Misteri Keberadaan Malaikat Raqib dan Atid, Pencatat Amal Manusia

Stylesphere – Keberadaan malaikat Raqib dan Atid, yang bertugas mencatat amal baik dan buruk manusia, masih menjadi topik menarik di kalangan umat Islam. Meski dikenal luas melalui ajaran agama, letak pasti dari kedua malaikat ini tidak pernah dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an maupun hadis.

Banyak yang bertanya-tanya: Apakah malaikat Raqib dan Atid berada di tempat yang tetap atau berpindah-pindah? Apakah keduanya berada di satu sisi tubuh manusia, atau masing-masing memiliki posisi tertentu?

Perbedaan pandangan pun muncul di kalangan para ulama. Ada yang berpendapat bahwa Raqib dan Atid berada di sisi kanan dan kiri manusia—Raqib di kanan untuk mencatat amal baik, dan Atid di kiri untuk mencatat amal buruk. Namun, pendapat ini pun tidak bersifat mutlak, karena posisi mereka bukanlah sesuatu yang dijelaskan secara rinci dalam ajaran Islam.

Pembahasan ini dikutip dari Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah – KTB pada Minggu (11/5/2025), yang menegaskan bahwa keberadaan malaikat ini termasuk dalam perkara ghaib yang hanya diketahui hakikatnya oleh Allah SWT.

Sebagai penguat, disebutkan dalam Al-Qur’an surat Qaf ayat 18:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Raqib dan Atid.”

Ayat ini menunjukkan bahwa kedua malaikat tersebut selalu berada “di dekatnya,” yakni dekat dengan manusia, dan tidak ada satu pun ucapan atau perbuatan yang luput dari pengawasan mereka.

Oleh karena itu, meskipun keberadaan pastinya tidak bisa dipastikan secara fisik, umat Islam meyakini bahwa Raqib dan Atid selalu menyertai manusia setiap saat. Keyakinan ini menjadi pengingat agar selalu menjaga perilaku dan perkataan, karena semua akan dicatat dan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Beragam Pandangan tentang Lokasi Malaikat Raqib dan Atid

Keberadaan malaikat Raqib dan Atid, dua makhluk Allah yang bertugas mencatat amal baik dan buruk manusia, menjadi pembahasan menarik dalam literatur keislaman. Para ulama dari berbagai generasi telah mengemukakan pendapat berbeda mengenai posisi kedua malaikat ini, meski semua sepakat bahwa mereka selalu dekat dengan manusia.

Imam Ad-Dhohak dan Al-Hasan menjelaskan bahwa malaikat Raqib dan Atid berada di bawah gigi geraham, tepatnya di atas tenggorokan. Letak ini menunjukkan kedekatan mereka dengan mulut, tempat ucapan manusia keluar dan menjadi bagian penting dari amal yang dicatat.

Riwayat lain, yang lebih populer di kalangan umat Islam, menyebutkan bahwa malaikat pencatat amal baik berada di sebelah kanan manusia, sementara pencatat amal buruk berada di sebelah kiri. Pandangan ini menekankan simbolisme antara kebaikan dan keburukan yang menyertai setiap langkah hidup manusia.

Dalam kitab Nuruzh Zholam halaman 19, disebutkan bahwa kedua malaikat itu masing-masing bernama Raqib dan Atid. Beberapa ulama, seperti Syekh al-Bajuri dan Jalal al-Mahalli, menjelaskan bahwa meskipun namanya terdengar sebagai satu kesatuan, sebenarnya mereka adalah dua malaikat berbeda dengan tugas yang spesifik.

Pendapat lain yang tak kalah menarik menyebut bahwa posisi mereka berada di pojok gigi geraham kanan dan kiri. Ini menegaskan kedekatan mereka dengan ucapan, sebagai aspek penting dari amal manusia.

Ada juga pandangan yang menyatakan bahwa Raqib dan Atid berada di kedua pundak manusia. Simbol ini menggambarkan keseimbangan catatan amal yang selalu mengikuti manusia ke mana pun mereka pergi.

Beberapa riwayat lain menyebut posisi mereka berada di janggut atau bahkan di bibir manusia. Meski tampak simbolis, makna di balik pandangan ini tetap sama: bahwa segala yang diucapkan dan dilakukan manusia selalu dalam pantauan dua malaikat tersebut.

Dengan beragam pandangan tersebut, umat Islam diajak untuk menyadari bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, tak pernah luput dari catatan. Ini menjadi pengingat agar senantiasa menjaga lisan, niat, dan perbuatan demi menggapai ridha Allah SWT.

Posisi Malaikat Roqib dan Atid: Fleksibel Sesuai Keadaan Manusia

Menurut Mujahid, posisi malaikat Roqib dan Atid bisa berubah-ubah tergantung kondisi seseorang. Saat seseorang duduk, salah satu malaikat berada di depan dan yang lainnya di belakang. Sementara saat tidur, satu berada di sisi kepala, dan satunya lagi di dekat kaki.

Pandangan ini menunjukkan bahwa malaikat pencatat amal tersebut tidak menempati posisi tetap, melainkan menyesuaikan diri dengan keadaan manusia. Ini mengisyaratkan kesiapsiagaan mereka dalam mencatat setiap perbuatan manusia, kapan pun dan di mana pun.

Syekh al-Bajuri menanggapi hal ini dengan sikap hati-hati. Ia menyebutkan bahwa masalah lokasi malaikat adalah bagian dari perkara gaib yang tidak bisa dipastikan secara mutlak. Oleh karena itu, beliau menyarankan agar bersikap tawaqquf—tidak mengambil kesimpulan tegas—karena hanya Allah SWT yang mengetahui hakikat sebenarnya.

Meski posisi malaikat tidak diketahui secara pasti, yang paling penting adalah keyakinan bahwa Roqib dan Atid senantiasa mencatat setiap amal, baik yang tampak maupun tersembunyi. Kesadaran ini seharusnya mendorong setiap Muslim untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan berkata.

Dengan demikian, meski posisi malaikat Roqib dan Atid tetap menjadi misteri Ilahi, yang utama adalah menjaga amal perbuatan. Sebab, semua akan dimintai pertanggungjawaban kelak.

Wallahu a’lam – hanya Allah yang Maha Mengetahui.

Haji: Ibadah Penuh Pengorbanan dan Hikmah Mendalam

Stylesphere – Menunaikan ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu, baik secara finansial, fisik, maupun mental. Pada tahun 1446 H/2025 M, pemerintah bersama DPR telah menetapkan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp89.410.258,79 dengan asumsi nilai tukar dolar AS sebesar Rp16.000. Jumlah tersebut tentu bukan angka yang kecil dan menjadi pengorbanan besar bagi banyak calon jemaah.

Meski mahal, semangat umat Islam untuk menunaikan Rukun Islam kelima tetap tinggi. Tak sedikit masyarakat dengan pekerjaan sederhana seperti buruh, yang dengan penuh tekad menabung sedikit demi sedikit demi bisa berangkat ke Tanah Suci. Ini membuktikan bahwa haji bukan sekadar soal materi, tapi juga soal niat dan kesungguhan hati.

Perlu diketahui bahwa haji hanya diwajibkan bagi mereka yang memenuhi syarat kemampuan. Kemampuan ini tidak hanya dalam hal keuangan, tapi juga kesehatan jasmani dan kesiapan mental. Bagi yang belum mampu, kewajiban tersebut belum berlaku dan tidak mendatangkan dosa.

Di balik ibadah haji, tersimpan banyak kisah penuh pelajaran. Salah satunya berasal dari kitab Irsyadul ‘Ibad, yang menggambarkan nilai-nilai luhur dari ibadah ini. Kisah ini menjadi pengingat bagi siapa pun yang akan atau sudah menunaikan haji, baik untuk pertama kali maupun yang sudah berulang.

Haji bukan hanya perjalanan fisik menuju Mekah, tetapi juga perjalanan spiritual untuk membersihkan diri dan memperbarui tekad dalam menjalani kehidupan. Kisah-kisah semacam ini menjadi cermin bahwa haji sejati tidak hanya tercermin dalam perjalanan, tetapi juga dalam perubahan akhlak dan keikhlasan hati setelahnya.

Pelajaran dari Dua Haji yang Gugur Karena Riya’

Dalam sebuah kisah yang diriwayatkan dari ulama besar Sufyan ats-Tsauri, terdapat pelajaran berharga tentang keikhlasan dalam beribadah, khususnya dalam menunaikan haji.

Suatu ketika, Sufyan ats-Tsauri bersama beberapa kawannya dijamu oleh seorang laki-laki. Lelaki tersebut kemudian memanggil istrinya dan berkata, “Berikanlah hidangan yang kamu bawa dari haji yang kedua, bukan yang pertama.” Permintaan itu terdengar biasa saja, namun memiliki makna tersirat yang dalam: ia ingin menunjukkan kepada tamunya bahwa dirinya telah menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali.

Ucapan itu langsung ditanggapi oleh Sufyan ats-Tsauri dengan penuh keprihatinan. “Sungguh kasihan orang ini. Dengan perkataannya itu, ia telah menghapus pahala dua hajinya. Semoga Allah menyelamatkan kita dari riya’,” ujar beliau.

Pernyataan tersebut mengandung pelajaran besar bagi umat Islam: ibadah yang dilakukan dengan niat tidak tulus, terutama karena ingin dipuji atau dilihat orang lain (riya’), dapat menggugurkan seluruh pahala yang telah susah payah diraih. Bahkan, amalan sebesar ibadah haji pun tak bernilai jika tidak didasari oleh keikhlasan.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap ibadah, sekecil apa pun, harus dilandasi dengan niat yang bersih dan ikhlas karena Allah semata. Sebab, hanya amalan yang murni dari hati yang akan diterima dan diberi ganjaran oleh-Nya.

Ibadah Haji dan Bahaya Riya’

Haji merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang menjadi salah satu pilar utama dalam Islam. Namun, ibadah agung ini akan menjadi sia-sia apabila tidak dilandasi dengan niat yang tulus semata-mata karena Allah. Rasulullah SAW telah memberi peringatan agar umatnya berhati-hati terhadap penyakit hati bernama riya’, yaitu melakukan ibadah bukan untuk Allah, melainkan untuk dilihat, dipuji, atau diakui manusia.

Dalam sebuah hadits riwayat Adz-Dzahabi, diceritakan bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “Apa itu keselamatan pada hari esok (hari kiamat)?” Nabi menjawab, “Ketika kamu tidak menipu Allah.” Lelaki itu bertanya lagi, “Bagaimana kita menipu Allah?” Rasulullah menjelaskan, “Yaitu ketika kamu menunaikan perintah Allah dan rasul-Nya namun kamu bertujuan untuk selain ridha Allah. Berhati-hatilah dari riya’ karena sesungguhnya ia termasuk kategori syirik kepada Allah.”

Riya’ adalah salah satu bentuk syirik kecil yang bisa menghapus pahala amal kebaikan. Nabi SAW bahkan menyebutkan bahwa pada hari kiamat, orang-orang yang berbuat riya’ akan dipanggil dengan empat panggilan yang menghinakan: kafir, durhaka (fâjir), cedera (ghâdir), dan merugi (khâsir). Mereka akan diperintahkan untuk meminta pahala kepada orang-orang yang menjadi tujuan mereka dalam beribadah: “Ambillah pahala dari orang-orang yang menjadi tujuan amalmu, wahai penipu diri sendiri.”

Dalam kitab Irsyâdul ‘Ibâd, juga diceritakan bahwa ketika seorang imam ditanya, “Siapakah orang yang ikhlas?” Ia menjawab, “Orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukannya.” Artinya, orang yang benar-benar ikhlas tidak memperlihatkan amalnya kepada siapa pun, sebagaimana ia juga tidak ingin orang lain mengetahui dosa-dosanya.

Semoga kita semua dijauhkan dari penyakit riya’, khususnya saat melaksanakan ibadah sebesar haji. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT dengan penuh keikhlasan. Wallahu a’lam.

Paus dan Khalifah: Dua Wajah Kepemimpinan Agama dalam Sejarah Umat Manusia

Stylesphere – Dunia baru saja menyaksikan momen bersejarah dalam Gereja Katolik dengan terpilihnya Paus Leo XIV, seorang kardinal asal Amerika Serikat, sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik pada Kamis malam (9/5/2025), waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus baru ini menandai simbol kuat kepemimpinan agama yang serupa dengan peran kekhalifahan dalam Islam pada masanya.

Meskipun Paus dan Khalifah memiliki bentuk serta sejarah yang berbeda, keduanya memiliki kedudukan sebagai simbol tertinggi kepemimpinan umat, dengan peran yang melampaui sekadar urusan keagamaan. Kepemimpinan ini bukan hanya berbicara tentang ajaran agama, tetapi juga tentang identitas, kekuasaan, warisan peradaban, dan arahan masa depan umat manusia.

Untuk memahami lebih jauh, mari kita telaah dua wajah kepemimpinan agama terbesar dalam sejarah umat manusia, dengan tinjauan dari perspektif sejarah, teologi, sosiologi, dan struktur kekuasaan yang melingkupinya.

Dua Pilar Kepemimpinan Agama Dalam Sejarah

Kepemimpinan spiritual dalam dua agama besar dunia, Katolik dan Islam, memiliki akar sejarah dan peran yang kuat membentuk peradaban. Kepausan dan kekhalifahan masing-masing menjadi simbol utama otoritas agama, meski berkembang dalam konteks yang berbeda.

Asal-usul Kepemimpinan

Dalam tradisi Katolik, kepausan berakar dari keyakinan bahwa Rasul Petrus, murid utama Yesus Kristus, ditunjuk sebagai pemimpin Gereja pertama. Konsep Penerus Petrus menjadi dasar keberadaan Paus sebagai otoritas tertinggi dalam Gereja Katolik Roma.

Di sisi lain, kekhalifahan muncul pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW pada 632 Masehi. Karena Nabi tidak meninggalkan wasiat eksplisit tentang pengganti, para sahabat sepakat memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama. Inilah awal dari masa Khulafaur Rasyidin, dan fondasi sistem kepemimpinan umat Islam untuk meneruskan fungsi politik dan administratif Nabi.

Peran Sosial dan Politik

Paus, di luar peran rohani, juga pernah menjadi tokoh politik berpengaruh. Dalam sejarah Eropa abad pertengahan, Paus kerap menjadi penentu dalam urusan kerajaan, perang salib, hingga konflik antarnegara.

Khalifah, sebaliknya, memegang kekuasaan menyeluruh: politik, agama, hingga militer. Pada masa Abbasiyah atau Utsmaniyah, khalifah bukan sekadar pemimpin spiritual, melainkan kepala negara yang memimpin peradaban besar dengan kontribusi luas dalam ilmu pengetahuan, budaya, dan hukum Islam.

Struktur dan Organisasi

Gereja Katolik memiliki struktur hierarkis yang sangat terpusat. Paus memegang kendali tertinggi, diikuti para Uskup, Imam, dan Diakon yang tersebar di seluruh dunia dengan sistem yang seragam.

Berbeda dengan itu, kekhalifahan bersifat lebih dinamis dan adaptif terhadap zamannya. Awalnya bersifat musyawarah, kemudian berubah menjadi sistem dinasti seperti Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Masing-masing menerapkan model pemerintahan dengan tingkat sentralisasi dan birokrasi yang berbeda-beda, bergantung pada wilayah dan kebutuhan geopolitik saat itu.

Dengan dua tradisi besar ini, jelas bahwa baik kepausan maupun kekhalifahan memainkan peran penting dalam membentuk wajah dunia—bukan hanya secara spiritual, tetapi juga secara sosial, budaya, dan politik. Apakah kamu tertarik dengan perbandingan aspek lainnya, seperti peran pendidikan atau hubungan antaragama?

Akhir Kekhalifahan dan Keberlangsungan Kepausan

Kekhalifahan Islam secara resmi dibubarkan pada tahun 1924 oleh Kemal Atatürk, sebagai bagian dari agenda sekularisasi dan modernisasi di Turki. Dengan penghapusan lembaga ini, berakhir pula satu-satunya institusi yang secara historis mengklaim kepemimpinan atas seluruh umat Islam.

Meskipun demikian, kerinduan terhadap kekhalifahan masih kerap muncul dalam diskusi-diskusi keislaman kontemporer. Wacana ini menunjukkan adanya kebutuhan sebagian umat untuk melihat representasi politik dari identitas keagamaan mereka, meski tidak lagi dalam bentuk struktural seperti masa lalu.

Sebaliknya, kepausan sebagai lembaga kepemimpinan spiritual umat Katolik tetap bertahan hingga hari ini. Vatikan, sebagai negara merdeka terkecil di dunia, menjadi pusat otoritas keagamaan bagi lebih dari satu miliar umat Katolik di seluruh dunia.

Kesimpulan

Baik Paus maupun Khalifah mencerminkan dua model kepemimpinan religius yang menunjukkan bagaimana agama pernah—dan masih—terintegrasi ke dalam struktur sosial dan politik. Meskipun berbeda dari segi konsep, peran, dan sejarah, keduanya memperlihatkan bahwa kepemimpinan agama memiliki daya pengaruh besar dalam membentuk arah dan wajah peradaban.

Memahami dua institusi ini tidak hanya memperkaya pengetahuan sejarah, tetapi juga memberi wawasan lebih luas tentang interaksi antara agama, kekuasaan, dan budaya dalam konteks global.

Makna dan Tata Cara Sholat Idul Adha: Ibadah Penuh Keutamaan

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu momen penting dalam Islam yang dirayakan penuh suka cita oleh umat Muslim di seluruh dunia. Selain dikenal sebagai hari penyembelihan hewan kurban sebagai bentuk kepedulian sosial dan ketaatan kepada Allah SWT, Idul Adha juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri secara spiritual kepada Sang Pencipta.

Sebagai pembuka dari rangkaian ibadah Idul Adha, umat Islam dianjurkan melaksanakan sholat Idul Adha. Ibadah ini memiliki status sunah muakkad, yakni sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan. Rasulullah SAW beserta para sahabatnya secara konsisten melaksanakan sholat ini, menjadikannya sebagai bagian penting dari syiar Islam dan simbol kuatnya persaudaraan antarumat.

Meskipun tidak bersifat wajib, meninggalkan sholat Idul Adha tanpa alasan yang jelas dianggap sebagai kehilangan besar, karena ibadah ini membawa keutamaan dan pahala yang luar biasa.

Sholat Idul Adha umumnya dilaksanakan secara berjamaah, baik di lapangan terbuka, masjid, maupun di rumah jika kondisi tidak memungkinkan. Mengetahui niat dan tata cara pelaksanaan sholat Idul Adha secara benar menjadi penting agar ibadah tidak hanya dilakukan sebagai rutinitas tahunan, tetapi juga benar-benar mengandung nilai spiritual yang mendalam.

Artikel ini akan mengulas secara lengkap bacaan niat serta langkah-langkah pelaksanaan sholat Idul Adha, agar setiap umat Muslim dapat mengamalkannya dengan baik dan khusyuk.

Bacaan Niat Sholat Idul Adha

Dalam setiap pelaksanaan sholat, niat merupakan hal pertama yang harus dilakukan. Begitu pula dengan sholat Idul Adha, niat menjadi pembuka yang membedakan ibadah ini dari ibadah lainnya. Niat tidak perlu diucapkan dengan suara, melainkan cukup dilafalkan di dalam hati sesaat sebelum takbiratul ihram.

Berikut bacaan niat sholat Idul Adha untuk imam dan makmum:

Niat Sholat Idul Adha Sebagai Imam

Lafal Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ إِمَامًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati imaaman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai imam karena Allah ta’ala.”

Niat Sholat Idul Adha Sebagai Makmum

Lafal Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati makmuman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah ta’ala.”

🕌 Panduan Lengkap Niat dan Tata Cara Sholat Idul Adha

Hari Raya Idul Adha merupakan momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Selain memperingati kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS, hari raya ini juga menjadi ajang mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah kurban dan sholat Idul Adha.

Sholat Idul Adha menjadi pembuka rangkaian ibadah di hari raya ini. Meski hukumnya sunnah muakkad (sangat dianjurkan), Rasulullah SAW dan para sahabat selalu melaksanakannya sebagai bentuk pengagungan kepada Allah dan syiar Islam.

🌙 Hukum dan Keutamaan Sholat Idul Adha

Sholat Idul Adha dikerjakan dua rakaat secara berjamaah, biasanya di lapangan terbuka atau masjid. Jika kondisi tidak memungkinkan, bisa dilakukan di rumah. Ibadah ini membawa banyak keutamaan, mulai dari memperkuat ukhuwah Islamiyah hingga meraih pahala besar dari Allah SWT.

🙏 Niat Sholat Idul Adha

Niat dilakukan dalam hati sebelum takbiratul ihram. Berikut adalah bacaannya:

Untuk Imam

Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ إِمَامًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati imaaman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai imam karena Allah Ta’ala.”

Untuk Makmum

Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati makmuman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah Ta’ala.”

🧎 Tata Cara Sholat Idul Adha

Sholat ini terdiri dari dua rakaat, dengan tambahan takbir sebagai ciri khasnya:

Rakaat Pertama:

  1. Niat
  2. Takbiratul ihram
  3. Doa iftitah
  4. 7 takbir tambahan
  5. Bacaan dzikir di sela takbir
  6. Surah Al-Fatihah
  7. Surah Al-A’la
  8. Rukuk, i’tidal, sujud, duduk, sujud lagi

Rakaat Kedua:

  1. Berdiri
  2. 5 takbir tambahan
  3. Dzikir di sela takbir
  4. Surah Al-Fatihah
  5. Surah Al-Ghasyiyah
  6. Rukuk, i’tidal, sujud, duduk, sujud
  7. Salam

Setelah Sholat:

Jamaah tetap duduk untuk menyimak khutbah Idul Adha, yang disampaikan dalam dua bagian oleh khatib, berbeda dengan khutbah Jumat yang dilakukan sebelum sholat.

🕌 Waktu dan Sunnah Sebelum Sholat Idul Adha, Ini yang Perlu Diketahui

Sholat Idul Adha merupakan bagian penting dari rangkaian ibadah Hari Raya Kurban. Waktu pelaksanaannya dimulai ketika matahari telah terbit setinggi tombak—sekitar pukul 06.00 hingga 06.30 WIB—dan berakhir sebelum masuk waktu Zuhur. Dianjurkan untuk melaksanakannya lebih awal agar umat Muslim memiliki cukup waktu untuk melaksanakan penyembelihan hewan kurban setelahnya.

🌟 Sunnah Sebelum Sholat Idul Adha

Untuk menyempurnakan ibadah, berikut beberapa amalan sunnah yang dianjurkan sebelum melaksanakan sholat Idul Adha:

  • Mandi sunnah sebelum berangkat ke tempat sholat.
  • Memakai pakaian terbaik—tidak harus baru, yang penting bersih dan rapi.
  • Menggunakan wewangian untuk menyegarkan diri.
  • Tidak makan terlebih dahulu, berbeda dengan Idul Fitri di mana dianjurkan makan sebelum sholat.
  • Berjalan kaki menuju lokasi sholat jika memungkinkan, sebagai bentuk kesederhanaan dan sunnah Rasul.
  • Memperbanyak takbir sejak malam Idul Adha hingga waktu sholat, sebagai bentuk pengagungan kepada Allah SWT.

Sholat Idul Adha idealnya dilakukan secara berjamaah di tempat terbuka, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Namun, bila kondisi tidak memungkinkan, seperti cuaca buruk atau keadaan darurat, sholat dapat dilakukan di masjid atau bahkan di rumah.

Benarkah Hewan Qurban Akan Menjadi Kendaraan di Akhirat?

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha identik dengan penyembelihan hewan qurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, setiap tahunnya, muncul pertanyaan menarik yang ramai dibicarakan di tengah umat: apakah benar hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya di akhirat?

Pertanyaan ini mencuat kembali menjelang Idul Adha 2025. Dalam sebuah majelis ilmu, seorang jamaah menyampaikan rasa penasarannya secara langsung kepada Ustadz Adi Hidayat (UAH), seorang pendakwah muda yang dikenal luas berkat penjelasannya yang sistematis dan berbasis dalil.

“Saya pernah mendengar bahwa hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi orang yang berqurban di akhirat. Benarkah itu, Ustadz?” tanya jamaah tersebut dengan penuh keingintahuan.

Pertanyaan itu dijawab langsung oleh UAH dalam sebuah forum terbuka, sebagaimana dilansir Stylesphere, Selasa (6/5/2025), dari tayangan video di kanal YouTube @sejuksunnahislam.

UAH menjelaskan bahwa memang terdapat riwayat yang sering dikaitkan dengan anjuran untuk memilih hewan qurban terbaik. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa hewan tersebut akan kembali kepada pemiliknya di akhirat kelak. Oleh karena itu, semakin baik kualitas hewan qurban, maka semakin besar pula keutamaan yang akan diperoleh.

Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai “kendaraan” dalam banyak riwayat shahih, konsep bahwa amalan qurban akan memberikan manfaat di akhirat memiliki landasan kuat dalam ajaran Islam. Salah satunya adalah motivasi untuk memperindah qurban sebagai bentuk ibadah terbaik kepada Allah SWT.

Dengan demikian, meskipun istilah “kendaraan” lebih bersifat simbolik, semangat yang mendasarinya tetap sahih: bahwa ibadah qurban bukan hanya berdampak di dunia, tetapi juga menjadi bekal di akhirat.

Penjelasan Ustadz Adi Hidayat

Dalam sebuah majelis ilmu, Ustadz Adi Hidayat (UAH) membahas salah satu pertanyaan yang kerap muncul menjelang Hari Raya Idul Adha: benarkah hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya di akhirat?

UAH menjawab bahwa ia pun pernah mendengar dan membaca referensi yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya adalah sebuah riwayat yang menyandarkan sabda Nabi Muhammad SAW: “Gemukkanlah dan baguskanlah hewan-hewan sembelihan kalian.”

Menurut UAH, dalam riwayat itu dijelaskan bahwa perintah untuk memperindah hewan qurban bukanlah tanpa alasan. Salah satu makna pentingnya adalah karena hewan tersebut akan hadir kembali pada hari kiamat dan berperan sebagai kendaraan sang pemilik saat melewati Shirath—jembatan akhirat yang sangat tipis dan tajam, yang harus dilalui setiap manusia.

“Jembatan Shirath hanya bisa dilewati oleh orang-orang dengan amal baik. Maka, jika qurban kita bagus dan bernilai tinggi, pahala dari amalan itu akan membantu kita di sana,” jelas UAH dalam tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @sejuksunnahislam, seperti dikutip dari Stylesphere, Selasa (6/5/2025).

Lebih lanjut, UAH menegaskan bahwa memperindah hewan qurban bukan sekadar soal fisik atau penampilan. Hal tersebut mencerminkan niat dan kesungguhan dalam beribadah. Semakin baik kualitas hewan yang dikurbankan, semakin besar pula pahala yang akan didapat.

“Jadi, kalau kita mampu mencari hewan qurban yang terbaik, maka sangat dimungkinkan bahwa pahalanya juga semakin besar. Dan pahala itulah yang bisa membantu kita nanti di akhirat, terutama saat melewati Shirath,” pungkasnya.

UAH: Hewan Qurban Bukan Kendaraan Fisik, Tapi Simbol Kemudahan di Akhirat

Menjelang Idul Adha, muncul kembali perbincangan mengenai keyakinan bahwa hewan qurban akan menjadi kendaraan pemiliknya di akhirat. Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan penjelasan bahwa pemahaman ini tidak bersifat harfiah, melainkan simbolis.

“Ini bukan berarti seseorang secara fisik akan menaiki hewan qurbannya seperti menunggang kuda. Maknanya adalah bahwa amalan qurban itu akan memberikan kemudahan di akhirat,” jelas UAH dalam kajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @sejuksunnahislam, dikutip Selasa (6/5/2025).

Menurut UAH, pahala dari berqurban—terutama jika dilakukan dengan niat ikhlas dan sesuai syariat—dapat menjadi sebab kemudahan seseorang dalam menghadapi berbagai fase di akhirat, termasuk saat melewati jembatan Shirath.

Lebih jauh, UAH menekankan pentingnya memperhatikan kualitas hewan qurban. Mulai dari kondisi kesehatan, usia yang sesuai ketentuan syariat, hingga tidak cacat, semua itu mencerminkan kesungguhan dalam menjalankan ibadah.

“Ibadah qurban bukan sekadar menyembelih. Tapi juga wujud ketulusan, kepatuhan, dan kepedulian sosial,” ujarnya. Daging qurban yang dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan juga menjadi ladang pahala sosial yang besar.

UAH pun mengimbau agar umat Islam tidak sembarangan dalam memilih hewan qurban. Jika memiliki kemampuan lebih, sebaiknya memilih hewan yang sehat, besar, dan memenuhi standar ibadah qurban yang diridhai Allah SWT.

Ia menutup penjelasannya dengan mengingatkan bahwa keikhlasan dan kesungguhan dalam berqurban akan selalu dibalas Allah, baik dalam bentuk kemudahan di akhirat maupun keberkahan di dunia.

“Jadikan Idul Adha bukan hanya perayaan menyembelih, tapi juga momen memperkuat niat dan meningkatkan kualitas ibadah kita,” pesan UAH.

Khutbah Idul Adha 2025: Momentum Memaknai Pengorbanan dan Ketulusan

Stylesphere – Idul Adha merupakan salah satu hari raya besar dalam Islam yang sarat makna. Tak hanya memperingati keteladanan Nabi Ibrahim AS dalam menaati perintah Allah, momen ini juga mengajarkan nilai-nilai luhur seperti keikhlasan, pengorbanan, dan kepedulian terhadap sesama.

Khutbah Idul Adha menjadi medium penting untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual tersebut. Melalui khutbah, jemaah diajak merenungi makna kurban tidak hanya sebagai ibadah ritual, tetapi juga sebagai simbol ketundukan dan kasih sayang sosial di tengah kehidupan modern.

Artikel ini menyuguhkan contoh khutbah Idul Adha 1446 H / 2025 M yang bisa dijadikan referensi atau inspirasi oleh para khatib. Isi khutbah menekankan hikmah kurban dan pentingnya pengorbanan dalam ajaran Islam, serta bagaimana nilai-nilai tersebut bisa diterapkan di tengah tantangan zaman sekarang.

Khutbah Idul Adha yang ideal adalah yang mampu menggugah hati, mudah dipahami oleh semua kalangan, serta relevan dengan kehidupan sehari-hari. Tak sekadar menjadi rutinitas tahunan, khutbah seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat iman, meningkatkan kepedulian sosial, dan memperdalam makna ketakwaan kepada Allah SWT.

Berikut ini contoh teks khutbah Idul Adha yang telah dirangkum oleh Stylesphere dari berbagai sumber, Selasa (6/5/2025).

KHUTBAH PERTAMA

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا. من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله.

أما بعد، فيا أيها الناس، أوصيكم ونفسي المقصرة بتقوى الله، فقد فاز المتقون.

Kaum Muslimin rahimakumullah,
Hari ini kita berkumpul dalam suasana penuh keberkahan, menyambut hari besar Idul Adha—hari di mana ketaatan dan pengorbanan Nabi Ibrahim AS menjadi pelajaran agung bagi kita semua.

Kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail AS, bukan hanya tentang penyembelihan, tetapi lebih dalam dari itu: tentang ketaatan tanpa syarat kepada Allah, dan pengorbanan terbesar yang sanggup diberikan seorang hamba kepada Tuhannya.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لا إِلَهَ إِلا الله، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Kurban yang kita lakukan hari ini bukan semata menyembelih hewan, tetapi simbol dari menyembelih ego, nafsu, dan cinta dunia yang berlebihan. Allah tidak butuh darah dan daging dari hewan kurban kita, yang Dia kehendaki adalah ketakwaan di hati kita. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj ayat 37:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…”

Maka, marilah kita jadikan Idul Adha ini momentum untuk menumbuhkan ketulusan, meningkatkan solidaritas sosial, dan memperbaiki hubungan dengan sesama.

KHUTBAH KEDUA

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
الحمد لله، الحمد لله الذي شرع لنا الأعياد، وجعلها مظاهر فرح وعبادة، والصلاة والسلام على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين.

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah,
Dalam kesempatan ini, marilah kita mendoakan saudara-saudara kita di berbagai belahan dunia yang tengah dilanda musibah, peperangan, kelaparan, dan berbagai ujian lainnya. Semoga Allah memberikan pertolongan, kekuatan, dan keteguhan iman kepada mereka.

Jangan lupa untuk menunaikan kurban bagi yang mampu, dan bagikanlah dagingnya kepada yang membutuhkan dengan penuh kasih sayang. Inilah bentuk kepedulian yang nyata dan ajaran Islam yang agung.

Mari kita akhiri khutbah ini dengan doa:

اللهم اجعلنا من المتقين، اللهم تقبل منا ومن جميع المسلمين قرباننا، وصيامنا، وصلاتنا، واغفر لنا ولآبائنا وأمهاتنا، ووفقنا لما تحب وترضى، آمين يا رب العالمين.

عباد الله، إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى، وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي، يعظكم لعلكم تذكرون.

أَقِمِ الصَّلَاةَ، يَرْحَمْكُمُ اللَّهُ

Manfaat Kurban Dalam Islam

Ibadah kurban mengandung banyak hikmah dan manfaat yang mendalam bagi kehidupan seorang Muslim. Di antaranya adalah sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, membersihkan hati dari sifat-sifat tercela atau sifat kebinatangan (bahimiyyah), serta menumbuhkan rasa kasih sayang dan empati terhadap sesama. Kurban juga melatih kita untuk menjadi pribadi yang dermawan dan peduli terhadap kebutuhan orang lain.

Nilai-nilai luhur seperti pengorbanan, keikhlasan, dan kepedulian sosial yang terkandung dalam ibadah kurban seharusnya tidak berhenti di momentum Idul Adha saja, tetapi terus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa meneladani semangat pengorbanan dalam lingkup keluarga, masyarakat, hingga dalam kontribusi terhadap bangsa. Begitu pula semangat berbagi rezeki hendaknya menjadi kebiasaan, terutama untuk membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan.

Semoga dengan memahami dan meresapi makna di balik ibadah kurban, kita mampu melaksanakannya dengan tulus dan penuh keikhlasan, serta meraih ridho dan keberkahan dari Allah SWT.

Semoga khutbah ini membawa manfaat dan menjadi pengingat yang baik bagi kita semua. Aamiin.

Bolehkah Berdoa untuk Wafat di Tanah Suci? Ini Penjelasannya

Stylesphere – Makkah dan Madinah merupakan dua kota suci yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Makkah adalah tempat kelahiran Rasulullah SAW dan lokasi Ka’bah, kiblat seluruh umat Islam. Sementara itu, Madinah menjadi saksi perjuangan besar Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat dalam menyebarkan risalah Islam.

Tak mengherankan jika banyak umat Muslim merindukan kedua kota ini, bukan hanya untuk dikunjungi dalam ibadah haji atau umrah, tetapi juga untuk bisa menetap hingga akhir hayat. Harapan untuk menghembuskan napas terakhir di Tanah Suci menjadi cita-cita mulia bagi sebagian orang, karena diyakini mendatangkan kemuliaan akhir hayat serta rahmat Allah SWT yang melimpah.

Keinginan ini sering kali diwujudkan dalam bentuk doa yang khusyuk, dipanjatkan di sela-sela ibadah, atau dalam sujud panjang penuh harap. Bahkan, sebagian orang meyakini bahwa wafat di Tanah Suci dapat mengantarkan pada keutamaan mati syahid, sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat.

Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang berdoa agar wafat di Tanah Suci? Apakah permohonan seperti ini sesuai dengan ajaran tawakal?

Dalam Islam, tidak ada larangan untuk memohon kepada Allah agar diwafatkan di tempat yang mulia. Rasulullah SAW sendiri pernah mendoakan Umar bin Khattab agar syahid di jalan Allah dan wafat di Madinah. Hal ini menunjukkan bahwa memohon tempat kematian yang penuh keberkahan bukanlah bentuk kurang tawakal, tetapi bagian dari harapan seorang hamba akan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik).

Tawakal tidak berarti pasrah tanpa harapan, tetapi berusaha dan berdoa, sambil menyerahkan hasil sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Maka, memanjatkan doa agar diwafatkan di Makkah atau Madinah adalah bentuk keinginan akan kebaikan akhir hidup, yang tentu dibolehkan selama disertai niat tulus dan keyakinan bahwa segala takdir berada di tangan-Nya.

Hukum Berdoa Agar Wafat di Tanah Suci: Antara Sunnah dan Tawakal

Keinginan untuk wafat di Tanah Suci, seperti Makkah atau Madinah, adalah harapan mulia yang dimiliki banyak umat Islam. Harapan ini lahir dari keyakinan bahwa wafat di tempat yang suci merupakan tanda husnul khatimah dan mengandung keutamaan besar. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap doa semacam ini?

Mengutip dari laman muslim.or.id, para ulama menyebutkan bahwa hukum berdoa agar diwafatkan di tempat yang mulia adalah sunnah. Tanah Suci Makkah dan Madinah termasuk dalam kategori tempat yang mulia, sehingga tidak mengapa bahkan dianjurkan untuk memohon kepada Allah agar diwafatkan di sana.

Salah satu dalil utama yang mendasari anjuran ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah di sana. Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang mati di sana.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan keutamaan besar bagi mereka yang wafat di kota Madinah. Namun, para ulama menekankan bahwa maksud dari hadis ini bukanlah mengusahakan kematian secara tidak wajar atau dengan tindakan yang membahayakan diri.

Sebagaimana dijelaskan oleh At-Tibiy dalam Tuhfatul Ahwadzi (10/286):

“Perintah agar meninggal di Madinah bukanlah dengan usaha sendiri, tetapi kembali kepada kehendak Allah. Hendaknya seseorang tetap bertahan tinggal di Madinah dan berusaha tidak meninggalkannya.”

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (9/151). Beliau menyebut bahwa hadis tersebut menjadi dalil kuat tentang keutamaan tinggal di kota Madinah dan bersabar atas segala ujian serta kesulitan yang mungkin dihadapi di sana. Keutamaan tersebut berlaku hingga hari kiamat.

Bahkan, dalam Al-Majmu’ (5/106), Imam An-Nawawi menegaskan:

“Disunnahkan meminta kematian di tanah yang mulia.”

Dengan demikian, berdoa agar wafat di Tanah Suci adalah amalan yang dianjurkan dalam Islam. Selama dilakukan dengan niat yang tulus, tanpa melanggar syariat, dan tetap menyerahkan hasil akhirnya kepada ketetapan Allah, maka hal ini bukanlah bentuk kurang tawakal, melainkan ekspresi cinta kepada tempat-tempat suci dan harapan akan akhir yang baik.

Antara Harapan Syahid dan Jaminan Pahala Abadi

Wafat di Tanah Suci, baik di Makkah maupun Madinah, adalah dambaan banyak umat Islam. Selain karena kemuliaan tempat tersebut, salah satu hikmah besar dari meninggal di sana adalah banyaknya orang shalih yang akan mendoakan, serta berkah dari para penghuni Tanah Suci — baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.

Namun, muncul pertanyaan penting: Apakah orang yang wafat di Tanah Suci akan mendapatkan keutamaan mati syahid?

Tidak Ada Dalil Langsung tentang Mati Syahid

Secara tegas, tidak ada dalil atau nash yang menyatakan bahwa wafat di Tanah Suci secara otomatis termasuk dalam kategori mati syahid. Yang ada adalah keutamaan luar biasa bagi mereka yang wafat saat menjalankan ibadah haji atau umrah.

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut:

“Barangsiapa keluar untuk berhaji lalu meninggal dunia, maka dituliskan untuknya pahala haji hingga hari kiamat. Barangsiapa keluar untuk umrah lalu meninggal dunia, maka ditulis untuknya pahala umrah hingga hari kiamat. Dan barangsiapa keluar untuk berjihad lalu mati maka ditulis untuknya pahala jihad hingga hari kiamat.”
(HR. Abu Ya’la, lihat Shahih At-Targhib no. 1114)

Hadis ini menunjukkan bahwa wafat dalam perjalanan ibadah seperti haji dan umrah mendatangkan ganjaran pahala yang terus mengalir hingga hari kiamat. Ini adalah bentuk kemuliaan tersendiri, meskipun tidak secara spesifik dikategorikan sebagai mati syahid.

Wafat di Madinah dan Syafaat Rasulullah SAW

Bagi mereka yang wafat di Madinah, terdapat keistimewaan tambahan berupa syafaat langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya:

“Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah), kemudian dia mati, kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya, atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat, jika dia seorang Muslim.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan keutamaan bagi orang yang hidup dan wafat di Madinah dengan penuh kesabaran. Mereka dijanjikan syafaat atau kesaksian dari Rasulullah SAW pada hari kiamat — suatu bentuk kemuliaan yang tidak dimiliki oleh tempat lain di dunia.


Kesimpulan

Berdoa agar wafat di Tanah Suci adalah amalan yang disunnahkan. Meskipun tidak secara otomatis menjadikan seseorang syahid, namun mereka yang wafat dalam keadaan menunaikan ibadah haji atau umrah tetap mendapatkan pahala luar biasa. Terlebih lagi, mereka yang wafat di Madinah mendapatkan janji syafaat dari Rasulullah SAW.

Semoga Allah mengizinkan kita menutup usia di tempat yang paling mulia, dengan cara yang diridhai-Nya.

Jejak Kesabaran dan Syukur: Makam Nabi Nuh AS di Yordania

Stylesphere – Di sebuah sudut sunyi di Yordania, terdapat sebuah kawasan yang menyimpan jejak salah satu manusia paling penuh syukur dan sabar dalam sejarah umat manusia. Sosok itu adalah Nabi Nuh AS — bukan hanya seorang nabi, tetapi juga lambang keteguhan hati, kesabaran, dan keikhlasan dalam menjalankan amanah dari Allah SWT.

Nabi Nuh dikenal karena ketekunannya dalam berdakwah kepada kaumnya. Ia diutus jauh sebelum datangnya bencana besar berupa banjir dahsyat yang melanda bumi. Menurut berbagai riwayat, masa dakwah beliau berlangsung hampir seratus tahun. Namun, dari perjalanan panjang tersebut, hanya sekitar 80 orang yang menjadi pengikutnya. Fakta ini menjadi cerminan ujian luar biasa yang dihadapi oleh Nabi Nuh serta kesabarannya yang tak tergoyahkan.

Al-Qur’an menyebut Nabi Nuh sebagai seorang “hamba yang bersyukur”. Nama “Nuh” sendiri diyakini berasal dari kebiasaannya yang sering menangis — sebagai wujud penyesalan dan doa atas dosa-dosa kaumnya, seraya memohon ampunan kepada Allah SWT.

Dilansir dari tayangan video di kanal YouTube @harypurnama849 pada Jumat (2 Mei 2025), makam Nabi Nuh berada di kota Karak, tepatnya di wilayah Krak, sebuah kawasan pinggiran kota Karak di bagian selatan Yordania.

Makam tersebut terletak di dalam sebuah kompleks pemakaman sederhana dengan luas bangunan sekitar 57 meter persegi. Bangunannya terbuat dari batu dan tanah liat berwarna hijau yang khas, menambah kesan damai dan sakral pada tempat peristirahatan terakhir sang nabi.

Lokasi Makam Nabi Nuh AS di Karak, Yordania

Kementerian Pariwisata dan Antik Yordania telah menetapkan sejumlah lokasi bersejarah, termasuk makam Nabi Nuh AS di Karak, sebagai situs ziarah religi yang terbuka bagi wisatawan Muslim dari seluruh penjuru dunia.

Lokasi makam ini cukup strategis dan mudah dijangkau, baik dari ibu kota Amman maupun dari Petra—salah satu destinasi wisata paling terkenal di Yordania. Aksesibilitas yang baik ini menjadikan makam Nabi Nuh sebagai salah satu tujuan ziarah spiritual yang semakin populer.

Para peziarah yang datang ke tempat ini kerap merasakan ketenangan batin yang mendalam. Lingkungan sekitar yang hening, hembusan angin padang pasir yang menyejukkan, serta bangunan kuno yang terawat memberikan nuansa spiritual yang khas dan menyentuh.

Sebagian warga setempat meyakini bahwa kawasan di sekitar makam membawa aura yang berbeda—seakan menyimpan pelajaran luhur tentang keimanan, ketekunan, dan kesabaran yang diajarkan oleh Nabi Nuh.

Makam ini tak hanya menjadi tempat untuk berziarah, tetapi juga berfungsi sebagai sarana edukatif. Ia mengingatkan kembali kepada pengunjung tentang nilai-nilai keteladanan dari Nabi Nuh AS yang relevan sepanjang zaman.

Dalam Islam, ziarah ke makam para nabi bukanlah bentuk pemujaan, melainkan sebagai wujud penghormatan dan refleksi terhadap perjuangan mereka dalam menegakkan kebenaran dan membimbing umat. Kunjungan semacam ini menjadi momen untuk memperkuat keimanan dan meneladani sifat-sifat mulia yang mereka miliki.

Kisah hidup Nabi Nuh memberikan pesan yang abadi—bahwa dalam menghadapi cobaan dan rintangan hidup, kesabaran dan rasa syukur adalah kunci utama untuk meraih ridha Allah SWT. Melalui ziarah ke makam beliau, umat Islam diingatkan untuk terus menanamkan dua nilai agung tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Simbol Kesakralan dan Sejarah di Tengah Padang Yordania

Di bagian tengah kompleks pemakaman Nabi Nuh AS, berdiri sebuah kubah sederhana yang menjadi penanda utama makam beliau. Meskipun bentuknya tidak megah, kubah tersebut memancarkan aura sakral dan nuansa historis yang kuat, menjadikannya titik sentral yang khusyuk bagi para peziarah.

Baik warga lokal maupun pengunjung dari berbagai negara menganggap tempat ini sebagai lokasi yang penuh keberkahan. Banyak di antara mereka yang datang untuk berdoa, merenung, dan mengenang kembali perjalanan hidup seorang nabi yang dikenal karena ketulusan dan ketabahannya.

Menurut catatan sejarah lokal, Nabi Nuh wafat dalam usia sekitar 150 tahun. Usia yang luar biasa panjang ini dipercaya sebagai bentuk rahmat dan karunia dari Allah SWT, sebagai balasan atas dedikasi beliau dalam menyampaikan wahyu-Nya dengan penuh keikhlasan.

Keberadaan makam Nabi Nuh AS turut memperkaya khazanah situs bersejarah Islam di Yordania. Negara ini memang dikenal sebagai tanah yang dilalui oleh para nabi dan sahabat Rasulullah SAW, sehingga memiliki nilai penting dalam peta sejarah Islam.

Setidaknya terdapat 27 situs bersejarah Islam di wilayah Yordania. Selain makam Nabi Nuh, terdapat pula makam para nabi lainnya seperti Nabi Sulaiman, Nabi Harun, Nabi Syuaib, Nabi Daud, dan Nabi Luth—semuanya menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang kenabian dan penyebaran risalah ilahi.

Jutaan Jemaah Haji Mulai Memadati Makkah dan Madinah, Desain Rumah Arab Jadi Sorotan

Stylesphere – Menjelang musim haji 2025, jutaan jemaah dari berbagai negara mulai berdatangan ke Arab Saudi untuk menunaikan rukun Islam kelima. Dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah, kembali dipadati oleh umat Muslim yang hendak menjalankan ibadah haji.

Selain menjadi pusat ibadah, wilayah Arab Saudi juga menyimpan daya tarik lain, salah satunya adalah desain arsitektur rumahnya yang khas. Rumah-rumah di kawasan Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, terkenal dengan bentuknya yang simpel dan minimalis namun tetap menarik.

Berbeda dengan rumah-rumah di Indonesia yang umumnya menggunakan genteng, rumah di kawasan Arab justru nyaris semuanya memiliki atap datar tanpa genteng. Hal ini bukan tanpa alasan. Desain rumah di suatu wilayah biasanya sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan budaya lokal.

Di kawasan Semenanjung Arab yang terkenal dengan iklimnya yang panas ekstrem, atap datar terbukti lebih efektif dalam menghadapi terik matahari yang suhunya bisa mencapai hingga 50 derajat Celsius saat musim panas. Desain seperti ini memberikan keuntungan fungsional yang signifikan.

Mengutip tayangan video dari kanal YouTube @ventour_travel pada Jumat (2/5/2025), atap datar mampu menyerap panas secara merata, tidak seperti atap miring bergenteng yang bisa menjebak panas di bagian bawahnya. Selain itu, dinding rumah yang lebih tebal turut membantu menahan suhu panas, sehingga suhu di dalam ruangan tetap stabil dan nyaman.

Dengan begitu, rumah-rumah di kawasan Arab tak hanya tampil unik, tetapi juga sangat adaptif terhadap kondisi iklim yang keras.

Desain Rumah Arab Jadi Sorotan karena Adaptif terhadap Iklim Ekstrem

Memasuki musim haji 2025, jutaan jemaah dari seluruh dunia mulai berdatangan ke Arab Saudi, khususnya menuju dua kota suci, Makkah dan Madinah, untuk menunaikan ibadah haji. Di tengah semarak spiritual itu, perhatian juga tertuju pada kekhasan arsitektur di kawasan tersebut, terutama desain rumah-rumah di wilayah Arab yang unik dan fungsional.

Berbeda dengan rumah di Indonesia yang umumnya beratapkan genteng miring, rumah-rumah di Timur Tengah justru menggunakan atap datar. Pilihan desain ini bukan sekadar estetika, melainkan hasil adaptasi terhadap kondisi iklim dan lingkungan setempat.

Negara-negara di Semenanjung Arab dikenal memiliki suhu yang sangat tinggi di siang hari, bahkan bisa mencapai 50 derajat Celsius saat musim panas. Untuk menghadapi panas ekstrem ini, desain atap datar terbukti lebih efektif. Atap datar menyerap panas secara merata dan, bersama dinding rumah yang tebal, membantu menjaga suhu dalam ruangan tetap stabil dan nyaman.

Menariknya, saat malam tiba suhu di kawasan gurun bisa turun drastis. Namun, rumah tanpa genteng justru memberikan kehangatan alami, menjadikannya solusi ideal untuk perubahan suhu yang ekstrem antara siang dan malam.

Curah hujan yang sangat minim juga menjadi alasan utama mengapa rumah di Arab tidak membutuhkan atap miring. Di daerah tropis seperti Indonesia, atap miring berfungsi untuk mengalirkan air hujan. Namun, di kawasan gurun yang jarang diguyur hujan, fungsi itu menjadi tidak relevan. Karena itu, atap datar adalah pilihan yang lebih efisien dan logis.

Selain itu, atap datar memiliki kelebihan fungsional lain. Area datar tersebut sering dimanfaatkan sebagai ruang tambahan untuk menjemur pakaian, menyimpan barang, atau bahkan menjadi tempat beristirahat di malam hari.

Desain ini juga unggul dalam menghadapi kondisi angin kencang dan badai pasir yang umum terjadi di gurun. Tidak adanya genteng mengurangi risiko kerusakan saat angin bertiup kencang, dan struktur atap yang kokoh serta minim celah membantu mencegah pasir masuk ke dalam rumah.

Dari sisi material, rumah-rumah di Arab umumnya dibangun menggunakan bahan seperti tanah liat atau batu bata, yang memiliki kemampuan isolasi panas yang baik sekaligus menjaga kelembaban di dalam ruangan.

Desain rumah Arab adalah contoh nyata bagaimana arsitektur berkembang selaras dengan alam dan kebutuhan masyarakatnya. Fungsional, tahan iklim ekstrem, dan tetap nyaman untuk ditinggali—itulah kekuatan dari kesederhanaan desain rumah Timur Tengah.

Desain Rumah Arab: Simpel, Adaptif, dan Harmonis dengan Alam

Menjelang musim haji 2025, jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia mulai berdatangan ke Arab Saudi, menuju dua kota suci umat Islam: Makkah dan Madinah. Di balik kemegahan spiritual yang tercermin di Tanah Suci, ada sisi lain yang menarik untuk diamati—yakni arsitektur rumah-rumah di kawasan Arab yang memiliki keunikan tersendiri.

Salah satu ciri khas paling mencolok dari rumah-rumah di Timur Tengah adalah desain atapnya yang datar, tanpa genteng seperti rumah di daerah tropis seperti Indonesia. Tradisi membangun rumah dengan atap datar ini bukan hal baru. Bahkan, rumah-rumah pada zaman Nabi Muhammad SAW pun menggunakan desain serupa—tanpa genteng, namun tetap fungsional dan nyaman.

Ada berbagai alasan di balik pilihan desain ini. Pertama dan yang paling utama adalah faktor iklim. Di kawasan Semenanjung Arab, suhu siang hari bisa mencapai 50 derajat Celsius saat musim panas. Dalam kondisi ekstrem seperti ini, desain atap datar justru lebih efektif menahan panas karena menyerapnya secara merata. Dinding rumah yang tebal turut membantu menjaga suhu ruangan tetap stabil, menciptakan kenyamanan meski di tengah panas gurun yang menyengat.

Menariknya, ketika malam tiba, suhu di gurun dapat turun drastis. Rumah-rumah dengan atap datar justru mampu menahan kehangatan di dalam ruangan, menjadikannya tempat tinggal yang adaptif terhadap perubahan suhu ekstrem.

Faktor curah hujan juga turut memengaruhi bentuk atap. Di negara-negara Arab, hujan sangat jarang turun. Tidak seperti di Indonesia yang membutuhkan atap miring untuk mengalirkan air hujan, di Arab, kebutuhan itu hampir tidak ada. Maka, desain atap datar menjadi pilihan paling efisien secara struktural dan ekonomis.

Lebih dari itu, atap datar juga memiliki fungsi sosial yang penting. Di banyak wilayah, atap rumah sering dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul, beristirahat, atau menikmati udara malam yang mulai sejuk. Fungsi ini tidak akan tercapai jika rumah menggunakan atap genteng seperti di negara tropis.

Keunggulan lainnya adalah ketahanan terhadap angin kencang dan badai pasir yang kerap melanda kawasan gurun. Genteng-genteng seperti yang digunakan di Indonesia mudah terlepas saat diterpa angin, sedangkan atap datar lebih kokoh dan minim risiko kerusakan. Desain rumah pun dirancang dengan struktur tertutup dan material yang mampu menghadapi tantangan lingkungan, seperti tanah liat dan batu bata yang efektif dalam menjaga kelembaban dan menahan panas.

Meskipun teknologi konstruksi modern terus berkembang, masyarakat Arab tetap mempertahankan desain rumah tradisional ini. Alasannya jelas: keselarasan dengan alam, efisiensi energi, dan kenyamanan jangka panjang. Lebih dari sekadar gaya, desain rumah Arab mencerminkan kearifan lokal yang lahir dari pemahaman mendalam terhadap lingkungan.

Fenomena ini memberikan pelajaran penting: desain bangunan sebaiknya tidak hanya mengikuti tren global, tetapi juga memperhatikan kebutuhan lokal dan kondisi iklim setempat. Dari arsitektur Arab, kita belajar bahwa kesederhanaan, fungsionalitas, dan keberlanjutan dapat berjalan beriringan dalam menciptakan tempat tinggal yang ideal.

Gunung Thur: Saksi Bisu Dialog Langsung antara Nabi Musa dan Allah

Stylesphere – Saat itu, suasana begitu sunyi. Keheningan menyelimuti sekitar, seolah seluruh alam tunduk dalam kekhusyukan. Di tengah keheningan suci itulah, Nabi Musa Alaihissalam memusatkan seluruh jiwa dan raganya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dunia ia tinggalkan sejenak, demi menyambut langsung wahyu dari Sang Pencipta.

Selama 40 hari penuh munajat di atas Gunung Thur, Nabi Musa mengalami momen spiritual yang sangat agung. Ketika masa itu usai dan beliau turun dari gunung, wajahnya memancarkan cahaya terang—aura keagungan yang bersumber dari kedekatannya dengan Allah. Meskipun beliau tidak melihat Allah dalam bentuk fisik, pancaran kebesaran-Nya begitu nyata terpahat di wajah sang nabi.

Cahaya itu bukan sembarang cahaya. Dalam beberapa tafsir disebutkan bahwa sinar tersebut begitu kuat hingga membuat kaum Bani Israil tak sanggup menatap wajah Nabi Musa secara langsung. Itu adalah bukti nyata betapa dalam dan mulianya pengalaman spiritual yang beliau alami.

Gunung Thur pun diabadikan sebagai tempat yang diberkahi. Allah secara khusus memilihnya sebagai lokasi turunnya wahyu, menjadikannya salah satu titik sakral dalam sejarah kenabian. Kesucian gunung ini tidak hanya berakhir pada masa Nabi Musa, tapi juga berlanjut hingga masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Dalam kisah perjalanan Isra Mikraj, Rasulullah SAW dikisahkan sempat singgah di Gunung Sinai. Beliau menunaikan salat dua rakaat di sana, sebagai bentuk penghormatan terhadap kemuliaan tempat tersebut.

Kisah ini menjadi penegas bahwa tempat-tempat yang pernah disinggahi oleh para nabi bukanlah lokasi biasa. Mereka adalah titik-titik spiritual yang Allah pilih sebagai saksi dalam perjalanan besar pewahyuan-Nya kepada umat manusia.

Lembah Suci Tempat Nabi Musa Berdialog dengan Allah

Dalam lintasan sejarah kenabian, terdapat sebuah tempat yang begitu agung dan sarat makna spiritual. Di sanalah Nabi Musa Alaihissalam pernah berbicara langsung dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala—sebuah peristiwa luar biasa yang menjadi salah satu kisah paling monumental dalam sejarah umat manusia.

Tempat tersebut dikenal sebagai Wadwa, atau yang lebih populer disebut Lembah Suci. Lokasinya berada di sisi kanan Gunung Thur (Jabal At-Tur), yang terletak di wilayah gurun Sinai, Mesir. Kawasan ini diyakini sebagai tempat turunnya wahyu dan berlangsungnya komunikasi langsung antara Nabi Musa dengan Sang Pencipta.

Kisah ini tidak hanya termuat dalam kitab-kitab sejarah Islam, namun juga tercantum dalam Al-Qur’an. Gunung Sinai disebutkan sebanyak sembilan kali, menunjukkan betapa penting dan sucinya tempat ini dalam konteks kenabian dan wahyu Ilahi.

Dalam sebuah tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @islamitumenakjubkan pada Kamis (01/05/2025), dijelaskan bahwa tempat tersebut masih diyakini memancarkan kekuatan spiritual hingga hari ini. Setiap tahunnya, banyak peziarah dari berbagai penjuru dunia datang untuk merasakan keagungan dan ketenangan yang dipancarkan dari kawasan ini.

Diceritakan pula bahwa Nabi Musa AS menghabiskan waktu selama 40 hari dan 40 malam di atas Gunung Thur. Selama masa tersebut, beliau berpuasa, bermunajat, dan berdialog secara langsung dengan Allah SWT—sebuah pengalaman spiritual yang luar biasa dan menjadi inspirasi sepanjang zaman.

Gunung Thur: Jejak Wahyu di Tanah Sinai

Gunung Sinai, yang dikenal juga sebagai Gunung Thur, terletak sekitar 450 kilometer dari pusat Kota Kairo, Mesir. Untuk mencapainya, para peziarah harus menempuh perjalanan darat melewati jalur gurun yang berat dan menantang. Meski terpencil dan dikelilingi medan yang tandus, gunung ini tak pernah sepi dari langkah-langkah mereka yang ingin menapak tilas jejak para nabi.

Bagi umat Islam, Gunung Thur adalah lebih dari sekadar situs sejarah. Ia adalah tempat yang menyimpan gema wahyu Ilahi, di mana Nabi Musa Alaihissalam berdialog langsung dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para peziarah yang mendakinya sering kali melaporkan perasaan damai yang luar biasa, seolah mereka sedang berdiri di tanah yang dekat dengan langit.

Gunung ini bukan hanya dihormati oleh umat Islam. Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, Gunung Sinai juga dipandang suci sebagai tempat di mana wahyu Tuhan diturunkan. Namun, dalam Islam, keistimewaannya bertambah karena tempat ini turut disinggahi oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam peristiwa agung Isra Mikraj. Di sana, beliau menunaikan salat sebagai bentuk penghormatan terhadap kesucian tempat tersebut.

Penyebutan Gunung Thur dalam Al-Qur’an tidak hanya sebagai referensi geografis, melainkan sebagai simbol spiritual. Ia menjadi pengingat bahwa di tempat inilah, seorang manusia pernah berdiri sangat dekat dengan Rabb-nya, mendengar langsung firman-Nya, dan membawa pulang wahyu yang menjadi petunjuk bagi umat.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa tempat-tempat yang diberkahi tidak hanya menyimpan sejarah, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual yang hidup hingga hari ini. Semoga Allah SWT memberikan kita kesempatan untuk mengunjungi tempat mulia ini, meresapi kekhusyukan yang pernah dialami para nabi, dan memperkuat iman serta kecintaan kita kepada mereka.

Dengan memahami perjalanan agung ini, kita tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga merenungkan bagaimana wahyu itu terus hidup dalam kehidupan kita hari ini.