiap Muslim yang berkurban wajib memahami dengan benar ketentuan syariat terkait distribusi daging agar ibadahnya sah dan berpahala.
Dalam Islam, memberikan daging kurban kepada kaum dhuafa bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan amanah ibadah yang mengandung nilai sosial tinggi. Tujuan utamanya adalah menebar keadilan sosial, mempererat ukhuwah islamiyah, serta menjadi sarana berbagi rezeki kepada mereka yang kurang mampu.
Ketentuan syariat menegaskan bahwa daging kurban hendaknya dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk diri sendiri dan keluarga, sepertiga untuk kerabat dan tetangga, serta sepertiga terakhir wajib diberikan kepada fakir miskin. Ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam pelaksanaan kurban di zamannya.
Pemahaman yang tepat tentang tata cara pembagian ini sangat penting agar ibadah kurban tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga membawa keberkahan sosial yang nyata. Sebab, melalui pembagian daging ini, semangat kepedulian dan solidaritas antarumat Islam semakin tumbuh kuat.
Beragam dalil dari Al-Qur’an dan hadits memperkuat pentingnya pembagian daging kepada yang membutuhkan. Salah satunya adalah firman Allah dalam Surah Al-Hajj ayat 28:
“Makanlah sebagian dari (daging kurban) itu dan berikanlah kepada orang yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta-minta.”
Dengan memahami dan mengamalkan ketentuan ini, ibadah kurban tidak hanya menjadi bentuk ketaatan kepada Allah, tetapi juga menjadi wasilah untuk memperkuat ikatan sosial di tengah masyarakat.
Berikut ini telah Anugerahslot rankum, penjelasan tentang ketentuan pembagian daging kurban untuk fakir miskin, termasuk dalil-dalil Al-Quran dan hadits yang mendasarinya, pada Senin (9/6).
Panduan Pembagian Daging Kurban Sunnah: Seimbangkan Hak Pribadi dan Kewajiban Sosial
Kurban sunnah adalah ibadah yang dilakukan secara sukarela oleh seorang Muslim, tanpa adanya nazar atau janji sebelumnya. Meski hukumnya tidak wajib, pelaksanaan kurban sunnah tetap memiliki aturan yang jelas dalam syariat, termasuk dalam hal pembagian daging kurban.
Dalam Islam, pembagian daging kurban sunnah dibagi menjadi tiga bagian yang proporsional dan adil:
Sepertiga untuk dikonsumsi sendiri oleh orang yang berkurban dan keluarganya.
Sepertiga wajib diberikan kepada fakir miskin.
Sepertiga sisanya dapat disimpan atau disedekahkan kepada yang membutuhkan.
Pembagian ini mengandung hikmah sosial yang besar. Selain memberikan kesempatan kepada orang yang berkurban untuk merasakan nikmat dari ibadahnya, ketentuan ini juga memastikan bahwa manfaat kurban dirasakan secara luas oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang kurang mampu.
Tradisi pembagian daging dalam tiga bagian ini bukan sekadar budaya turun-temurun, melainkan ajaran yang dianjurkan oleh para ulama berdasarkan pemahaman mendalam terhadap dalil-dalil syar’i.
Dasar hukum dari pembagian ini salah satunya tercantum dalam Al-Qur’an, surah Al-Hajj ayat 28:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ Artinya: “(Mereka berdatangan) agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah makan kepada orang yang sengsara lagi fakir.”
Ayat ini mengandung dua anjuran sekaligus: menikmati sebagian hasil kurban dan berbagi kepada yang membutuhkan. Inilah yang menjadikan pembagian daging kurban sebagai bentuk nyata kepedulian sosial yang diajarkan Islam.
Dengan mengikuti panduan ini, kurban sunnah tidak hanya menjadi ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga menjadi sarana mempererat solidaritas sosial dan menebar manfaat di tengah masyarakat.
Panduan Pembagian Daging Kurban Wajib: Seluruhnya untuk Fakir Miskin
Kurban wajib adalah ibadah yang harus dilaksanakan karena seseorang telah bernazar atau mengucapkan sumpah untuk melaksanakannya. Tidak seperti kurban sunnah, kurban wajib memiliki ketentuan pembagian yang lebih ketat dan mengikat.
Dalam kurban wajib, seluruh daging kurban harus diberikan kepada fakir miskin. Orang yang berkurban tidak diperbolehkan mengambil bagian sedikit pun, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun diberikan kepada keluarga atau kerabat. Semua hasil kurban, termasuk daging, kulit, dan bagian lainnya, disalurkan sepenuhnya kepada mereka yang berhak menerima.
Perbedaan ini menunjukkan tingkat komitmen yang lebih tinggi dalam pelaksanaan kurban wajib. Nazar dalam Islam merupakan janji yang diikrarkan kepada Allah SWT, dan karena itu harus dipenuhi secara sempurna, tanpa ada pengurangan dalam bentuk apa pun.
Hukum dan Dalil Nazar
Dalam Islam, nazar adalah janji atau ikrar yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui suatu amal ibadah. Jika nazar itu menyangkut kurban, maka pelaksanaannya menjadi wajib.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang bernazar untuk menaati Allah, maka hendaklah ia menaati-Nya, dan barang siapa yang bernazar untuk maksiat, maka janganlah ia melakukannya.” (HR. Bukhari, no. 6696)
Hadis ini menegaskan bahwa nazar untuk melakukan kebaikan seperti berkurban wajib dipenuhi. Karena itu, pelaksanaan dan distribusi daging kurban wajib tidak boleh dikurangi atau dimanfaatkan oleh pihak yang berkurban.
Kesimpulan
Kurban wajib bukan sekadar ritual, melainkan bentuk ketaatan total terhadap janji kepada Allah. Dengan menyerahkan seluruh daging kepada fakir miskin, pelaksana kurban menunjukkan keikhlasan dalam menunaikan nazar dan meneguhkan nilai-nilai kepedulian sosial dalam Islam.
Mengapa Daging Kurban Harus Dibagikan dalam Bentuk Segar, Bukan Masakan?
Dalam pelaksanaan ibadah kurban, terdapat aturan syariat yang harus diperhatikan, salah satunya adalah ketentuan pembagian daging kurban dalam bentuk mentah atau segar, bukan dalam bentuk masakan. Ini merupakan perbedaan mendasar antara kurban dan akikah, di mana pada akikah justru dianjurkan untuk dibagikan dalam bentuk masakan.
Pembagian daging kurban dalam bentuk segar bertujuan memberikan keleluasaan kepada fakir miskin sebagai penerima untuk mengolah daging sesuai kebutuhan, selera, dan situasi keluarga masing-masing. Mereka bisa langsung memasaknya, menyimpannya, atau mengelolanya sesuai kondisi mereka.
Hikmah di Balik Ketentuan Ini
Islam sangat memperhatikan aspek kebebasan dan kenyamanan penerima dalam mengelola pemberian. Daging kurban yang dibagikan dalam bentuk mentah:
Dapat disimpan untuk waktu yang lebih lama,
Lebih fleksibel dalam pengolahan,
Menunjukkan rasa empati terhadap kondisi ekonomi mereka.
Penjelasan Ulama
Para ulama telah menegaskan larangan membagikan daging kurban dalam bentuk makanan matang. Hal ini dijelaskan dalam kitab Fathul Mujîbil Qarîb:
ويطعم وجوبا من أضحية التطوع الفقراء والمساكين على سبيل التصدق بلحمها نيئا، فلا يكفي جعله طعاما مطبوخا ودعاء الفقراء إليه ليأكلوه، والأفضل التصدق بجميعها إلا لقمة أو لقمتين أو لقما.
“Orang yang berkurban wajib memberikan sebagian hewan kurban sunnah kepada fakir miskin dalam bentuk daging mentah sebagai sedekah. Tidak cukup (tidak sah) jika daging itu dimasak dan orang miskin diundang untuk memakannya. Yang paling utama adalah menyedekahkan seluruh daging, kecuali satu atau dua suap untuk diri sendiri.”
Kesimpulan
Ketentuan pembagian daging kurban dalam bentuk segar bukan sekadar aturan teknis, tetapi mencerminkan prinsip kemuliaan dan keadilan dalam syariat Islam. Daging kurban adalah amanah untuk disalurkan kepada mereka yang berhak, dan cara penyalurannya pun harus sesuai tuntunan agar ibadah kurban menjadi sah dan berpahala.
Dalam Islam, pembagian daging kurban bukan sekadar kegiatan distribusi, melainkan bagian dari ibadah yang sarat nilai adab, etika, dan kepedulian sosial. Setiap Muslim yang berkurban wajib memahami bahwa proses ini harus dilakukan dengan cara yang menjaga kehormatan penerima, bukan dengan sikap merendahkan atau merasa lebih tinggi.
1. Menjaga Martabat Penerima
Pembagian daging kurban harus dilakukan dengan sikap rendah hati dan niat tulus. Jangan sampai penerima merasa dipermalukan, apalagi dianggap sebagai objek belas kasihan. Islam mengajarkan bahwa berkurban adalah bentuk penghambaan kepada Allah, bukan untuk pamer atau riya.
2. Prioritas Penerima
Mereka yang berhak menerima daging kurban diutamakan adalah:
Fakir miskin
Janda
Anak yatim
Keluarga yang sedang kesulitan ekonomi
Namun, tetangga dan kerabat juga boleh diberi bagian sebagai bentuk silaturahmi, meskipun tidak tergolong fakir miskin.
3. Waktu dan Cara Pembagian
Agar daging sampai dalam kondisi layak konsumsi:
Segera distribusikan setelah penyembelihan dan pemotongan.
Jika harus disimpan, pastikan menggunakan metode pengawetan yang benar (misalnya pendinginan).
Jangan menunda hingga daging tidak lagi segar atau menimbulkan risiko kesehatan.
4. Kurban: Amanah, Bukan Sekadar Tradisi
Pembagian daging kurban merupakan bagian integral dari pelaksanaan ibadah kurban itu sendiri. Ketentuannya jelas:
Kurban sunnah: daging dibagi tiga bagian (untuk diri, fakir miskin, dan sedekah).
Kurban wajib (karena nazar): seluruh daging wajib disedekahkan, dan pelaku kurban tidak boleh mengambil bagian apa pun.
Penutup
Dengan memahami dan menerapkan tata cara serta etika pembagian daging kurban, seorang Muslim telah menunjukkan kepatuhan terhadap syariat sekaligus empati terhadap sesama. Ibadah kurban pun menjadi lebih bermakna, bukan hanya di mata Allah, tetapi juga bagi kehidupan sosial masyarakat.
Stylesphere – Walimah merupakan bentuk syiar dan ungkapan rasa syukur dalam Islam yang dilakukan setelah akad pernikahan. Tujuan utamanya adalah untuk mengumumkan pernikahan secara terbuka, mempererat tali silaturahmi, serta berbagi kebahagiaan dengan orang-orang sekitar.
Rasulullah SAW menganjurkan pelaksanaan walimah, bahkan meskipun hanya dengan seekor kambing. Hal ini menegaskan bahwa walimah tak harus digelar dengan kemewahan, namun lebih pada makna dan keberkahan yang menyertainya.
Berbarengan dengan bulan Dzulhijjah, umat Islam juga menjalankan ibadah kurban, yakni menyembelih hewan tertentu untuk kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin dan masyarakat sekitar.
Namun, muncul pertanyaan: bolehkah menggunakan daging kurban sebagai sajian untuk acara walimah?
Pertanyaan ini cukup penting, mengingat niat utama dari ibadah kurban adalah ibadah murni yang diperuntukkan bagi Allah SWT dan disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak.
Menurut ulasan dari NU Online kepada Anugerahslot hari Sabtu (7/6/2025), terdapat penjelasan dalam literatur fikih yang menyebutkan bahwa daging kurban tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi pribadi atau dijadikan jamuan dalam acara pribadi seperti walimah, jika hewan tersebut merupakan kurban wajib atau nadzar.
Namun, jika hewan kurban tersebut berstatus sunah (bukan nadzar), maka boleh saja sebagian dagingnya dimanfaatkan untuk keperluan pribadi, termasuk disajikan dalam acara walimah, dengan syarat utama bahwa sebagian besar daging tetap dibagikan kepada mereka yang berhak menerima.
Kesimpulannya, penggunaan daging kurban untuk sajian walimah diperbolehkan selama kurbannya bukan nadzar dan pembagian daging kepada kaum dhuafa tetap diutamakan. Hal ini tetap sejalan dengan esensi kurban sebagai ibadah sosial dan bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Hukum Walimah dan Bolehkah Menggunakan Daging Kurban untuk Jamuan?
Dalam ajaran Islam, walimah merupakan bentuk syiar dan ungkapan syukur yang dilakukan setelah akad pernikahan. Selain menjadi tanda pengumuman kepada masyarakat luas, walimah juga menjadi momen untuk mempererat tali silaturahmi dan berbagi kebahagiaan bersama.
Nabi Muhammad SAW pun menganjurkan umatnya untuk mengadakan walimah, sebagaimana tergambar dalam hadis dari sahabat Anas RA, saat beliau menyampaikan perintah kepada Abdurrahman bin Auf:
“Dari sahabat Anas, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW melihat bekas warna kuning pada tubuh Abdurrahman bin Auf, lalu beliau bertanya: ‘Apa ini?’ Abdurrahman menjawab: ‘Saya baru menikah dengan seorang perempuan dengan mahar seberat biji emas.’ Nabi bersabda: ‘Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing.'” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini sering dijadikan dasar oleh sebagian ulama bahwa walimah hukumnya wajib. Namun, menurut pendapat yang lebih kuat (adzhar), hukum walimah adalah sunnah muakkadah—artinya sangat dianjurkan.
Hal ini dijelaskan dalam kitab Kifayatul Akhyar, karya Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hishni, sebagai berikut:
“Pendapat yang lebih kuat adalah yang ditegaskan oleh Imam Abu Ishaq As-Syirazi, bahwa walimah hukumnya sunnah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW: ‘Tidak ada hak dalam harta kecuali zakat.’ Selain itu, karena walimah merupakan bentuk hidangan yang tidak khusus untuk orang miskin, maka hukumnya menyerupai ibadah kurban (udhiyah) dan dapat dianalogikan dengan berbagai jenis jamuan lainnya. Maka, hadis tentang perintah Nabi dalam walimah Abdurrahman bin Auf dipahami sebagai bentuk penekanan terhadap kesunnahan tersebut.” (Kifayatul Akhyar, hal. 374)
Bolehkah Menggunakan Daging Kurban untuk Jamuan Walimah?
Terkait penggunaan daging kurban dalam walimah, perlu dilihat dari jenis kurban yang dilakukan:
Jika kurban tersebut adalah kurban wajib atau nadzar, maka dagingnya tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, termasuk untuk jamuan walimah.
Namun jika kurbannya bersifat sunah (udhiyah biasa), maka boleh menggunakan sebagian dagingnya untuk keperluan pribadi, termasuk sebagai sajian dalam acara walimah, selama tetap membagikan sebagian besar daging kepada yang berhak menerimanya.
Dengan demikian, menyajikan hidangan walimah dari daging kurban diperbolehkan dalam Islam, asalkan kurbannya bukan nadzar dan hak mustahik tetap terpenuhi.
Bolehkah Menggunakan Daging Kurban sebagai Sajian Walimah?
Dalam Islam, walimatul ‘ursy merupakan sunnah yang dianjurkan sebagai bentuk pengumuman pernikahan, rasa syukur, dan sarana berbagi kebahagiaan. Rasulullah SAW sendiri memerintahkan Abdurrahman bin Auf untuk mengadakan walimah meskipun hanya dengan seekor kambing, sebagaimana dalam hadis sahih yang telah disebutkan sebelumnya.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa menyajikan makanan kepada para tamu walimah, meskipun sederhana, tetap memiliki nilai ibadah. Namun, muncul pertanyaan: bolehkah menyajikan daging kurban sebagai hidangan walimah, dengan alasan agar lebih efisien dan mendapatkan dua pahala sekaligus—kurban dan walimah?
Penjelasan Ulama: Daging Kurban Harus Dibagikan dalam Keadaan Mentah
Pertanyaan ini telah dijawab oleh para ulama, di antaranya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, seorang ulama mazhab Syafi’i yang otoritatif. Dalam penjelasannya, beliau menyatakan bahwa:
Daging hewan kurban wajib dibagikan kepada fakir miskin dalam kondisi mentah, bukan dalam bentuk makanan siap santap.
Artinya, meskipun kurban merupakan ibadah sedekah berupa daging, syarat sahnya adalah diserahkan dalam bentuk daging mentah kepada para mustahik. Fakir miskin sebagai penerima daging kurban berhak mengelola dan memanfaatkannya sendiri, termasuk jika mereka ingin memasak atau menjualnya. Namun, pihak yang berkurban tidak diperkenankan mengolahnya terlebih dahulu untuk disajikan kepada mereka.
Dengan demikian, menyajikan daging kurban yang telah dimasak sebagai hidangan walimah tidak diperbolehkan menurut ketentuan fiqih. Hal ini karena:
Walimah berarti menyajikan makanan siap santap kepada tamu.
Kurban (udhiyah) mewajibkan pembagian daging mentah kepada fakir miskin sebagai bentuk sedekah.
Kesimpulan
Menggabungkan dua ibadah — kurban dan walimah — dalam bentuk menyajikan daging kurban yang sudah dimasak untuk walimah tidak dibenarkan menurut syariat. Masing-masing memiliki prinsip dan aturan tersendiri:
Kurban: daging dibagikan dalam keadaan mentah, khususnya kepada fakir miskin.
b
Jika ingin tetap melaksanakan kedua ibadah ini, maka solusi terbaik adalah:
✅ Menyajikan makanan dari sumber lain (bukan daging kurban) untuk acara walimah. ✅ Sementara daging kurban tetap dibagikan dalam bentuk mentah sesuai tuntunan syariat.
Dengan demikian, kedua ibadah bisa dijalankan secara sah dan memperoleh keberkahan maksimal.