Haji: Ibadah Penuh Pengorbanan dan Hikmah Mendalam

Stylesphere – Menunaikan ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu, baik secara finansial, fisik, maupun mental. Pada tahun 1446 H/2025 M, pemerintah bersama DPR telah menetapkan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp89.410.258,79 dengan asumsi nilai tukar dolar AS sebesar Rp16.000. Jumlah tersebut tentu bukan angka yang kecil dan menjadi pengorbanan besar bagi banyak calon jemaah.

Meski mahal, semangat umat Islam untuk menunaikan Rukun Islam kelima tetap tinggi. Tak sedikit masyarakat dengan pekerjaan sederhana seperti buruh, yang dengan penuh tekad menabung sedikit demi sedikit demi bisa berangkat ke Tanah Suci. Ini membuktikan bahwa haji bukan sekadar soal materi, tapi juga soal niat dan kesungguhan hati.

Perlu diketahui bahwa haji hanya diwajibkan bagi mereka yang memenuhi syarat kemampuan. Kemampuan ini tidak hanya dalam hal keuangan, tapi juga kesehatan jasmani dan kesiapan mental. Bagi yang belum mampu, kewajiban tersebut belum berlaku dan tidak mendatangkan dosa.

Di balik ibadah haji, tersimpan banyak kisah penuh pelajaran. Salah satunya berasal dari kitab Irsyadul ‘Ibad, yang menggambarkan nilai-nilai luhur dari ibadah ini. Kisah ini menjadi pengingat bagi siapa pun yang akan atau sudah menunaikan haji, baik untuk pertama kali maupun yang sudah berulang.

Haji bukan hanya perjalanan fisik menuju Mekah, tetapi juga perjalanan spiritual untuk membersihkan diri dan memperbarui tekad dalam menjalani kehidupan. Kisah-kisah semacam ini menjadi cermin bahwa haji sejati tidak hanya tercermin dalam perjalanan, tetapi juga dalam perubahan akhlak dan keikhlasan hati setelahnya.

Pelajaran dari Dua Haji yang Gugur Karena Riya’

Dalam sebuah kisah yang diriwayatkan dari ulama besar Sufyan ats-Tsauri, terdapat pelajaran berharga tentang keikhlasan dalam beribadah, khususnya dalam menunaikan haji.

Suatu ketika, Sufyan ats-Tsauri bersama beberapa kawannya dijamu oleh seorang laki-laki. Lelaki tersebut kemudian memanggil istrinya dan berkata, “Berikanlah hidangan yang kamu bawa dari haji yang kedua, bukan yang pertama.” Permintaan itu terdengar biasa saja, namun memiliki makna tersirat yang dalam: ia ingin menunjukkan kepada tamunya bahwa dirinya telah menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali.

Ucapan itu langsung ditanggapi oleh Sufyan ats-Tsauri dengan penuh keprihatinan. “Sungguh kasihan orang ini. Dengan perkataannya itu, ia telah menghapus pahala dua hajinya. Semoga Allah menyelamatkan kita dari riya’,” ujar beliau.

Pernyataan tersebut mengandung pelajaran besar bagi umat Islam: ibadah yang dilakukan dengan niat tidak tulus, terutama karena ingin dipuji atau dilihat orang lain (riya’), dapat menggugurkan seluruh pahala yang telah susah payah diraih. Bahkan, amalan sebesar ibadah haji pun tak bernilai jika tidak didasari oleh keikhlasan.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap ibadah, sekecil apa pun, harus dilandasi dengan niat yang bersih dan ikhlas karena Allah semata. Sebab, hanya amalan yang murni dari hati yang akan diterima dan diberi ganjaran oleh-Nya.

Ibadah Haji dan Bahaya Riya’

Haji merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang menjadi salah satu pilar utama dalam Islam. Namun, ibadah agung ini akan menjadi sia-sia apabila tidak dilandasi dengan niat yang tulus semata-mata karena Allah. Rasulullah SAW telah memberi peringatan agar umatnya berhati-hati terhadap penyakit hati bernama riya’, yaitu melakukan ibadah bukan untuk Allah, melainkan untuk dilihat, dipuji, atau diakui manusia.

Dalam sebuah hadits riwayat Adz-Dzahabi, diceritakan bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “Apa itu keselamatan pada hari esok (hari kiamat)?” Nabi menjawab, “Ketika kamu tidak menipu Allah.” Lelaki itu bertanya lagi, “Bagaimana kita menipu Allah?” Rasulullah menjelaskan, “Yaitu ketika kamu menunaikan perintah Allah dan rasul-Nya namun kamu bertujuan untuk selain ridha Allah. Berhati-hatilah dari riya’ karena sesungguhnya ia termasuk kategori syirik kepada Allah.”

Riya’ adalah salah satu bentuk syirik kecil yang bisa menghapus pahala amal kebaikan. Nabi SAW bahkan menyebutkan bahwa pada hari kiamat, orang-orang yang berbuat riya’ akan dipanggil dengan empat panggilan yang menghinakan: kafir, durhaka (fâjir), cedera (ghâdir), dan merugi (khâsir). Mereka akan diperintahkan untuk meminta pahala kepada orang-orang yang menjadi tujuan mereka dalam beribadah: “Ambillah pahala dari orang-orang yang menjadi tujuan amalmu, wahai penipu diri sendiri.”

Dalam kitab Irsyâdul ‘Ibâd, juga diceritakan bahwa ketika seorang imam ditanya, “Siapakah orang yang ikhlas?” Ia menjawab, “Orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukannya.” Artinya, orang yang benar-benar ikhlas tidak memperlihatkan amalnya kepada siapa pun, sebagaimana ia juga tidak ingin orang lain mengetahui dosa-dosanya.

Semoga kita semua dijauhkan dari penyakit riya’, khususnya saat melaksanakan ibadah sebesar haji. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT dengan penuh keikhlasan. Wallahu a’lam.

Makna dan Tata Cara Sholat Idul Adha: Ibadah Penuh Keutamaan

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu momen penting dalam Islam yang dirayakan penuh suka cita oleh umat Muslim di seluruh dunia. Selain dikenal sebagai hari penyembelihan hewan kurban sebagai bentuk kepedulian sosial dan ketaatan kepada Allah SWT, Idul Adha juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri secara spiritual kepada Sang Pencipta.

Sebagai pembuka dari rangkaian ibadah Idul Adha, umat Islam dianjurkan melaksanakan sholat Idul Adha. Ibadah ini memiliki status sunah muakkad, yakni sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan. Rasulullah SAW beserta para sahabatnya secara konsisten melaksanakan sholat ini, menjadikannya sebagai bagian penting dari syiar Islam dan simbol kuatnya persaudaraan antarumat.

Meskipun tidak bersifat wajib, meninggalkan sholat Idul Adha tanpa alasan yang jelas dianggap sebagai kehilangan besar, karena ibadah ini membawa keutamaan dan pahala yang luar biasa.

Sholat Idul Adha umumnya dilaksanakan secara berjamaah, baik di lapangan terbuka, masjid, maupun di rumah jika kondisi tidak memungkinkan. Mengetahui niat dan tata cara pelaksanaan sholat Idul Adha secara benar menjadi penting agar ibadah tidak hanya dilakukan sebagai rutinitas tahunan, tetapi juga benar-benar mengandung nilai spiritual yang mendalam.

Artikel ini akan mengulas secara lengkap bacaan niat serta langkah-langkah pelaksanaan sholat Idul Adha, agar setiap umat Muslim dapat mengamalkannya dengan baik dan khusyuk.

Bacaan Niat Sholat Idul Adha

Dalam setiap pelaksanaan sholat, niat merupakan hal pertama yang harus dilakukan. Begitu pula dengan sholat Idul Adha, niat menjadi pembuka yang membedakan ibadah ini dari ibadah lainnya. Niat tidak perlu diucapkan dengan suara, melainkan cukup dilafalkan di dalam hati sesaat sebelum takbiratul ihram.

Berikut bacaan niat sholat Idul Adha untuk imam dan makmum:

Niat Sholat Idul Adha Sebagai Imam

Lafal Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ إِمَامًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati imaaman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai imam karena Allah ta’ala.”

Niat Sholat Idul Adha Sebagai Makmum

Lafal Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati makmuman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah ta’ala.”

🕌 Panduan Lengkap Niat dan Tata Cara Sholat Idul Adha

Hari Raya Idul Adha merupakan momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Selain memperingati kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS, hari raya ini juga menjadi ajang mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah kurban dan sholat Idul Adha.

Sholat Idul Adha menjadi pembuka rangkaian ibadah di hari raya ini. Meski hukumnya sunnah muakkad (sangat dianjurkan), Rasulullah SAW dan para sahabat selalu melaksanakannya sebagai bentuk pengagungan kepada Allah dan syiar Islam.

🌙 Hukum dan Keutamaan Sholat Idul Adha

Sholat Idul Adha dikerjakan dua rakaat secara berjamaah, biasanya di lapangan terbuka atau masjid. Jika kondisi tidak memungkinkan, bisa dilakukan di rumah. Ibadah ini membawa banyak keutamaan, mulai dari memperkuat ukhuwah Islamiyah hingga meraih pahala besar dari Allah SWT.

🙏 Niat Sholat Idul Adha

Niat dilakukan dalam hati sebelum takbiratul ihram. Berikut adalah bacaannya:

Untuk Imam

Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ إِمَامًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati imaaman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai imam karena Allah Ta’ala.”

Untuk Makmum

Arab:

أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ اْلأَضْحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin:

Ushallii sunnatan li’iidil adha rak’ataini mustaqbilal qiblati makmuman lillaahi ta’aala

Artinya:

“Aku berniat sholat sunnah Idul Adha dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah Ta’ala.”

🧎 Tata Cara Sholat Idul Adha

Sholat ini terdiri dari dua rakaat, dengan tambahan takbir sebagai ciri khasnya:

Rakaat Pertama:

  1. Niat
  2. Takbiratul ihram
  3. Doa iftitah
  4. 7 takbir tambahan
  5. Bacaan dzikir di sela takbir
  6. Surah Al-Fatihah
  7. Surah Al-A’la
  8. Rukuk, i’tidal, sujud, duduk, sujud lagi

Rakaat Kedua:

  1. Berdiri
  2. 5 takbir tambahan
  3. Dzikir di sela takbir
  4. Surah Al-Fatihah
  5. Surah Al-Ghasyiyah
  6. Rukuk, i’tidal, sujud, duduk, sujud
  7. Salam

Setelah Sholat:

Jamaah tetap duduk untuk menyimak khutbah Idul Adha, yang disampaikan dalam dua bagian oleh khatib, berbeda dengan khutbah Jumat yang dilakukan sebelum sholat.

🕌 Waktu dan Sunnah Sebelum Sholat Idul Adha, Ini yang Perlu Diketahui

Sholat Idul Adha merupakan bagian penting dari rangkaian ibadah Hari Raya Kurban. Waktu pelaksanaannya dimulai ketika matahari telah terbit setinggi tombak—sekitar pukul 06.00 hingga 06.30 WIB—dan berakhir sebelum masuk waktu Zuhur. Dianjurkan untuk melaksanakannya lebih awal agar umat Muslim memiliki cukup waktu untuk melaksanakan penyembelihan hewan kurban setelahnya.

🌟 Sunnah Sebelum Sholat Idul Adha

Untuk menyempurnakan ibadah, berikut beberapa amalan sunnah yang dianjurkan sebelum melaksanakan sholat Idul Adha:

  • Mandi sunnah sebelum berangkat ke tempat sholat.
  • Memakai pakaian terbaik—tidak harus baru, yang penting bersih dan rapi.
  • Menggunakan wewangian untuk menyegarkan diri.
  • Tidak makan terlebih dahulu, berbeda dengan Idul Fitri di mana dianjurkan makan sebelum sholat.
  • Berjalan kaki menuju lokasi sholat jika memungkinkan, sebagai bentuk kesederhanaan dan sunnah Rasul.
  • Memperbanyak takbir sejak malam Idul Adha hingga waktu sholat, sebagai bentuk pengagungan kepada Allah SWT.

Sholat Idul Adha idealnya dilakukan secara berjamaah di tempat terbuka, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Namun, bila kondisi tidak memungkinkan, seperti cuaca buruk atau keadaan darurat, sholat dapat dilakukan di masjid atau bahkan di rumah.

Benarkah Hewan Qurban Akan Menjadi Kendaraan di Akhirat?

Stylesphere – Hari Raya Idul Adha identik dengan penyembelihan hewan qurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, setiap tahunnya, muncul pertanyaan menarik yang ramai dibicarakan di tengah umat: apakah benar hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya di akhirat?

Pertanyaan ini mencuat kembali menjelang Idul Adha 2025. Dalam sebuah majelis ilmu, seorang jamaah menyampaikan rasa penasarannya secara langsung kepada Ustadz Adi Hidayat (UAH), seorang pendakwah muda yang dikenal luas berkat penjelasannya yang sistematis dan berbasis dalil.

“Saya pernah mendengar bahwa hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi orang yang berqurban di akhirat. Benarkah itu, Ustadz?” tanya jamaah tersebut dengan penuh keingintahuan.

Pertanyaan itu dijawab langsung oleh UAH dalam sebuah forum terbuka, sebagaimana dilansir Stylesphere, Selasa (6/5/2025), dari tayangan video di kanal YouTube @sejuksunnahislam.

UAH menjelaskan bahwa memang terdapat riwayat yang sering dikaitkan dengan anjuran untuk memilih hewan qurban terbaik. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa hewan tersebut akan kembali kepada pemiliknya di akhirat kelak. Oleh karena itu, semakin baik kualitas hewan qurban, maka semakin besar pula keutamaan yang akan diperoleh.

Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai “kendaraan” dalam banyak riwayat shahih, konsep bahwa amalan qurban akan memberikan manfaat di akhirat memiliki landasan kuat dalam ajaran Islam. Salah satunya adalah motivasi untuk memperindah qurban sebagai bentuk ibadah terbaik kepada Allah SWT.

Dengan demikian, meskipun istilah “kendaraan” lebih bersifat simbolik, semangat yang mendasarinya tetap sahih: bahwa ibadah qurban bukan hanya berdampak di dunia, tetapi juga menjadi bekal di akhirat.

Penjelasan Ustadz Adi Hidayat

Dalam sebuah majelis ilmu, Ustadz Adi Hidayat (UAH) membahas salah satu pertanyaan yang kerap muncul menjelang Hari Raya Idul Adha: benarkah hewan qurban akan menjadi kendaraan bagi pemiliknya di akhirat?

UAH menjawab bahwa ia pun pernah mendengar dan membaca referensi yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya adalah sebuah riwayat yang menyandarkan sabda Nabi Muhammad SAW: “Gemukkanlah dan baguskanlah hewan-hewan sembelihan kalian.”

Menurut UAH, dalam riwayat itu dijelaskan bahwa perintah untuk memperindah hewan qurban bukanlah tanpa alasan. Salah satu makna pentingnya adalah karena hewan tersebut akan hadir kembali pada hari kiamat dan berperan sebagai kendaraan sang pemilik saat melewati Shirath—jembatan akhirat yang sangat tipis dan tajam, yang harus dilalui setiap manusia.

“Jembatan Shirath hanya bisa dilewati oleh orang-orang dengan amal baik. Maka, jika qurban kita bagus dan bernilai tinggi, pahala dari amalan itu akan membantu kita di sana,” jelas UAH dalam tayangan video yang diunggah di kanal YouTube @sejuksunnahislam, seperti dikutip dari Stylesphere, Selasa (6/5/2025).

Lebih lanjut, UAH menegaskan bahwa memperindah hewan qurban bukan sekadar soal fisik atau penampilan. Hal tersebut mencerminkan niat dan kesungguhan dalam beribadah. Semakin baik kualitas hewan yang dikurbankan, semakin besar pula pahala yang akan didapat.

“Jadi, kalau kita mampu mencari hewan qurban yang terbaik, maka sangat dimungkinkan bahwa pahalanya juga semakin besar. Dan pahala itulah yang bisa membantu kita nanti di akhirat, terutama saat melewati Shirath,” pungkasnya.

UAH: Hewan Qurban Bukan Kendaraan Fisik, Tapi Simbol Kemudahan di Akhirat

Menjelang Idul Adha, muncul kembali perbincangan mengenai keyakinan bahwa hewan qurban akan menjadi kendaraan pemiliknya di akhirat. Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan penjelasan bahwa pemahaman ini tidak bersifat harfiah, melainkan simbolis.

“Ini bukan berarti seseorang secara fisik akan menaiki hewan qurbannya seperti menunggang kuda. Maknanya adalah bahwa amalan qurban itu akan memberikan kemudahan di akhirat,” jelas UAH dalam kajian yang disiarkan melalui kanal YouTube @sejuksunnahislam, dikutip Selasa (6/5/2025).

Menurut UAH, pahala dari berqurban—terutama jika dilakukan dengan niat ikhlas dan sesuai syariat—dapat menjadi sebab kemudahan seseorang dalam menghadapi berbagai fase di akhirat, termasuk saat melewati jembatan Shirath.

Lebih jauh, UAH menekankan pentingnya memperhatikan kualitas hewan qurban. Mulai dari kondisi kesehatan, usia yang sesuai ketentuan syariat, hingga tidak cacat, semua itu mencerminkan kesungguhan dalam menjalankan ibadah.

“Ibadah qurban bukan sekadar menyembelih. Tapi juga wujud ketulusan, kepatuhan, dan kepedulian sosial,” ujarnya. Daging qurban yang dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan juga menjadi ladang pahala sosial yang besar.

UAH pun mengimbau agar umat Islam tidak sembarangan dalam memilih hewan qurban. Jika memiliki kemampuan lebih, sebaiknya memilih hewan yang sehat, besar, dan memenuhi standar ibadah qurban yang diridhai Allah SWT.

Ia menutup penjelasannya dengan mengingatkan bahwa keikhlasan dan kesungguhan dalam berqurban akan selalu dibalas Allah, baik dalam bentuk kemudahan di akhirat maupun keberkahan di dunia.

“Jadikan Idul Adha bukan hanya perayaan menyembelih, tapi juga momen memperkuat niat dan meningkatkan kualitas ibadah kita,” pesan UAH.

Khutbah Idul Adha 2025: Momentum Memaknai Pengorbanan dan Ketulusan

Stylesphere – Idul Adha merupakan salah satu hari raya besar dalam Islam yang sarat makna. Tak hanya memperingati keteladanan Nabi Ibrahim AS dalam menaati perintah Allah, momen ini juga mengajarkan nilai-nilai luhur seperti keikhlasan, pengorbanan, dan kepedulian terhadap sesama.

Khutbah Idul Adha menjadi medium penting untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual tersebut. Melalui khutbah, jemaah diajak merenungi makna kurban tidak hanya sebagai ibadah ritual, tetapi juga sebagai simbol ketundukan dan kasih sayang sosial di tengah kehidupan modern.

Artikel ini menyuguhkan contoh khutbah Idul Adha 1446 H / 2025 M yang bisa dijadikan referensi atau inspirasi oleh para khatib. Isi khutbah menekankan hikmah kurban dan pentingnya pengorbanan dalam ajaran Islam, serta bagaimana nilai-nilai tersebut bisa diterapkan di tengah tantangan zaman sekarang.

Khutbah Idul Adha yang ideal adalah yang mampu menggugah hati, mudah dipahami oleh semua kalangan, serta relevan dengan kehidupan sehari-hari. Tak sekadar menjadi rutinitas tahunan, khutbah seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat iman, meningkatkan kepedulian sosial, dan memperdalam makna ketakwaan kepada Allah SWT.

Berikut ini contoh teks khutbah Idul Adha yang telah dirangkum oleh Stylesphere dari berbagai sumber, Selasa (6/5/2025).

KHUTBAH PERTAMA

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا. من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله.

أما بعد، فيا أيها الناس، أوصيكم ونفسي المقصرة بتقوى الله، فقد فاز المتقون.

Kaum Muslimin rahimakumullah,
Hari ini kita berkumpul dalam suasana penuh keberkahan, menyambut hari besar Idul Adha—hari di mana ketaatan dan pengorbanan Nabi Ibrahim AS menjadi pelajaran agung bagi kita semua.

Kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail AS, bukan hanya tentang penyembelihan, tetapi lebih dalam dari itu: tentang ketaatan tanpa syarat kepada Allah, dan pengorbanan terbesar yang sanggup diberikan seorang hamba kepada Tuhannya.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لا إِلَهَ إِلا الله، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Kurban yang kita lakukan hari ini bukan semata menyembelih hewan, tetapi simbol dari menyembelih ego, nafsu, dan cinta dunia yang berlebihan. Allah tidak butuh darah dan daging dari hewan kurban kita, yang Dia kehendaki adalah ketakwaan di hati kita. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj ayat 37:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…”

Maka, marilah kita jadikan Idul Adha ini momentum untuk menumbuhkan ketulusan, meningkatkan solidaritas sosial, dan memperbaiki hubungan dengan sesama.

KHUTBAH KEDUA

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
الحمد لله، الحمد لله الذي شرع لنا الأعياد، وجعلها مظاهر فرح وعبادة، والصلاة والسلام على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين.

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah,
Dalam kesempatan ini, marilah kita mendoakan saudara-saudara kita di berbagai belahan dunia yang tengah dilanda musibah, peperangan, kelaparan, dan berbagai ujian lainnya. Semoga Allah memberikan pertolongan, kekuatan, dan keteguhan iman kepada mereka.

Jangan lupa untuk menunaikan kurban bagi yang mampu, dan bagikanlah dagingnya kepada yang membutuhkan dengan penuh kasih sayang. Inilah bentuk kepedulian yang nyata dan ajaran Islam yang agung.

Mari kita akhiri khutbah ini dengan doa:

اللهم اجعلنا من المتقين، اللهم تقبل منا ومن جميع المسلمين قرباننا، وصيامنا، وصلاتنا، واغفر لنا ولآبائنا وأمهاتنا، ووفقنا لما تحب وترضى، آمين يا رب العالمين.

عباد الله، إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى، وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي، يعظكم لعلكم تذكرون.

أَقِمِ الصَّلَاةَ، يَرْحَمْكُمُ اللَّهُ

Manfaat Kurban Dalam Islam

Ibadah kurban mengandung banyak hikmah dan manfaat yang mendalam bagi kehidupan seorang Muslim. Di antaranya adalah sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, membersihkan hati dari sifat-sifat tercela atau sifat kebinatangan (bahimiyyah), serta menumbuhkan rasa kasih sayang dan empati terhadap sesama. Kurban juga melatih kita untuk menjadi pribadi yang dermawan dan peduli terhadap kebutuhan orang lain.

Nilai-nilai luhur seperti pengorbanan, keikhlasan, dan kepedulian sosial yang terkandung dalam ibadah kurban seharusnya tidak berhenti di momentum Idul Adha saja, tetapi terus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa meneladani semangat pengorbanan dalam lingkup keluarga, masyarakat, hingga dalam kontribusi terhadap bangsa. Begitu pula semangat berbagi rezeki hendaknya menjadi kebiasaan, terutama untuk membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan.

Semoga dengan memahami dan meresapi makna di balik ibadah kurban, kita mampu melaksanakannya dengan tulus dan penuh keikhlasan, serta meraih ridho dan keberkahan dari Allah SWT.

Semoga khutbah ini membawa manfaat dan menjadi pengingat yang baik bagi kita semua. Aamiin.

Jutaan Jemaah Haji Mulai Memadati Makkah dan Madinah, Desain Rumah Arab Jadi Sorotan

Stylesphere – Menjelang musim haji 2025, jutaan jemaah dari berbagai negara mulai berdatangan ke Arab Saudi untuk menunaikan rukun Islam kelima. Dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah, kembali dipadati oleh umat Muslim yang hendak menjalankan ibadah haji.

Selain menjadi pusat ibadah, wilayah Arab Saudi juga menyimpan daya tarik lain, salah satunya adalah desain arsitektur rumahnya yang khas. Rumah-rumah di kawasan Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, terkenal dengan bentuknya yang simpel dan minimalis namun tetap menarik.

Berbeda dengan rumah-rumah di Indonesia yang umumnya menggunakan genteng, rumah di kawasan Arab justru nyaris semuanya memiliki atap datar tanpa genteng. Hal ini bukan tanpa alasan. Desain rumah di suatu wilayah biasanya sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan budaya lokal.

Di kawasan Semenanjung Arab yang terkenal dengan iklimnya yang panas ekstrem, atap datar terbukti lebih efektif dalam menghadapi terik matahari yang suhunya bisa mencapai hingga 50 derajat Celsius saat musim panas. Desain seperti ini memberikan keuntungan fungsional yang signifikan.

Mengutip tayangan video dari kanal YouTube @ventour_travel pada Jumat (2/5/2025), atap datar mampu menyerap panas secara merata, tidak seperti atap miring bergenteng yang bisa menjebak panas di bagian bawahnya. Selain itu, dinding rumah yang lebih tebal turut membantu menahan suhu panas, sehingga suhu di dalam ruangan tetap stabil dan nyaman.

Dengan begitu, rumah-rumah di kawasan Arab tak hanya tampil unik, tetapi juga sangat adaptif terhadap kondisi iklim yang keras.

Desain Rumah Arab Jadi Sorotan karena Adaptif terhadap Iklim Ekstrem

Memasuki musim haji 2025, jutaan jemaah dari seluruh dunia mulai berdatangan ke Arab Saudi, khususnya menuju dua kota suci, Makkah dan Madinah, untuk menunaikan ibadah haji. Di tengah semarak spiritual itu, perhatian juga tertuju pada kekhasan arsitektur di kawasan tersebut, terutama desain rumah-rumah di wilayah Arab yang unik dan fungsional.

Berbeda dengan rumah di Indonesia yang umumnya beratapkan genteng miring, rumah-rumah di Timur Tengah justru menggunakan atap datar. Pilihan desain ini bukan sekadar estetika, melainkan hasil adaptasi terhadap kondisi iklim dan lingkungan setempat.

Negara-negara di Semenanjung Arab dikenal memiliki suhu yang sangat tinggi di siang hari, bahkan bisa mencapai 50 derajat Celsius saat musim panas. Untuk menghadapi panas ekstrem ini, desain atap datar terbukti lebih efektif. Atap datar menyerap panas secara merata dan, bersama dinding rumah yang tebal, membantu menjaga suhu dalam ruangan tetap stabil dan nyaman.

Menariknya, saat malam tiba suhu di kawasan gurun bisa turun drastis. Namun, rumah tanpa genteng justru memberikan kehangatan alami, menjadikannya solusi ideal untuk perubahan suhu yang ekstrem antara siang dan malam.

Curah hujan yang sangat minim juga menjadi alasan utama mengapa rumah di Arab tidak membutuhkan atap miring. Di daerah tropis seperti Indonesia, atap miring berfungsi untuk mengalirkan air hujan. Namun, di kawasan gurun yang jarang diguyur hujan, fungsi itu menjadi tidak relevan. Karena itu, atap datar adalah pilihan yang lebih efisien dan logis.

Selain itu, atap datar memiliki kelebihan fungsional lain. Area datar tersebut sering dimanfaatkan sebagai ruang tambahan untuk menjemur pakaian, menyimpan barang, atau bahkan menjadi tempat beristirahat di malam hari.

Desain ini juga unggul dalam menghadapi kondisi angin kencang dan badai pasir yang umum terjadi di gurun. Tidak adanya genteng mengurangi risiko kerusakan saat angin bertiup kencang, dan struktur atap yang kokoh serta minim celah membantu mencegah pasir masuk ke dalam rumah.

Dari sisi material, rumah-rumah di Arab umumnya dibangun menggunakan bahan seperti tanah liat atau batu bata, yang memiliki kemampuan isolasi panas yang baik sekaligus menjaga kelembaban di dalam ruangan.

Desain rumah Arab adalah contoh nyata bagaimana arsitektur berkembang selaras dengan alam dan kebutuhan masyarakatnya. Fungsional, tahan iklim ekstrem, dan tetap nyaman untuk ditinggali—itulah kekuatan dari kesederhanaan desain rumah Timur Tengah.

Desain Rumah Arab: Simpel, Adaptif, dan Harmonis dengan Alam

Menjelang musim haji 2025, jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia mulai berdatangan ke Arab Saudi, menuju dua kota suci umat Islam: Makkah dan Madinah. Di balik kemegahan spiritual yang tercermin di Tanah Suci, ada sisi lain yang menarik untuk diamati—yakni arsitektur rumah-rumah di kawasan Arab yang memiliki keunikan tersendiri.

Salah satu ciri khas paling mencolok dari rumah-rumah di Timur Tengah adalah desain atapnya yang datar, tanpa genteng seperti rumah di daerah tropis seperti Indonesia. Tradisi membangun rumah dengan atap datar ini bukan hal baru. Bahkan, rumah-rumah pada zaman Nabi Muhammad SAW pun menggunakan desain serupa—tanpa genteng, namun tetap fungsional dan nyaman.

Ada berbagai alasan di balik pilihan desain ini. Pertama dan yang paling utama adalah faktor iklim. Di kawasan Semenanjung Arab, suhu siang hari bisa mencapai 50 derajat Celsius saat musim panas. Dalam kondisi ekstrem seperti ini, desain atap datar justru lebih efektif menahan panas karena menyerapnya secara merata. Dinding rumah yang tebal turut membantu menjaga suhu ruangan tetap stabil, menciptakan kenyamanan meski di tengah panas gurun yang menyengat.

Menariknya, ketika malam tiba, suhu di gurun dapat turun drastis. Rumah-rumah dengan atap datar justru mampu menahan kehangatan di dalam ruangan, menjadikannya tempat tinggal yang adaptif terhadap perubahan suhu ekstrem.

Faktor curah hujan juga turut memengaruhi bentuk atap. Di negara-negara Arab, hujan sangat jarang turun. Tidak seperti di Indonesia yang membutuhkan atap miring untuk mengalirkan air hujan, di Arab, kebutuhan itu hampir tidak ada. Maka, desain atap datar menjadi pilihan paling efisien secara struktural dan ekonomis.

Lebih dari itu, atap datar juga memiliki fungsi sosial yang penting. Di banyak wilayah, atap rumah sering dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul, beristirahat, atau menikmati udara malam yang mulai sejuk. Fungsi ini tidak akan tercapai jika rumah menggunakan atap genteng seperti di negara tropis.

Keunggulan lainnya adalah ketahanan terhadap angin kencang dan badai pasir yang kerap melanda kawasan gurun. Genteng-genteng seperti yang digunakan di Indonesia mudah terlepas saat diterpa angin, sedangkan atap datar lebih kokoh dan minim risiko kerusakan. Desain rumah pun dirancang dengan struktur tertutup dan material yang mampu menghadapi tantangan lingkungan, seperti tanah liat dan batu bata yang efektif dalam menjaga kelembaban dan menahan panas.

Meskipun teknologi konstruksi modern terus berkembang, masyarakat Arab tetap mempertahankan desain rumah tradisional ini. Alasannya jelas: keselarasan dengan alam, efisiensi energi, dan kenyamanan jangka panjang. Lebih dari sekadar gaya, desain rumah Arab mencerminkan kearifan lokal yang lahir dari pemahaman mendalam terhadap lingkungan.

Fenomena ini memberikan pelajaran penting: desain bangunan sebaiknya tidak hanya mengikuti tren global, tetapi juga memperhatikan kebutuhan lokal dan kondisi iklim setempat. Dari arsitektur Arab, kita belajar bahwa kesederhanaan, fungsionalitas, dan keberlanjutan dapat berjalan beriringan dalam menciptakan tempat tinggal yang ideal.

Bolehkah Berhubungan Suami Istri di Malam Takbiran Idul Adha?

Stylesphere – Malam takbiran menjelang Idul Adha merupakan momen yang sangat istimewa dan sarat dengan nilai spiritual bagi umat Islam. Suasana penuh kekhidmatan terasa ketika gema takbir berkumandang dari masjid ke masjid, mengagungkan nama Allah SWT dan menyambut datangnya hari raya yang penuh makna.

Dalam nuansa religius tersebut, muncul berbagai pertanyaan dari umat, salah satunya terkait aktivitas dalam rumah tangga: “Apakah boleh berhubungan suami istri di malam takbiran Idul Adha?” Pertanyaan ini cukup sering ditanyakan, karena malam takbiran dipandang sebagai waktu mulia yang hendaknya dijalani dengan penuh rasa hormat dan ibadah.

Dari sudut pandang fikih, tidak ada larangan syariat yang secara eksplisit melarang hubungan suami istri di malam takbiran, baik menjelang Idul Adha maupun Idul Fitri. Artinya, selama dilakukan dengan adab dan niat yang baik, hubungan suami istri tetap diperbolehkan dalam Islam, termasuk pada malam-malam yang mulia seperti ini.

Namun demikian, sebagian ulama menganjurkan agar malam takbiran diisi dengan ibadah dan memperbanyak dzikir, termasuk takbir, tahmid, dan doa, sebagai bentuk penyambutan terhadap hari raya yang agung. Oleh karena itu, pasangan suami istri disarankan untuk tetap menjaga keseimbangan antara memenuhi hak pasangan dan memanfaatkan waktu yang mulia dengan amalan-amalan spiritual.

Kesimpulannya, berhubungan suami istri di malam takbiran bukanlah hal yang dilarang dalam Islam, tetapi sebaiknya dilakukan dengan bijak dan tidak mengabaikan nilai-nilai keutamaan malam tersebut.

Hukum Berhubungan Suami Istri di Malam Takbiran Idul Adha

Malam takbiran menjelang Idul Adha merupakan malam yang penuh keutamaan dan kemuliaan. Dalam berbagai riwayat, malam hari raya termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa, serta dianjurkan untuk memperbanyak takbir, tahmid, dan tahlil sebagai bentuk pengagungan kepada Allah SWT.

Karena nilai spiritual malam ini begitu tinggi, umat Islam sangat dianjurkan untuk mengisinya dengan berbagai bentuk ibadah. Namun, pertanyaan yang kerap muncul di kalangan pasangan Muslim adalah: “Apakah boleh berhubungan suami istri di malam takbiran?”

Secara hukum, tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkan hubungan suami istri pada malam takbiran. Islam sebagai agama yang penuh keseimbangan dan realistis, tidak memberatkan umatnya dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam urusan rumah tangga.

Oleh karena itu, penting untuk memahami perbedaan antara hal yang dianjurkan (sunnah) dan yang dilarang (haram). Mengisi malam takbiran dengan ibadah adalah amalan yang sangat dianjurkan, namun bukan berarti aktivitas duniawi seperti hubungan suami istri menjadi sesuatu yang terlarang, selama tidak melalaikan kewajiban lain seperti salat atau mengabaikan nilai-nilai spiritual malam tersebut.

Kesimpulannya, berhubungan suami istri di malam takbiran tetap diperbolehkan, asalkan dilakukan dengan bijaksana dan tetap menjaga kekhusyukan malam raya yang penuh berkah itu.

Pendapat Ulama

Tidak terdapat dalil yang secara eksplisit melarang hubungan suami istri pada malam Hari Raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Aktivitas tersebut termasuk perkara yang mubah atau dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan cara yang sesuai dengan syariat.

Mengutip penjelasan dari NU Online Jawa Barat, hubungan suami istri pada malam hari raya diperbolehkan karena tidak ada larangan syar’i yang mengatur sebaliknya. Bahkan, jika dilakukan dengan niat untuk menjaga keharmonisan rumah tangga dan mempererat hubungan pasangan, hal itu dapat bernilai ibadah.

Meski demikian, para ulama mengingatkan agar malam hari raya tidak dihabiskan hanya untuk kesenangan duniawi. Umat Islam tetap dianjurkan untuk memperbanyak amalan seperti melantunkan takbir, berdoa, dan merenungkan makna hari raya—khususnya pada Idul Adha, yang sarat nilai pengorbanan dan kepatuhan, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS.

Dengan keseimbangan antara hak pribadi dan ibadah, malam hari raya bisa menjadi momentum spiritual sekaligus perekat hubungan dalam rumah tangga.

Etika Islam dalam Menyambut Malam Hari Raya

Meski secara hukum berhubungan suami istri diperbolehkan pada malam Hari Raya, Islam tetap mengajarkan pentingnya menjaga adab, memperhatikan waktu, suasana, dan memprioritaskan ibadah. Jika malam tersebut diwarnai dengan gema takbir bersama keluarga atau masyarakat sekitar, maka sebaiknya umat Islam turut serta terlebih dahulu dalam menyemarakkan syiar tersebut.

Melaksanakan salat Isya berjamaah, memperbanyak zikir, dan menyimak lantunan takbir akan memperkuat rasa syukur serta kekhusyukan dalam menyambut datangnya Idul Adha. Setelah aktivitas ibadah tersebut, hubungan suami istri tetap diperbolehkan, selama tidak mengganggu suasana sakral dan tetap menjaga kesucian malam yang penuh berkah itu.

Dengan menjaga adab dan keharmonisan antara ibadah serta kehidupan rumah tangga, setiap aktivitas akan memiliki nilai yang lebih mendalam. Hubungan suami istri tidak hanya mempererat ikatan jasmani, tetapi juga dapat menjadi sarana memperoleh keridaan Ilahi.

Inilah cerminan rumah tangga Islami yang ideal—seimbang dalam menjalani kehidupan duniawi dan ukhrawi, serta harmonis dalam cinta dan ketaatan kepada Allah SWT.

Syarat Berkurban dan Hukumnya Dalam Islam

Stylesphere – Idul Adha merupakan momen penting dalam Islam, salah satu ibadah utamanya adalah penyembelihan hewan kurban. Meski sudah menjadi tradisi tahunan, banyak umat Islam masih bertanya-tanya: apakah kurban hukumnya wajib atau hanya sunnah?

Perbedaan pandangan ini bukan tanpa dasar. Para ulama dari berbagai mazhab memiliki pendapat berbeda, tergantung pada penafsiran dalil yang digunakan. Bahkan, ada mazhab yang membolehkan seseorang berutang demi bisa berkurban.

Karena itu, memahami hukum kurban secara menyeluruh sangat penting. Artikel ini akan memaparkan penjelasan tentang status hukum kurban, syarat yang harus dipenuhi, serta keutamaannya, berdasarkan sumber-sumber terpercaya. Tujuannya agar kamu bisa lebih mantap dalam menjalankan ibadah ini.

Penetapan Hukum Kurban Dalam islam

Penetapan hukum kurban dalam Islam merujuk pada sejumlah ayat Al-Qur’an. Salah satu yang paling sering dijadikan acuan adalah Surah Al-Kautsar ayat 2: “Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!” Ayat ini menjadi dasar bahwa kurban merupakan bagian dari bentuk penghambaan kepada Allah.

Mayoritas ulama, termasuk Imam Malik dan Imam Al-Syafi’i, menyimpulkan bahwa kurban hukumnya sunnah muakkadah—sangat dianjurkan bagi yang mampu, namun tidak berdosa jika ditinggalkan.

Di sisi lain, Surah Al-Maidah ayat 27 menyatakan: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” Ini menekankan pentingnya niat dan ketakwaan sebagai syarat diterimanya ibadah kurban.

Selain sebagai ibadah personal, kurban juga mengandung dimensi sosial. Hal ini tercermin dalam Surah Al-Hajj ayat 28: “Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” Kurban bukan hanya bentuk ketaatan kepada Allah, tetapi juga wujud kepedulian terhadap sesama.

Syarat Berkurban di Idul Adha

Berikut syarat-syarat penting yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan ibadah kurban:

  1. Mampu secara finansial
    Kurban hanya diwajibkan bagi Muslim yang telah mencukupi kebutuhan pokoknya dan memiliki kelebihan harta. Tidak dianjurkan bagi mereka yang harus berutang atau mengorbankan kebutuhan pokok keluarganya.
  2. Hewan yang sah untuk dikurbankan
    Jenis hewan yang diperbolehkan antara lain kambing, domba, sapi, dan unta. Hewan harus sehat, tidak cacat, dan cukup umur: minimal satu tahun untuk kambing dan domba, serta dua tahun untuk sapi.
  3. Niat karena Allah SWT
    Niat berkurban harus murni sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, bukan karena pamer atau sekadar mengikuti tradisi.
  4. Proses penyembelihan sesuai syariat
    Hewan disembelih oleh orang yang paham tata cara penyembelihan dalam Islam, yaitu dengan menyebut nama Allah dan memotong urat leher serta saluran pernapasan dengan pisau yang tajam.
  5. Waktu penyembelihan
    Kurban hanya sah jika dilakukan setelah salat Idul Adha pada 10 Dzulhijjah dan selama tiga hari tasyrik berikutnya, yaitu 11–13 Dzulhijjah.

Dengan memperhatikan kelima syarat ini, ibadah kurban dapat dilakukan secara sah dan bernilai ibadah yang maksimal.

Pahala Ketika Berkuraban Dalam islam

Berkurban memiliki sejumlah keutamaan yang penting, di antaranya:

  • Pahala besar dari Allah SWT
    Ibadah kurban menjadi salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan dan mendatangkan pahala yang besar bagi pelakunya.
  • Menghapus dosa
    Kurban menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus sebagai penghapus dosa bagi yang melaksanakannya dengan niat ikhlas.
  • Simbol ketaatan dan pengorbanan
    Kurban mencerminkan keteladanan Nabi Ibrahim AS dalam mematuhi perintah Allah tanpa ragu, sebagai simbol ketaatan mutlak.
  • Memberi manfaat kepada sesama
    Daging kurban dibagikan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan, sehingga membawa manfaat sosial yang nyata.
  • Meningkatkan solidaritas dan empati sosial
    Kurban menjadi momen berbagi dan mempererat hubungan antaranggota masyarakat, terutama dalam suasana Hari Raya.

Idul Adha, yang juga dikenal sebagai Lebaran Haji, merupakan momen penting dalam Islam dan dirayakan bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Penyembelihan hewan kurban menjadi salah satu amalan utama dalam perayaan tersebut.