Kisah Sebuah Amalan Kecil yang Membawa Berkah bagi 600 Ribu Jemaah Haji

Stylesphere – Di antara jutaan langkah yang menapak di Tanah Suci, tersimpan beragam kisah menakjubkan yang lahir dari kerendahan hati dan ketulusan para jemaah dalam menjalankan ibadah haji. Di tengah kerumunan manusia yang datang dari penjuru dunia, tak jarang muncul cerita sederhana yang menyimpan hikmah luar biasa—bukan hanya bagi pelakunya, tetapi juga bagi ratusan ribu jiwa lainnya.

Amalan kecil yang dilakukan dengan niat tulus dan hati penuh keyakinan, nyatanya dapat menjadi sebab turunnya keberkahan yang meluas. Seolah alam pun menjadi saksi bahwa tidak ada amal baik yang sia-sia di hadapan Allah. Bahkan, balasannya tak hanya kembali kepada si pelaku, tetapi juga menyebar membawa kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya.

Salah satu kisah penuh makna tersebut datang dari Tanah Suci, tentang seorang hamba dengan amalannya yang sederhana namun ikhlas. Kisah ini menjadi sebab diterimanya haji sebanyak 600 ribu jemaah. Sebuah peristiwa yang menggambarkan betapa luar biasanya dampak dari amal yang dilakukan dengan hati bersih, tanpa pamrih.

Kisah ini dirangkum dari laman Anugerahslot Online, dan dipublikasikan pada Sabtu (14/6/2025). Ia menjadi pengingat bahwa keikhlasan sejati dalam beramal mampu mengundang rahmat Allah yang begitu luas, bahkan hingga mabrurnya haji ratusan ribu orang.

Tak Jadi Berhaji, Tapi Jadi Sebab Mabrurnya 600 Ribu Jemaah

Kisah mengharukan datang dari seorang tukang sol sepatu bernama Ibnu Muwafaq, yang menjadi teladan dalam keikhlasan dan kedermawanan. Setelah ditelusuri lebih dalam, diketahui bahwa ia sebenarnya tidak berangkat haji. Keputusan itu diambil bukan karena alasan fisik atau teknis, melainkan karena pilihan mulia: ia menyedekahkan seluruh biaya haji yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun untuk membantu sebuah kampung miskin.

“Padahal, Ibnu Muwafaq mengumpulkan biaya hajinya selama tiga dekade dengan bekerja keras sebagai tukang sol sepatu. Namun, demi membantu orang-orang yang lebih membutuhkan, ia relakan niat hajinya,” tutur Kiai Taufik saat mengisahkan peristiwa ini.

Apa yang terjadi setelahnya sungguh luar biasa. Berkat ketulusan dan pengorbanan Ibnu Muwafaq, Allah menerima ibadah haji seluruh jemaah yang berhaji pada tahun itu. Kisah ini menjadi bukti bahwa keikhlasan dan amal sosial bisa menjadi sebab turunnya rahmat yang meluas.

Dalam riwayat lain yang disampaikan oleh Kiai Taufik, disebutkan bahwa pada waktu itu hanya ada enam orang yang benar-benar memperoleh gelar haji mabrur. Namun, masing-masing dari enam orang ini membawa keberkahan yang luar biasa—kemabruran mereka menjadi sebab diterimanya haji dari 600 ribu orang. Artinya, satu orang menularkan kemabruran kepada 100 ribu jemaah lainnya.

“Jadi, ternyata ada ibadah yang nilainya di sisi Allah bisa melebihi haji, yakni kedermawanan, empati, dan kasih sayang terhadap sesama, terutama kepada orang-orang yang lemah,” ungkap Kiai Taufik.

Kisah ini menjadi pelajaran berharga bahwa amal yang dilakukan dengan penuh cinta dan keikhlasan, sekecil apa pun bentuknya, dapat membawa dampak besar. Bahkan, bisa lebih utama dari ibadah fisik apabila dilandasi kasih sayang dan kepedulian sosial yang mendalam.

Tak Ikut Berhaji, Tapi Hajinya yang Diterima: Kisah Ibnu Muwafaq dan 600 Ribu Jamaah

Dalam sebuah kesempatan, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta, KH Taufik Damas, membagikan sebuah kisah inspiratif yang sarat makna. Ia menceritakan tentang satu orang yang hajinya dinyatakan mabrur di antara 600 ribu jemaah lainnya—meskipun orang tersebut justru tidak berangkat ke Tanah Suci.

Kisah ini, menurut Kiai Taufik, berasal dari khazanah tasawuf dan berawal dari mimpi Ibnu Mubarak, seorang ulama besar, saat menjalankan ibadah haji. Dalam mimpinya, Ibnu Mubarak menyaksikan dua malaikat yang sedang berdialog, membahas siapa di antara ratusan ribu jemaah haji yang hajinya diterima oleh Allah pada tahun itu.

“Dalam mimpi itu, ternyata hanya satu orang yang mendapatkan haji mabrur,” tutur Kiai Taufik melalui akun Twitter pribadinya, Sabtu (5/6/2021). “Yang mengejutkan, orang itu tidak ikut berhaji. Namanya Ibnu Muwafaq.”

Ternyata, lanjutnya, Ibnu Muwafaq telah mengumpulkan biaya haji selama 30 tahun dari hasil pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu. Namun, ketika kesempatan berhaji akhirnya tiba, ia memilih untuk menggunakan dana itu untuk membantu sebuah kampung miskin yang sangat membutuhkan.

Keputusannya untuk mendahulukan kebutuhan orang lain dibanding ibadah pribadi yang agung, menjadi bukti keikhlasan dan empati yang luar biasa. Karena niat dan pengorbanan yang tulus itu, Allah memberinya balasan yang tak terbayangkan—hajinya diterima, bahkan tanpa ia menjejakkan kaki di Tanah Suci.

Kisah ini menjadi pengingat kuat bahwa ibadah sejati tidak hanya soal rukun-rukun lahiriah, tapi juga soal hati, niat, dan pengorbanan. Dalam pandangan spiritual, kedermawanan dan kasih sayang kepada sesama bisa memiliki nilai ibadah yang luar biasa tinggi di sisi Allah.

Buya Yahya: Sifat Pelit Bisa Menular Seperti Penyakit

Stylesphere – Pelit bukan sekadar sifat buruk yang merusak hubungan sosial, tetapi juga bisa menular layaknya penyakit. Hal ini disampaikan oleh pendakwah ternama KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang lebih dikenal sebagai Buya Yahya dalam sebuah kajian terbaru yang mengangkat persoalan kehidupan sehari-hari.

Dalam ceramahnya, Buya Yahya menekankan bahwa sifat pelit tidak boleh dianggap sepele. Menurutnya, seseorang yang terlalu sering bergaul dengan orang-orang pelit dapat tertular kebiasaan buruk tersebut tanpa disadari.

“Kalau duduk sama orang pelit, pasti menular,” ujarnya tegas.

Buya Yahya mencontohkan, pada awalnya seseorang mungkin merasa janggal ketika melihat temannya enggan berbagi makanan. Namun, jika hal itu terus berulang, rasa heran akan berubah menjadi kebiasaan, hingga akhirnya ia pun ikut-ikutan tidak berbagi. Proses ini disebutnya sebagai bentuk pembiasaan yang pelan-pelan mampu mengikis nilai-nilai kebaikan dalam diri seseorang.

Ia menambahkan bahwa ketika seseorang terbiasa dengan sikap tidak peduli dan enggan berbagi, maka rasa empati dan kepedulian pun akan memudar. Hal ini menjadi pengingat bahwa karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya.

Dalam tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Selasa (17/06/2025), Buya Yahya mengajak umat untuk lebih selektif dalam memilih lingkungan dan menekankan pentingnya keteladanan dalam membentuk karakter. Menurutnya, lingkungan yang dipenuhi sikap pelit dapat meredupkan semangat berbagi dan kepedulian sosial.

Buya Yahya: Sifat Pelit Dekat dengan Setan, Dermawan Membawa Rahmat

Dalam sebuah ceramah yang disiarkan melalui kanal YouTube @buyayahyaofficial pada Selasa (17/06/2025), Buya Yahya menggambarkan bagaimana sikap pelit dapat memengaruhi seseorang secara perlahan. Ia mencontohkan situasi sederhana yang sering terjadi di lingkungan kerja: seseorang duduk bersama rekan yang enggan berbagi makanan.

“Awalnya merasa aneh, keterlaluan amat ya. Tapi setelah ketemu lagi dan lagi, akhirnya dia sendiri enggak nawarin makanan juga,” ujar Buya Yahya.

Menurutnya, pelit bukan sekadar perilaku negatif dalam hubungan sosial, tetapi juga memiliki dimensi spiritual. Ia menyatakan dengan tegas bahwa sifat pelit dekat dengan setan, dan setan dekat dengan neraka. Karena itu, pelit adalah karakter yang membahayakan tidak hanya secara sosial, tetapi juga dalam kehidupan beragama.

Sebaliknya, Buya menjelaskan bahwa bergaul dengan orang-orang dermawan akan menumbuhkan semangat berbagi. “Dekat orang dermawan, nular juga. Ingin berbuat baik, ingin ikut senang berbagi,” tuturnya.

Sifat dermawan, menurut Buya Yahya, adalah karakter luhur yang sangat dihargai dalam ajaran Islam. Orang yang gemar memberi tidak hanya mendapatkan keberkahan, tetapi juga mampu menginspirasi orang lain di sekitarnya untuk melakukan hal serupa. Berbagi bukan hanya soal materi, tetapi juga soal nilai dan keteladanan.

Meski begitu, Buya mengingatkan agar berbagi dilakukan dengan bijak. Ia mencontohkan pendidikan kepada anak-anak yang perlu diarahkan agar tidak asal membagikan uang milik orang tua tanpa tujuan jelas.

“Berbaginya jangan ngacau, jangan sampai uang orang tua habis karena dibagi-bagi sembarangan. Harus ada ilmunya,” pesannya.

Buya Yahya menekankan bahwa semangat berbagi harus dilandasi ilmu dan tanggung jawab. Dengan begitu, kebaikan yang dilakukan benar-benar membawa manfaat dan menjadi amal saleh yang diridhai Allah.

Buya Yahya: Didik Anak Agar Tidak Pelit dan Tidak Boros, Ini Kunci Karakter Seimbang

Dalam nasihatnya yang penuh makna, Buya Yahya menekankan pentingnya mendidik anak untuk tidak bersifat pelit sekaligus tidak boros. Menurutnya, keseimbangan adalah fondasi utama dalam membentuk kepribadian yang sehat, baik secara sosial maupun spiritual.

Buya menjelaskan bahwa lingkungan memiliki peran besar dalam pembentukan karakter seseorang. Karena itu, memilih lingkungan yang positif dan berteman dengan orang-orang dermawan adalah langkah penting agar tidak terjerumus dalam sifat-sifat tercela.

Ia juga menyoroti fenomena sosial di tengah masyarakat modern, di mana banyak anak dibesarkan tanpa dibiasakan untuk peduli kepada sesama. Padahal, menurut Buya, sikap berbagi harus ditanamkan sejak dini—meski hanya dengan hal-hal kecil seperti menawarkan makanan.

“Kalau enggak dibiasakan dari kecil, nanti dewasa jadi orang pelit yang keras hati. Susah menolong, susah memberi,” tegas Buya Yahya.

Dalam konteks kehidupan yang kian individualistis, pesan ini terasa semakin relevan. Banyak orang terlalu fokus pada urusan pribadi hingga melupakan pentingnya kepedulian sosial.

Buya juga mengingatkan bahwa sifat baik maupun buruk sangat mudah menular, tergantung dengan siapa seseorang bergaul setiap hari. Karena itu, ia mengajak umat Islam untuk lebih berhati-hati dalam memilih lingkungan pergaulan.

Kebiasaan berbagi, lanjut Buya, dapat dimulai dari hal-hal sederhana. Dari sekadar menawarkan makanan, seseorang bisa belajar menumbuhkan empati dan kasih sayang. Perlahan, sikap ini akan membentuk pribadi yang dermawan dan peduli terhadap sesama.

Pada akhirnya, Buya Yahya menegaskan bahwa melatih diri dan anak untuk tidak pelit adalah bagian dari upaya meniti jalan kebaikan. Sebab, sifat pelit bukan hanya menyusahkan orang lain, tetapi juga merugikan diri sendiri.

Pesan ini menjadi pengingat bahwa dalam Islam, kebaikan tidak hanya diukur dari hubungan dengan Allah, tetapi juga dari kepedulian terhadap sesama manusia. Nilai-nilai sosial seperti tolong-menolong, berbagi, dan empati adalah bagian penting dari ajaran Islam yang harus terus dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Jejak Kebaikan di Tanah Suci: Kisah Sebuah Amal yang Memabrurkan 600 Ribu Jemaah Haji

Stylesphere – Di antara jutaan langkah yang menapaki Tanah Suci setiap tahunnya, terselip kisah-kisah menakjubkan yang sarat keajaiban dan pelajaran hidup. Dari kerumunan para jemaah yang menjalankan rukun Islam kelima ini, muncul cerita-cerita sederhana namun memiliki dampak luar biasa—bukan hanya bagi satu orang, melainkan hingga ratusan ribu jiwa.

Sering kali, sebuah amalan kecil yang dilakukan dengan keikhlasan dan keyakinan mendalam menjadi sebab turunnya keberkahan yang melimpah. Seolah semesta turut menjadi saksi bahwa setiap amal baik yang dilakukan dengan tulus tidak pernah sia-sia. Bahkan, balasan dari Allah tak hanya menyentuh pelaku amal tersebut, tetapi juga menjalar sebagai kebaikan yang dirasakan oleh banyak orang di sekitarnya.

Salah satu kisah menyentuh ini berasal dari pengalaman seorang hamba Allah yang amalannya menjadi sebab diterimanya haji lebih dari 600 ribu orang. Kisah penuh hikmah ini dimuat oleh Anugerahslot Online pada Sabtu, 14 Juni 2025.

Kisah Diterimanya Haji Ibnu Muwafaq

Setelah ditelusuri lebih lanjut, kata Kiai Taufik, diketahui bahwa Ibnu Muwafaq sebenarnya tidak jadi menunaikan ibadah haji. Ia memilih jalan berbeda—yang ternyata justru jauh lebih mulia di mata Allah. Biaya yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun dari pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu, tidak jadi ia pakai untuk berangkat ke Tanah Suci. Sebaliknya, seluruhnya ia sedekahkan kepada penduduk sebuah kampung miskin yang sangat membutuhkan bantuan.

“Padahal, Ibnu Muwafaq mengumpulkan biaya hajinya dengan susah payah selama tiga dekade,” tutur Kiai Taufik. “Namun karena keikhlasan dan ketulusan amalnya, Allah membalasnya dengan pahala luar biasa—bukan hanya untuk dirinya sendiri. Kemabrurannya menjadi sebab diterimanya haji 600 ribu jamaah saat itu.”

Dalam riwayat lain yang juga disampaikan Kiai Taufik, disebutkan bahwa sebenarnya ada enam orang yang memperoleh derajat haji mabrur. Setiap satu orang dari mereka membawa berkah bagi seratus ribu jamaah lainnya. Dengan kata lain, kemabruran keenam orang ini menjadi sebab diterimanya haji seluruh rombongan.

“Artinya, ada bentuk ibadah yang nilainya bisa lebih agung daripada haji itu sendiri,” ujar Kiai Taufik. “Yaitu kedermawanan, empati, dan simpati yang tulus kepada sesama, terutama kepada mereka yang lemah.”

Keutamaan Ibadah yang Ikhlas

Setelah ditelusuri lebih lanjut, kata Kiai Taufik, diketahui bahwa Ibnu Muwafaq sebenarnya tidak jadi menunaikan ibadah haji. Ia memilih jalan berbeda—yang ternyata justru jauh lebih mulia di mata Allah. Biaya yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun dari pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu, tidak jadi ia pakai untuk berangkat ke Tanah Suci. Sebaliknya, seluruhnya ia sedekahkan kepada penduduk sebuah kampung miskin yang sangat membutuhkan bantuan.

“Padahal, Ibnu Muwafaq mengumpulkan biaya hajinya dengan susah payah selama tiga dekade,” tutur Kiai Taufik. “Namun karena keikhlasan dan ketulusan amalnya, Allah membalasnya dengan pahala luar biasa—bukan hanya untuk dirinya sendiri. Kemabrurannya menjadi sebab diterimanya haji 600 ribu jamaah saat itu.”

Dalam riwayat lain yang juga disampaikan Kiai Taufik, disebutkan bahwa sebenarnya ada enam orang yang memperoleh derajat haji mabrur. Setiap satu orang dari mereka membawa berkah bagi seratus ribu jamaah lainnya. Dengan kata lain, kemabruran keenam orang ini menjadi sebab diterimanya haji seluruh rombongan.

“Artinya, ada bentuk ibadah yang nilainya bisa lebih agung daripada haji itu sendiri,” ujar Kiai Taufik. “Yaitu kedermawanan, empati, dan simpati yang tulus kepada sesama, terutama kepada mereka yang lemah.”

Tata Cara Pembagian Daging Kurban untuk Fakir Miskin: Tuntunan Syariat dan Hikmah Sosialnya

Tata Cara Pembagian Daging Kurban untuk Fakir Miskin: Tuntunan Syariat dan Hikmah Sosialnya

Stylesphere – Pembagian daging kurban kepada fakir miskin merupakan bagian penting dalam pelaksanaan ibadah kurban yang tidak boleh diabaikan. Setiap Muslim yang berkurban wajib memahami dengan benar ketentuan syariat terkait distribusi daging agar ibadahnya sah dan berpahala.

Dalam Islam, memberikan daging kurban kepada kaum dhuafa bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan amanah ibadah yang mengandung nilai sosial tinggi. Tujuan utamanya adalah menebar keadilan sosial, mempererat ukhuwah islamiyah, serta menjadi sarana berbagi rezeki kepada mereka yang kurang mampu.

Ketentuan syariat menegaskan bahwa daging kurban hendaknya dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk diri sendiri dan keluarga, sepertiga untuk kerabat dan tetangga, serta sepertiga terakhir wajib diberikan kepada fakir miskin. Ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam pelaksanaan kurban di zamannya.

Pemahaman yang tepat tentang tata cara pembagian ini sangat penting agar ibadah kurban tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga membawa keberkahan sosial yang nyata. Sebab, melalui pembagian daging ini, semangat kepedulian dan solidaritas antarumat Islam semakin tumbuh kuat.

Beragam dalil dari Al-Qur’an dan hadits memperkuat pentingnya pembagian daging kepada yang membutuhkan. Salah satunya adalah firman Allah dalam Surah Al-Hajj ayat 28:

“Makanlah sebagian dari (daging kurban) itu dan berikanlah kepada orang yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta-minta.”

Dengan memahami dan mengamalkan ketentuan ini, ibadah kurban tidak hanya menjadi bentuk ketaatan kepada Allah, tetapi juga menjadi wasilah untuk memperkuat ikatan sosial di tengah masyarakat.

Berikut ini telah Anugerahslot rankum, penjelasan tentang ketentuan pembagian daging kurban untuk fakir miskin, termasuk dalil-dalil Al-Quran dan hadits yang mendasarinya, pada Senin (9/6).

Panduan Pembagian Daging Kurban Sunnah: Seimbangkan Hak Pribadi dan Kewajiban Sosial

Kurban sunnah adalah ibadah yang dilakukan secara sukarela oleh seorang Muslim, tanpa adanya nazar atau janji sebelumnya. Meski hukumnya tidak wajib, pelaksanaan kurban sunnah tetap memiliki aturan yang jelas dalam syariat, termasuk dalam hal pembagian daging kurban.

Dalam Islam, pembagian daging kurban sunnah dibagi menjadi tiga bagian yang proporsional dan adil:

  1. Sepertiga untuk dikonsumsi sendiri oleh orang yang berkurban dan keluarganya.
  2. Sepertiga wajib diberikan kepada fakir miskin.
  3. Sepertiga sisanya dapat disimpan atau disedekahkan kepada yang membutuhkan.

Pembagian ini mengandung hikmah sosial yang besar. Selain memberikan kesempatan kepada orang yang berkurban untuk merasakan nikmat dari ibadahnya, ketentuan ini juga memastikan bahwa manfaat kurban dirasakan secara luas oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang kurang mampu.

Tradisi pembagian daging dalam tiga bagian ini bukan sekadar budaya turun-temurun, melainkan ajaran yang dianjurkan oleh para ulama berdasarkan pemahaman mendalam terhadap dalil-dalil syar’i.

Dasar hukum dari pembagian ini salah satunya tercantum dalam Al-Qur’an, surah Al-Hajj ayat 28:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيٓ أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ
Artinya: “(Mereka berdatangan) agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah makan kepada orang yang sengsara lagi fakir.”

Ayat ini mengandung dua anjuran sekaligus: menikmati sebagian hasil kurban dan berbagi kepada yang membutuhkan. Inilah yang menjadikan pembagian daging kurban sebagai bentuk nyata kepedulian sosial yang diajarkan Islam.

Dengan mengikuti panduan ini, kurban sunnah tidak hanya menjadi ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga menjadi sarana mempererat solidaritas sosial dan menebar manfaat di tengah masyarakat.

Panduan Pembagian Daging Kurban Wajib: Seluruhnya untuk Fakir Miskin

Kurban wajib adalah ibadah yang harus dilaksanakan karena seseorang telah bernazar atau mengucapkan sumpah untuk melaksanakannya. Tidak seperti kurban sunnah, kurban wajib memiliki ketentuan pembagian yang lebih ketat dan mengikat.

Dalam kurban wajib, seluruh daging kurban harus diberikan kepada fakir miskin. Orang yang berkurban tidak diperbolehkan mengambil bagian sedikit pun, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun diberikan kepada keluarga atau kerabat. Semua hasil kurban, termasuk daging, kulit, dan bagian lainnya, disalurkan sepenuhnya kepada mereka yang berhak menerima.

Perbedaan ini menunjukkan tingkat komitmen yang lebih tinggi dalam pelaksanaan kurban wajib. Nazar dalam Islam merupakan janji yang diikrarkan kepada Allah SWT, dan karena itu harus dipenuhi secara sempurna, tanpa ada pengurangan dalam bentuk apa pun.

Hukum dan Dalil Nazar

Dalam Islam, nazar adalah janji atau ikrar yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui suatu amal ibadah. Jika nazar itu menyangkut kurban, maka pelaksanaannya menjadi wajib.

Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang bernazar untuk menaati Allah, maka hendaklah ia menaati-Nya, dan barang siapa yang bernazar untuk maksiat, maka janganlah ia melakukannya.”
(HR. Bukhari, no. 6696)

Hadis ini menegaskan bahwa nazar untuk melakukan kebaikan seperti berkurban wajib dipenuhi. Karena itu, pelaksanaan dan distribusi daging kurban wajib tidak boleh dikurangi atau dimanfaatkan oleh pihak yang berkurban.

Kesimpulan

Kurban wajib bukan sekadar ritual, melainkan bentuk ketaatan total terhadap janji kepada Allah. Dengan menyerahkan seluruh daging kepada fakir miskin, pelaksana kurban menunjukkan keikhlasan dalam menunaikan nazar dan meneguhkan nilai-nilai kepedulian sosial dalam Islam.

Mengapa Daging Kurban Harus Dibagikan dalam Bentuk Segar, Bukan Masakan?

Dalam pelaksanaan ibadah kurban, terdapat aturan syariat yang harus diperhatikan, salah satunya adalah ketentuan pembagian daging kurban dalam bentuk mentah atau segar, bukan dalam bentuk masakan. Ini merupakan perbedaan mendasar antara kurban dan akikah, di mana pada akikah justru dianjurkan untuk dibagikan dalam bentuk masakan.

Pembagian daging kurban dalam bentuk segar bertujuan memberikan keleluasaan kepada fakir miskin sebagai penerima untuk mengolah daging sesuai kebutuhan, selera, dan situasi keluarga masing-masing. Mereka bisa langsung memasaknya, menyimpannya, atau mengelolanya sesuai kondisi mereka.

Hikmah di Balik Ketentuan Ini

Islam sangat memperhatikan aspek kebebasan dan kenyamanan penerima dalam mengelola pemberian. Daging kurban yang dibagikan dalam bentuk mentah:

  • Dapat disimpan untuk waktu yang lebih lama,
  • Lebih fleksibel dalam pengolahan,
  • Menunjukkan rasa empati terhadap kondisi ekonomi mereka.

Penjelasan Ulama

Para ulama telah menegaskan larangan membagikan daging kurban dalam bentuk makanan matang. Hal ini dijelaskan dalam kitab Fathul Mujîbil Qarîb:

ويطعم وجوبا من أضحية التطوع الفقراء والمساكين على سبيل التصدق بلحمها نيئا، فلا يكفي جعله طعاما مطبوخا ودعاء الفقراء إليه ليأكلوه، والأفضل التصدق بجميعها إلا لقمة أو لقمتين أو لقما.

“Orang yang berkurban wajib memberikan sebagian hewan kurban sunnah kepada fakir miskin dalam bentuk daging mentah sebagai sedekah. Tidak cukup (tidak sah) jika daging itu dimasak dan orang miskin diundang untuk memakannya. Yang paling utama adalah menyedekahkan seluruh daging, kecuali satu atau dua suap untuk diri sendiri.”

Kesimpulan

Ketentuan pembagian daging kurban dalam bentuk segar bukan sekadar aturan teknis, tetapi mencerminkan prinsip kemuliaan dan keadilan dalam syariat Islam. Daging kurban adalah amanah untuk disalurkan kepada mereka yang berhak, dan cara penyalurannya pun harus sesuai tuntunan agar ibadah kurban menjadi sah dan berpahala.

Etika Pembagian Daging Kurban: Memuliakan Penerima, Menjaga Amanah

Dalam Islam, pembagian daging kurban bukan sekadar kegiatan distribusi, melainkan bagian dari ibadah yang sarat nilai adab, etika, dan kepedulian sosial. Setiap Muslim yang berkurban wajib memahami bahwa proses ini harus dilakukan dengan cara yang menjaga kehormatan penerima, bukan dengan sikap merendahkan atau merasa lebih tinggi.

1. Menjaga Martabat Penerima

Pembagian daging kurban harus dilakukan dengan sikap rendah hati dan niat tulus. Jangan sampai penerima merasa dipermalukan, apalagi dianggap sebagai objek belas kasihan. Islam mengajarkan bahwa berkurban adalah bentuk penghambaan kepada Allah, bukan untuk pamer atau riya.

2. Prioritas Penerima

Mereka yang berhak menerima daging kurban diutamakan adalah:

  • Fakir miskin
  • Janda
  • Anak yatim
  • Keluarga yang sedang kesulitan ekonomi

Namun, tetangga dan kerabat juga boleh diberi bagian sebagai bentuk silaturahmi, meskipun tidak tergolong fakir miskin.

3. Waktu dan Cara Pembagian

Agar daging sampai dalam kondisi layak konsumsi:

  • Segera distribusikan setelah penyembelihan dan pemotongan.
  • Jika harus disimpan, pastikan menggunakan metode pengawetan yang benar (misalnya pendinginan).
  • Jangan menunda hingga daging tidak lagi segar atau menimbulkan risiko kesehatan.

4. Kurban: Amanah, Bukan Sekadar Tradisi

Pembagian daging kurban merupakan bagian integral dari pelaksanaan ibadah kurban itu sendiri. Ketentuannya jelas:

  • Kurban sunnah: daging dibagi tiga bagian (untuk diri, fakir miskin, dan sedekah).
  • Kurban wajib (karena nazar): seluruh daging wajib disedekahkan, dan pelaku kurban tidak boleh mengambil bagian apa pun.

Penutup

Dengan memahami dan menerapkan tata cara serta etika pembagian daging kurban, seorang Muslim telah menunjukkan kepatuhan terhadap syariat sekaligus empati terhadap sesama. Ibadah kurban pun menjadi lebih bermakna, bukan hanya di mata Allah, tetapi juga bagi kehidupan sosial masyarakat.

Ingin Panjang Umur? Ikuti Cara Bersedekah Buya Yahya Berikut Ini

Ingin Panjang Umur? Ikuti Cara Bersedekah Buya Yahya Berikut Ini

Stylesphere – Keinginan untuk hidup panjang dan memberi manfaat adalah harapan banyak orang. Dalam Islam, ada panduan spiritual yang diyakini dapat memperpanjang umur, salah satunya adalah sedekah.

KH Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) menyampaikan bahwa sedekah yang dilakukan dengan ikhlas memiliki keutamaan besar, termasuk dalam hal memperpanjang usia seseorang. Pernyataan ini disampaikannya dalam salah satu ceramah di kanal YouTube @albahjah-tv, dikutip pada Rabu (16/04/2025).

Buya Yahya menjelaskan bahwa para ulama memiliki perbedaan pandangan soal makna “panjang umur” dalam hadis Nabi. Salah satu pendapat menyatakan bahwa umur seseorang memang benar-benar bisa ditambah oleh Allah karena kebiasaan bersedekah. Pendapat ini didasarkan pada pemahaman tekstual dari sabda Rasulullah.

Dengan kata lain, dalam pandangan sebagian ulama, sedekah yang ikhlas tak hanya mendatangkan berkah dalam hidup, tapi juga dapat memperpanjang jangka waktu kehidupan seseorang sesuai dengan kehendak Allah.

Pengertian Umur Panjang

Pendapat kedua terkait makna “panjang umur” dalam hadis menyebut bahwa yang dimaksud bukan penambahan usia secara fisik, melainkan keberkahan dalam hidup itu sendiri. Artinya, meskipun seseorang hidup dalam waktu yang singkat, amal dan manfaatnya tetap terasa panjang dan terus berlanjut.

Buya Yahya memberi contoh, seseorang yang membangun pondok pesantren atau lembaga pendidikan akan tetap menuai pahala meski telah meninggal dunia. Selama tempat itu digunakan untuk kebaikan, amalnya terus mengalir. Inilah yang disebut sebagai umur yang panjang—kisah hidup dan kebaikannya terus dibicarakan dan memberi manfaat bagi banyak orang.

Selain itu, sedekah juga diyakini sebagai penangkal maksiat. Orang yang rajin bersedekah biasanya memiliki hati yang lebih lembut dan penuh kasih sayang. Sifat ini membuatnya lebih dekat dengan sesama dan lebih dekat pula kepada rahmat Allah.

Menurut Buya Yahya, hati yang lembut karena kebiasaan bersedekah akan mendatangkan kasih sayang Allah, bahkan di saat-saat sulit seperti sakaratul maut.

Sedekah Untuk Bahagia di Akhirat

Bagi orang yang ikhlas dalam bersedekah, Allah akan memudahkan jalan menuju husnul khatimah, atau akhir hidup yang baik.

Sedekah yang diberikan dengan tulus kepada sesama makhluk akan membuat seseorang lebih rendah hati dan terhindar dari sifat sombong.

Orang yang ikhlas memberi tidak akan mudah membanggakan diri atas apa yang dimilikinya, karena ia sadar bahwa semua itu hanya titipan dari Allah.

Buya Yahya menekankan pentingnya menjadikan sedekah sebagai amalan rutin, tidak hanya ketika sedang lapang, tetapi juga saat sempit.

Hal ini karena manfaat sedekah tidak hanya dirasakan oleh penerima, tetapi jauh lebih besar dirasakan oleh yang memberi.

Panjang umur tidak hanya dimaknai dari sisi biologis, tetapi juga dari sisi spiritual dan sosial yang memberikan dampak luas kepada kehidupan orang lain.

Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memiliki umur yang panjang dan bermanfaat, sebaiknya memulai kebiasaan bersedekah sejak hari ini.

Kisah hidup yang panjang dan penuh berkah dapat dibentuk dari tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan dengan niat yang lurus kepada Allah.

Buya Yahya pun mengajak umat Islam untuk menjadikan sedekah sebagai jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat yang hakiki.

Dengan sedekah, tidak hanya panjang umur yang diraih, tetapi juga ketenangan jiwa, keberkahan harta, serta kemuliaan saat kembali kepada Sang Pencipta.

Amalan Bernilai Besar di Bulan Syawal

Amalan Bernilai Besar di Bulan Syawal

Stylesphere – Bulan Syawal menjadi momen yang dinanti umat Islam setelah menjalani ibadah puasa Ramadhan. Bulan ini dikenal sebagai bulan kemenangan yang penuh kebahagiaan, sekaligus kesempatan untuk meningkatkan ibadah.

Selain menjadi simbol kemenangan bagi umat Islam di seluruh dunia, Syawal juga disebut sebagai bulan ibadah karena terdapat amalan sunah dengan pahala yang besar.

Berikut beberapa ibadah yang bisa dilakukan di bulan Syawal untuk memperoleh pahala yang melimpah:

  1. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
    Puasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan yang luar biasa. Rasulullah SAW bersabda bahwa siapa yang berpuasa enam hari di bulan ini setelah Ramadhan, pahalanya seperti berpuasa sepanjang tahun.
  2. Menjalin Silaturahmi
    Momen Lebaran sering dimanfaatkan untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan. Ini adalah amalan yang dianjurkan dalam Islam karena mempererat hubungan antarsesama dan mendatangkan keberkahan.
  3. Bersedekah
    Berbagi rezeki dengan sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan, menjadi salah satu cara untuk menambah pahala di bulan Syawal.
  4. Memperbanyak Ibadah Sunnah
    Selain puasa, umat Islam dapat meningkatkan amalan sunnah lainnya seperti shalat Dhuha, Tahajud, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir.

Bulan Syawal memberikan kesempatan untuk memperbanyak amal kebaikan. Dengan menjalankan ibadah-ibadah tersebut, seorang Muslim dapat meraih keberkahan dan pahala yang melimpah.

Amalan Bernilai Besar di Bulan Syawal

Bulan Syawal adalah momen istimewa bagi umat Islam setelah menjalani ibadah puasa Ramadhan. Selain menjadi bulan kemenangan, Syawal juga merupakan kesempatan untuk meningkatkan ibadah dan memperoleh pahala yang melimpah. Berikut beberapa amalan yang dianjurkan di bulan Syawal:

1. Puasa Syawal Enam Hari

Puasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan besar. Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Ayub Al Anshari, Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa berpuasa Ramadan lalu melanjutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu setara dengan puasa sepanjang tahun.” (HR Muslim, Imam Ahmad juga meriwayatkan dari hadits Jabir).

2. Puasa Senin-Kamis

Puasa Senin dan Kamis merupakan salah satu ibadah sunnah yang dianjurkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Aisyah RA, disebutkan bahwa Rasulullah SAW sangat bersemangat dalam menjalankan puasa di hari-hari tersebut (HR. Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Imam Ahmad).

Makna Mendalam Raya Idul Fitri Versi Gus Baha

Hari Senin dan Kamis juga merupakan waktu di mana amal manusia diajukan kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda:

“Amal-amal perbuatan itu diajukan (diaudit) pada hari Senin dan Kamis, oleh karena itu aku ingin amal perbuatanku diajukan (diaudit) pada saat aku sedang puasa.” (HR Tirmidzi).

Para ulama juga menjelaskan bahwa menggabungkan niat puasa Senin-Kamis dengan puasa Syawal diperbolehkan dan tetap mendapatkan pahala dari kedua ibadah tersebut.

3. Puasa Ayyamul Bidh

Puasa Ayyamul Bidh adalah puasa sunnah yang dilakukan pada tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriah. Keutamaan puasa ini disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash RA:

“Puasa tiga hari di setiap bulannya adalah seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR Bukhari).

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW memberikan tiga wasiat kepada Abu Darda:

“Rasulullah SAW berpesan kepadaku tiga hal yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati, yaitu berpuasa setiap tiga hari pada setiap bulannya, mengerjakan dua rakaat salat duha, serta salat witir sebelum tidur.” (HR Bukhari dan Muslim).

4. Menjalin Silaturahmi

Syawal menjadi waktu yang tepat untuk menyambung tali silaturahmi. Rasulullah SAW pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga, lalu beliau menjawab:

“Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR Bukhari no. 5983).

Silaturahmi juga berkaitan dengan kelapangan rezeki dan umur yang diberkahi. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW memperingatkan bahaya memutus tali silaturahmi:

“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya di dunia ini -berikut dosa yang disimpan untuknya di akhirat- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Kesimpulan

Bulan Syawal memberikan banyak peluang untuk meningkatkan amal ibadah. Dengan menjalankan puasa Syawal, puasa Senin-Kamis, puasa Ayyamul Bidh, serta menjaga tali silaturahmi, seorang Muslim dapat memperoleh keberkahan dan pahala yang melimpah. Memanfaatkan bulan ini dengan baik akan mendekatkan diri kepada Allah dan memperkuat hubungan sosial dengan sesama.

5. Bersedekah

Sedekah adalah amalan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk dilakukan kapan saja sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat Allah SWT. Sedekah dicintai oleh Allah SWT dan akan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Dengan bersedekah, seorang Muslim akan lebih berempati, terhindar dari sifat kikir, selalu bersyukur, serta mendapatkan keberkahan rezeki.

Nabi SAW bersabda:

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2558, dari Abu Hurairah).

Dalam riwayat lain, Asma’ binti Abi Bakr meriwayatkan sabda Rasulullah SAW:

“Infaqkanlah hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan barokah rizki tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (HR Bukhari dan Muslim).

6. Menikah di Bulan Syawal

Menikah di bulan Syawal merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW. Dahulu, orang-orang jahiliyah menganggap bahwa menikah di bulan Syawal akan mendatangkan kesialan. Rasulullah SAW membantah kepercayaan ini dengan menikahi Aisyah RA pada bulan Syawal. Dalam hadis, Aisyah RA berkata:

“Rasulullah SAW menikahiku pada bulan Syawal dan berkumpul denganku pada bulan Syawal, maka siapa di antara istri-istri beliau yang lebih beruntung dariku?” (HR Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa menikah di bulan Syawal bukan sekadar tradisi, melainkan termasuk dalam sunnah Nabi.

7. I’tikaf

I’tikaf adalah amalan berdiam diri di masjid dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah seperti salat, membaca Al-Qur’an, dan berzikir. Kebiasaan i’tikaf yang dilakukan di bulan Ramadhan juga dianjurkan untuk dilanjutkan di bulan Syawal.

Syekh Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu’ Al-Fatawa (15/437) menyatakan:

“Tidak diragukan lagi bahwa i’tikaf di masjid merupakan salah satu bentuk ibadah. Baik di bulan Ramadan maupun selain Ramadan. Dan ia dianjurkan di bulan Ramadan dan selain Ramadan.”

I’tikaf bisa dilakukan dalam durasi waktu yang bervariasi, baik beberapa jam maupun sehari semalam (24 jam). Dengan melaksanakan i’tikaf, seorang Muslim dapat lebih fokus dalam beribadah dan memperkuat hubungan spiritualnya dengan Allah SWT.

Kesimpulan

Bulan Syawal adalah kesempatan emas untuk meningkatkan ibadah dan memperoleh pahala yang melimpah. Dengan menjalankan puasa Syawal, memperbanyak sedekah, menjaga silaturahmi, menikah sesuai sunnah, serta melaksanakan i’tikaf, seorang Muslim dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah dan meraih keberkahan dalam kehidupannya.