Memilih Memaafkan: Pandangan Buya Yahya tentang Pahala dan Akhirat
Stylesphere – Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada situasi di mana seseorang datang meminta maaf kepada kita, namun perasaan sakit hati atau kekecewaan membuat kita enggan memberikan maaf. Ini adalah hal yang sangat manusiawi. Namun, bagaimana dampaknya di akhirat kelak jika kita tetap memilih untuk tidak memaafkan?
Pertanyaan ini dijawab oleh pendakwah KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang akrab disapa Buya Yahya, dalam sebuah tayangan video yang diunggah melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Rabu, 14 Mei 2025.
Memaafkan: Bukan Kewajiban, Tapi Penuh Pahala
Buya Yahya menjelaskan bahwa memberi maaf memang bukan kewajiban mutlak. Seseorang yang tersakiti memiliki hak untuk tidak memaafkan, apalagi jika luka batin yang dirasakan sangat dalam. Namun, ia menekankan bahwa memaafkan adalah amalan mulia yang memiliki nilai pahala besar di sisi Allah SWT.
“Kalau ada orang yang sudah minta maaf kemudian tidak dimaafkan, itu bisa saja sah, tetapi lebih besar pahalanya jika orang tersebut memaafkan,” ujar Buya Yahya dengan penuh renungan.
Menurut beliau, sikap memaafkan adalah cerminan keluhuran akhlak. Meskipun secara syariat seseorang boleh saja menahan maaf, kedudukan orang yang mampu memaafkan jauh lebih tinggi di sisi Allah.
Dendam atau Pahala?
Buya Yahya mengajak kita untuk merenung, apakah mempertahankan sakit hati dan dendam akan membawa manfaat yang lebih besar dibandingkan pahala memaafkan? Ia menjelaskan bahwa walaupun seseorang tidak memaafkan hingga hari kiamat, itu tidak melanggar aturan agama. Namun, orang tersebut akan melewatkan peluang besar untuk meraih kemuliaan di sisi Allah SWT.
“Memang, kalau Anda dibuat orang berbuat salah kepada Anda, Anda belum memaafkan, itu sah. Tapi, pangkatnya rendah. Hebat lagi memaafkan di saat Anda tidak memaafkan sampai di akhirat,” tegas Buya Yahya.
Penutup
Memaafkan memang bukan perkara mudah, terlebih jika luka yang ditinggalkan sangat dalam. Namun, Islam mengajarkan bahwa kemuliaan akhlak salah satunya terletak pada kemampuan untuk memaafkan, bahkan ketika hati masih terasa perih. Memaafkan bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga demi kedamaian dan kemuliaan diri sendiri—di dunia dan akhirat.
Memaafkan Bukan Sekadar Kebaikan, Tapi Jalan Menuju Istana di Surga

Dalam penjelasannya, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk merenungkan makna memaafkan dari sudut pandang akhirat. Ia menggambarkan sebuah peristiwa menyentuh yang mungkin akan dialami oleh orang-orang yang enggan memberi maaf kepada sesama, meskipun permintaan maaf telah disampaikan.
Buya Yahya menyampaikan bahwa di akhirat kelak, orang yang tidak memaafkan akan diperlihatkan sebuah istana yang sangat megah. Saat ia bertanya tentang siapa pemilik istana tersebut, akan terdengar jawaban yang menyentuh hati: “Itu untukmu, jika kamu memaafkan.” Sebuah riwayat yang menggambarkan betapa luar biasanya pahala bagi orang yang mampu memaafkan.
“Di akhirat nanti, orang yang tidak memaafkan akan melihat istana yang sangat indah. Kemudian dia akan bertanya, ‘Itu istana kok hebat banget, untuk siapa?’ Jawabannya, ‘Untukmu, jika kamu memaafkan,’” tutur Buya Yahya.
Memaafkan adalah Pilihan yang Mengangkat Derajat
Buya Yahya menegaskan, meskipun seseorang telah berbuat salah dan memohon maaf namun belum dimaafkan, ia tetap bisa mendapatkan ampunan Allah apabila ia sungguh-sungguh bertaubat dan memperbaiki hubungannya dengan Sang Pencipta. Artinya, ampunan Allah tidak tertutup hanya karena masih ada luka yang belum sembuh di hati manusia lain.
Namun, bagi pihak yang menyimpan sakit hati dan enggan memberi maaf, Allah menawarkan imbalan luar biasa jika ia bersedia melepas dendam tersebut.
“Maka yang dendam tadi diiming-imingi, ‘Itu ada istana, kamu maafin nggak?’ Dan jika dia memaafkan, maka langsung dimaafkan dan memperoleh ganjaran istana di surga,” jelas Buya Yahya penuh harapan.
Lebih dari Sekadar Maaf: Ini Soal Hubungan dengan Allah
Pesan penting yang ditekankan Buya Yahya adalah bahwa memaafkan bukan hanya tentang hubungan antar manusia, tetapi juga soal kedekatan dengan Allah SWT. Ketika kita memaafkan, kita tidak hanya memberikan kelegaan bagi orang lain, tapi juga membebaskan diri sendiri dari beban emosi negatif.
Ia juga memberikan semangat bagi siapa saja yang telah meminta maaf dengan sungguh-sungguh agar tidak khawatir. Allah Maha Mengetahui isi hati setiap hamba-Nya dan akan membalas setiap ketulusan.
“Jangan khawatir, yang penting jika minta maaf, serius. Maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pesan Buya Yahya menenangkan.
Kesimpulan
Dari penjelasan Buya Yahya, kita diajak untuk memahami bahwa memaafkan adalah bentuk kebesaran jiwa. Balasannya bukan sekadar damai di dunia, tetapi juga kemuliaan yang abadi di akhirat. Maka, siapa pun kita—yang meminta atau memberi maaf—masing-masing memiliki jalan menuju ampunan dan cinta Allah. Jangan sia-siakan kesempatan itu hanya karena gengsi atau rasa sakit yang belum reda. Karena bisa jadi, di balik maaf yang kita berikan, tersimpan istana megah menanti kita di surga.
Memaafkan: Jalan Menuju Kedamaian dan Surga
Memaafkan bukan hanya tentang membebaskan orang lain dari kesalahan, tetapi juga membebaskan diri kita sendiri dari beban dendam dan kebencian. Ketika kita memaafkan, kita sebenarnya sedang berbuat baik untuk diri sendiri. Hati menjadi lebih ringan, pikiran lebih jernih, dan jiwa terasa damai.
Sebaliknya, jika kita terus menyimpan dendam, itu bisa menjadi beban yang memberatkan perjalanan kita, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti yang disampaikan oleh Buya Yahya, seseorang yang menolak untuk memaafkan meskipun telah dimintai maaf, bisa saja mengalami kerugian besar di akhirat—kehilangan pahala besar yang seharusnya bisa ia raih.
Memaafkan adalah cerminan kasih sayang yang tulus. Dalam memaafkan, kita memberi orang lain kesempatan untuk memperbaiki diri, sekaligus membuka jalan bagi diri kita sendiri untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Ini bukan perkara sepele, karena mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan utama hidup seorang Muslim.
Di akhirat kelak, setiap bentuk ampunan dan kebaikan yang kita berikan di dunia akan diganjar dengan balasan yang luar biasa. Maka, memberi maaf adalah salah satu bentuk amal paling mulia, yang pahalanya tak ternilai.
Sebagai penutup, Buya Yahya mengingatkan kita agar jangan pernah meremehkan kekuatan dari sebuah permintaan maaf, dan terlebih lagi—kekuatan dalam memberi maaf. Meski berat, memaafkan adalah pilihan yang akan membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik, hati yang lebih lapang, dan keberkahan yang lebih luas.
Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mudah memaafkan, sehingga bisa memperoleh ganjaran istana di surga, seperti yang dijanjikan bagi mereka yang mengikhlaskan. Karena sejatinya, memaafkan adalah amal yang paling tinggi nilainya, dan menjadi tanda keluhuran jiwa seorang hamba yang berharap ridha Tuhannya.