Buya Yahya: Kesuksesan dan Kekayaan Hakiki Harus Dimulai dengan Sandaran kepada Allah

Stylesphere – Keinginan untuk hidup sukses dan memiliki kekayaan adalah harapan yang dimiliki oleh hampir setiap orang. Namun dalam pandangan Islam, kekayaan bukan hanya diukur dari jumlah harta, melainkan juga dari cara memperolehnya serta bagaimana harta tersebut dimanfaatkan.

Dalam ceramah terbarunya, KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) memberikan nasihat mendalam tentang bagaimana meraih kesuksesan dan kekayaan yang hakiki menurut Islam. Ceramah ini disampaikan melalui tayangan video di kanal YouTube @buyayahyaofficial dan dikutip Anugerahslot pada Ahad (29 Juni 2025).

Sandarkan Usaha kepada Allah

Menurut Buya Yahya, setiap aktivitas—terutama dalam urusan mencari nafkah—harus diawali dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT. Ia menekankan pentingnya menjadikan hubungan spiritual dengan Allah sebagai fondasi utama dalam membangun usaha dan mencapai kesuksesan.

“Yang dibangun tidak dengan Allah, maka susah menghantarkan kepada Allah,” ujar Buya Yahya.

Beliau menyoroti bahwa hanya sedikit orang yang benar-benar memulai usahanya dengan langkah spiritual, seperti berwudhu, berdoa, atau melaksanakan salat sebelum membuka toko atau memulai bisnis.

Dua Amalan Sunnah Sebelum Memulai Usaha

Buya Yahya mengingatkan bahwa dalam riwayat hadits Nabi Muhammad SAW, terdapat dua amalan sunnah yang sangat dianjurkan sebelum memulai aktivitas atau usaha:

  1. Berwudhu – sebagai bentuk penyucian diri dan persiapan spiritual
  2. Berdoa atau melaksanakan salat sunnah – untuk memohon pertolongan dan keberkahan dari Allah

Kedua amalan ini, meskipun ringan, diyakini memiliki pengaruh besar dalam menarik keberkahan dan menjauhkan usaha dari kesulitan yang tidak terlihat.

Dengan menjadikan Allah sebagai pusat niat dan awal dari setiap ikhtiar, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk menyelaraskan usaha dunia dengan tujuan akhirat. Karena pada akhirnya, kesuksesan yang sejati adalah ketika harta yang dimiliki membawa manfaat dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Buya Yahya: Rezeki Tanpa Sandaran kepada Allah Akan Terasa Berat

Dalam sebuah ceramahnya yang dikutip dari kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Ahad (29 Juni 2025), KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) mengingatkan pentingnya mengawali usaha dan aktivitas duniawi dengan langkah spiritual. Menurutnya, banyak orang lupa bahwa rezeki sejati bukan hanya soal strategi, melainkan soal sandaran hati kepada Allah SWT.

Dua Amalan Sunnah Sebelum Memulai Usaha

Buya Yahya menyampaikan bahwa Rasulullah SAW telah memberi tuntunan dua bentuk amalan sunnah sebelum memulai aktivitas penting, termasuk saat hendak membuka usaha:

  1. Berwudhu lalu berdoa
  2. Berwudhu lalu melaksanakan dua rakaat salat sunnah, kemudian berdoa

Amalan ini adalah bentuk permohonan pertolongan kepada Allah yang seringkali terlupakan. Buya Yahya menegaskan dengan pertanyaan retoris:

“Siapa di antara kita yang saat membuka toko melakukannya?”

Spiritualitas yang Sering Terpinggirkan

Menurut Buya, banyak orang saat hendak memulai bisnis hanya fokus pada perhitungan duniawi—seperti strategi pemasaran, target keuntungan, dan penguasaan pasar. Padahal, dimensi spiritual seharusnya menjadi fondasi utama.

Ia mengakui bahwa seseorang bisa saja menjadi kaya tanpa mengenal Allah, namun kekayaan semacam itu akan berbeda nilainya dan dampaknya dibandingkan dengan kekayaan yang disertai kesadaran spiritual.

“Kekayaan yang tidak dibarengi dengan rasa syukur dan kesadaran kepada Allah, justru bisa menjadi beban,” ujar Buya Yahya.

Kekayaan: Alat, Bukan Tujuan

Buya Yahya mengingatkan bahwa kekayaan bukanlah tujuan akhir dalam hidup, melainkan alat untuk meraih ridha Allah SWT. Orang yang kaya tapi tetap bersandar kepada Allah akan lebih ringan dalam berzakat, bersedekah, dan membantu sesama, karena hatinya terpaut pada nilai-nilai akhirat.

Sebaliknya, rezeki yang dicari hanya dengan mengandalkan akal dan strategi duniawi, tanpa ruh spiritual, sering terasa berat dijalani. Bahkan jika jumlahnya besar, tidak sedikit yang tetap diliputi kegelisahan dan ketidaktenangan.

Dengan penekanan ini, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk membangun usaha dengan mengintegrasikan aspek spiritual. Karena rezeki yang penuh berkah bukan sekadar banyaknya angka, tapi ketenangan hati dan kebermanfaatan harta di jalan Allah.

Buya Yahya: Kunci Sukses dan Kekayaan Sejati Ada pada Kedekatan dengan Allah

Buya Yahya menegaskan bahwa rezeki yang disertai niat ikhlas dan orientasi ibadah kepada Allah SWT, meskipun terlihat kecil secara materi, akan membawa ketenangan dan keberkahan dalam hidup. Sebaliknya, harta yang besar tanpa keikhlasan dan sandaran kepada Allah, bisa menjadi sumber kegelisahan.

Dalam ceramahnya, Buya Yahya mengingatkan umat Islam agar tidak melupakan rasa syukur dan senantiasa memohon pertolongan Allah dalam setiap usaha dan pekerjaan yang dijalani. Ia menekankan pentingnya memulai aktivitas dengan hubungan yang kuat kepada Allah, karena dari situlah jalan kesuksesan dan kekayaan akan terasa lebih mudah dan diberkahi.

“Rezeki adalah titipan dari Allah. Maka, tempatkan ia sesuai dengan kehendak-Nya dan manfaatkan dalam koridor syariat,” ujar Buya Yahya.

Menurutnya, kesuksesan hakiki bukan hanya soal kerja keras dan strategi bisnis, tetapi juga soal kedekatan dengan Allah, ketulusan niat, serta kesadaran untuk menjaga amanah harta yang diberikan.

Buya Yahya menutup pesannya dengan ajakan reflektif: di tengah gemuruh dunia bisnis modern yang kerap menomorsatukan logika dan materi, unsur spiritualitas tetap menjadi fondasi utama. Bagi siapa pun yang ingin mencapai keberhasilan sejati, hubungan dengan Sang Pemberi Rezeki tak boleh diabaikan.

Ayatollah Ali Khamenei: Pemimpin Berpengaruh dengan Pendekatan Kompleks dalam Dunia Islam

Stylesphere – Ayatollah Ali Khamenei merupakan tokoh sentral dalam politik dan keagamaan Iran sekaligus figur berpengaruh di dunia Syi’ah. Perhatiannya semakin besar ketika konflik antara Iran dan Israel mencuat, menempatkan sosoknya di tengah sorotan publik internasional.

Sejak menjabat sebagai Pemimpin Tertinggi Iran pada tahun 1989, Khamenei telah memainkan peran vital dalam membentuk arah kebijakan domestik maupun luar negeri Iran, serta dalam mengarahkan dinamika keagamaan di dalam negeri. Reputasinya dikenal luas sebagai simbol kekuasaan Syi’ah, namun juga kerap menjadi figur kontroversial di mata dunia Barat dan sebagian komunitas Muslim non-Syi’ah.

Pendekatan Moderat terhadap Hubungan Antar-Mazhab

Di balik citra politik yang kuat, terdapat sisi lain dari kepemimpinan Khamenei yang jarang mendapat perhatian, terutama terkait pandangannya dalam membina hubungan antar-mazhab dalam Islam. Salah satu hal yang cukup menonjol adalah seruannya untuk menjaga penghormatan terhadap tokoh-tokoh Sunni serta larangan tegas terhadap penghinaan yang dapat memecah belah umat.

Sikap ini mencerminkan pendekatan yang lebih inklusif dan toleran, menunjukkan bahwa Khamenei tidak hanya melihat Islam dalam kacamata sektarian, melainkan sebagai kesatuan umat yang harus dijaga dari konflik internal. Meski pernyataan dan kebijakannya kerap disalahpahami, aspek moderat ini menunjukkan adanya kompleksitas dalam pemikirannya yang tidak selalu terekspos oleh media arus utama.

Peran Strategis di Iran dan Dunia Islam

Sebagai pemimpin spiritual dan politik tertinggi di Iran, Ayatollah Khamenei tidak hanya menentukan arah kebijakan dalam negeri, tetapi juga memainkan peran strategis dalam percaturan geopolitik dunia Islam. Pandangannya terhadap dialog antar-mazhab, kemandirian politik, serta perlawanan terhadap hegemoni asing menjadikannya figur yang dihormati sekaligus dikritik oleh berbagai pihak.

Dalam konteks konflik regional dan ketegangan sektarian yang kerap memecah belah dunia Muslim, pendekatan Khamenei terhadap persatuan umat dan penolakan terhadap provokasi sektarian memiliki implikasi yang penting—baik bagi stabilitas internal Iran maupun bagi solidaritas umat Islam secara global.

Mengenal Ayatollah Ali Khamenei secara lebih komprehensif membuka ruang pemahaman yang lebih luas tentang dinamika politik dan keagamaan di Iran. Lebih dari sekadar tokoh kontroversial, ia adalah pemimpin dengan visi yang kompleks—memadukan peran sebagai penjaga ideologi negara, penggerak perlawanan terhadap dominasi global, sekaligus tokoh yang mendorong dialog dan penghormatan antar mazhab Islam.

Dengan menggali sisi-sisi tersembunyi dari pemikirannya, kita bisa memahami bahwa realitas politik dan keagamaan di Timur Tengah seringkali tidak bisa disederhanakan menjadi hitam dan putih.

Ayatollah Ali Khamenei dan Komitmen terhadap Persatuan Umat Islam

Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, selama ini dikenal luas sebagai sosok yang memegang kendali kuat dalam struktur pemerintahan Iran, baik dari sisi spiritual maupun politik. Ia adalah ulama paling berpengaruh dalam mazhab Syiah di negara tersebut dan memainkan peran sentral dalam mengarahkan kebijakan negara.

Namun di balik citra politik dan ideologis yang kerap melekat padanya, terdapat sisi lain dari kepemimpinan Khamenei yang jarang mendapat sorotan, yakni komitmennya terhadap persatuan umat Islam lintas mazhab.

Fatwa untuk Meredam Ketegangan Sektarian

Pada tahun 2010, di tengah meningkatnya ketegangan sektarian antara kalangan Syiah dan Sunni di dunia Islam, Ayatollah Khamenei mengeluarkan sebuah fatwa penting. Dalam fatwa tersebut, ia secara tegas melarang penghinaan terhadap istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah r.a., serta para sahabat Nabi, yang merupakan tokoh-tokoh sentral dan sangat dihormati oleh umat Sunni.

Langkah ini diambil sebagai respons atas meningkatnya provokasi dari sejumlah tokoh ekstrem Syiah yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan ofensif, memicu kemarahan luas di kalangan Sunni dan memperparah polarisasi antar-mazhab.

Pesan Toleransi dan Keutuhan Umat

Dalam isi fatwanya, Ayatollah Khamenei menegaskan bahwa tindakan mencela simbol-simbol yang dihormati oleh umat Islam lainnya adalah perbuatan yang “haram” dan bertentangan dengan ajaran Islam. Ia menekankan pentingnya menjaga kehormatan tokoh-tokoh keagamaan dan menghindari segala bentuk ucapan atau tindakan yang dapat memecah belah umat.

Pesan tersebut memperlihatkan bahwa Khamenei tidak hanya berkonsentrasi pada isu-isu ideologis dalam lingkup Syiah, tetapi juga memiliki pandangan yang luas terhadap rekonsiliasi antar-mazhab dan stabilitas dunia Islam secara keseluruhan.

Strategi Ayatollah Khamenei dalam Membangun Persatuan Islam

Langkah Ayatollah Ali Khamenei dalam melarang penghinaan terhadap tokoh-tokoh Sunni bukan sekadar isyarat simbolis, melainkan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempererat hubungan antara umat Islam lintas mazhab, khususnya antara Sunni dan Syiah. Dalam berbagai kesempatan, Khamenei menekankan bahwa persatuan umat Islam merupakan kebutuhan mendesak, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti Islamofobia, intervensi asing, dan konflik internal di dunia Muslim.

Pekan Persatuan Islam: Membangun Dialog Antar-Mazhab

Sebagai wujud nyata dari komitmennya, Khamenei turut menggagas dan mendorong pelaksanaan “Pekan Persatuan Islam”, yang diperingati setiap tahun di Iran. Perayaan ini berlangsung antara tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW menurut kalender Sunni dan Syiah, sebagai simbol niat baik dan ajakan untuk saling memahami perbedaan historis serta membangun dialog yang konstruktif.

Inisiatif ini dimaksudkan sebagai platform untuk mempertemukan ulama, cendekiawan, dan tokoh-tokoh Islam dari berbagai mazhab, guna mendiskusikan isu-isu keumatan dalam semangat kolaboratif, bukan konfrontatif.

Apresiasi dan Tantangan dari Dua Arah

Langkah moderat Khamenei mendapat reaksi beragam dari berbagai kalangan. Di satu sisi, kelompok Syiah konservatif menentang pendekatan ini, menganggapnya sebagai kompromi terhadap prinsip-prinsip mazhab mereka. Di sisi lain, sebagian kalangan Sunni masih menyimpan kecurigaan, menilai ajakan tersebut sebagai bagian dari strategi politik Iran untuk memperluas pengaruh di dunia Islam.

Meski demikian, respon positif juga muncul dari tokoh-tokoh Sunni berpengaruh. Salah satunya adalah Syaikh Yusuf al-Qaradawi, ulama terkemuka dari Qatar, yang menyambut baik fatwa Khamenei dan menyebutnya sebagai langkah konstruktif dalam membangun jembatan Sunni-Syiah.

Menolak Sektarianisme, Menjaga Etika Perbedaan

Fatwa dan pendekatan yang ditunjukkan Khamenei menjadi bukti bahwa meskipun ia merupakan figur utama dalam mazhab Syiah, ia tidak mewakili sikap sektarian ekstrem yang kerap diasosiasikan dengan sebagian kelompok garis keras. Sebaliknya, ia berupaya menegaskan bahwa perbedaan mazhab tidak harus menjadi penghalang untuk persatuan, selama dilandasi oleh saling menghormati dan menjaga etika dalam perbedaan.

Penutup: Catatan Penting Bagi Dunia Islam

Sebagai salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia Islam, sikap Ayatollah Khamenei menjadi catatan penting dalam wacana persatuan umat. Ia menunjukkan bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan dalam sejarah Islam, namun bisa dikelola dengan hikmah, toleransi, dan rasa hormat. Dalam dunia yang kian terfragmentasi, pendekatan seperti ini menjadi semakin relevan untuk menjaga solidaritas dan stabilitas umat Islam secara global.

Makna dan Sejarah Puasa Asyura: Jejak Ibadah dari Masa Jahiliyah hingga Risalah Nabi Muhammad SAW

Stylesphere – Puasa Asyura, yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram dalam kalender hijriyah, merupakan salah satu amalan sunnah yang memiliki nilai sejarah dan spiritual yang mendalam. Lebih dari sekadar ritual ibadah, puasa ini menyimpan kisah panjang yang menghubungkan masa jahiliyah, sejarah kenabian Musa AS, hingga masa kenabian Rasulullah SAW.

Dalam salah satu ceramahnya yang disampaikan melalui kanal YouTube @persepsidalamdiam, Ustadz Adi Hidayat (UAH) membahas sejarah dan makna syariat puasa Asyura dari perspektif lintas zaman. Ia menjelaskan bahwa puasa ini sudah dikenal jauh sebelum kedatangan Islam.

“Puasa Asyura bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Quraisy. Bahkan di masa jahiliyah, mereka sudah terbiasa melaksanakannya,” tutur Ustadz Adi Hidayat, dikutip Anugerahslot islamic pada Jumat (27/6/2025).

Menurut UAH, praktik puasa pada tanggal 10 Muharram telah menjadi bagian dari tradisi turun-temurun di kalangan penduduk Makkah. Tradisi ini kemudian mendapat pengakuan dalam Islam dan diberi makna baru melalui bimbingan Nabi Muhammad SAW.

Ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah, beliau mendapati bahwa kaum Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura. Mereka melakukannya sebagai bentuk penghormatan terhadap peristiwa diselamatkannya Nabi Musa AS dan kaumnya dari kejaran Fir’aun. Momen ini menjadi titik penting penyelarasan antara ajaran terdahulu dengan syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW.

Dengan sikap bijak, Nabi Muhammad SAW mengakui nilai spiritual di balik puasa tersebut dan mengarahkan umat Islam untuk ikut melakukannya, bahkan menganjurkan untuk menambah puasa sehari sebelumnya (Tasua, 9 Muharram) sebagai pembeda dari kebiasaan kaum Yahudi.

Puasa Asyura: Tradisi Lama yang Dikuatkan Syariat, Simbol Syukur dan Jejak Sejarah Iman

Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa Islam tidak serta-merta menolak tradisi lama. Sebaliknya, Islam memilah dan menimbang setiap tradisi berdasarkan nilai dan manfaat yang dikandungnya. “Dari sini kita bisa lihat bagaimana Islam tidak serta-merta menolak semua tradisi lama, tapi menimbangnya berdasarkan nilai dan manfaat,” jelasnya.

Menurut Ustadz Adi, dalam menyikapi tradisi semacam ini, syariat Islam memiliki empat pendekatan, salah satunya adalah melestarikan tradisi apabila terbukti membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Puasa Asyura menjadi contoh nyata bagaimana sebuah tradisi yang berasal dari masa lampau dapat diadopsi dan diteguhkan dalam Islam sebagai ibadah sunnah. Tradisi ini tidak hanya diperkuat secara hukum, tetapi juga dimaknai sebagai bentuk syukur, pembersih dosa, dan penghormatan terhadap warisan sejarah kenabian.

“Syariat memperkuat puasa Asyura karena ia mengandung unsur syukur, penghapusan dosa, dan penghargaan terhadap sejarah kenabian,” ujar UAH.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa keutamaan puasa Asyura tidak sebatas pada pahala yang dijanjikan, melainkan juga pada kesadaran historis dan spiritual umat Islam dalam mengenang jejak para nabi. Hal ini memperluas dimensi puasa Asyura—bukan sekadar ritual, tetapi juga pelajaran tentang iman dan perjalanan umat manusia.

Ustadz Adi pun mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa puasa Asyura menjadi sebab dihapuskannya dosa setahun yang lalu. Keistimewaan inilah yang menjadikan puasa ini sangat dianjurkan bagi umat Islam.

“Bukan hanya sekadar amal pribadi, puasa ini mengajarkan kita tentang hubungan antara sejarah, iman, dan keikhlasan dalam menjalankan syariat,” pungkasnya.

Puasa Asyura: Bukan Sekadar Ibadah Sunnah, tapi Simbol Kesadaran Sejarah dan Tauhid

Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengajak umat Islam untuk tidak memandang puasa Asyura sebagai sekadar rutinitas tahunan. Ia menekankan pentingnya menjalankan ibadah ini dengan pemahaman yang mendalam tentang latar belakang sejarah dan nilai-nilai yang dikandungnya. “Mengenal sejarahnya akan menambah makna dalam setiap amal yang dilakukan,” ungkapnya.

Menurut UAH, hadits-hadits Nabi SAW menggambarkan secara jelas bagaimana puasa Asyura dihargai dalam Islam, bahkan menjadi salah satu bentuk pendidikan iman bagi umat Muslim pada masa awal Islam. Praktik ini bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga sarana mengenalkan umat kepada nilai-nilai kenabian terdahulu.

Lebih dari itu, UAH menilai puasa Asyura sebagai simbol pengakuan terhadap kebenaran risalah nabi-nabi sebelum Rasulullah SAW, terutama Nabi Musa AS. Ini sekaligus memperkuat ikatan mata rantai kenabian dalam ajaran tauhid yang menjadi inti dari semua risalah langit. “Maka puasa ini bukan sekadar formalitas, tapi ada pesan tauhid yang kuat di baliknya,” tegasnya.

Kesadaran akan makna ini, lanjutnya, sangat penting agar puasa Asyura tidak kehilangan ruh substansialnya. Di tengah masyarakat yang semakin pragmatis, di mana ibadah kerap dilakukan tanpa memahami konteks sejarah dan spiritualnya, pemahaman yang benar akan memperdalam kekhusyukan dalam beribadah.

“Dengan memahami akar sejarahnya, kita bisa lebih khusyuk dan ikhlas dalam menunaikan ibadah ini. Ada ruh yang menggerakkan, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban sunnah,” jelasnya.

Menutup ceramahnya, Ustadz Adi Hidayat menegaskan kembali bahwa syariat Islam sangat menghargai tradisi yang membawa kemaslahatan. Dalam hal ini, puasa Asyura adalah contoh ideal bagaimana warisan tradisi lama yang mengandung nilai kebaikan dapat dihidupkan kembali dalam naungan iman dan tauhid.

Menyambut Tahun Baru Hijriah dengan Doa Akhir dan Awal Tahun Penuh Harapan

Stylesphere – Setiap pergantian tahun dalam kalender Hijriah membawa semangat baru bagi umat Islam. Salah satu bentuk kesiapan spiritual yang kerap dilakukan adalah membaca doa akhir tahun dan doa awal tahun Hijriah. Amalan ini bukan sekadar tradisi, melainkan bentuk refleksi diri dan harapan untuk perubahan hidup yang lebih baik di tahun yang akan datang.

Kedua doa ini biasanya dibaca pada waktu transisi, yakni menjelang dan sesudah waktu Maghrib di malam 1 Muharam. Hal ini sesuai dengan sistem penanggalan Islam, di mana hari baru dimulai saat matahari terbenam. Karena itu, waktu Maghrib menjadi momen yang tepat untuk mengakhiri tahun dengan permohonan ampun, serta memulai tahun baru dengan doa dan harapan yang baik.

Tradisi ini juga mengajarkan pentingnya memaknai waktu dan pergantian hari sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri. Umumnya, doa akhir tahun dan awal tahun dibaca masing-masing sebanyak tiga kali sebagai bentuk kesungguhan dalam memohon perlindungan, bimbingan, serta keberkahan dari Allah SWT.

Dengan mengamalkan doa-doa ini, diharapkan setiap Muslim di Anugerahslot dapat menyambut tahun baru Hijriah dengan hati yang bersih, niat yang lurus, dan tekad untuk menjalani kehidupan yang lebih baik di bawah ridha dan anugerah Allah.

Doa Akhir Tahun Hijriah 1446 H: Momen Muhasabah dan Permohonan Ampunan

Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H diperkirakan jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Menyambut pergantian tahun Hijriah, umat Islam dianjurkan untuk melakukan muhasabah, yakni evaluasi diri atas segala amal dan perbuatan yang telah dilakukan selama setahun terakhir.

Salah satu amalan yang dianjurkan menjelang tahun baru Islam adalah membaca doa akhir tahun Hijriah. Ulama seperti KH Soleh Darat dan Habib Utsman bin Yahya, tokoh besar di abad ke-19 hingga awal abad ke-20, menganjurkan umat Muslim untuk membaca doa ini sebanyak tiga kali sebelum waktu Maghrib pada hari terakhir bulan Dzulhijjah, yaitu Kamis, 26 Juni 2025.

Dalam karya Habib Utsman bin Yahya yang berjudul Maslakul Akhyar, beliau mencantumkan teks doa akhir tahun berikut:

Teks Arab Doa Akhir Tahun Hijriah

اَللّٰهُمَّ مَا عَمِلْتُ مِنْ عَمَلٍ فِي هٰذِهِ السَّنَةِ مَا نَهَيْتَنِي عَنْهُ وَلَمْ أَتُبْ مِنْهُ وَحَلُمْتَ فِيْها عَلَيَّ
بِفَضْلِكَ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِيْ وَدَعَوْتَنِيْ إِلَى التَّوْبَةِ مِنْ بَعْدِ جَرَاءَتِيْ عَلَى مَعْصِيَتِكَ فَإِنِّي اسْتَغْفَرْتُكَ
فَاغْفِرْلِيْ وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَى وَوَعَدْتَّنِي عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَأَسْئَلُكَ أَنْ تَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَلَا تَقْطَعْ
رَجَائِيْ مِنْكَ يَا كَرِيْمُ

Teks Latin

Allâhumma mâ ‘amiltu min ‘amalin fî hâdzihi sanati mâ nahaitanî ‘anhu, wa lam atub minhu, wa hamalta fîhâ ‘alayya bi fadhlika ba‘da qudratika ‘alâ ‘uqûbatî, wa da‘autanî ilat taubati min ba‘di jarâ’atî ‘alâ ma‘shiyatik. Fa innî astaghfiruka, faghfirlî wa mâ ‘amiltu fîhâ mimmâ tardhâ, wa wa‘attanî ‘alaihits tsawâba, fa’as’aluka an tataqabbala minnî wa lâ taqtha‘ rajâ’î minka yâ karîm.

Artinya

“Tuhanku, aku memohon ampun atas semua perbuatanku di tahun ini yang Engkau larang, namun belum sempat aku taubati. Ampunilah segala dosaku yang telah Engkau maklumi karena kemurahan-Mu, padahal Engkau mampu menyiksaku. Engkau telah mengajakku untuk bertaubat setelah aku lancang bermaksiat kepada-Mu. Maka aku memohon ampunan-Mu. Terimalah segala amal yang Engkau ridai dan yang telah Engkau janjikan pahala atasnya. Jangan putuskan harapanku kepada-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah.”

Makna dan Tujuan Doa Akhir Tahun

Doa akhir tahun ini sarat akan makna penyesalan, pengakuan dosa, dan harapan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Membacanya menjadi simbol kesiapan hati untuk meninggalkan kesalahan masa lalu dan menyongsong tahun baru Hijriah dengan semangat taubat dan perbaikan diri.

Selain itu, menurut para ulama, doa ini juga merupakan bentuk permohonan perlindungan dari segala godaan, terutama dari setan, selama tahun berikutnya.

Dengan membacanya secara khusyuk dan penuh keikhlasan, diharapkan seorang Muslim dapat memperoleh ampunan Allah SWT dan memulai tahun baru dengan hati yang bersih dan jiwa yang tenang.

Manfaat Membaca Doa Akhir Tahun Hijriah: Ketenangan Batin dan Perlindungan Spiritual

Membaca doa akhir tahun Hijriah bukan hanya sebuah tradisi keagamaan, tetapi juga membawa dampak positif secara psikologis dan spiritual bagi yang mengamalkannya. Di antara manfaat yang dirasakan oleh banyak umat Muslim adalah:

  • Menenangkan batin
  • Menghadirkan kesadaran diri akan perbuatan selama setahun
  • Menumbuhkan semangat baru dan positif dalam menyambut tahun berikutnya

KH Sholeh Darat, salah satu ulama besar Nusantara, menjelaskan bahwa doa ini memiliki makna mendalam. Menurut beliau, siapa pun yang membacanya dengan hati yang tulus akan memperoleh perlindungan dari godaan setan dan mendapatkan pendampingan dari dua malaikat penjaga selama satu tahun penuh.

“Terlindungi dari godaan setan dan didampingi dua malaikat penjaga selama setahun,” jelas KH Sholeh Darat.

Beliau juga menambahkan bahwa setan tidak akan mampu mengganggu orang yang mengamalkan doa ini dengan niat yang ikhlas. Malaikat yang ditugaskan pun bukan hanya menjaga, tetapi juga membimbing orang tersebut agar tetap berada di jalan yang diridhai Allah SWT.

Meskipun doa-doa ini tidak bersumber langsung dari hadis Nabi Muhammad SAW, para ulama besar telah menganjurkannya sebagai bagian dari amalan sunnah yang baik. Di antara referensi yang memuat doa akhir dan awal tahun Hijriah adalah:

  • Kitab Maslakul Akhyar karya Habib Utsman bin Yahya
  • Kitab Lathaifut Thaharah wa Asrarus Shalah karya KH Sholeh Darat

Amalan membaca doa ini sah secara syariat selama tidak diyakini sebagai ibadah wajib. Ia merupakan ekspresi spiritual yang murni, sebagai bentuk harapan, penyesalan, dan semangat memperbaiki diri — bukan sebuah bentuk bid’ah.

Dengan demikian, membaca doa akhir tahun menjadi salah satu cara menyambut pergantian tahun Hijriah secara penuh makna, sebagai upaya memperbarui hubungan dengan Allah SWT dan memulai tahun baru dengan hati yang bersih.

Menyambut Tahun Baru Islam, Inilah Makna dan Doa Awal Tahun 1 Muharam

Stylesphere – Tahun Baru Islam atau 1 Muharam merupakan momen penting bagi umat Muslim di seluruh dunia. Hari ini menandai pergantian tahun dalam kalender Hijriah, sekaligus menjadi waktu yang tepat untuk melakukan refleksi diri, memohon ampunan, dan menyambut tahun baru dengan penuh harapan serta doa terbaik kepada Allah SWT.

Salah satu amalan yang dianjurkan dalam menyambut 1 Muharam adalah membaca doa awal tahun. Doa ini dipanjatkan sebagai bentuk permohonan perlindungan dari berbagai godaan, bantuan dalam menahan hawa nafsu, dan harapan agar senantiasa diberi petunjuk serta didekatkan kepada Allah SWT sepanjang tahun yang akan dijalani.

Dalam kitab Al-Jami’ Al-Kabir karya Imam As-Suyuthi, doa awal dan akhir tahun turut dicantumkan sebagai bagian dari amalan yang dianjurkan. Menariknya, Mufti Batavia yang masyhur, Habib (Sayyid) Utsman bin Yahya, kemudian menambahkan lafaz shalawat di awal doa tersebut, memperindah susunannya dan memperkuat maknanya.

Sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan membuka lembaran baru dengan penuh kebaikan, membaca doa awal tahun menjadi langkah spiritual yang mendalam dan bermakna.

Berikut ulasan lengkapnya yang dirangkum Anugerahslot, Rabu (25/6/2025).

Doa Awal Tahun 1 Muharam: Amalan Awali Tahun Baru Islam dengan Harapan dan Keberkahan

Doa awal tahun 1 Muharam menjadi salah satu amalan penting yang dianjurkan untuk menyambut tahun baru Islam. Doa ini dipanjatkan agar setiap muslim mendapatkan perlindungan dan keberkahan sepanjang tahun yang akan datang.

Merujuk pada kitab Al-Jami’ Al-Kabir karya Imam As-Suyuthi, doa untuk akhir dan awal tahun telah dicantumkan secara khusus. Kemudian, Mufti Batavia, Habib (Sayyid) Utsman bin Yahya, menambahkan lafadz shalawat di awal doa tersebut sehingga maknanya semakin lengkap dan indah.

Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), waktu pembacaan doa awal tahun 1 Muharam hendaknya diperhatikan dengan baik agar mendapatkan manfaat maksimal.

Berikut adalah teks doa awal tahun yang bisa diamalkan:

Doa Awal Tahun 1 Muharam

Teks Arab:
اَللّهُمَّ أَنْتَ الْأَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ الْأَوَّلُ، وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَكَرِيْمِ جُوْدِكَ الْمُعَوَّلِ. وَهَذَاعَامٌ جَدْيُدٌ قَدْ أَقْبَل. أَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مَنَ الشْيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ، وِالْعَوْنَ عَلَى هَذه النَّفْسِ الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ، وَالاشْتِغَالِ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ وَصَلَّي اللهُ عَلَي سَيّدِنَا مُحَمّدً وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِه وَسَلَّم

Teks Latin:
“Allahumma antal-abadiyyul-qadiimul-awwal. Wa ‘alaa fadhlikal-‘azhimi wujuudikal-mu’awwal. Wa haadzaa ‘aamun jadiidun qad aqbal. Nas’alukal ‘ishmata fiihi minasy-syaithaani wa auliyaa-ihii wa junuudihii. Wal’auna ‘alaa haadzhihin-nafsil-ammarati bis-suu-i. Wal-isytighaala bimaa yuqorribuni ilaika zulfa. Yaa dzal-jalaali wal-ikraam. Wa shallallaahu ‘alaa sayyidina Muhammadin wa ‘alaa ‘aalihi wa shahbihii wa sallam.”

Terjemahan Bahasa Indonesia:
“Ya Allah, Engkaulah Yang Kekal, Yang Awal dan Dahulu Ada. Kami memohon perlindungan hanya kepada anugerah-Mu yang agung dan kemurahan-Mu yang luas pada tahun yang baru ini, dari godaan setan, para pengikut dan tentaranya. Berikanlah kami pertolongan untuk mengalahkan hawa nafsu yang mengajak pada keburukan, serta agar kami selalu sibuk dengan amal yang mendekatkan diri kepada-Mu, wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.”

Dengan membaca doa ini di awal tahun Hijriah, diharapkan setiap Muslim dapat menjalani tahun baru dengan penuh keberkahan dan terhindar dari segala godaan serta keburukan.

1 Muharam Tanggal 27 Juni 2025

Kapan 1 Muharam 2025? Mengutip dari SKB 3 Menteri Nomor 1017 Tahun 2024, Nomor 2 Tahun 2024, dan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2025, Tahun Baru Islam 1 Muharam 1447 H atau Tahun Baru Islam 2025 diperingati pada Jumat (27/6). Hari itu juga merupakan libur nasional.

Itu artinya, 1 Muharam 1447 H atau 1 Muharam 2025 jatuh pada 27 Juni 2025. Ini juga sesuai dengan penanggalan dalam kalender Hijriah 2025 yang diterbitkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI.

Berdasarkan kalender Hijriah 2025, 1 Muharam 2025 bertepatan dengan 27 Juni 2025. Jika mengikuti ketetapan tersebut, maka bulan Muharam 2025 berlangsung sampai tanggal 25 Juli 2025.

Berikut rincian tanggal-tanggal penting di bulan Muharam 1447 H (2025), melansir dari kalender Hijriah yang diterbitkan oleh Kemenag RI:

  1. 1 Muharam 1447 H: 27 Juni 2025
  2. 2 Muharam 1447 H: 28 Juni 2025
  3. 3 Muharam 1447 H: 29 Juni 2025
  4. 4 Muharam 1447 H: 30 Juni 2025
  5. 5 Muharam 1447 H: 1 Juli 2025
  6. 6 Muharam 1447 H: 2 Juli 2025
  7. 7 Muharam 1447 H: 3 Juli 2025
  8. 8 Muharam 1447 H: 4 Juli 2025
  9. 9 Muharam 1447 H: 5 Juli 2025
  10. 10 Muharam 1447 H: 6 Juli 2025
  11. 11 Muharam 1447 H: 7 Juli 2025
  12. 12 Muharam 1447 H: 8 Juli 2025
  13. 13 Muharam 1447 H: 9 Juli 2025
  14. 14 Muharam 1447 H: 10 Juli 2025
  15. 15 Muharam 1447 H: 11 Juli 2025
  16. 16 Muharam 1447 H: 12 Juli 2025
  17. 17 Muharam 1447 H: 13 Juli 2025
  18. 18 Muharam 1447 H: 14 Juli 2025
  19. 19 Muharam 1447 H: 15 Juli 2025
  20. 20 Muharam 1447 H: 16 Juli 2025
  21. 21 Muharam 1447 H: 17 Juli 2025
  22. 22 Muharam 1447 H: 18 Juli 2025
  23. 23 Muharam 1447 H: 19 Juli 2025
  24. 24 Muharam 1447 H: 20 Juli 2025
  25. 25 Muharam 1447 H: 21 Juli 2025
  26. 26 Muharam 1447 H: 22 Juli 2025
  27. 27 Muharam 1447 H: 23 Juli 2025
  28. 28 Muharam 1447 H: 24 Juli 2025
  29. 29 Muharam 1447 H: 25 Juli 2025

Amalan di Bulan Muharam

Bulan Muharam merupakan salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Terdapat berbagai amalan sunnah yang dapat dikerjakan untuk meraih keberkahan di bulan ini. Sujumlah amalan sunnah yang bisa dikerjakan di bulan Muharram adalah puasa awal Muharram, puasa Tasua, puasa Asyura, mengupas kepala anak yatim, bersedekah, dan memperbanyak istighfar.

Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa Muharram dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim).

1. Puasa Awal Muharram

Berpuasa pada hari pertama bulan Muharram merupakan salah satu amalan sunnah yang dianjurkan untuk mengawali tahun baru Hijriah dengan amal saleh. Puasa ini dikerjakan tepat pada tanggal 1 Muharram. Pada tahun 2025 ini, 1 Muharram 1447 H jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Adapun niat puasa sunnah Muharram adalah sebagai berikut, melansir dari buku Meraih Surga dengan Puasa karya H Herdiansyah Achmad Lc:

Niat Puasa Awal Muharram

نَوَيْتُ صَوْمَ الشَّهْرِ الْمُحَرَّمِ سُنَّةَ لِلَّهِ تَعَالَى

Arab Latin: Nawaitu shauma-sy-syahri-l-muharrami sunnata-lillâhi ta’âla.

Artinya: “Saya berniat puasa bulan Muharram sunnah karena Allah Ta’ala.”

2. Puasa Tasua

Selain pada awal Muharram, umat muslim juga dianjurkan untuk mengerjakan puasa pada tanggal 9 Muharram atau dikenal dengan puasa Tasua. Puasa ini dianjurkan sebagai bentuk penyelisihan terhadap tradisi kaum Yahudi, yang hanya berpuasa pada hari Asyura saja. Puasa Tasua 2025 dikerjakan pada Sabtu, 5 Juli 2025. Berikut adalah niat puasa Tasua, melansir dari Buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun karya Ustaz Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid:

نَوَيْتُ صَوْمَ تَسُعَاءَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى.

Arab Latin: Naiwaitu shauma tasu’aa-i sunnatan lillaahi ta’aalaa.

Artinya: “Saya berniat puasa sunnah Tasu’a karena Allah Ta’ala.

3. Puasa Asyura

Puasa Asyura adalah puasa sunnah yang dilakukan pada tanggal 10 Muharram. Puasa ini merupakan salah satu puasa yang sangat dianjurkan di bulan Muharram. Puasa Asyura dikerjakan sebagai bentuk penghormatan terhadap kemenangan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan kaumnya dari kejaran Fir’aun.

Puasa Asyura 2025 jatuh pada Minggu, 6 Juli 2025. Adapun niat puasa Asyura adalah sebagai berikut, melansir dari Buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun karya Ustaz Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid:

نَوَيْتُ صَوْمَ عَاشُرَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى.

Arab Latin: Naiwaitu shauma ‘aasyura sunnatan lillaahi ta’aalaa.

Artinya: “Saya berniat puasa sunnah Asyura karena Allah Ta’ala.”

4. Puasa 11 Muharram

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan sejumlah ulama lainnya berpendapat bahwa disunnahkan berpuasa juga pada tanggal 11 Muharram, selain tanggal 9 (Tasu’a) dan 10 (Asyura). Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, melansir dari Buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun karya Ustaz Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid:

“Berpuasalah pada hari Asyura dan berbedalah dengan kaum Yahudi, dengan berpuasa satu hari sebelumnya dan satu hari sesudahnya.” (HR. Ahmad).

Niat Puasa 11 Muharram

نَوَيْتُ صَوْمَ الشَّهْرِ الْمُحَرَّمِ سُنَّةَ لِلَّهِ تَعَالَى

Arab Latin: Nawaitu shauma-sy-syahri-l-muharrami sunnata-lillâhi ta’âla.

Artinya: “Saya berniat puasa bulan Muharram sunnah karena Allah Ta’ala.”

5. Memperbanyak Istighfar

Di bulan Muharram, umat muslim juga dianjurkan untuk memperbanyak permohonan ampun kepada Allah SWT. Salah satu bacaan istighfar yang paling utama dan sangat dianjurkan adalah sayyidul istighfar. Rasulullah SAW bersabda, melansir dari buku Doa & Dzikir Sepanjang Tahun karya H Hamdan Hamedan, M A:

“Barang siapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni surga.” (HR. Bukhari no. 6.306)

Berikut ini bacaan sayyidul istighfar:

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنتَ.

Arab Latin: Allaahumma anta rabbii laa ilaaha illa anta khalaqtanii wa anaa ‘abduka wa anaa ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatha’tu. A-‘uudzu bika min syarri maa shana’tu abuu-u laka bini’matika ‘alayya wa abuu-u laka bi-dzanbii, faghfirlii fa innahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta.

Artinya: “Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Engkau. Engkau telah Menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji- Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui dosaku kepada- Mu dan aku akui nikmat-Mu kepadaku, maka ampunilah aku. Sebab, tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain-Mu.”

6. Puasa Ayyamul Bidh

Puasa Ayyamul Bidh adalah puasa sunnah yang dilakukan setiap tanggal 13, 14, dan 15 pada bulan Hijriah. Puasa ini merupakan salah satu amalan saleh yang dianjurkan untuk dilakukan secara rutin setiap bulan, termasuk di bulan Muharram.

Dalam sejumlah hadits, Rasulullah SAW menekankan keutamaan puasa Ayyamul Bidh. Salah satunya tertuang dalam wasiat beliau kepada sahabat Abu Hurairah RA, melansir dari laman MUI:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّاامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْر

“Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Kekasihku (Rasulullah SAW) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak pernah meninggalkannya hingga aku mati, yaitu berpuasa tiga hari setiap bulan (ayyamul bidh), mengerjakan sholat Dhuha, dan mengerjakan shalat Witir sebelum tidur.” (HR Bukhari no 1178)

Israel Kembali Jadi Sorotan Dunia: Tiberias dan Isyarat Kiamat dalam Khazanah Islam

Stylesphere – Israel kembali menjadi sorotan dunia internasional setelah melancarkan serangan terhadap Iran. Aksi tersebut memicu gelombang kecaman dari berbagai negara dan menimbulkan unjuk rasa di sejumlah belahan dunia.

Namun, alih-alih melemah, Iran menunjukkan respons tegas. Negeri tersebut membalas serangan dengan meluncurkan rudal, roket, hingga mengerahkan drone canggih. Sistem pertahanan udara Israel, Iron Dome, dikabarkan kewalahan, sementara warga Israel dilaporkan berada dalam kondisi panik.

Dalam khazanah Islam, nama Israel bukanlah hal asing. Meski para ulama berpendapat bahwa “Bani Israil” yang disebut dalam Al-Qur’an berbeda dengan entitas politik modern yang kini dikenal sebagai Negara Israel, nama ini tetap menjadi bagian dari sejumlah narasi keagamaan penting, termasuk yang berkaitan dengan tanda-tanda akhir zaman.

Salah satu wilayah yang kini berada di bawah kekuasaan Israel juga dikaitkan dengan peristiwa besar menjelang kiamat, yakni kemunculan kaum Ya’juj dan Ma’juj. Dalam beberapa hadis Nabi Muhammad SAW, disebutkan bahwa mereka akan muncul dan melintasi kawasan Tiberias, lalu menimbulkan kerusakan besar.

Baca juga : Ya’juj dan Ma’juj Diriwayatkan Muncul di Israel Jelang Kiamat, Tepatnya di Wilayah Ini

Rasulullah SAW bahkan menyebut bahwa Danau Thabariyah—atau yang juga dikenal sebagai Danau Tiberias—akan mengalami kekeringan akibat ulah Ya’juj dan Ma’juj. Peristiwa ini dipercaya sebagai salah satu tanda dekatnya hari kiamat.

Secara geografis, wilayah Tiberias berada di antara Palestina dan Suriah. Namun dalam kondisi politik saat ini, kawasan tersebut dikuasai oleh Israel secara de facto.

Fenomena geopolitik yang terjadi di wilayah ini pun sering kali mengundang refleksi dari perspektif agama, sejarah, dan masa depan dunia.

Asal-usul Nama Tiberias dan Makna Suci di Baliknya Menurut Tradisi Yahudi

Melansir Anugerahslot, Senin (23/6/2025), Tiberias—atau dalam bahasa Ibrani disebut Tiveryah (טבריה)—merupakan kota bersejarah yang dikenal luas di dunia. Kota ini didirikan oleh Herodes dan dinamai untuk menghormati Kaisar Romawi, Tiberius. Namun, dalam tradisi Yahudi, diyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan, termasuk pemberian nama tempat. Maka dari itu, nama-nama dalam bahasa Ibrani sering kali dianggap mencerminkan sifat atau karakteristik mendalam dari tempat tersebut.

Tiveryah bukan sekadar kota biasa. Dalam kepercayaan Yahudi, ia merupakan salah satu dari empat kota suci di Israel, sekaligus tempat terakhir berdirinya Sanhedrin—lembaga mahkamah agung Yahudi pada masa kuno di Tanah Israel.

Dalam Talmud, dua orang bijak memberikan penafsiran spiritual terhadap nama kota ini:

  • Rabi Jeremiah menyatakan bahwa nama Tiveryah berkaitan dengan letak geografisnya. Kota ini berada di pusat wilayah Tanah Israel, sehingga diasosiasikan dengan kata tabur (טבור) dalam bahasa Ibrani, yang berarti “pusar.”
  • Rabba bar Nahmeini, atau Rabbah, menafsirkan bahwa Tiveryah merupakan akronim dari frasa tovah re’iyatah, yang berarti “penglihatannya indah.” Ini merujuk pada keindahan visual wilayah tersebut, yang memang dikenal memiliki lanskap yang memesona.

Dalam sejarah Yahudi, Tiberias juga dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan, terutama dalam masa pasca-penyebaran kaum Yahudi. Kota ini memainkan peran penting dalam pelestarian dan penyusunan berbagai teks keagamaan.

Namun dalam konteks modern, istilah Tiberias juga sering merujuk pada Danau Tiberias, yang dalam bahasa Arab disebut Danau Thabariyah. Danau ini memiliki nilai penting dalam berbagai narasi keagamaan, baik dalam tradisi Yahudi, Kristen, maupun Islam.

Danau Tiberias dalam Perspektif Islam: Lokasi Strategis yang Disebut Rasulullah Menjelang Kiamat

Mengutip kanal Islami Anugerahslot, Senin (23/6/2025), Danau Tiberias memiliki berbagai sebutan lain seperti Laut Al-Jalil atau Danau Al-Jalil. Danau ini bukan sekadar perairan biasa, melainkan memiliki makna penting dalam sejarah, geografi, dan eskatologi Islam.

Dalam buku Kiamat Sudah Dekat? karya Dr. Muhammad al-‘Areifi, sebagaimana dikutip Republika, dijelaskan bahwa Danau Tiberias terletak di wilayah utara Palestina dan menjadi muara utama bagi Sungai Yordania. Air dari danau ini mengaliri kawasan delta Yordania yang subur, menjadikannya sumber daya vital di wilayah tersebut.

Danau ini memiliki ukuran panjang sekitar 23 kilometer, lebar 13 kilometer, dan kedalaman maksimum tidak lebih dari 44 meter. Secara unik, permukaan air Danau Tiberias berada 210 meter di bawah permukaan laut, menjadikannya salah satu danau air tawar terendah di dunia.

Secara geografis, danau ini masuk dalam wilayah yang mencakup Palestina dan Suriah. Namun secara politik, wilayah ini kini dikuasai Israel secara de facto, menjadikannya titik sensitif dalam peta konflik dan perbincangan global.

Lebih dari sekadar penting secara geografis, Danau Tiberias juga memiliki kedudukan khusus dalam hadis-hadis Rasulullah SAW terkait tanda-tanda akhir zaman. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, disebutkan bahwa kaum Ya’juj dan Ma’juj—makhluk perusak yang akan muncul menjelang hari kiamat—akan meminum habis air danau ini.

Rasulullah SAW bersabda:

“Kemudian Allah SWT mengeluarkan Ya’juj dan Ma’juj, mereka turun dengan cepat dari bukit-bukit yang tinggi. Setelah itu, barisan pertama dari mereka melewati Danau Thabariyah (Tiberias) dan meminum habis semua air dalam danau tersebut.”
(HR. Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dari An-Nawwas bin Sam’an RA)

Hadis ini menandakan bahwa Danau Tiberias menjadi bagian dari narasi besar dalam eskatologi Islam—tanda menjelang datangnya Hari Kiamat. Kejadian itu digambarkan sebagai simbol dari kehancuran ekologis dan kekacauan global yang akan melanda dunia.

Danau Galilea: Danau Air Tawar Terendah di Dunia dan Tanda Zaman Menjelang Kiamat

Danau Galilea, yang juga dikenal dengan berbagai nama seperti Danau Genesaret, Danau Kineret, Danau Kinerot, Laut Tiberias, atau Danau Tiberias, adalah danau air tawar terbesar di wilayah yang kini dikenal sebagai Israel. Terletak di dekat Dataran Tinggi Golan, danau ini memiliki luas sekitar 166 kilometer persegi dengan kedalaman maksimum sekitar 43 meter.

Posisinya sangat unik karena berada di 211,315 meter di bawah permukaan laut, menjadikannya danau air tawar terendah di dunia, sekaligus danau terendah kedua secara keseluruhan, setelah Laut Mati yang merupakan danau air asin.

Danau Galilea menerima air dari dua sumber utama: mata air bawah tanah dan aliran Sungai Yordan yang mengalir dari utara ke selatan melalui danau ini. Kombinasi sumber ini menjadikan Galilea sangat penting bagi suplai air di wilayah tersebut.

Jejak Sejarah yang Mendalam

Secara historis, Danau Galilea terletak di jalur kuno Via Maris, jalur perdagangan utama yang menghubungkan Mesir dengan wilayah utara, termasuk kerajaan-kerajaan besar pada zamannya. Peradaban Yunani, Hasmonean, dan Romawi membangun kota-kota besar di sekitar danau ini, seperti Gadara, Hippos, dan Tiberias.

Sejarawan Romawi abad pertama, Flavius Yosefus, menyebut wilayah ini sebagai “Ambisi Alam” karena kekayaan alam dan potensi ekonominya. Ia juga mencatat bahwa pada masanya, danau ini memiliki industri perikanan yang sangat maju, dengan sekitar 230 kapal yang aktif beroperasi. Pada 1986, arkeolog menemukan perahu kayu kuno dari abad pertama Masehi, yang kemudian dikenal sebagai “Perahu Yesus”, karena diyakini berasal dari masa yang sama dengan kehidupan Nabi Isa (Yesus) di wilayah tersebut.

Ekosistem yang Kaya

Danau Galilea juga dikenal akan kekayaan hayatinya. Perairan hangatnya menjadi rumah bagi berbagai jenis flora dan fauna air, seperti fitoplankton, zooplankton, benthos, dan berbagai jenis ikan, termasuk Tilapia yang populer di masyarakat lokal.

Menariknya, beberapa laporan terkini menyebutkan bahwa spesies Platanistoidea (kelompok mamalia air) yang sempat menghilang selama hampir 40 tahun, kini mulai kembali terlihat di perairan danau tersebut, menandakan ekosistem yang mulai pulih.

Tanda Akhir Zaman dalam Islam

Dalam Islam, Danau Galilea memiliki peran yang sangat penting dalam nubuatan akhir zaman. Berdasarkan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, danau ini diyakini sebagai Danau Thabariyah, tempat di mana Ya’juj dan Ma’juj akan muncul menjelang hari kiamat. Disebutkan bahwa makhluk-makhluk perusak ini akan meminum habis air danau tersebut sebagai salah satu tanda bahwa akhir zaman telah dekat dan akan muncul pula fitnah besar seperti Dajjal.

“Kemudian Allah SWT mengeluarkan Ya’juj dan Ma’juj… lalu gerombolan pertama dari mereka melewati Danau Tiberias dan meminum habis air dalam danau tersebut.”
(HR Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Karenanya, kondisi air Danau Galilea yang mulai menyusut kerap dikaitkan oleh sebagian umat dengan tanda-tanda besar menjelang kiamat.

Danau Galilea adalah tempat di mana sejarah, keindahan alam, dan kepercayaan agama bertemu. Ia bukan hanya sumber kehidupan bagi wilayah sekitarnya, tetapi juga simbol dari banyak narasi besar tentang masa lalu dan masa depan.

Turisme sebagai Nadi Ekonomi di Sekitar Danau Galilea

Aktivitas ekonomi utama di wilayah Danau Galilea bertumpu pada sektor pariwisata. Setiap tahunnya, kawasan ini menjadi magnet bagi jutaan pengunjung, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Kota Tiberias, yang terletak di tepi danau, menjadi pusat kegiatan wisata, terutama yang berkaitan dengan sejarah, budaya, dan ziarah keagamaan.

Sebagai wilayah yang kaya dengan nilai religius, khususnya dalam tradisi Kristen, Galilea menjadi tujuan utama para peziarah. Pada bulan April 2011, pemerintah Israel meresmikan “Jesus Trail” atau “Jejak Yesus”, sebuah jalur hiking sepanjang 64 kilometer yang dirancang khusus untuk para peziarah Kristen. Jalur ini tidak hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki, tetapi juga tersedia untuk sepeda dan kendaraan, menghubungkan berbagai lokasi penting dalam kehidupan Yesus dan murid-murid-Nya. Rute ini berakhir di Kapernaum, sebuah kota kecil di tepi Danau Galilea yang dipercaya sebagai salah satu tempat di mana Yesus mengajar.

Tak hanya wisata religi, danau ini juga menjadi pusat berbagai kegiatan rekreasi. Salah satu acara paling populer adalah “The Kinneret Crossing”, yaitu lomba renang air terbuka yang digelar setiap tahun pada bulan September dan diikuti oleh peserta dari berbagai penjuru.

Selain itu, terdapat juga aktivitas unik bernama “Rafsodia” di Pantai Lavnun, di mana pengunjung dari segala usia dapat merancang dan membuat rakit buatan tangan secara berkelompok. Setelah jadi, rakit tersebut digunakan untuk berlayar melintasi danau, menciptakan pengalaman wisata yang tak hanya menyenangkan, tetapi juga membangun kekompakan dan kreativitas.

Danau Galilea bukan sekadar lokasi bersejarah, tetapi juga kawasan yang hidup dan dinamis, di mana keindahan alam, spiritualitas, dan aktivitas rekreasi berpadu dalam harmoni.

Ya’juj dan Ma’juj Diriwayatkan Muncul di Israel Jelang Kiamat, Tepatnya di Wilayah Ini

Stylesphere – Ya’juj dan Ma’juj merupakan dua sosok yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis sebagai salah satu dari sepuluh tanda besar menjelang datangnya hari kiamat. Kemunculan mereka dipercaya akan membawa kehancuran dan kekacauan luar biasa di muka bumi.

Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda bahwa kiamat tidak akan datang hingga sepuluh tanda besar muncul terlebih dahulu. Salah satunya adalah keluarnya Ya’juj dan Ma’juj. Rasulullah bersabda:

“Kiamat tidak akan terjadi hingga kalian melihat sepuluh tanda-tanda sebelumnya: kabut, Dajjal, binatang melata (Ad-Dābbah), terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam AS, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, tiga gerhana—di timur, barat, dan jazirah Arab—serta munculnya api dari Yaman yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya.”

(Sumber: Shahih Muslim, Juz VIII, hal. 178)

Selain dari hadis, kisah Ya’juj dan Ma’juj juga dijelaskan dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam Surah Al-Kahfi ayat 94–95. Dalam ayat tersebut, disebutkan bahwa mereka adalah kaum perusak yang kemudian dikurung oleh sosok pemimpin bijak bernama Dzulqarnain di balik dinding kokoh:

QS. Al-Kahfi: 94–95:

“Mereka berkata, ‘Wahai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu adalah orang-orang yang membuat kerusakan di bumi. Maka, dapatkah kami memberikan imbalan kepadamu agar engkau membuatkan dinding antara kami dan mereka?’ Dzulqarnain menjawab, ‘Apa yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku lebih baik (dari imbalan itu), maka bantulah aku dengan kekuatan (tenaga dan alat), agar aku dapat membangun dinding penahan antara kalian dan mereka.’”

Ayat ini mengisyaratkan bahwa hingga kini Ya’juj dan Ma’juj masih terkurung di balik dinding tersebut. Namun menjelang kiamat, penghalang itu akan runtuh dan mereka akan keluar, membawa kerusakan besar di bumi.

Mengenai lokasi keluarnya, banyak tafsir dan pendapat ulama telah berkembang. Salah satu pandangan menyebutkan bahwa kemunculan mereka akan terjadi di wilayah yang kini dikenal sebagai Israel. Wilayah tersebut saat ini menjadi sorotan dunia akibat ketegangan geopolitik yang terus meningkat, termasuk konflik dengan Palestina dan konfrontasi militer dengan Iran.

Meskipun lokasi pasti keluarnya Ya’juj dan Ma’juj belum dapat dipastikan secara ilmiah, keberadaan mereka telah menjadi bagian dari keyakinan eskatologis dalam Islam. Mereka bukan hanya simbol kerusakan fisik, tetapi juga menggambarkan bentuk kerusakan moral dan sosial menjelang datangnya hari akhir.

Dengan terus meningkatnya ketegangan global dan konflik kemanusiaan, sebagian orang mengaitkan situasi tersebut sebagai bagian dari tanda-tanda zaman. Namun, terlepas dari tafsiran tersebut, kemunculan Ya’juj dan Ma’juj tetap menjadi misteri besar yang hanya akan terjawab seiring waktu mendekati hari kiamat.

Datangnya Ya’juj dan Ma’juj

Pendapat kuat bahwa Ya’juj dan Ma’juj akan muncul dari wilayah yang kini dikenal sebagai Israel, khususnya di sekitar Danau Thabariyah (juga dikenal sebagai Danau Tiberias atau Laut Galilea), berakar dari sejumlah hadis dan penafsiran para ulama tentang tanda-tanda kiamat.

Hadis tentang Danau Thabariyah

Dalam banyak riwayat, disebutkan bahwa ketika Ya’juj dan Ma’juj akhirnya keluar, mereka akan meminum air dari Danau Thabariyah hingga kering. Danau ini saat ini dikuasai oleh Israel, dan menjadi sumber air penting di kawasan tersebut. Hal ini mendorong sebagian ulama dan peneliti menyimpulkan bahwa kemunculan Ya’juj dan Ma’juj kemungkinan besar akan bermula dari kawasan tersebut.

Masih Terkurung hingga Waktu yang Ditentukan

Dalam buku “Fitnah dan Petaka Akhir Zaman” karya Abu Fatiah Al-Adnani, dijelaskan bahwa hingga kini Ya’juj dan Ma’juj masih berada dalam kurungan atau benteng besi yang dibangun oleh Dzulqarnain. Mereka terus mencoba keluar setiap hari, tetapi Allah selalu mengembalikan tembok tersebut seperti semula. Hal ini berdasarkan hadis sahih berikut:

“Mereka menggalinya setiap hari hingga hampir bisa menembusnya. Namun setiap kali mereka akan berhasil, penjaga mereka berkata: ‘Kembalilah, kalian akan dapat menembusnya besok.’ Lalu Allah mengembalikan dinding itu sebagaimana semula. Hingga saat waktunya tiba, Allah menghendaki mereka keluar. Penjaga berkata, ‘Besok kalian akan menembusnya, insya Allah.’ Kali ini mereka kembali dan mendapati dinding seperti yang ditinggalkan, lalu mereka berhasil menembusnya dan keluar menyerbu manusia. Mereka minum air (danau) dan manusia pun lari dari mereka.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim; sanad sahih)

Kesimpulan Penting:

  • Ya’juj dan Ma’juj adalah tanda besar kiamat yang pasti akan terjadi.
  • Mereka masih dikurung, dan mencoba keluar setiap hari, tapi baru akan berhasil saat Allah menghendaki.
  • Mereka akan muncul dan menyebar ke seluruh penjuru bumi, meminum sumber air seperti Danau Thabariyah hingga kering.
  • Banyak tafsir dan spekulasi menyebut wilayah kemunculannya berada di sekitar wilayah Israel saat ini, terutama karena kaitannya dengan Danau Thabariyah.

Meskipun lokasi pastinya masih menjadi rahasia Allah, hadis-hadis ini memberi gambaran bahwa kemunculan Ya’juj dan Ma’juj adalah fenomena global yang dahsyat, yang hanya akan terjadi ketika hari kiamat sudah sangat dekat.

Catatan penting: Dalam menyikapi isu seperti ini, kita dianjurkan untuk memperkuat iman dan amal, bukan sekadar terfokus pada spekulasi lokasi atau waktu. Karena hakikatnya, semua tanda kiamat adalah peringatan agar manusia kembali kepada Allah SWT.

Lokasi kemunculan Ya’juj dan Ma’juj

Hadis-hadis yang membahas tentang Ya’juj dan Ma’juj memang menyampaikan gambaran mengerikan tentang kemunculan mereka menjelang Hari Kiamat. Dari sejumlah riwayat sahih, seperti yang Anda kutip, bisa diambil beberapa poin penting mengenai keberadaan dan kemunculan mereka, meski detail lokasinya tetap menjadi misteri yang hanya diketahui Allah SWT.

Inti dari Hadis-Hadis Tersebut

  1. Ya’juj dan Ma’juj masih dikurung:
    Hadis riwayat Abu Hurairah menunjukkan mereka terus menggali dinding setiap hari. Tapi setiap malam, dinding tersebut dikembalikan Allah seperti semula, hingga tiba waktunya Allah mengizinkan mereka keluar.
  2. Akan muncul dari tempat yang tinggi:
    Hadis dari An-Nawwas bin Sam’an RA menyebut bahwa mereka turun dari tiap tempat yang tinggi, menggambarkan kemunculan masif dan cepat dari berbagai penjuru.
  3. Melintasi dan meminum air Danau Thabariyah/Tiberias (Galilea):
    Ini menjadi indikasi geografis yang paling sering dikaitkan dengan tempat keluarnya Ya’juj dan Ma’juj. Danau tersebut terletak di wilayah utara Palestina, yang kini termasuk wilayah kekuasaan Israel. Kelompok pertama meminum airnya, sedangkan kelompok terakhir mendapati danau itu sudah kering.

Pendapat Ulama dan Sejarawa

  • Ada ulama yang menyebut lokasi mereka berada di wilayah Azerbaijan, antara Samarkand dan India, atau pegunungan Kaukasus—namun tidak ada riwayat sahih yang memastikan lokasi secara spesifik.
  • Pendapat ini hanya analisis geografis historis, karena Dzulqarnain dalam Al-Qur’an membangun tembok antara dua gunung untuk menahan mereka.
  • Yang pasti, dinding tersebut masih ada, dan mereka belum keluar, sesuai hadis Nabi.

Kesimpulan:

  • Kemunculan Ya’juj dan Ma’juj adalah salah satu dari 10 tanda besar kiamat yang pasti terjadi.
  • Lokasi paling kuat dikaitkan dengan Danau Tiberias, berdasarkan riwayat sahih, meski tempat persisnya tetap tidak dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an maupun hadis.
  • Mereka akan muncul dengan sangat cepat, dari tempat tinggi, dan menimbulkan kerusakan masif di bumi.

Wallahu a’lam — Hanya Allah yang mengetahui waktu dan tempat pasti kemunculan mereka. Yang terpenting bagi umat Islam adalah menjadikan kabar ini sebagai peringatan untuk meningkatkan iman, amal, dan kesiapan menghadapi akhir zaman.

Inilah Ciri Rumah yang Dimasuki Malaikat Rahmat, Bukan Sekadar Soal Desain

Stylesphere – Setiap Muslim tentu menginginkan rumah yang dipenuhi ketenangan, keberkahan, dan limpahan rahmat dari Allah SWT. Salah satu bentuk karunia tersebut adalah hadirnya Malaikat Rahmat—malaikat yang membawa ketenangan jiwa, penjagaan dari keburukan, dan doa-doa kebaikan bagi para penghuninya.

Namun, tidak semua rumah dikunjungi oleh Malaikat Rahmat. Ada rumah-rumah tertentu yang justru dijauhi, bukan karena ukurannya atau kemegahannya, melainkan karena bagaimana rumah itu dipelihara, diisi, dan diwarnai dengan nilai-nilai Islami.

Rasulullah SAW dalam beberapa riwayat telah menyebutkan berbagai hal yang membuat Malaikat Rahmat enggan masuk ke dalam rumah. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk memperhatikan tidak hanya desain fisik rumah, tetapi juga suasana spiritual yang dibangun di dalamnya.

Rumah yang dirindukan Malaikat Rahmat adalah rumah yang bersih secara lahir dan batin, dipenuhi bacaan Al-Qur’an, dzikir, dan amal saleh. Rumah yang bebas dari maksiat, gambar-gambar tak senonoh, dan suara-suara yang melalaikan.

Maka dari itu, jika ingin mendapatkan keberkahan dan ketenangan sejati, perhatikan bagaimana kita mendesain rumah bukan hanya dari aspek arsitektural, tetapi juga dari segi nilai dan ruh keislamannya.

Berikutnya, kita akan membahas lebih lanjut tentang tanda-tanda rumah yang disenangi Malaikat Rahmat telah dirangkum Anugerahslot dibawah ini. Serta hal-hal yang dapat menghalangi kehadirannya, agar kita dapat senantiasa menjaga kedamaian dan keberkahan di dalam rumah tangga.

4 Ciri Rumah yang Dimasuki Malaikat Rahmat

Setiap Muslim tentu menginginkan rumah yang bukan hanya nyaman dihuni, tetapi juga diridhai dan diberkahi oleh Allah SWT. Salah satu tandanya adalah hadirnya Malaikat Rahmat yang membawa ketenangan, perlindungan, dan keberkahan bagi penghuninya. Rasulullah SAW telah menyampaikan bahwa ada kondisi tertentu yang menjadikan malaikat enggan memasuki rumah. Berikut beberapa ciri rumah yang disenangi dan dimasuki oleh Malaikat Rahmat:

1. Menjaga Kebersihan dan Kerapian Rumah

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim)
Kebersihan bukan hanya urusan fisik, tetapi juga mencerminkan iman. Rumah yang bersih, rapi, dan wangi akan membuat penghuninya nyaman serta menyenangkan bagi para malaikat. Hindari menimbun barang-barang tak berguna, jaga ventilasi udara, dan pastikan rumah mendapat cahaya serta sirkulasi yang baik agar tetap segar.

2. Memiliki Ruang Khusus untuk Ibadah

Sediakan sudut atau ruangan kecil khusus untuk beribadah, seperti shalat dan membaca Al-Qur’an. Ruang ini tidak hanya menjadi tempat untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga menjadi magnet spiritual bagi turunnya rahmat dan ketenangan. Malaikat mencintai tempat di mana nama Allah sering disebut dan dzikir terus bergema.

3. Menghindari Pajangan Gambar Bernyawa dan Patung

Islam melarang menampilkan gambar atau patung makhluk bernyawa di dalam rumah, karena hal tersebut dapat menghalangi masuknya Malaikat Rahmat. Rasulullah SAW bersabda: “Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar (makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagai alternatif, hiasi rumah dengan kaligrafi, ayat-ayat Al-Qur’an, atau elemen alami seperti tanaman hijau untuk mempercantik tanpa melanggar syariat.

4. Memaksimalkan Pencahayaan Alami

Cahaya matahari adalah sumber energi sekaligus penyucian alami. Rumah yang mendapat cukup cahaya akan lebih sehat dan terasa hidup. Dalam pandangan Islam, rumah yang terang secara lahir dan batin—baik dengan cahaya matahari maupun cahaya ibadah—adalah tempat yang disenangi para malaikat.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, kita tak hanya menciptakan rumah yang nyaman secara fisik, tetapi juga mengundang keberkahan spiritual. Rumah yang dipenuhi dzikir, bersih, dan terjaga dari hal-hal yang dilarang akan menjadi tempat yang disenangi oleh Malaikat Rahmat dan membawa ketenangan bagi seluruh penghuninya.

Agar Rumah Dihuni Malaikat Rahmat: 8 Prinsip Rumah Islami Penuh Berkah

Bagi setiap Muslim, rumah bukan sekadar tempat beristirahat, tetapi juga pusat ibadah, ketenangan, dan pembinaan akhlak. Di sinilah nilai-nilai Islam semestinya tumbuh dan mekar. Lebih dari itu, rumah yang dipenuhi amal saleh dan suasana sakinah akan menjadi tempat yang disukai oleh Malaikat Rahmat—para pembawa ketenangan, penjagaan, dan doa-doa dari langit.

Agar rumah menjadi tempat yang dicintai para malaikat, berikut delapan ciri rumah Islami yang layak diusahakan:

1. Menjaga Kebersihan dan Kerapian

Kebersihan adalah sebagian dari iman. Rumah yang rapi, bersih, dan wangi bukan hanya menyenangkan bagi penghuninya, tapi juga disenangi malaikat. Allah SWT mencintai keindahan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan.” (HR Muslim). Hindari menumpuk barang tidak perlu dan pastikan rumah memiliki sirkulasi udara yang baik.

2. Menyediakan Ruang Khusus untuk Ibadah

Ruang kecil yang didedikasikan untuk shalat dan membaca Al-Qur’an memberi napas spiritual bagi rumah. Di tempat ini, nama Allah disebut, hati ditenangkan, dan amalan baik dipanjatkan. Malaikat pun mencintai tempat-tempat yang hidup dengan dzikir dan ibadah.

3. Menghindari Gambar Bernyawa dan Patung

Rasulullah SAW bersabda: “Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar (makhluk bernyawa).” (HR Bukhari dan Muslim). Sebagai gantinya, gunakan kaligrafi Islami, tanaman hijau, atau ornamen alami untuk menghias ruangan tanpa melanggar adab syar’i.

4. Mengutamakan Pencahayaan Alami

Cahaya matahari adalah simbol kehidupan. Rumah yang terang akan terasa lebih hangat, bersih, dan penuh energi. Dari sudut pandang Islam, rumah yang terang secara lahir dan batin adalah tempat yang dirindukan para malaikat.

5. Membuka Diri untuk Silaturahmi

Rumah Islami adalah rumah yang ramah bagi tamu dan terbuka untuk menjalin silaturahmi. Menyediakan area khusus untuk tamu dengan tetap menjaga privasi keluarga mencerminkan akhlak Islam yang penuh adab. Menyambut tamu dengan senyum dan keramahan adalah sunnah yang mengundang berkah.

6. Menghidupkan Rumah dengan Al-Qur’an dan Dzikir

Membiasakan memutar bacaan Al-Qur’an atau dzikir di dalam rumah dapat menghadirkan suasana yang damai. Ini bukan sekadar audio, tetapi pancaran ruhani yang membuat rumah terasa hidup dan menjadi tempat yang disenangi malaikat.

7. Menjaga Suasana Rumah dari Suara yang Melalaikan

Suara yang terlalu keras, musik yang melalaikan, dan percakapan kasar bisa merusak ketenangan rumah. Sebaliknya, rumah yang tenang dan penuh keteduhan lebih disukai malaikat. Bijaklah dalam memilih tontonan dan suara yang diperdengarkan di rumah.

8. Desain Terbuka tapi Tetap Menjaga Aurat dan Privasi

Rumah modern tetap bisa Islami dengan pengaturan ruang yang sesuai nilai syar’i. Misalnya, ruang tamu tidak langsung menghadap ruang keluarga. Gunakan tirai, sekat, atau pintu untuk menjaga batasan aurat dan privasi keluarga.

Penutup

Desain rumah Islami bukan hanya soal tampilan luar, tetapi lebih pada nilai-nilai spiritual yang terbangun di dalamnya. Rumah yang bersih, tenang, dan dipenuhi ibadah akan menjadi taman kecil surga di dunia.

Mari kita tidak hanya membangun dinding dan atap, tetapi juga membangun suasana iman, adab, dan keberkahan dalam setiap sudut rumah kita. Semoga rumah-rumah kita senantiasa dihuni malaikat dan menjadi tempat turunnya rahmat Allah SWT.

Kisah Sebuah Amalan Kecil yang Membawa Berkah bagi 600 Ribu Jemaah Haji

Stylesphere – Di antara jutaan langkah yang menapak di Tanah Suci, tersimpan beragam kisah menakjubkan yang lahir dari kerendahan hati dan ketulusan para jemaah dalam menjalankan ibadah haji. Di tengah kerumunan manusia yang datang dari penjuru dunia, tak jarang muncul cerita sederhana yang menyimpan hikmah luar biasa—bukan hanya bagi pelakunya, tetapi juga bagi ratusan ribu jiwa lainnya.

Amalan kecil yang dilakukan dengan niat tulus dan hati penuh keyakinan, nyatanya dapat menjadi sebab turunnya keberkahan yang meluas. Seolah alam pun menjadi saksi bahwa tidak ada amal baik yang sia-sia di hadapan Allah. Bahkan, balasannya tak hanya kembali kepada si pelaku, tetapi juga menyebar membawa kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya.

Salah satu kisah penuh makna tersebut datang dari Tanah Suci, tentang seorang hamba dengan amalannya yang sederhana namun ikhlas. Kisah ini menjadi sebab diterimanya haji sebanyak 600 ribu jemaah. Sebuah peristiwa yang menggambarkan betapa luar biasanya dampak dari amal yang dilakukan dengan hati bersih, tanpa pamrih.

Kisah ini dirangkum dari laman Anugerahslot Online, dan dipublikasikan pada Sabtu (14/6/2025). Ia menjadi pengingat bahwa keikhlasan sejati dalam beramal mampu mengundang rahmat Allah yang begitu luas, bahkan hingga mabrurnya haji ratusan ribu orang.

Tak Jadi Berhaji, Tapi Jadi Sebab Mabrurnya 600 Ribu Jemaah

Kisah mengharukan datang dari seorang tukang sol sepatu bernama Ibnu Muwafaq, yang menjadi teladan dalam keikhlasan dan kedermawanan. Setelah ditelusuri lebih dalam, diketahui bahwa ia sebenarnya tidak berangkat haji. Keputusan itu diambil bukan karena alasan fisik atau teknis, melainkan karena pilihan mulia: ia menyedekahkan seluruh biaya haji yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun untuk membantu sebuah kampung miskin.

“Padahal, Ibnu Muwafaq mengumpulkan biaya hajinya selama tiga dekade dengan bekerja keras sebagai tukang sol sepatu. Namun, demi membantu orang-orang yang lebih membutuhkan, ia relakan niat hajinya,” tutur Kiai Taufik saat mengisahkan peristiwa ini.

Apa yang terjadi setelahnya sungguh luar biasa. Berkat ketulusan dan pengorbanan Ibnu Muwafaq, Allah menerima ibadah haji seluruh jemaah yang berhaji pada tahun itu. Kisah ini menjadi bukti bahwa keikhlasan dan amal sosial bisa menjadi sebab turunnya rahmat yang meluas.

Dalam riwayat lain yang disampaikan oleh Kiai Taufik, disebutkan bahwa pada waktu itu hanya ada enam orang yang benar-benar memperoleh gelar haji mabrur. Namun, masing-masing dari enam orang ini membawa keberkahan yang luar biasa—kemabruran mereka menjadi sebab diterimanya haji dari 600 ribu orang. Artinya, satu orang menularkan kemabruran kepada 100 ribu jemaah lainnya.

“Jadi, ternyata ada ibadah yang nilainya di sisi Allah bisa melebihi haji, yakni kedermawanan, empati, dan kasih sayang terhadap sesama, terutama kepada orang-orang yang lemah,” ungkap Kiai Taufik.

Kisah ini menjadi pelajaran berharga bahwa amal yang dilakukan dengan penuh cinta dan keikhlasan, sekecil apa pun bentuknya, dapat membawa dampak besar. Bahkan, bisa lebih utama dari ibadah fisik apabila dilandasi kasih sayang dan kepedulian sosial yang mendalam.

Tak Ikut Berhaji, Tapi Hajinya yang Diterima: Kisah Ibnu Muwafaq dan 600 Ribu Jamaah

Dalam sebuah kesempatan, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta, KH Taufik Damas, membagikan sebuah kisah inspiratif yang sarat makna. Ia menceritakan tentang satu orang yang hajinya dinyatakan mabrur di antara 600 ribu jemaah lainnya—meskipun orang tersebut justru tidak berangkat ke Tanah Suci.

Kisah ini, menurut Kiai Taufik, berasal dari khazanah tasawuf dan berawal dari mimpi Ibnu Mubarak, seorang ulama besar, saat menjalankan ibadah haji. Dalam mimpinya, Ibnu Mubarak menyaksikan dua malaikat yang sedang berdialog, membahas siapa di antara ratusan ribu jemaah haji yang hajinya diterima oleh Allah pada tahun itu.

“Dalam mimpi itu, ternyata hanya satu orang yang mendapatkan haji mabrur,” tutur Kiai Taufik melalui akun Twitter pribadinya, Sabtu (5/6/2021). “Yang mengejutkan, orang itu tidak ikut berhaji. Namanya Ibnu Muwafaq.”

Ternyata, lanjutnya, Ibnu Muwafaq telah mengumpulkan biaya haji selama 30 tahun dari hasil pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu. Namun, ketika kesempatan berhaji akhirnya tiba, ia memilih untuk menggunakan dana itu untuk membantu sebuah kampung miskin yang sangat membutuhkan.

Keputusannya untuk mendahulukan kebutuhan orang lain dibanding ibadah pribadi yang agung, menjadi bukti keikhlasan dan empati yang luar biasa. Karena niat dan pengorbanan yang tulus itu, Allah memberinya balasan yang tak terbayangkan—hajinya diterima, bahkan tanpa ia menjejakkan kaki di Tanah Suci.

Kisah ini menjadi pengingat kuat bahwa ibadah sejati tidak hanya soal rukun-rukun lahiriah, tapi juga soal hati, niat, dan pengorbanan. Dalam pandangan spiritual, kedermawanan dan kasih sayang kepada sesama bisa memiliki nilai ibadah yang luar biasa tinggi di sisi Allah.

Buya Yahya: Sifat Pelit Bisa Menular Seperti Penyakit

Stylesphere – Pelit bukan sekadar sifat buruk yang merusak hubungan sosial, tetapi juga bisa menular layaknya penyakit. Hal ini disampaikan oleh pendakwah ternama KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya dalam sebuah kajian terbaru yang mengangkat persoalan kehidupan sehari-hari.

Dalam ceramahnya, Buya Yahya menekankan bahwa sifat pelit tidak boleh dianggap sepele. Menurutnya, seseorang yang terlalu sering bergaul dengan orang-orang pelit dapat tertular kebiasaan buruk tersebut tanpa disadari.

“Kalau duduk sama orang pelit, pasti menular,” ujarnya tegas.

Buya Yahya mencontohkan, pada awalnya seseorang mungkin merasa janggal ketika melihat temannya enggan berbagi makanan. Namun, jika hal itu terus berulang, rasa heran akan berubah menjadi kebiasaan, hingga akhirnya ia pun ikut-ikutan tidak berbagi. Proses ini disebutnya sebagai bentuk pembiasaan yang pelan-pelan mampu mengikis nilai-nilai kebaikan dalam diri seseorang.

Ia menambahkan bahwa ketika seseorang terbiasa dengan sikap tidak peduli dan enggan berbagi, maka rasa empati dan kepedulian pun akan memudar. Hal ini menjadi pengingat bahwa karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya.

Dalam tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Selasa (17/06/2025), Buya Yahya mengajak umat untuk lebih selektif dalam memilih lingkungan dan menekankan pentingnya keteladanan dalam membentuk karakter. Menurutnya, lingkungan yang dipenuhi sikap pelit dapat meredupkan semangat berbagi dan kepedulian sosial.

Buya Yahya: Sifat Pelit Dekat dengan Setan, Dermawan Membawa Rahmat

Dalam sebuah ceramah yang disiarkan melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Selasa (17/06/2025), Buya Yahya menggambarkan bagaimana sikap pelit dapat memengaruhi seseorang secara perlahan. Ia mencontohkan situasi sederhana yang sering terjadi di lingkungan kerja: seseorang duduk bersama rekan yang enggan berbagi makanan.

“Awalnya merasa aneh, keterlaluan amat ya. Tapi setelah ketemu lagi dan lagi, akhirnya dia sendiri enggak nawarin makanan juga,” ujar Buya Yahya.

Menurutnya, pelit bukan sekadar perilaku negatif dalam hubungan sosial, tetapi juga memiliki dimensi spiritual. Ia menyatakan dengan tegas bahwa sifat pelit dekat dengan setan, dan setan dekat dengan neraka. Karena itu, pelit adalah karakter yang membahayakan tidak hanya secara sosial, tetapi juga dalam kehidupan beragama.

Sebaliknya, Buya menjelaskan bahwa bergaul dengan orang-orang dermawan akan menumbuhkan semangat berbagi. “Dekat orang dermawan, nular juga. Ingin berbuat baik, ingin ikut senang berbagi,” tuturnya.

Sifat dermawan, menurut Buya Yahya, adalah karakter luhur yang sangat dihargai dalam ajaran Islam. Orang yang gemar memberi tidak hanya mendapatkan keberkahan, tetapi juga mampu menginspirasi orang lain di sekitarnya untuk melakukan hal serupa. Berbagi bukan hanya soal materi, tetapi juga soal nilai dan keteladanan.

Meski begitu, Buya mengingatkan agar berbagi dilakukan dengan bijak. Ia mencontohkan pendidikan kepada anak-anak yang perlu diarahkan agar tidak asal membagikan uang milik orang tua tanpa tujuan jelas.

“Berbaginya jangan ngacau, jangan sampai uang orang tua habis karena dibagi-bagi sembarangan. Harus ada ilmunya,” pesannya.

Buya Yahya menekankan bahwa semangat berbagi harus dilandasi ilmu dan tanggung jawab. Dengan begitu, kebaikan yang dilakukan benar-benar membawa manfaat dan menjadi amal saleh yang diridhai Allah.

Buya Yahya: Didik Anak Agar Tidak Pelit dan Tidak Boros, Ini Kunci Karakter Seimbang

Dalam nasihatnya yang penuh makna, Buya Yahya menekankan pentingnya mendidik anak untuk tidak bersifat pelit sekaligus tidak boros. Menurutnya, keseimbangan adalah fondasi utama dalam membentuk kepribadian yang sehat, baik secara sosial maupun spiritual.

Buya menjelaskan bahwa lingkungan memiliki peran besar dalam pembentukan karakter seseorang. Karena itu, memilih lingkungan yang positif dan berteman dengan orang-orang dermawan adalah langkah penting agar tidak terjerumus dalam sifat-sifat tercela.

Ia juga menyoroti fenomena sosial di tengah masyarakat modern, di mana banyak anak dibesarkan tanpa dibiasakan untuk peduli kepada sesama. Padahal, menurut Buya, sikap berbagi harus ditanamkan sejak dini—meski hanya dengan hal-hal kecil seperti menawarkan makanan.

“Kalau enggak dibiasakan dari kecil, nanti dewasa jadi orang pelit yang keras hati. Susah menolong, susah memberi,” tegas Buya Yahya.

Dalam konteks kehidupan yang kian individualistis, pesan ini terasa semakin relevan. Banyak orang terlalu fokus pada urusan pribadi hingga melupakan pentingnya kepedulian sosial.

Buya juga mengingatkan bahwa sifat baik maupun buruk sangat mudah menular, tergantung dengan siapa seseorang bergaul setiap hari. Karena itu, ia mengajak umat Islam untuk lebih berhati-hati dalam memilih lingkungan pergaulan.

Kebiasaan berbagi, lanjut Buya, dapat dimulai dari hal-hal sederhana. Dari sekadar menawarkan makanan, seseorang bisa belajar menumbuhkan empati dan kasih sayang. Perlahan, sikap ini akan membentuk pribadi yang dermawan dan peduli terhadap sesama.

Pada akhirnya, Buya Yahya menegaskan bahwa melatih diri dan anak untuk tidak pelit adalah bagian dari upaya meniti jalan kebaikan. Sebab, sifat pelit bukan hanya menyusahkan orang lain, tetapi juga merugikan diri sendiri.

Pesan ini menjadi pengingat bahwa dalam Islam, kebaikan tidak hanya diukur dari hubungan dengan Allah, tetapi juga dari kepedulian terhadap sesama manusia. Nilai-nilai sosial seperti tolong-menolong, berbagi, dan empati adalah bagian penting dari ajaran Islam yang harus terus dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya.