Pandangan tentang Tanggung Jawab Dosa dalam Keluarga

Stylesphere – Pandangan bahwa dosa istri dan anak akan otomatis ditanggung oleh suami atau ayah masih sering ditemukan di tengah masyarakat. Banyak yang merasa aman dengan keyakinan ini, seolah-olah ada “penanggung” bagi setiap kesalahan mereka. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar dan tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam.

Dalam Islam, setiap individu bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri. Tidak ada yang bisa memindahkan dosa secara otomatis kepada orang lain tanpa sebab yang jelas. Pemahaman keliru ini coba diluruskan oleh KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya dalam sebuah kajian yang tayang di kanal YouTube @albahjah-tv pada Selasa, 22 April 2025.

Dalam sesi tanya-jawab bersama jamaah, Buya Yahya menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal konsep tanggung dosa sepenuhnya oleh pihak lain dalam keluarga. Dosa istri bukan tanggung jawab penuh suami, dan dosa anak bukan sepenuhnya beban sang ayah. Namun, jika suami atau ayah memiliki peran dalam terjadinya dosa itu—karena kelalaian, pembiaran, atau bahkan mendorong perbuatan maksiat—maka ia akan ikut menanggung dosa tersebut.

Sebagai contoh, Buya Yahya mengungkapkan situasi ketika seorang ayah memberikan alat elektronik kepada anaknya tanpa memberikan arahan atau pengawasan. Jika alat tersebut kemudian digunakan untuk perbuatan maksiat, maka sang ayah ikut bertanggung jawab, meskipun ia sedang berada di tanah suci untuk umroh atau tengah melaksanakan tahajud.

Intinya, tanggung jawab dalam keluarga tidak bersifat otomatis dan mutlak. Ada batas yang jelas antara tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab moral yang muncul karena keterlibatan atau kelalaian dalam mendidik dan membimbing anggota keluarga. Islam mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, termasuk dalam urusan spiritual dan moral di rumah tangga.

Tanggung Jawab Dosa dalam Keluarga: Penjelasan Tegas Buya Yahya

Pemahaman bahwa dosa anggota keluarga, seperti istri atau anak, otomatis ditanggung oleh kepala keluarga masih sering beredar di masyarakat. Buya Yahya, dai kharismatik yang dikenal luas, menanggapi pandangan ini dengan tegas dalam sebuah kajian yang ditayangkan di kanal YouTube @albahjah-tv pada 22 April 2025.

Menurut Buya Yahya, dosa muncul karena adanya kelalaian, terutama dalam hal pendidikan dan pengawasan. Orang tua yang membiarkan anak tumbuh tanpa bimbingan, atau tidak memberikan pendidikan yang layak, tetap memikul tanggung jawab atas akibat dari kelalaian tersebut. Namun, jika orang tua sudah berusaha maksimal dalam mendidik, menasihati, dan mengarahkan anak ke jalan yang benar, lalu anak tersebut tetap memilih melakukan kesalahan, maka orang tua tidak menanggung dosanya.

Hal serupa juga berlaku dalam hubungan suami istri. Buya Yahya menolak anggapan bahwa semua dosa istri otomatis menjadi beban suami. Ia menyebut pandangan itu sebagai pemahaman keliru yang kadang dijadikan tameng oleh sebagian orang untuk berbuat maksiat tanpa merasa bersalah.

Menurutnya, setiap dosa adalah tanggung jawab pribadi. Istri tidak bisa berlindung di balik status suami sebagai pemimpin rumah tangga untuk membenarkan perilaku salah. Suami hanya akan ikut berdosa jika ia mengetahui kesalahan istrinya namun memilih diam dan tidak mengambil tindakan. Sebaliknya, jika suami sudah menasihati dan memperingatkan secara sungguh-sungguh, namun istrinya tetap melakukan perbuatan dosa, maka tanggung jawab itu gugur. Suami sudah menjalankan perannya sebagai pemimpin rumah tangga.

Buya Yahya mengilustrasikan hal ini dengan hubungan antara guru dan santri. Seorang guru yang membimbing banyak santri tidak otomatis menanggung dosa-dosa mereka. Namun, jika ia membiarkan pelanggaran terjadi tanpa menegur atau memberikan sanksi, maka ia turut bersalah. Karena itu, di pondok pesantren, diterapkan aturan dan hukuman agar setiap santri belajar bertanggung jawab atas perbuatannya tanpa membebani gurunya.

Penjelasan ini menegaskan bahwa dalam Islam, tanggung jawab moral dan spiritual bersifat personal, kecuali jika ada kelalaian atau pembiaran yang jelas dari pihak yang seharusnya membimbing.